Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ulfah Utami, M.Si
Disusun Oleh:
KELOMPOK 1 (BIOLOGI D)
Murtafi’atul Aula (200602110041)
Indah Nur Sobach (200602110048)
Alirsyad Yanuardhika (200602110141)
Muhammad Khairul Ikhsan (200602110154)
Widia Kusuma Ningrum (200602110156)
Faiz Muzakki Al-faruq (200602110158)
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
energi listrik. Pada permasalahan inilah akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan
selanjutnya
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kondisi polusi udara di Indonesia pada tahun 2021, dilaporkan memiliki
konsentrasi PM2,5 tertinggi yaitu 34,3 mikrogram/ m3. Jumlah konsentrasi PM2,5
tersebut menjadikan Indonesia menempati peringkat pertama yang paling berpolusi
dalam kawasan Asia Tenggara. IQAir melaporkan bahwa kadar konsentrasi PM2,5
tertinggi yaitu pada bulan Juni dan Juli, dengan masing-masing 54,5 mikrogram/
m3 dan 57,2 mikrogram/ m3. Sedangkan, kadar konsentrasi PM2,5 terendah yaitu
pada bulan Februari 24,3 mikrogram/ m3 dan November 23,8 mikrogram/ m3. Dari
Laporan Kualitas Udara Dunia IQAir, diketahui bahwa Surabaya dan Jakarta
berturut-turut menempati peringkat ke 11 dan 12 sebagai kota di Asia Tenggara
yang udaranya paling berpolusi (Lee, 2021). Sedangkan, kota-kota yang terdaftar
sebagai kota paling rendah polusi udaranya adalah Samarinda, Kayu Agung, Banda
Aceh, dan Palangkaraya.
Riset terbaru mengungkapkan bahwa pada saat Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM), jelas bahwa penggunaan kendaraan menurun, tetapi
tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas udara. Kualitas udara saat PPKM
relatif sama, begitu pula kadar PM2,5. Bahkan, ditemukan peningkatan polusi udara
di daerah Jakarta pada masa PPKM. Daerah yang mengalami peningkatan polusi
udara paling tinggi yaitu Bogor bagian Barat naik hingga sekitar 33%. Dapat
disimpulkan bahwa meningkatnya kadar PM2,5 tidak hanya dipengaruhi oleh
kendaraan bermotor yang mengandung senyawa berbahaya (Lee, 2021).
Berikut data statistik yang menunjukkan kadar PM2,5 dari tahun 2010 sampai
tahun 2015
4
AQLI menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk memperoleh
manfaat kesehatan yang besar apabila berhasil membersihkan udara dari polusi.
Apabila Indonesia mampu mencapai peningkatan yang berkelanjutan terhadap
kualitas udara, maka orang Indonesia diperkirakan dapat hidup delapan bulan lebih
lama. Bahkan orang-orang yang bermukim di daerah berpolusi tinggi akan
mendapatkan manfaat lebih besar, yaitu diperkirakan dapat hidup hingga 2,5 tahun
lebih lama (Lee, 2021).
Sumber : Indeks kualitas udara (Air Quality Index) dan polusi udara PM2.5 di
Indonesia
5
menyebabkan polusi udara. Sehingga, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
turut menyumbangan polusi udara. Selain itu aktivitas diperkotaan juga dapat
menjadi salah satu faktor meningkatnya pencemaran udara. Sedangkan, kulaitas
udara yang buruk di Pulau Jawa disebabkan oleh banyaknya perkotaan. Perkotaan
merupakan daerah penyumbang polusi udara terbesar, dimana 70% pencemaran
udara diperkotaan disebabkan oleh aktivitas kendaraan bermotor dan lainnya
berasal dari aktivitas manusia seperti dampak dari PLTU, asap pabrik, limbah
rumah tangga, dan asap rokok. tingkat pencemaran udara di kota-kota besar yang
ada di pulau jawa seperti Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan
Serang (Banten), serta kota-kota yang dilalui Jalur Pantura sudah dan/atau hampir
melampaui standar kualitas udara ambient khususnya untuk parameter oksida
nitrogen (Kusminingrum dan Gunawan, 2008).
Hal tersebut diperparah dengan kondisi pembangunan perumahan di
perkotaan yang sangat pesat dan cenderung untuk tidak mempertimbangkan faktor
konservasi lingkungan. Kondisi demikian menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem perkotaan dengan meningkatnya suhu udara di perkotaan,
serta pencemaran udara yang berasal dari kegiatan transportasi, permukiman,
persampahan dan industri (Suyanto, 2012). Pertumbuhan wilayah yang sangat pesat
memberikan beberapa dampak. Disamping dampak baik sebagai penyokong
perekonomian, namun juga membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya
seperti polusi udara. Menurut Primasari (2021) Kendaraan bermotor merupakan
penyumbang polusi udara terbesar di daerah perkotaan.
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dapat terjadi karena adanya
pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang semakin meningkat pula. Salah satu
kasusnya ialah terjadinya pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang lebih tinggi
dibanding kota-kota lainnya, hal ini membuat perubahan pada gaya hidup yang
merupakan akibat dari meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakatnya.
Akibatnya terjadi peningkatan dalam kepemilikan dan penggunaan kendaraan
pribadi (mobil dan sepeda motor) serta angkutan umum (Ismiyati, 2014).
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyo (2021) mengenai
pencemaran di kota Surabaya. Kota Surabaya mengalami pertambahan penduduk
setiap tahunnya. Hal ini juga berpotensi meningkatknya jumlah kendaraan bermotor
6
sehingga menghasilkan polusi udara berupa Karbon Monoksida (CO) yang berasal
dari emisi kendaraan bermotor.
Data terakhir Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas
Polri) tahun 2013, menyebutkan bahwa jumlah kendaraan bermotor khususnya
sepeda motor mengalami peningkatan jumlah sebanyak 12% per tahunnya dari
2011-2013. pada 2011 sebanyak 84,193, pada 2012 sebanyak 94,229 unit, dan pada
tahun 2013 jumlah kendaraan yang beroperasi di seluruh Indonesia mencapai
104,211 juta unit, Dari jumlah tersebut, maka polusi terbanyak disumbang oleh
sepeda motor dengan rata-rata 73%.
7
Untuk memperkirakan kebutuhan energi pada masing-masing jenis kendaraan,
dapat dilakukan perhitungan dengan parameter utama yaitu intensitas dan aktifitas
penggunaan energi. Parameter intensitas penggunaan energi dipengaruhi oleh jenis
moda transportasi dan usia kendaraan. Kendaraan baru intensitasnya lebih rendah
karena lebih efisien dalam penggunaan energi dari pada kendaraan yang sudah
berumur tua. Sedangkan aktifitas penggunaan energi dipengaruh oleh pertumbuhan
jumlah kendaraan. Berikut merupakan data serta perkiraan penggunaan kebutuhan
energi kendaraan bermotor menurut Sugiyono (2013):
8
Kota Surabaya pada kurun waktu 2010-2030 diprakirakan kebutuhan bahan
bakar meningkat dari 0,83 juta kl pada tahun 2010 menjadi 1,19 juta kl atau
meningkat rata-rata 1,8% per tahun. Pada akhir periode pangsa penggunaan bensin
akan mencapai 70% dari total kebutuhan (Sugiyono, 2013).
Selain kendaraan bermotor, penyumbang polusi udara terbanyak yang terjadi
di perkotaan juga disebabkan oleh dampak dari PLTU. Menurut Trianisa, dkk
(2020) Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki kondisi udara yang
mengkhawatirkan bahkan dapat digolongkan sangat berbahaya. Menurut penelitian
Greenpeace, kondisi tersebut disebabkan oleh adanya pembangkit listrik tenaga
batubara (PLTU) sebagai faktor yang ikut andil dalam masalah polusi di Jakarta.
Selain akibat PLTU, penelitian yang dilakukan oleh Santoso, dkk (2018)
menunjukkan bahwa Jakarta dan juga Semarang merupakan contoh daerah yang
terdampak polusi udara akibat adanya pertumbuhan ekonomi dari kegiatan industri.
9
2. Pencemaran udara berbentuk partikel, yang berasal dari zat-zat kecil yang telah
terdispresi ke udara. Wujudnya ada yang padat, cair, juga perpaduan antara
padat dan cair. Contoh: debu, asap, kabut, dan lain sebagainya
Berdasarkan susunan kimia, pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pencemaran udara zat anorganik, yaitu yang tidak mengandung karbon.
Contoh: amonia, asbestos, asam sulfat, dan lain-lain
2. Pencemaran udara zat organik, yaitu yang memiliki kandungan karbon.
Contoh: pestisida, herbisida, bberapa jenis alkohol, dan lain-lain.
Permasalahan atau pencemaran udara baik dilihat berdasarkan asal, bentuk
ataupun susunan kimianya, menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) tahun 2021, yang paling besar memberikan sumbangan polusi udara
adalah kendarana bermotor yaitu berkontribusi sebesar 70% terhadap pencemaran.
Kendaraan bermotor tersebut mengandung beberapa senyawa, antara lain nitrogen
oksida (Nox), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan partikulat (PM).
Beberapa aktivitas yang menyebabkan meningkatnya pencemaran udara yaitu
(Pramanik, 2020):
1. Pertambangan, yaitu proses penambangan yang dilakukan untuk
mengekstraksi mineral yang ada di bawah bumi menggunakan alat besar yang
memfungsikannya membutuhkan bahan bakar. Apabila alat besar yang
digunakan banyak, maka gas dan debu yang dihasilkan akan semakin banyak
yang menyebabkan bertambahnya polusi udara.
2. Pertanian, yaitu dalam aktivitas bertani biasanya memerlukan pupuk. Apabila
menggunakan pupuk anorganik biasanya terdapat bahan kimia yang sangat
reaktif yaitu amonia, biasanya untuk memproduksi berbagai bahan padat
seperti garam amonium, garam nitrat, dan urea. Amonia merupakan gas yang
berbahaya bagi lapisan atmosfer.
3. Penggunaan listrik berlebihan, yaitu dalam memenuhi kebutuhan listrik
diperlukan adanya bahan bakar batu bara. Semakin banyak listrik yang
digunakan, maka semakin banyak limbah batu bara yang terbuang ke udara.
Pembakaran pembangkit listrik dalam prosesnya menghasilkan gas yang
berbahaya. Beberapa senyawa yang dikeluarkan yaitu gas sulfur dioksida,
nitrogen oksida, karbon dioksida, dll.
10
4. Asap pabrik, yaitu dalam industri pabrik pasti menggunakan alat besar yang
efeknya dapat menghasilkan asap dalam jumlah yang banyak. Dimana, asap
tersebut biasanya dibuang melalui cerobong asap yang ukuran dan jumlahnya
besar.
5. Limbah rumah tangga, yaitu berbagai kegiatan rumah tangga seringkali
menimbulkan sampah, baik sampah organik ataupun anorganik. Kemudian,
sampah/ limbah rumah tangga tersebut dibakar sehingga menimbulkan asap
yang mencemari udara. Selain ity, penggunaan alat elektronik yang
mengeluarkan asap dan gas juga dapat menghasilkan polusi.
6. Asap rokok, yaitu asap yang dihasilakn rokok apabila terhirup oleh orang lain
(perokok pasif) akan lebih berbahaya dan dapat menimbulkan masalah
kesehatan.
7. Erupsi gunung berapi, yaitu apabila terjadi erupsi gunung berapi akan
mengeluarkan abu vulkanik dari dalam. Abu vulkanik mengandung beberapa
senyawa berbahaya seperti timah, tembaga, seng, krom besi, juga silika yang
menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
11
untuk mendorong pemanfaat kendaraan listrik dan bersama-sama mendorong
pemanfaat kendaraan listrik sebagai transisi energi bersih.
Adanya kendaraan listrik memang seperti menjadi solusi menjanjikan untuk
menekan pengeluaran emisi karbon monoksida kendaraan bermotor sekarang.
Namun dalam permasalahan ini, kita tidak bisa melihat sesuatu dari satu sisi saja,
melainkan harus jeli melihat efek-efek yang akan disebabkan dari penggunaan
kendaraan listrik berbasis baterai (KLBB) secara masif. Ketika kendaraan listrik
menjadi mudah untuk didapatkan, akan terjadi peningkatan permintaan energi
listrik. Tidak hanya untuk kebutuhan pengisian baterai, produksi dari baterai yang
digunakan oleh kendaraan listrik turut memerlukan energi yang besar. Sejalan
dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat akan meningkatkan
ketergantungan manusia terhadap energi listrik. Salah satu pertanyaan krusial yang
timbul sampai sekarang adalah, jika listrik yang digunakan untuk kendaraan listrik
tersebut memakai sumber dari PLTU, apakah kebijakan itu masih mendorong upaya
energi baru terbarukan (EBT)?
Sejumlah fakta menyebutkan bahwa Indonesia masih mengandalkan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber energi listrik yang tidak
rendah emisi. Meskipun pemerintah telah menargetkan pada tahun 2025
penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mencapai 25%, pada
kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada kontribusi batubara dan gas.
Menurut data yang disampaikan oleh Direktur Mega Project PLN Muhammad
Ikhsan Asaad, subtotal penggunaan bahan bakar fosil mencapai 87,4 % pada tahun
2020. Peningkatan permintaan kendaraan listrik pada pembangkit listrik yang tidak
ramah lingkungan ini secara tidak langsung akan menghilangkan aspek “hijau”.
Berangkat dari munculnya inovasi kendaraan listrik yang diluncurkan
pemerintah, sudah barang tentu akan membutuhkan sumber daya energi listrik
sangat besar untuk proses produksi dan pengisian daya baterai seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya. Sumber energi listrik yang masih digunakan secara
dominan oleh Indonesia tidak sepenuhnya berasal dari energi terbarukan, namun
masih bergantung pada penggunaan batu bara. Berdasarkan informasi yang dikutip
dari berita Antara hari Minggu tanggal 14 Agustus, Darmaningtyas yang
merupakan seorang pengamat transportasi mengatakan bahwa bahan bakar listrik
12
yang 63% masih dari batu bara juga membuat electric vehicle (EV) ini tidak
sepenuhnya bersih lingkungan, namun hanya sebagai pengalihan atau penundaan
polusi saja mengingat batu bara juga melahirkan limbah.
Meningkatnya jumlah pengguna kendaraan listrik, maka memunculkan
kembali masalah kemacetan di kota-kota besar yang juga menjadi problematika
utama dan kerap kali tidak disadari masyarakat awam. Efek domino dari kemacetan
pun tidak main-main, mulai dari pemborosan energi, tersendatnya rantai logistik,
kecelakaan lalu lintas, bahka menurunnya pengguna kendaraan pribadi maka akan
diperlukan pula dana besar untuk pembangunan infrastruktur. Pelebaran jalan raya,
pembebasan lahan, bahan penambahan jalan tentu tidak hanya memerlukan dana,
namun waktu dan sumber daya yang banyak (Sabubu, 2020).
Pembangunan jalan raya yang banyak untuk mengurai kemacetan hanya akan
menambah permasalahan berkelanjutan kedepannya. Adanya jalan yang lebih
banyak, pengguna jalan akan terus bertambah, permintaan jalan akan bertambah
banyak lagi, dan begitu seterusnya. Sehingga hal ini tidak akan baik untuk
pembangunan yang berkelanjutan karena semakin banyak ruang yang digunakan
untuk pembangunan jalan, maka semakin berkurang pula wilayah untuk ruang
terbuka hijau, resapan air, dan pemukiman.
13
peningkatan ekonomi masyarakat karena tanpa tersedianya listrik, maka proses
produksi akan berjalan lamban dan akan membuat industri tersebut akan mati.
Salah satu bagian dari sistem tenaga listrik adalah pembangkit tenaga listrik.
Pembangkit tenaga listrik terdiri dari komponen elektrikal, mekanikal, dan
bangunan kerja. Selain itu juga terdapat generator dan turbin yang berfungsi
megkonversi energi mekanik menjadi energi listrik. Pembangkit tenaga listrik di
Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kepentingannya, yaitu untuk
kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik untuk
kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN (Persero) dan sebagian
lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta, dalam istilah umum disebut IPP
(Independent Power Producer), serta koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga
listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan oleh swasta untuk
kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan
PLN atau karena alasan keandalan sistem.
Kebutuhan tenaga listrik akan meningkat sejalan dengan perkembangan
perekonomian dan pertumbuhan penduduk. Jika perekonomian semakin
meningkat, maka konsumsi tenaga listrik juga akan semakin meningkat. Kondisi
ini tentunya harus diantisipasi agar penyediaan tenga listrik dapat tersedia dalam
jumlah yang cukup dan harga yang memadai. Rencana Umum Ketenagalistrikan
Nasional Tahun 2008-2027 menyebutkkan pertumbuhan kebutuhan listrik nasional
mencapai rata-rata 9,2% per tahun. Pada tahun 2027 kebutuhan listrik emncapai
813 TWh dan diperlukan kapasitas pembangkit sebesar 187 GW. Asumsi atau dasar
yang digunakan dalam menyusun proyeksi atau kisaran ini adalah disebabkan
faktor pertumbuhan ekonomi untuk 20 tahun mendapat rata-rata sebsar 6,1% per
tahun. Pertumbuhan penduduk secara nasional untuk 20 tahun ke depan
diperkirakan mencapai 1,3% per tahun. Proyeksi kebutuhan tenaga listrik sampai
tahun 2050 diperlihatan pada tabel berikut (Anindhita, 2015):
14
Sumber: Outlook Energi Indonesia 2015 BBPT
Kebutuhan yang cukup besar itu akan menghabiskan pasokan energi yang tak
sedikit. Pembangkit tenaga listrik skala besar yang mungin dikembangkan adalah
menggunakan batubara, gas bumi, dan PLTN. PLTU Batubara menjadi priorias
pertama yang disusul oleh PLTGU, PLTN, dan PLTU Mulut Tambang.
15
yang tinggi menyebabkan proses perubahan fisika dan kimiawi yang kemudian
terbentuk batubara (Nooraliza, 2020)
Batubara sebagai bahan baku PLTU cukup mudah didapatkan karena
keberadaannya yang banyak di Indonesia. Di Indonesia sudah ada hampir 100
PLTU batubara yang tersebar di seluruh tanah air, sebagian besar tersebar di pulau
Jawa, dan pembangunan PLTU ini akan berlanjut dengan ditambahnya 35 PLTU
lagi yang 10 buah PLTU nya dibangun di pulau jawa dan 25 sisanya dibangun di
luar pulau jawa. Pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik meningkat dengan
pertumbuhan rata-rata 7,1% per tahun selama kurun waktu 2013-2050.
Pemanfaatan batubara tersebut akan meningkat dari 52,5 juta ton pada 2013
menjadi 179 juta ton pada 2025 dan 673 juta ton pada tahun 2050. Pangsa
pemanfaatan batubara di pembangkit listrik terhadap kebutuhan batubara dalam
negeri meningkat dari 55% pada tahun 2013 menjadi 67% pada tahun 2050.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan batubara tersebut dikelola oleh
PT.PLN (Persero) maupun perusahaan swasta (pemakaian sendiri atau IPP).
Pengembangan PLTU batubara untuk jangka panjang sudah mempertimbangkan
penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Pemanfaatan batubara di sektor
industri meningkat dari 42.6 juta ton pada tahun 2013 menjadi 85.6 juta ton (2015)
dan menjadi 333 juta ton (2050) atau meningkat ratarata sebesar 5,7% per tahun
dalam kurun waktu 37 tahun. Sektor industri yang banyak memanfaatkan batubara
adalah industri semen, logam, tekstil dan kertas (Pramanik, 2020).
Berikut merupakan grafik data proyeksi pemanfaatan batubara Indonesia
sampai tahun 2050 mendatang (Anindhita, 2015).
16
2.5 Dampak Negatif Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Indonesia
Meskipun pembangunan PLTU Batang terbilang menguntungkan bagi
sebagian kalangan pada sektor perekonomian, akan tetapi tidak di pungkiri pula
dibalik kenaikan perekonomian tersebut terjadi pula penurunan kondisi pada sektor
lingkungan yang mengakibatkan ketimpangan ekosistem. Hadirnya emisi karbon
yang di timbulkan oleh penggunaan batu bara sebagai basis PLTU tidak menutup
kemungkinan jika fly ash yang berasal dari batu bara tersebut dapat mencemari
udara dan lingkungan sebab tertiup oleh angin dan merusak komposisi udara. Fly
ash atau abu terbang merupakan limbah yang dihasilkan dari pembakaran batu bara
pada pembangkit tenaga listrik, kemudian menyebar ke udara melalu cerobong asap
dari pembangit listrik. Hujan abu ini merupakan material yang memiliki ukuran
butiran yang halus berwarna keabu-abuan Kondisi seperti itu dianggap sangat
darurat dikarenakan batubara berasal dari bahan bakar fosil yang memiliki tingkat
kekotoran yang paling tinggi sehingga menimbulkan emisi karbon yang mampu
merubah tatanan iklim mencapai 60 persen di dunia.
Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahan bakar fosil batubara
menyumbang 44% dari total emisi CO2 secara global. Pembakaran batubara adalah
sumber terbesar emisi gas GHG (Green House Gas) yang memicu perubahan iklim.
Saat pembakaran batu bara terlaksana, maka karbon yang di hasilkan batu bara akan
bereaksi dengan oksigen sehingga memunculkan karbon dioksida yang terlepas ke
atmosfer bersama zat metana dengan memberikan kemungkinan jika gas rumah
kaca akan meningkat dari kondisi sebelumnya. Batubara yang dibakar di
Pembangki Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti
Nox dan SO2 yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam
dan polusi PM2.5 (partikel halus). Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap
bahaya kesehatan akibat partikel halus dari emisi udara tersebut. Selain itu, PLTU
batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri
dan arsen. Partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya tersebut mengakibatkan
kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.
17
2.5.1 Polusi Udara dan Perubahan Iklim
Polusi udara merupakan pembunuh senyap, yang mengakibatkan lebih dari 3
juta jiwa meninggal dunia. Di 2016 polusi udara telah menyebabkan lebih dari 4
juta jiwa meninggal. Laporan terbaru dari World Health Organization (WHO) tahun
2018 mengatakan bahwa 7 juta orang tewas tiap tahun karena polusi udara. Di
Indonesia sendiri menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard
University–Atmospheric Chemistry Modeling Group menyatakan bahwa kematian
dini yang diakibatkan oleh polusi udara dari operasi PLTU Batubara telah
menyebabkan sekitar 6.500 jiwa pertahun, dan akan meningkat menjadi 15.700
jiwa/tahun, jika pembangunan PLTU Batubara terus berlanjut. Lebih lanjut pada
tahun 2008 Indonesia menyumbang pembakaran batubara menyumbang sekitar
50% dari emisi SO2 yang terkait sektor energi, 30% dari emisi PM10 dan 28% dari
emisi NOx5. PLTU dapat menyebabkan asma, infeksi pernafasan akut dan
sebagainya. Resiko penyakit ini meningkat bagi orang yang tinggal disekitaran
PLTU (Pramanik, 2020).
Hasil pembakaran PLTU ini yang berupa partikel-partikel halus itu selain
debu yang dapat kita lihat jika jumlahnya sudah banyak, dapat masuk menembus
hingga paru-paru dan juga aliran darah yang dapat menyebabkan kematian dan juga
masalah kesehatan lainnya. Bukan hanya pada masalah kesehatan masyarakatnya
yang ditimbulkan, tetapi juga masalah pencemaran lingkungan. Pencemaran yang
dilakukan akibat polutan dari PLTU ini bisa mempengaruhi ekosistem air laut,
kekurangan ruang terbuka hijau, cuaca yang semakin memanas, dan juga polusi
yang semakin membanyak. Tidak hanya sampai disitu, masyarakat yang
mendapatkan dampak dari PLTU ini terutama yang tinggal di sekitar PLTU harus
mengeluarkan biaya yang lebih jika sakit karena penyakit yang ditimbulkan bukan
merupakan sakit yang biasa seperti demam atau semisalnya, tetapi bisa
menyebabkan resiko kanker paru-paru meningkat, stroke, dan juga penyakit
jantung. Disisi lain kerentanan terhadap anak kecil, bayi, ibu hamil dan orang
tua/lansia juga meningkat karena efek akut dari polusi udara ini.
Selain itu, Limbah gas CO2 yang dihasilkan dari suatu pembangkit listrik
fosil adalah Gas Co2 yang merupakan salah satu golongan gas rumah kaca. Efek
gas rumah kaca ini akan menyebabkan radiasi sinar infra merah dari bumi akan
18
kembali ke permukaan bumi karena tertahan oleh gas rumah kaca. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya pemanasan global pada bumi. Pemanasan global pada
bumi ini akan menimbulkan dampak turunan yang lebih panjang yakni mencairnya
gunung-gunung es di kutub, meningkatnya suhu permukaan bumi, meningkatnya
suhu air laut, menungkatnya tinggi permukaan laut, kerusakan pantai karena
meningkatnya abrasi laut, dan hilangnya pulau-pulau kecil karena abrasi air laut.
Berikut merupakan grafik data proyeksi sektor penyumbang emisi CO2
Indonesia sampai tahun 2050 mendatang (Anindhita, 2015)
19
Pencemaran udara maupun air di sekitar kawasan PLTU tentu memberikan dampak
negatif yang mengganggu kesehatan bagi masyarakat sekitar (Pramanik, 2020).
20
meminta pertanggungjawaban PLTU Batubara atas kerugian bagi masyarakat
lokal dan sekitarnya. Jika pengoperasian PLTU Batubara tidak bisa
menghormati hukum, mereka harus ditutup. PLTU Batubara tertua dan paling
kotor yang telah gagal mengadopsi teknologi terbaik yang tersedia untuk
membatasi emisi beracun mereka juga harus ditutup.
3. Memperkuat aturan hukum dan penegakannya
a. Hukum
Indonesia membutuhkan Clean Air Act. Hukum kita harus tegas dan secara
khusus menangani bahaya dari PLTU Batubara. Batubara menghasilkan
polutan udara terbesar, bahkan apabila dibandingkan dengan sumber energi
fosil lainnya, seperti minyak bumi dan gas. Dampak polusi udara PM2.5
dan bahan berbahaya lainnya dari PLTU Batubara tidak dapat diabaikan.
Hukum terkait kualitas udara Indonesia harus lebih baik melindungi kita.
Rakyat Indonesia berhak untuk menghirup udara bersih.
b. Amdal
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup harus mengelola analisis
mengenai dampak lingkungan untuk PLTU Batubara, dengan
mempertimbangkan data yang disajikan dalam laporan ini. Secara khusus,
setiap penilaian dampak terhadap kesehatan dan lingkungan atau emisi gas
rumah kaca di AMDAL harus diperkuat. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan perlu memainkan peran kuat dalam penilaian dampak
lingkungan yang berkelanjutan dari proyek PLTU Batubara dan melakukan
pemeriksaan menyeluruh dari kerusakan yang disebabkan oleh PLTU ini.
Setiap pembangkit listrik harus diminta untuk melaksanakan survei
epidemiologi tentang dampak kesehatan terhadap penduduk setempat dan
pencemaran lingkungan di dekat pembangkit listrik, kemudian
mempublikasikan hasilnya secara transparan, dan datang dengan langkah-
langkah jangka panjang yang jelas untuk mengurangi kerusakan.
c. Standar
Indonesia masih memiliki kesulitan dalam memprediksi konsentrasi
nasional PM2.5 dan menilai kerusakan nyata yang disebabkannya, karena
stasiun pemantauan tidak cukup untuk memantau seluruh negeri. Namun,
21
hasil pengukuran terbatas yang dilakukan pemerintah menunjukkan
konsentrasi PM2.5 di kota-kota seperti Jakarta, Pekanbaru, Surabaya di
tahun 2012 saja telah mencapai hampir 2 kali lebih tinggi dari pedoman
WHO 10µg/m3 , akibat pencemaran berbagai sumber. 1 Pemerintah kita
perlu memperketat standar PM2.5 nasional. Departemen Kesehatan harus
mengembangkan langkahlangkah terbaik dan pedoman untuk mengukur
dampak kesehatan dari PLTU Batubara di Indonesia.
d. Hukuman
Hukuman untuk PLTU Batubara yang menghasilkan polusi udara melebihi
standar harus diperkuat dengan langkahlangkah yang lebih ketat untuk
memantau emisi polutan udara dan menjatuhkan denda berat pada
pembangkit listrik yang bersangkutan. Kita harus memungut biaya
tambahan sebagai denda untuk NOx (salah satu sekunder PM2.5). Kita
harus secara tepat memberikan denda dan sanksi kepada produsen listrik
agar bertanggung jawab atas kelebihan emisi polusi udara, dalam rangka
mendorong mereka untuk tidak melanggar hukum dan melampaui batas
emisi
e. Pemantauan
Untuk Indonesia, langkah pertama untuk mengelola PM2.5 secara efektif
adalah memperluas dan memperkuat jaringan pemantauan sistematis di
seluruh negeri, mengidentifikasi sumber emisi utama, dan melakukan
penelitian dukungan terhadap kesehatan, lingkungan, sosial, dan dampak
ekonomi akibat polutan tersebut. Selain itu, perlu juga untuk
memperkenalkan sistem manajemen sumber emisi yang sistematis dan
dapat diakses publik berdasarkan penelitian dan pemantauan data.
Pemerintah harus mewajibkan pemeriksaan rutin dengan perangkat polusi-
kontrol pada pembangkit listrik dan memperkuat pemantauan dan hukuman
untuk pembangkit dengan emisi polutan yang berlebih
f. Meningkatkan penggunaan energi terbarukan
Langkah yang paling penting yang dapat kita ambil adalah untuk
menggantikan PLTU Batubara, baik yang sudah ada maupun yang masih
dalam perencanaan, dengan rencana yang jelas dan strategis untuk efisiensi
22
energi, net metering, tersedianya sistem smart grid, dan pengembangan
nasional sumber daya energi terbarukan termasuk panas bumi.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Masalah peningkatan emisi karbon dan polusi udara di Indonesia
perlu ditindaklanjuti oleh semua lapisan masyarakat baik pemerintah
maupun rakyat untuk menekan problematika tersebut. Kehadiran
kendaraan listrik yang dirancang sebagai solusi menekan produksi
emisi di Indonesia memang menjadi salah satu alternatif mengatasi
masalah tersebut. Namun penggunaan sumber listrik yang dominan
masih berasal dari PLTU Batubara akan menjadi topik permasalahan
baru kedepannya. Sehingga dalam membuat terobosan atau inovasi
diperlukan sikap bijak dan pemikiran yang berperspektif lingkungan
demi keberlanjutan di masa depan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
Pramanik, Rahma Alifia dkk. 2020. Dampak Perizinan Pembangunan PLTU
Batang Bagi Kemajuan Perekonomian Masyarakat serta Pada Kerusakan
Lingkungan. Kinerja, 17(2): 248-257
Primasari, Y. H., & Sasmito, A. 2021. Optimalisasi Waktu Hijau Untuk
Mengurangi Kadar Polusi Udara Pada Simpang Bersinyal Pasifik Di Kota
Tegal. Jurnal Transportasi, 21(1): 19-26.
Sabubu, Theo Alif Wahyu. 2020. Pengaturan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Batubara di Indonesia Perspektif Hak Atas Lingkungan yang Baik dan
Sehat. Renaissance, 5(1): 72-90
Santoso, K. B., Hakim, L., Ningrum, E. R. & Widyatmanti, W. 2018. Studi
Temporal Pertumbuhan Ekonomi Dan Polusi Udara. Studi Kasus: Dki
Jakarta, Semarang, Dan Surabaya Pada Tahun 2005-2015. Jurnal
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika .
Setyo, G. A., & Handriyono, R. E. 2021. Analisis Penyebaran Gas Karbon
Monoksida (Co) Dari Sumber Transportasi Di Jalan Tunjungan Surabaya.
In Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan. 9(1): 360-
369
Sugiyono, A. 2013. Prakiraan Kebutuhan Energi untuk Kendaraan Bermotor di
Perkotaan: Aspek Pemodelan. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia, 14(2).
Suyanto, H. 2012. Pengelolaan Kualitas Udara di Perkotaan. Gema
Teknologi, 16(2): 93-98.
Talitha, Tasya. 2021. IPA – Penyebab Pencemaran Udara & Solusinya. Gramedia
Trianisa, K., Purnomo, E. P., & Kasiwi, A. N. 2020. Pengaruh Industri Batubara
Terhadap Polusi Udara dalam Keseimbangan World Air Quality Index in
India. Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan, 6(2), 156-168.
World's Most Polluted Countries in 2021 - PM2.5 Ranking | IQAir diases pada 3
Oktober pukul 15.02
26
27