Anda di halaman 1dari 63

ANALISIS FRAMING KONFLIK HAMAS DAN ISRAEL

DI MEDIA ONLINE CNN DAN BBC

PROPOSAL

KHAREISMAN RAMADHAN
210501164

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmatdan karunia-Nya yang berupa kesehatan sehingga penulis mampu
menyelesaikan proposal skripsi ini dengan judul “Analisis Framing Konflik
Hamas Dan Israel Di Media Online CNN Dan BBC”. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, para
sahabat, dan para pengikut yang masih setia mengikuti sunnahnya.

Penulis sangat menyadari bahwa segala upaya yang penulis lakukan dalam
penyelesaian proposal skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan hingga penyelesaian proposal skripsi
ini. Maka dari itu, dengan rasa hormat penulis menghaturkan rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya. penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh
dari kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan.

Pekanbaru, 13 November 2023

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN DEPAN……………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................9
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................9
1.4. Manfaat penelitian.....................................................................................9
1.4.1. Manfaat Teoritis.................................................................................9
1.4.2. Manfaat Praktis..................................................................................9
1.5. Sistematika Penulisan..............................................................................10
BAB II LANDASAN TEORI..............................................................................11
2.1. Makna Nilai................................................................................................11
2.2 Nasionalisme................................................................................................11
2.2.1 Sejarah Nasionalisme.............................................................................12
2.2.2 Fungsi Nasionalisme..............................................................................13
2.3 Pengertian Film............................................................................................13
2.3.1 Sejarah Perkembangan film...................................................................14
2.3.2 Sejarah Perkembangan Film di Indonesia.............................................17
2.3.3 Jenis-Jenis Film.....................................................................................22
2.3.4 Genre Film............................................................................................23
2.3.5 Struktur Film..........................................................................................24
2.4 Film cahaya dari timur................................................................................24
2.4.1 Profil Film..............................................................................................26
2.5 Maluku..........................................................................................................28
2.5.1 Konflik Maluku.....................................................................................28
2.6 Film Sebagai Media Komunikasi Massa......................................................33
2.7 Teori Semiotika............................................................................................33
2.8 Penelitian Terdahulu.....................................................................................35
2.9 Kerangka Pemikiran.....................................................................................39
BAB III METODELOGI PENELITIAN..........................................................41

iii
3.1 Metode Penelitian.........................................................................................41
3.2 Jenis Penelitian.............................................................................................42
3.3 Waktu Penelitian..........................................................................................43
3.4 Subjek Dan Objek Penelitian.......................................................................44
3.4.1 Subjek Penelitian...................................................................................44
3.4.2 Objek Penelitian.....................................................................................44
3.5 Metode Pemilihan Responden......................................................................45
3.6 Metode Pengumpulan Data..........................................................................46
3.6.1 Wawancara............................................................................................46
3.6.2 Dokumentasi..........................................................................................47
3.7 Analisis Data................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................52

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Film seringkali menjadi bahan kajian yang menarik untuk diteliti dengan
ragam genre yang ada sehingga penikmatnya tidak pernah bosan dalam
menyaksikan film-film yang tayang di bioskop ataupun di layar televisi. Selain
sebagai hiburan juga senantiasa mendapatkan informasi baru yang dihadirkan
dalam setiap adegan yang diperankan oleh para aktor dalam film. Film merupakan
alat komunikasi yang mampu dan mempunyai kekuatan untuk menjangkau
banyak segmen sosial yang membuat para ahli film atau parasineas memiliki
potensi untuk mempengaruhi juga merupakan salah satu sarana yang digunakan
untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebutuhan manusia, serta serta
menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya
kepada masyarakat umum (Rosen et al., 2015).

Film digunakan untuk menyampaikan atau merekam kembali suatu


keadaan film digunakan untuk memenuhi kebutuhan umum menyampaikan
sebuah gagasan pesan atau kenyataan. Karena dimensinya yang kompleks dan
sifatnya yang menghibur film telah menjadi kebutuhan yang diterima sebagai
salah satu media audio visual yang digemari. Karenanya dikatakan film juga
dianggap sebagai media yang efektif untuk menyebarkan informasi (A. Semiotika
et al., n.d.).

Beragam media komunikasi baik visual dan audio visual pun hadir di
masyarakat. Hal ini menjadi kebutuhan mendasar bagi manusia. Apalagi inovasi
yang terus muncul dalam media komunikasi menjadi lebih canggih dan
sebelumnya. Dapat dimanfaatkan oleh umat Islam sebagai media berdakwah dan
peningkatan iman dan taqwa. Karenanya media juga dapat digunakan sebagai
sarana penyampaian pesan moral yang baik terkandung dalam Islam yang
diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, prediksi dakwah dituntut untuk selalu

1
berinovasi melalui media komunikasi dalam penyampaian pesan moral dan nilai-
nilai luhur Islam kepada masyarakat (Saputra, 2021).

2
2

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan


kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama
untuk sekelompok manusia. Nasionalisme melahirkan sebuah kesadaran dari
elemen anak bangsa untuk menjadi bangsa yang benar-benar independen. Harapan
inilah yang membentuk kesadaran masyarakat melawan segala bentuk penjajahan,
penindasan, eksploitasi dan dominasi (Airlangga, 1998).

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai


merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah
tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat
berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya
hidup, dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini,
yang notabene lemah dan bermutu rendah (Pendidikan & Siswa, 2019).

Nasionalisme tentunya memiliki peran yang vital dan penting


terhadapberlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara, karena apabila
dalam suatu negara rakyatnya menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme, maka
niscaya negara tersebut akan menjadi bangsa yang kuat. Generasi muda harus
dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara, menjaga keutuhan
persatuan, serta dapat meninggikan derajat martabat bangsa dan negara dikancah
dunia. Mengingat begitu pentingnya nilai nasionalisme maka hal ini harus kita
pupuk sejak dini kepada generasi muda bangsa dan Negara (Studi et al., 2022).

Penanaman nilai-nilai nasionalisme juga tidak dapat terlepas dari peran


pendidikan karena, sehingga tidaklah mengherankan apabila nilai-nilai
nasionalisme terus menerus digencarkan untuk ditanamkan pada seluruh elemen
bangsa. Adapun yang dimaksud dengan nilai-nilai nasionalisme yang perlu
ditanamkan kepada generasi muda antara lain yaitu, cinta tanah air, rela
berkorban, menghargai jasa para pahlawan, mengutamakan kepentingan umum
serta bangga pada budaya yang beragam. Penanaman nilai-nilai nasionalisme
diharapkan menjadi bekal masyarakat untuk tetap semangat dalam menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa-bangsanya (Ii & Nilai, 2013).
3

Dasar dari nasionalisme juga telah diatur dalam Islam, karena segala
sesuatu yang berkaitan dengan tatanan kehidupan manusia sudah diatur
sedemikian rupa, Islam telah memberikan intisari dari nasionalisme yaitu rasa
kecintaan warga negara terhadap tanah air. Konsep mengenai nasionalisme
banyak tertulis dalam pedoman utama umat Islam baik itu yang berasal dari ayat-
ayat Al-Qur’an maupun Hadis Nabi Saw. Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber
utama ajaran Islam mungkin tidak menyebutkan dengan jelas dan rinci mengenai
pentingnya nasionalisme, akan tetapi secara implisit para ulama melalui
interpretasinya terhadap beberapa ayat dan hadis mengatakan bahwa nasionalisme
dianjurkan oleh Islam. Sebagai upaya untuk menolak anggapan dari sebagian
ormas Islam yang berpendapat bahwa tidak ada dalil yang menjadi landasan untuk
membahas dan mengaturnya (“Nasionalisme Film King,” 2557).

Awalnya film merupakan sebuah hiburan yang sering ditonton untuk


menghilangkan kebosanan, namun dalam perkembangannya film tidak hanya
dijadikan sebagai media hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai alat
propaganda, terutama menyangkut tujuan sosial atau nasional. Film juga bisa
dijadikan media untuk pendidikan. Maka dari itu selain bisa menghibur, film
hendaknya dijadikan inspirasi dalam kehidupan. Film seringkali dijadikan contoh
atau gambaran dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak jarang masyarakat ikut
terhipnotis untuk mengikuti karakter dalam sebuah film, contohnya adalah film
cahaya dari timur Maluku (Sm, 2017).

Sejumlah pakar komunikasi beranggapan bahwa abad ini merupakan


abadnya komunikasi massa. Komunikasi telah sampai pada suatu tingkatan
dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak, film
merupakan sesuatu yang unik dibandingkan dengan media lainnya, karena
sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap, penerjemahannya langsung melalui
gambar-gambar visual dan suara yang nyata, juga memiliki kesanggupan untuk
menangani berbagai subyek yang tidak terbatas ragamnya.1 Berkat unsur inilah,
film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati
masyarakat, karena dapat mengamati secara seksama apa yang memungkinkan di
tawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada di balik ceritanya. Untuk sebuah
4

karya filmnya kali ini, Angga sutradara “Cahaya dari Timur (Beta Maluku)”
memberikan sebuah judul satu titik simbol yang menandakan semangat
nasionalisme yang tinggi berasal dari maluku yaitu “Cahaya dari Timur (Beta
Maluku)”ini meninggalkan kesan yang meluas dalam menyimpulkan, yang
berkesan positif dari keseluruhan cerita dalam apa yang ingin di sampaikan.
Berawal dari timbulnya rasa bahwa telah terjadi degradasi atau pengikisan jiwa
yang berakibat mulai lunturnya semangat jiwa nasionalisme di antara sesama
bangsa Indonesia, maka dari situlah kisah ini berawal (Fernandes, 2014).

Namun unsur film dalam mengembangkan pesan memiliki kelebihan


karena dalam segi kemampuannya film dapat menjangkau sekian banyak orang
dalam waktu yang cepat dan serentak dan kemampuan film mampu memanipulasi
kenyataan yang tampak dari bayangan kenyataan hidup yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari, itulah selalu ada kecenderungan untuk mencari relevansi
antara film dengan realistis kehidupan (Achmad Wildan Naufal Hais, 2019).

Nasionalisme pada zaman globalisasi terdengar terlalu ganjil atau orang


bilang “nonsens” tanpa makna sama sekali. Ada pula sekelompok generasi muda
yangberanggapan bahwa nasionalisme sudah termasuk fenomena yang sama
sekali tak ada relevansinya dengan permasalahan masa kini. Lebih aneh lagi
ucapan yang menyatakanbahwa nasionalisme mencelakakan saja (Rosen et al.,
2015).

Nasionalisme merupakan salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan


atau national-building. Dalam proses pembinaan kebangsaan semua anggota
masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta berpola tata-laku
secara khas yang mencerminkan budaya maupun ideologi. Masyarakat Indonesia
yang plural dan heterogen akan lebih mengedepankan wawasan kebangsaan yang
unsur-unsurnya adalah rasa kebangsaan, faham kebangsaan, dan semangat
kebangsaan atau nasionalisme (Ahadian et al., 2012).

Nasionalisme membentuk ikatan bersama. Nasionalisme merupakan jiwa


dan semangat serta rasa cinta terhadap bangsa baik dalam dalam kebersamaan
maupun dalam pengorbanan demi kepentingan bersama Sikap nasionalisme dan
5

patriotisme sejalan dengan sikap bela negara warganya. Karenanya nasionalisme


erat kaitannya dengan suatu kesadaran atau keinsyafan warga terhadap suatu
bangsa). Nasionalisme merupakan kecintaan dan keyakikan yang diteguh warga
atas suatu bangsa dan nasionalitasnya Jika dahulu konteks bela negara adalah
mengangkat senjata di medan perang, maka saat ini arti bela negara semakin luas
tergantung sudut pandang. Bela Negara merupakan hak dan kewajiban warga
negara sesuai dengan tuntunan UUD 1945 (Rachman et al., 2022).

Melalui olahraga, semangat nasionalisme dibentuk. Olahraga dijadikan


sebagai lambang keberanian dan kesuksesan sebuah bangsa. Olahragawan yang
meraih kesuksesan di Bidang olahraganya akan berdampak pula pada bangsanya.
Bangsanya akan dipandang sebagai negara yang sukses dalam mendidik
olahragawan di setiap bidangnya sehingga dapat menjadi contoh bagi bangsa
lainnya. Kesuksesan tersebut akan bertahan apabila bangsanya dapat mendidik
olahragawannya berturut- turut meraih juara di bidang olahraganya (Semiotik &
Saussure, 2020).

Beberapa film Indonesia yang bertemakan tentang nasionalisme mulai


masuk dalam industri perfilman Indonesia.Film yang dipilih penulis adalah
Cahaya dari timur beta maluku.Film tersebut menceritakan kisah nyata yang
benar-benar terjadi di Maluku tepatnya di kota Ambon, desa Tulehu. Film yang
berlatar konflik Ambon 1999 ini mengisahkan “Seorang bapak yang bernama Sani
Tawainella, yang bekerja sebagai tukang ojek, dia bukanlah seorang yang terkenal
atau berpengaruh di lingkungan masyarakat tapi hanyalah masyarakat biasa yang
hidup tidak berkecukupan, namun dia bisa menciptakan perdamaian melalui sepak
bola. Sani Tawainella berhasil membawa tim asuhannya menjuarai kompetisi
Nasional U15 yang diselenggarakan oleh PSSI di Jakarta, meskipun sempat
terjadi perpecahan dalam tim karena perbedaan agama dan rasa dendam yang
masih melekat pada separuh pemain namun dengan bijak Ia bisa mengatasinya. Ia
memberikan kata-kata motivasi yang berhasil membangkitkan semangat persatuan
dan melupakan konflik panjang antara mereka Film Cahaya dari Timur: Beta
Maluku di bintangi oleh dibintangi oleh Chicco Jerikho, Shafira Umm, dan
beberapa actor terkenal lainnya, Film ini dirilis pada tanggal 19 Juni 2014.
6

Diangkat dari kisah nyata, Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku sejak awal
mengambil pilihan untuk menghadirkan gambaran kondisi yang sebenarnya
berdasarkan cerita. Pendekatan sosial budaya dan akurasi fakta menjadi elemen
penting dalam pengerjaan film ini (Sebuah et al., 2020).

Film merupakan salah satu bentuk hasil dari kebudayaan yang


kehadirannya saat ini akrab dengan keseharian manusia. Film memberikan ruang
terhadap masyarakat dan berhasil menampilkan gambar-gambar yang semakin
mendekati kenyataan sehingga seolah-olah benar-benar terjadi dihadapannya.
Oleh karena itu film adalah medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk
hiburan, tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh (media
yang komplit).(Lina, 2015)

Film yang mengandung nilai-nilai moral adalah film yang ceritanya


menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, mengandung ajaran tentang tingkah
laku yang baik, itu akan mudah diterima oleh masyarakat penonton karena film
memberi ruang pikir bagi masyarakat untuk menerima atau menolak pesan yang
disampaikan. (Sos et al., 2017)

Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat
tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua (the
Second reality) dari kehidupan manuisa. Kisah-kisah yang ditayangkan bisa lebih
bagus dari kondisi nyata sehari-hari atau sebaliknya bisa lebih buruk. (Studi et al.,
2008).

Semakin banyak munculnya film-film layar lebar ditayangkan di bioskop,


televisi, bahkan berbentuk VCD dan itu sangat digandrungi dan kebanyakan
menceritakan dunia glamour saja serta minim akan nilai-nilai moral. Film hiburan
baru ini cenderung menciptakan mimpi-mimpi dan memanjakan imajinasi
penonton. Kebanyakan film-film sekarang diproduksi hanya untuk bisnis belaka
yang bersumber pada matrealisme yang lebih mengutamakan keuntungan dari
pada pendidikan terhadap masyarakat. Hal ini adalah pembodohan secara tidak
langsung kepada generasi penerus bangsa. (Balaram Naik, P Karunakar,1 M
Jayadev, 2013)
7

Agama justru mengabarkan adanya perdamaian dan cinta kasih baik


kepada sesama umat maupun umat lain yang mempunyai ke- yakinan berbeda.
Adanya konflik berbau anarkisme agama sendiri justru di- pertanyakan agama
karena telah menjadi distorsi dalam ajaran agama ter- sebut. Agama hanya
menjadi identitas artifisial dalam suatu konflik untuk memberikan legitimasi
moral untuk berbuat kekerasan terhadap pihak lain- nya. Selain halnya legitimasi
moral dan indentitas, menyulutnya kekerasan atas nama agama juga disebabkan
oleh kesalahan dalam penafsiran ajaran agama sehingga menimbulkan
pemahaman sempit dan sikap chauvinistik. Maka dalam konteks ini, konflik
anarkisme agama sejatinya tidak ada. Yang ada justru adalah konflik berupa
rivalitas sumber ekonomi dan politik mau- pun persaingan memperebutkan
jabatan publik dalam pemerintahan (A. Semiotika et al., 2019).

Konflik yang melibatkan agama-agama, lembaga, ataupun umat, misalnya


karena ketegangan politik di tingkat elite sangat tinggi, dapat menimbulkan
kerusuhan di masyarakat. Contohnya adalah di Situbondo, Ambon, Poso, dan
umumnya daerah-daerah rawan kerusuhan yang lain. Contoh yang lain adalah
ketika sekelompok masyarakat beragama Islam di kota Gorontalo merasa
tersinggung karena menganggap bahwa orang (pemilik tempat fotokopi dan
pembuatan pasfoto) yang beragama nonmuslim mempermainkan agamanya,
dengan memakai bekas kertas fotokopi yang bertuliskan ayat Alquran sebagai
amplop untuk mengisi pasfoto. Hal tersebut mengakibatkan beberapa gedung
gereja dilempari dan dirusak (“Representasi Nilai Nasionalisme Film 98,” 2018).

Kasus konflik Islam dan Kristen di Ambon sebenarnya tidak lepas dari
rancang bangun skenario tersebut dimana rivalitas dalam perebutan jabatan publik
kemudian tereskalasi menjadi konflik agama. Puncak konflik Maluku sendiri
terjadi dalam kurun waktu 1999-2002 yang dimulai dari peristiwa Maluku
Berdarah pada 19 Januari 1999 yang memakan banyak korban. Konflik sendiri
sudah diselesaikan melalui Perjanjian Malino I dan II pada 2002- 2003 yang
diwakili tokoh-tokoh masyarakat baik Islam maupun Kristen. Namun demikian
yang menjadi kekhasan dalam resolusi penyelesaian konflik anarkisme agama di
Maluku adalah representasi maupun revitalisasi kearifan lokal berupa pela
8

gandong antar negeri (kampung) di Maluku untuk saling mengangkat saudara


menjadi hubungan kakak-adik (Barthes, 2016).

Edukasi bagaimana menjaga persatuan dalam keberagaman sudah


seharusnya menjadi hal penting bagi masyarakat Indonesia. Komunikasi
merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan dengan efektif dan positif.
Komunikasi visual adalah media yang tepat untuk menyampaikan pesan, salah
satunya melalui film (Azlan & Rahmat, 2018; Igartua & Frutos, 2017; Lazar &
Litvak Hirsch, 2018). Komunikasi visual merupakan rancangan pesan dari
komunikator kepada komunikan. Penyampaian pesan bisa berbentuk visual yang
komunikatif, terpola, terpadu, efektif, dan melalui media tertentu sehingga
informasi yang disampaikan memiliki sifat positif dari sasarannya (Nilai Moral
Film 5 Cm, 2021).

Terciptanya sebuah perdamaian berhubungan dengan upaya mengurangi


dan menghindari kekerasan (Galtung, 2003). Kerusakan sarana prasarana dan
korban yang berjatuhan disebabkan oleh kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Selain kerusakan fisik, kekerasan juga mengakibatkan kerusakan psikis terutama
pada anak-anak. (Smp, 2019).

Untuk sebuah karya filmnya kali ini, Angga sutradara “Cahaya dari Timur
(Beta Maluku)” memberikan sebuah judul satu titik simbol yang menandakan
semangat nasionalisme yang tinggi berasal dari maluku yaitu “Cahaya dari Timur
(Beta Maluku)”ini meninggalkan kesan yang meluas dalam menyimpulkan, yang
berkesan positif dari keseluruhan cerita dalam apa yang ingin di sampaikan.
Berawal dari timbulnya rasa bahwa telah terjadi degradasi atau pengikisan jiwa
yang berakibat mulai lunturnya semangat jiwa nasionalisme di antara sesama
bangsa Indonesia, maka dari situlah kisah ini berawal. Berangkat dari latar
belakang di atas, penulis melakukan penelitian lebih ( studi dakwah Islam, 2016).

Mendalam kepada aspek cerita film ini, bertujuan untuk menemukan


semangat nasionalisme yang terdapat dalam film Cahaya Dari Timur: Beta
Maluku. Judul yang diambil dalam penelitian adalah: “Makna nilai Nasionalisme
9

Dalam Film ‘Cahaya Dari Timur (Beta Maluku)’ Karya Angga Dwimas
Sasongko”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya peneiti ingin melihat
bagaimana makna nilai nasionalisme dari film cahaya dari timur (Beta
Maluku)

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat mengetahuai makna
nilai nasionalisme apa saja yg terjandung dalam film cahaya dari
timur (Beta maluku)

1.4. Manfaat penelitian


Adapun kegunaan penelitian yang penulis maksud dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis


A. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan penulis tentang makna
nilai nasionalisme dari film cahaya dari timur beta Maluku
B. Penelitian ini dapat menjadi kesadaran masyarakat bahwa film tidak
hanya sekedar tontonan atau hiburan saja, tetapi dapat berdiri sendiri,
menyampaikan pesan, dan penuh makna

1.4.2. Manfaat Praktis


A. Sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan program strata satu (S1)
guna untuk memperoleh gelar sarjana ilmu komunikasi pada fakultas
ilmu ilmu komunikasi jurusan ilmu komunikasi universitas
Muhammadiyah Riau
B. Jarak yang dapat menjadi pengetahuan dan memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat yang ingin mengetahui apa apa saja makna
nilai Nasionalisme dari film cahaya timur Beta Maluku
10

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan bertujuan untuk mempermudah pemahaman
penelitian, dalam laporan penelitian ini, sistematika penulisan terdiri dari
atas 3 bab masing-masing uraiannya secara garis besar dapat dijelaskan
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Sistematika penulisan
BAB II : Landasan Teori
A. Landasan teori
B. Penelitian terdahulu
C. Kerangka pemikiriran

BAB III : Metode penelitian


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Makna Nilai


Menurut Steeman (dalam Adisusilo, 2013:56) nilai adalah sesuatu
yangmemberi makna dalam hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan tujuan
hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan
menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu
menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat
antara nilai dan etika Nilai Definisi lain mengenai nilai diutarakan oleh Tyler
(1973:7, dalam Djemari, 2008: 106), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas atau
idea yang dinyatakan oleh individu yang mengendalikan pendidikan dalam
mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa sejak
manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas dan ide sehingga objek ini menjadi
pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karena itu, sekolah harus
menolong siswa menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan
bagi siswa dalam memperoleh kebahagiaan personal dan memberi kontribusi
positip terhadap masyarakat (Ii & Nilai, 2013).

Nilai merupakan konsepsi yang dihayati seseorang ataupun kelompok


mengenai apa yang penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang
baik, apa yang lebih benar atau kurang benar dan berfungsi sebagai pemandu
perilaku. Nilai merupakan dasar bagi kita untuk mengevaluasi perilaku kita
sendiri, orang lain atau suatu objek dan peristiwa.(Rachman et al., 2022)

Rokeach (dalam Zakiyah, 2014:177) mengemukakan bahwa nilai


merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan atau perilaku yang
dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sikap
mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau
situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.(Sejarah et al., 2019).

11
12

2.2 Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan yang
tertinggi harus diserahkan pada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam
12

dalam suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan
tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di
sepanjang sejarah dengan kekuatan-kekuatan yang berbeda-beda.(Penanaman
Nasionalisme, 2010).

Fakta disintegrasi yang terjadi pada beberapa negara menjadi pelajaran


yang sangat berharga bagi negara Indonesia untuk mempertahankan eksistensinya
sebagai negara kesatuan. Lepasnya Timor Timur menjadi negara baru Timor Leste
di penghujung tahun 1999 (Hidayat, 1999), serta keputusan menyerahkan pulau
Sipadan dan pulau Ligitan kepada Malaysia akhir tahun 2002 silam menjadi ujian
nasionalisme bagi bangsa Indonesia. Kerawanan disintegrasi dalam lingkup
negara kesatuan Republik Indonesia, dirasakan semakin menguat di berbagai
daerah, antara lain Aceh, Ambon, Papua dan Riau yang menyebabkan munculnya
konflik-konflik sosial dalam masyarakat, terutama benturan antara penduduk asli
pribumi dan penduduk pendatang.(Kusumawardani & Psikologi, 2004).

2.2.1 Sejarah Nasionalisme


Secara historis nasionalisme sebagai fenomena tumbuh dan terbentuk
dalam ruang dan waktu yang tidak sama. Di Barat misalnya, nasionalisme tumbuh
dan berkembang lebih dahulu dibanding dunia timur (terutama negara-negara
Asia) termasuk Indonesia. Nasionalisme dapat dipahami sebagai konsep yang luas
dan kompleks, tetapi secara empiris juga dapat dipahami sebagai
gerakan/partisipasi untuk mewujudkan cita-cita nasional. Jika dipahami dari sudut
gerakan berujung pada terwujudnya kesatuan dan persatuan yang spiritnya dapat
mempengaruhi kehidupan baik di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya serta
hankam.(SEJARAH NASIONALISME DUNIA DAN INDONESIA Oleh: Dr. Drs.
Yosaphat Haris Nusarastriya, M.Si, n.d.)

Dan Nasionalisme adalah sebuah kata yang tidak asing lagi terdengar di
telinga kita, karena pada dasarnya nasionalisme sudah ada sebelum Indonesia
merdeka. Beberapa studi kasus tentang nasionalisme sudah sering terjadi, sebagai
contoh di Skotlandia. Skotlandia adalah negara yang telah berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Inggris selama 300 tahun lamanya telah menguasai
Skotlandia. Kini Skotlandia telah bebas dan merdeka. Kemerdekaan dapat terjadi
13

karena di Skotlandia mengadakan referendum dengan cara pemilihan langsung


(voting), dengan hasil lima puluh satu persen (51 %) rakyat memilih untuk bebas
dan pisah dari Britania Raya. (Alfaqi, n.d.).

Dalam perspektif sejarah kuno tidak diketahui secara pasti mengenai


konsep nasionalisme, tetapi tokoh-tokoh yang bisa disebut sebagai pencetus teori
nasionalisme telah muncul sekitar abad ke XVIII, seperti Von Herder (1774 –
1803), Rousseau (1712 -1778). Mereka ini sering disebut sebagai nabi negara
nasional, dengan teorinya tentang bangsa, serta Fiederich Hegel (1770 -1831)
yang terkenal dengan teorinya tentang negara”(Erwin, 2010).

2.2.2 Fungsi Nasionalisme


Nasionalisme sangat penting terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
karena merupakan wujud kecintaan dan kehormatan terhadap bangsa sendiri.
Dengan hal itu, pemuda dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya,
menjaga keutuhan persatuan bangsa, dan meningkatkan martabat bangsa
dihadapan dunia.Nasionalisme Sebagai manifestasi kecintaan dan kesetiaan
tertinggi kepada tanah air, negara, dan bangsa merupakan modal dasar bagi
pembentukan negara, dan karakter bangsa. Nasionalisme yang menjadi dasar
pembentukan negara dan karakter bangsa adalah nasionalisme yang menghargai
pluralisme, humanisme, dan menjunjung tinggi hak hak asasi manusia. Konsep
nasionalisme seperti itulah yang disebut sebagai nasionalisme(D. P. Islam &
Choliq, 2011).

nasionalisme sering kali diartikan oleh sebagian besar orang sebagai


kecintaan terhadap tanah air tanpa terkecuali, yang merupakan simbol patriotism
heroic semata sebagai bentuk perjuangan yang seolah-olah menghalalkan segala
cara demi negara yang dicintai. Definisi ini menyebabkan makna nasionalisme
menjadi usang dan tidak relevan dengan persoalan-persoalan kekinian yang tidak
lagi bergelut dengan penjajahan dan penegakan kemerdekaan dari tangan jajahan
kolonialis (Rachman et al., 2022).
14

2.3 Pengertian Film


Film adalah gambar-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif
sering disebut sebagai sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik
atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa
di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film
(sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos
(cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita
harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera. (Film,
n.d.).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia tahun 2005 mendefinisikan film dalam


arti fisik. Menurutnya film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk
tempat gambar negatif atau untuk tempat gambar positif. Menurutnya pula film
adalah lakon gambar hidup. Tentang selaput tipis yang dimaksud, menjelaskan
selaput tipis tersebut terdiri dari beberapa lapisan. Pada dasarnya film merupakan
alat audio visual yang menarik perhatian orang banyak, karena dalam film dapat
memuat adegan yang terasa hidup juga adanya sejumlah kombinasi antara suara,
tata warna, costum dan panorama yang indah. Film memiliki daya pikat yang
dapat memuaskan penonton. (2015, 2009).

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, film adalah


hasil kaya seni budaya yang dibuat untuk menyampaikan informasi, media massa,
media komunikasi, media hiburan, pendidikan dan pemasaran suatu produk
kepada halayak umum melalui sebuah cerita menggunakan sebuah media.(A.
Semiotika et al., 2019).

2.3.1 Sejarah Perkembangan film


Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga
hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi.
Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph
Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat
gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.(Film, n.d.).
15

Periode sebelum film

Teknologi film sebagian besar muncul dari perkembangan dan pencapaian


di bidang proyeksi, lensa, fotografi, dan optik.

Teknik awal yang melibatkan gambar bergerak atau proyeksi meliputi:


Shadowgraphy (dalam praktik sejak zaman prasejarah)

 Kamera obscura (fenomena alam yang mungkin telah digunakan sebagai alat
bantu seni sejak zaman prasejarah)
 Wayang kulit (mungkin berasal sekitar 200 SM di Asia Tengah, India,
Indonesia atau Cina)
 Lampu sorot (dikembangkan pada 1650-an, didahului oleh beberapa proyektor
insidental)
 Perangkat animasi stroboskopik (fenakistoskop sejak 1833, zoetrope sejak
1866, flip book sejak 1868)

Periode 1878-1990

Terobosan besar datang dari Eadweard Muybridge pada 1878, yang


mendemonstrasikan kekuatan fotografi untuk menangkap gerakan lewat 16 foto
kuda yang sedang berlari.

16 rangkaian foto kuda yang terlihat hidup tersebut menjadi gambar


bergerak pertama di dunia, di mana saat itu belum tercipta kamera yang dapat
merekam gerakan dinamis.

Setelah memperkenalkan fonografnya pada 1877, Thomas Alva Edison


tertarik untuk menggabungkannya dengan temuan Muybridge.

Ide Edison tersebut berhasil melahirkan sebuah alat yang dinamai


kinetoskop, alat menyerupai proyektor yang dapat menampilkan gambar bergerak
atau film. Ketika inovasi kamera semakin berkembang, Louis dan Auguste
Lumiere mencoba mengambil gambar dengan cara bergerak pada 1895.

Hasilnya adalah film pendek berdurasi 46 detik berjudul Workers Leaving


the Lumiere Factory. Karya Lumiere Brothers tersebut diakui sebagai film
16

komersial pertama di dunia yang kemudian membuat banyak orang mengetahui


adanya film. Beberapa tahun setelahnya, film-film pendek dengan durasi sekitar
50 detik pun bermunculan. Namun, film yang ditampilkan saat itu masih hitam-
putih, tidak memiliki efek audio, dan belum memiliki alur.

Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat


penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun 1887 terinspirasi
untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison
tidak sendirian. Ia dibantu oleh George Eastman, yang kemudian pada tahun 1884
menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun
1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang
dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari. Alat yang dirancang dan
dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang
berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan.
(2015, 2009)

Lumiere Bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang


mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu.
Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan
“sinematograf” (cinematographe).Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan
pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan
yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film
diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa
awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk
merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk
ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.(Rosen
et al., 2015)

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan


membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis
pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan
bioskop di dunia.Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini
sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi,
17

namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang
menandai lahirnya film pertama di dunia.(A. Semiotika et al., n.d.)

Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar


bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi
pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau
dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an,
setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927
dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober
1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film
berwarna di tahun 1930-an. Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak
pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam
putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem
penglihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang
membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata. Pada perkembangan
selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di
televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat
dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata
rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film
juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway.(Studi et al., 2022)

2.3.2 Sejarah Perkembangan Film di Indonesia

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar


berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28
Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di
dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara
film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat
“citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895,
bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa
peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.

Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan


Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New
18

York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul
lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere
bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop
ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang
(1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905)

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang


digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat
cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita,
berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis
dan terlihat lebih nyata.

Film kita tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga
dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan
kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan
home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat
jaringan superhighway ini.

Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah


persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan
layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk
menghasilkan kualitas yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang
dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang
berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang
menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi
ilmiah, action dan sebagainya. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang
diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan
ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.

Hal lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana


konglomerat besar industri film dunia mempunyai kontrol terhadap
pendistribusian film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi
sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru tidak
bisa masuk
19

Hampir sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas
kekayaan intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film
produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja
tidak bisa diremehkan begitu saja.

Industri Film Indonesia


Bagaimana dengan industri film Indonesia? Topik lama ini sudah dua
dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film
Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam.
Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor.
Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan
dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun
semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen
yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam
industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza,
Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan
semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi
harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari
dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus
tahun dikenal di Indonesia.
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di
Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film
pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang
menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan
pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal.
Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk
merangsang minat penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang
diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa
Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan
bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.
20

Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang
masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan
dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini
diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih
yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi,
kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film
Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang)
yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun
1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers
Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu
(1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah
bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada
tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik
mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April
1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan
Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai
film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia
dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar
Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai
para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an
menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula
penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan
musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang
film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama
adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan
Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah
penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam
hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya
21

(meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih
sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.

Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas


penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope
kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-
film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-
bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan
cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa
mempertimbangkan mutu film tersebut.

Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya
film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak
swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja,
tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film
nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang
menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.

Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam


Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan
berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film
nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan
maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris
panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser
Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film
impor.

Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif


juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film
independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai
diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir
namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik.
Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran
22

yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang
festival saja.

Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan
booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa
dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa
film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti
Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih,
Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski
tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang
mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.

Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film


menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King,
Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai
masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma,
kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.
(Film, n.d.).
2.3.3 Jenis-Jenis Film
A. Film Cerita (Fiksi)

Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita
yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Kebanyakan atau pada
umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa
film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk
menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih
dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung
dengan sponsor iklan tertentu pula.(Film, n.d.).

B.Film Non Cerita (Non Fiksi)

Film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.


Film non cerita ini terbagi atas dua kategori, yaitu :
23

Film Faktual : menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana


kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai
film berita (news-reel), yangmenekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian
aktual

Film dokumenter : selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat


yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi
tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter
tersebut.(Defenisi Film, 2013).

2.3.4 Genre Film


A. Drama

Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan
mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga
penonton merasa seakan-akan berada di dalam film tersebut. Tidak jarang
penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan ikut marah.
(Komunikasi, 2017)

B.Action

Tema action mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran


dengan senjata, atau kebutkebutan kendaraan antara tokoh yang baik (protagonis)
dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga penonton ikut merasakan
ketegangan, was-was, takut, bahkan bisa ikut bangga terhadap kemenangan si
tokoh.(BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film, 1992)

C. Komedi

Tema film komedi intinya adalah mengetengahkan tontonan yang


membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Film komedi
berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak harus dimainkan oleh
pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa memerankan tokoh yang lucu.(Ii, 1990)

D.Tragedi
24

Film yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan kondisi atau


nasib yang dialami oleh tokoh utama pada film tersebut. Nasib yang dialami
biasanya membuat penonton merasa kasihan / prihatin / iba.(Film, n.d.)

E.Horor

Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang


menyeramkan sehingga membuat penontonnya merinding karena perasaan
takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan dunia gaib / magis,
yang dibuat dengan special affect, animasi, atau langsung dari tokoh-tokoh dalam
film tersebut.(Defenisi Film, 2013)

2.3.5 Struktur Film


A. Shot

Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action


in a film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya
direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan mulai
menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.

B. Scene

Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan ceritayang


memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi
(cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa
shot yang saling berhubungan.

C. Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa


yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling
berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah bab atau
sekumpulan bab

2.4 Film cahaya dari timur


Konflik yang melibatkan agama-agama, lembaga, ataupun umat, misalnya
karena ketegangan politik di tingkat elite sangat tinggi, dapat menimbulkan
25

kerusuhan di masyarakat. Contohnya adalah di Situbondo, Ambon, Poso, dan


umumnya daerah-daerah rawan kerusuhan yang lain. Contoh yang lain adalah
ketika sekelompok masyarakat beragama Islam di kota Gorontalo merasa
tersinggung karena menganggap bahwa orang (pemilik tempat fotokopi dan
pembuatan pasfoto) yang beragama nonmuslim mempermainkan agamanya,
dengan memakai bekas kertas fotokopi yang bertuliskan ayat Alquran sebagai
amplop untuk mengisi pasfoto. Hal tersebut mengakibatkan beberapa gedung
gereja dilempari dan dirusak.(P. Semiotika et al., 2020)

Saat ini masyarakat tidak mendapat pendidikan yang terbuka mengenai


konflik. Hal yang seringkali muncul justru adalah didikan supaya menjauhi atau
menghindar dari konflik. Padahal, untuk menghentikan sebuah konflik tentu ada
solusi yang bisa ditempuh, yaitu melalui perdamaian. Perdamaian ideal yang
diidamkan oleh masyarakat tentunya adalah perdamaian yang tidak berdampak
negatif setelah terjadinya konflik (Harber, 2019; Jaghoory, Björkqvist, &
Österman, 2018; Kleeberg & Foitzik, 2016).

Perdamaian dalam konteks kehidupan pluralisme agama adalah ketika


umat beragama yang satu menghormati dan menghargai umat beragama yang lain
(Hersh, 2017; McKinnon, 2018). Rasa hormat dan dan menghargai ini bukan
karena kepentingan tertentu, tetapi dengan tulus, jujur, dan kondusif. Perdamaian
dalam sebuah tatanan masyarakat yang berbeda agama tentunya sangat diharapkan
oleh masyarakat mengingat Indonesia adalah negara yang mempunyai agama dan
keyakinan yang beragam (Akah, 2016; Akram, 2017; Griffin, 2018).

Edukasi bagaimana menjaga persatuan dalam keberagaman sudah


seharusnya menjadi hal penting bagi masyarakat Indonesia. Komunikasi
merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan dengan efektif dan positif.
Komunikasi visual adalah media yang tepat untuk menyampaikan pesan, salah
satunya melalui film (Azlan & Rahmat, 2018; Igartua & Frutos, 2017; Lazar &
Litvak Hirsch, 2018). Komunikasi visual merupakan rancangan pesan dari
komunikator kepada komunikan. Penyampaian pesan bisa berbentuk visual yang
komunikatif, terpola, terpadu, efektif, dan melalui media tertentu sehingga
26

informasi yang disampaikan memiliki sifat positif dari sasarannya (Surahman,


2018:43)

Dari sekian banyak film Indonesia yang mengangkat isu perdamaian di


tengah pluralitas, muncul satu film yang cukup mengesankan. Film “Cahaya Dari
Timur: Beta Maluku“ yang menceritakan sepak bola ini diperankan oleh tokoh
utama yang merupakan seorang aktor terkenal, Chico Jericho, yang berperan
sebagai Sani Tawainella yang ingin menyelamatkan anak-anak di kampungnya
dari konflik agama yang terjadi di Ambon melalui kegiatan olahraga sepak bola.
Di tengah kesulitan hidup serta pilihan antara keluarga dan tim sepak bolanya,
Sani ditugaskan membawa timnya mewakili Maluku di kejuaraan nasional.
Namun, keputusannya membaurkan anak-anak yang berbeda agama dalam satu
tim justru menyebabkan perpecahan. Akan tetapi, berkat kerja keras dan usaha
yang tidak pernah berhenti akhirnya Sani Tawainella membawa tim Maluku
menjadi juara 1 dalam kompetisi nasional dan berhasil memadukan anak-anak
yang berbeda agama dalam satu tim. Tidak hanya itu, bahkan banyak suporter
yang duduk berdampingan untuk menyaksikan pertandingan sepak bola tim
Maluku walaupun mereka berbeda agama.(P. Semiotika et al., 2020)

2.4.1 Profil Film


Film “Cahaya dari Timur: Beta Maluku” merupakan film karya Angga
Dwimas Sasongko yang mengangkat kisah nyata kehidupan Sani Tawainela,
seorang tukang ojek mantan pemain sepak bola U-15 di Piala Pelajar Asia tahun
1996 yang gagal menjadi pemain profesional, ia hidup ditengah konflik agama di
tahun 2000. Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara dan penulis skenario
dibantu oleh Swastika Nohara dan M. Irfan Ramly akhirnya dapat
mengembangkannya menjadi sebuah film yang di dalamnya mengandung pesan
toleransi dan persatuan, dikemas melalui cerita sepak bola, “Cahaya dari Timur:
Beta Maluku” mampu menggambarkan kisah persatuan dari konflik agama antara
Islam dan Kristen. Mengingat kisah sepak bola lebih tepat untuk menyatukan
bangsa sehingga diproduksi menjadi sebuah film yang berjudul “Cahaya dari
Timur: Beta Maluku”.
27

“Cahaya dari Timur: Beta Maluku” adalah film yang disutradarai oleh
Angga Dwimas Sasongko dan skenario filmnya digarap oleh Swastika Nohara, M.
Irfan Ramly, dan Angga Dwimas Sasongko. Film ini diproduseri oleh Glenn
Fredly dan Angga Dwimas Sasongko di bawah naungan Visinema Pictures.
Pemain film ini antara lain: Chicco Jericho, Shafira Umm, Jajang C. Noer, dan
Glenn Fredly dan para pemain asli orang Maluku yang di pilih melalui casting.
Film ini berdurasi 150 menit (Wikipedia, 2014). Pada FFI (Festival Film
Indonesia) tahun 2014, film ini meraih penghargaan Piala Citra sebagai film
terbaik dan pemeran utama pria terbaik (Kusmiyati, 2015) dan menyabet tujuh
penghargaan sekaligus di Piala Maya tahun 2014 (Ezra, 2014). Ini membuktikan
secara kualitas bahwa film “Cahaya dari Timur: Beta Maluku” mempunyai
pengaruh yang tinggi terhadap penonton.

Pada pembuatan film “Cahaya dari Timur: Beta Maluku” melibatkan


beberapa tim kreatif produksi film diantaranya:

Produser :

1. Glenn Fredly

2. Angga Dwimas Sasongko

Sutradara : Angga Dwimas Sasongko

Penulis Naskah :

1. Swastika Nohara

2. M. Irfan Ramly

3. Angga Dwimas Sasongko

Pimpinan Produksi : Dipo Alam

Produser Pandamping :

1. M. Irfan Ramly

2. Ikhsan Tualeka
28

3. Nurita Anandi

Musik Oleh : Nikita Dompas

Sinematografi Oleh : Roby Taswin

Editing Oleh : Yoga Krispratama

Sound Departemen :

1. Sound re-recording : Satrio Budiono

2. Sound recordist : Djoko Setiadi

Spesial Effek Oleh : Naufal Al Rasyid (visual effects artist 2014)

Visual Effek Oleh :

1. Antan Juliansyah

2. Raiyan Laksamana

3. Naufal Al Rasyid

4. Busi Sotyawan

Penanggung jawab Unit Maluku: Sufyan Lestaluhu

Asisten Sutradara I : Albet Fahmi

Asisten Sutradara II : Denny Pradana

Asisten Sutradara III : Yudhistira Purwanto

PH/ Perusahaan : Visinema Pictures

2.5 Maluku
Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan
Maluku, Indonesia. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Seram di Utara, Samudra
Hindia dan Laut Arafura di Selatan, Papua di Timur, dan Sulawesi di Barat Ibu
kota dan kota terbesarnya ialah kota Ambon. Provinsi Maluku berada di urutan
29

ke-28 provinsi menurut jumlah penduduk di Indonesia, di mana pada tahun 2020,
populasi provinsi Maluku berjumlah 1.848.923 jiwa.

2.5.1 Konflik Maluku


Maluku merupakan wilayah kerajaan yang dikenal dengan penghasil
rempah-rempah terbesar di dunia seperti cengke dan pala. Sebagai daerah
penghasil rempah terbesar, banyak pedagang- pedagang Eropa, Arab dan lainnya
mulai berdatangan. Kehadiran pedagang-pedagang tersebut mulai mempengaruhi
kehidupan pribumi seperti Ternate,Makian, Bacan, Moti, Tidore dan Jailolo baik
dalam aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Kedatangan orang-orang eropa,
awalnya di sambut dengan baik oleh pribumi. Namun praktek monopoli
perdagangan telah menimbulkan perlawanan seperti perlawanan Sulatan Babullah,
Sultan Nuku, dan Pattimura. Di Indonesia, konflik dan kekerasan sudah pernah
terjadi sejak zaman kolonial, revolusi, Orde Lama dan Orde Baru. Konflik dan
kekerasan juga pernah terjadi di Aceh, Sulawesi, Papua dan Maluku hingga
Maluku Utara. Kekerasan sebenarnya berakar dari dalam tradisi politik kerajaan-
kerajaan dan juga di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Masalahnya adalah
didalam cara bagaimana kekerasan itu di praktekkan dan untuk tujuan apa.
Kekerasan yang terjadi di Maluku Utara adalah bagian dari pertarungan elit politik
lokal dalam merebut kekuasaan (Erman, 2002:vi).

Pada Rezim Orde baru, Maluku merupakan salah satu wilayah yang
kurang diperhatikan sehingga terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi. Setelah
Orde Baru, Baharudin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarno Putri, Maluku dan Maluku Utara menjadi fokus pemerintah Indonesia
diantaranya masalah kepentingan elit lokal, konfli etnis dan agama. Konflik yang
dimulai sejak 1999 mengejutkan banyak pihak baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional. Konflik pecah mulai dari antar etnis kemudian berkembang
menjadi konflik agama Islam dan Kristen. Awalnya kepulauan ini merupakan
daerah aman yang dikat dengan sistem adat budaya seperti Pela Gandong di
Ambon dan adat se atorang di Maluku Utara— Maluku Kie Raha yang merupakan
empat negara tradisional antara lain Bacan, Jailolo, Tidore dan Ternate, tidak lagi
berfungsi sebagai kekuatan di masa itu.
30

Ambiguitas peran Islam dalam bangsa Indonesia dan hubungan


patrimonial yang mendukung Orde Baru telah mempertegas perpecahan di antara
orang-orang Kristen dan Islam. Kebijakan- kebijakan rezim dan penggunaan
manipulatif agama untuk dukungan politik memiliki konsekuensi negatif,
khusunya karena kebijakan kolonial Belanda telah menciptakan perpecahan di
antara komunitas-komunitas agama (Bertrand, 2012: 185-186). Kasus Ambon dan
Maluku Utara adalah kasus pengungsi akibat ulah manusia. Pada mulanya dalam
bentuk konflik sederhana yang menimbulkan kerusuhan terbatas, kemudian
berlanjut menjadi kerusuhan sporadis dengan melibatkan kelompok etnis tertentu
dan akhirnya menjadi pertikaian antar agama Islam dan Kristen (Abdulrahman,
2002: 97). Atas dasar uraian tersebut di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk
menjelaskan konflik Ambon, pergolakan politik di Maluku Utara hingga konflik
etnis dan agama 1999-2000.

Meletusnya Konflik di Ambon, Maluku

Dalam panggung sejarah, Maluku selalu diwarnai dengan konflik yang


bernuansa SARA. Migrasi orang Buton, Bugis Makassar (BBM) yang semakin
meningkat di Ambon dan wilayah Maluku lainnya menimbulkan persaingan
dagang dengan penduduk pribumi. Persaingan dagang antara pendatang dan orang
Ambon bermuara pada kesenjangan sosial dan ekonomi. Pada tanggal 19 Januari
1999 bertepatan dengan umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri 1419 Hijriah,
“hari kemenangan”. Bagi umat Islam, “hari kemenangan” adalah manusia kembali
suci setelah melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan. Tradisi perayaan hari
raya Idul fitri adalah umat Islam biasanya merayakan hari tersebut dengan saling
maaf dan memaafkan antara satu dengan yang lainnya. Namun kenyataannya
situasi berubah menjadi tragedi berdarah.

Insiden awal dari pertikaian yang terjadi bukan tidak pernah terjadi
sebelumnya. Orang-orang Ambon setempat ingat soal meletusnya kekerasan yang
kerap terjadi antara penduduk Kristen Mardika dan Batu Merah yang sebagian
besar Muslim (Bertrand, 2012: 201). Pertikaian yang terjadi antara sopir angkot
31

yang beragama Kristen dengan seorang pemuda keturuanan Bugis yang beragama
Islam di Batu Merah berkembang menjadi konflik Agama (Islam dan Kristen.
Informasi mengenai konflik tersebut berbeda-beda. Menurut The Human Rigt
Watch Report, March 1999 (Trijono, 2001: 39-40) bahwa terdapat dua versi
penyebab konflik Maluku 1999, antara lain, pertama versi Tim Pengacara Gereja
yang dianut oleh kebanyakan warga komunitas Kristen dan kedua versi Tim
Pencari Fakta Muslim Ambon.

Menurut versi pertama, Tim Pengacara Gereja yang dianut oleh


kebanyakan warga komunitas Kristen bahwa: “Seorang sopir angkutan kota
beragama Kristen, Jacob Lauhery atau dikenal sehari-hari dengan nama Yopi,
menjadi korban penodongan dan penganiyaan dua pemuda Muslim keturunan
Bugis, salah satunya bernama Nursalim. Menurut versi ini, Yopi yang ketika
dengan kendaraan angkotnya baru saja tiba di terminal Batu Merah didekati Salim
dengan meminta uang Rp. 500. Yopi menolak permintaan itu sambil mengatakan
tidak punya uang karena baru saja menarik angkotnya. Kemudian Yopi
menjalankan mobilnya ke terminal Mardika mencari penumpang. Setengah jam
kemudian, Yopi kembali ke terminal Batu Merah masih dengan tanpa penumpang.
Salim kembali mendekati Yopi meminta uang dan lagi Yopi menolaknya karena
tidak membawa uang. untuk menghentikanperbuatannya.Sebagai reaksi
balik,Salim mengancam mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan
mengarahkannya keleher Yopi. Yopi melawan dan mendorong pemuda tersebut
sambil menutup mobil dan lari ke kampung Mardika. Hal tersebut berlangsung
dua kali, ketika Yopi kembali ke terminal Batu Merah, Salim masih disana
kembali menodongkan pisaunya. Yopi kemudian lari pulang kerumahnya
mengambil pisau badik diikuti oleh teman- temannya dari kampung Mardika
untuk mencari Salim. Namun Salim sudah tidak ada disana. Yopi dan teman-
temannya akhirnya kembali pulang. Namun 15 menit kemudian, ratusan pemuda
Muslim dari Batu Merah datang ke rumah Yopi, namun tidak menemukan Yopi
dan kemudian menyerang warga kampung Mardika di sekitarnya”.

Sedangkan versi kedua adalah versi Tim Pencari Fakta Muslim Ambon,
mengatakan bahwa konflik 1999 diawali: “Seorang Pemuda Muslim dari Batu
32

Merah sebagai korban penganiayaan yang dilakukan Yopi. Pemuda Muslim


tersebut bekerja sebagai kenek angkutan kota yang dikemudiakan oleh sopir yang
bernama Yopi. Menuru versi ini, Yopi sebenarnya adalah sopir kendaraan
angkutan kota milik warga keturunan Bugis di Batu Merah. Sebelum kejadian itu,
Yopi telah menggunakan mobil itu untuk keperluan pribadi dengan menyewakan
kepada orang lain. Kemudian, atas nama pemiliknya si kenek pemuda Muslim itu
menanyakan kepada Yopi uang sewa mobil itu. Yopi menolak permintaan itu dan
mengancam kenek untuk tidak mengungkit- ungkitnya. pertengkaran mulut terjadi
antara kedua pemuda itu. Beberapa penumpang Kristen di dalam mobil membela
Yopi dengan memaki-maki si kenek pemuda Muslim. Kemudian si kenek itu lari
ke Batu Merah meminta bantuan pada temannya karena di ancam Yopi. Akhirnya,
kedua kelompok pemuda itu bentrok dan menimbulkan pertikaian massa di antara
mereka”.

Kerusuhan di Maluku merupakan konspirasi RMS untuk mewujudkan


sebuah negara Kristen yang berdaulat sebagai pengejawantahan dari gerakan
Oikumene yang dibangun kolonial Belanda pada permulaan abad XX.
Perwujudan Negara Kristen di Maluku merupakan tindak lanjut dari pernyataan
Gereja Kristen dalam sebuah Sinode pada tanggal 6 September 1936 (Gereja
Protestan Maluku). Terjadinya Idul Fitri berdarah tanggal 19 Januari 1999 bagi
umat Kristen dan pemerintah RMS serta tokoh Gereja menjadi sebuah catatan
khusus untuk menyusun kekuatan sehingga memasuki milenium baru dapat
menjadi realisasi cita- cita Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Frederik William
Inderburg, melalui Kristening politik untuk membangun negara Kristen Maluku
yang merdeka berdasarkan ajaran Kristen (Husni Putuhena dalam Waileruny,
2010:152). Konflik agama Islam dan Kristen yang terjadi adalah peristiwa “gelap
berdarah” dalam sejarah Maluku. Kekejian setingkat itu belum pernah terjadi
sebelumnya di Ambon, bahkan selama masa penindasan oleh pasukan Indonesia
terhadap pemberontak daerah yang dikenal dengan nama RMS (Republik Maluku
Selatan) hampir setengah abad yang lalu. Tetapi pengamatan pengamatan yang
lebih seksama mengungkapkan bahwa gugutan yang diwarnai kekerasan tidak
muncul begitu saja tanpa alasan sama sekali. Unsur kontekstual terpenting di
Ambon adalah tingkat penetrasi oleh negara ke dalam masyarakat yang sangat
33

tinggi bahkan menurut standar Indonesia. Pemerintahan modern membentang


memasuki bagian timur Nusantara dengan intensitas yang semakin meningkat
sepanjang abad ke-20. Ambon adalah basis bagi penjajahan birokratis seperti ini.
Tumbuhnya pemerintahan membentuk sejarah kota itu (Chauvel dalam Klinken,
2007:150-151). Pada tanggal 24 Juli 1999 konflik bermula di negeri Poka dalam
bilangan Kotamadya Ambon yang segera menjalar kedalam kota Ambon.

Pada hari pertama itu seluruh pusat ekonomi (kebanyakan Cina) di Jalan
A.J. Patty dibakar habis sehingga para pengusaha Cina eksodus dari Ambon.
Wilayah Kristen dan wilayah Islam. Kota Ambon terbagi dua: wilayah Kristen
dan wilayah Islam. Konflik juga melanda pulau Seram. Pada tanggal 18 dan19
Agustus sejumlah negeri Islam menyerang negeri Piru yang sebagian besar
berpenghuni Kristen. Konflik itu berulang kembali tanggal 2 Desember.
Menyusul konflik di Kairatu (Seram Barat) pada tanggal 19 September (Leirissa,
2001: 37- 38). Konflik masih berlangsung sampai pada tanggal 26 Desember
1999.

Konflik tersebut berawal ketika gereja Silo di kota Ambon dibakar


masyarakat tanpa ada pencegahan yang berarti dari aparat keamanan (Leirissa,
2001: 38). Bantuan militer kepada pihak Muslim. Bagaimana pun tidak signifikan
dalam mengalihkan keseimbangan strategi kepada umat Muslim. Peristiwa
perusakan gereja Silo hanya sejauh 300 meter dari masjid Al Fatah, dan para
tentara tampak menunjukan keberpihakan mereka. Perusakan gereja Silo itu
merupakan pukulan yang simbolis bagi umat Kristen. Namun orang-orang
Muslim tetap terperangkap di daerah kumuh yang sempit didekat pelabuhan kota.
Atas kerusakan gereja Silo itu orang-orang Kristen membalas dengan cara
membakar masjid terdekat yaitu masjid An-Nur. Baru setelah Laskar Jihad dari
Jawa tiba pada Mei 2000, keseimbangan strategi Muslim mendekati sejajar
dengan pihak Kristen. Orang-orang Kristen memaparkan kedatangan Laskar Jihad
sebagai eskalasi perang yang serius, namun orang-orang Muslim sering
menyambut mereka karena mereka menjanjikan keamanan.(Maluku, 2017).
34

2.6 Film Sebagai Media Komunikasi Massa


Film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shot, scene dan
sequence. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling
baik bagi pandangan mata penonton dan bagi setting serta action pada satu saat
tertentu dalam perjalanan cerita, itulah sebabnya seringkali film disebut gabungan
dari gambargambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan utuh yang bercerita
kepada penontonnya.(Penelitian, 2014)

2.7 Teori Semiotika


1. Pengertian Semiotika Secara Umum Semiotika

Semiotika merupakan suatu kajian ilmu tentang mengkaji tanda. Dalam


kajian semiotika menganggap bahwa fenomena sosial pada masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistem- sistem,
aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkikan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Kajian semiotika berada pada dua paradigma yakni paradigma
konstruktif dan paradigma kritis. Secara etimologis semiotik berasal dari kata
Yunani simeon yang berarti “tanda”. Secara terminologis, semiotik dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (dalam Sobur,
2001, hlm. 96) mengartika semiotik sebagai “ ilmu tanda (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Pateda (2001, hlm. 29) mengungkapkan sekurang-kurangnya terdapat sembilan
macam semiotik yaitu :

a) Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda.


Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan penganalisisnya menjadi
ide, objek, dan makna. Ide dapat dikaitkan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

b) Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda


yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan
35

bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja
seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan
bahwa laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhannya.

c) Semiotik faunal (Zoo Semiotik), yakni semiotik yang khusus


memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya
menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering
menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam
betina yang berkotek – kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu
yang ia takuti. Tanda – tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi
perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

d) Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda


yang berlaku dalma kebudayaan tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat
sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun temurun
dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyakarat yang juga
merupakan sistem itu, menggunakan tanda – tanda tertentu yang membedakannya
dengan masyarakat yang lain.

e) Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam


narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folklore). Telah diketahui bahwa
mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi.

f) Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda


yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun
hujan, dan daun pohon – pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak
bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya
memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

g) Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda


yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma – norma, misalnya rambu –
rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna
dilarang merokok.
36

h) Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda


yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud
kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku
Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain,
semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

i) Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda


yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.(Ii et al., 2016)

2.8 Penelitian Terdahulu

NO Nama Judul Metode Hasil


Pengarang Penelitian

1. Hansen Hogi Penelitian Kualitatif Tujuan dari


Wijaya (2016) Representasi penelitian ini
UKSW Citra Institusi adalah untuk
Kepolisian gambaran sosok
Republik polisi dari film
Indonesia pada ‘Enigma’ menjadi
Film ‘Enigma’ keuntungan
Serial sendiri sehingga
‘Kematian membungkam
Alana. pandangan
masyarakat saat
ini. Seiring
dengan realita
bahwa citra polisi
memburuk karena
berbagai kasus
yang
bersangkutan
dengan polisi
37

tersebut. Dengan
demikian citra
yang dibangun
media
menimbulkan
kesan positif

2. Crisnata Joko penelitian Kualitatif Penelitian ini


Saputro (2013) Representasi bertujuan
Korupsi Dalam untukKorupsi
Film ‘Film Kita dapat terjadi
Vs Korupsi. dimanapun tetapi
di lain hal ada
setting keluarga
yang tidak
membiarkan
keluarganya
terjerat dengan
keputusan korupsi
sehingga dari film
tersebut sisi baik
dari tidak
melakukan
korupsi sangat
muli.

3. Angelia Novita Penelitian Kualitatif Penelitian ini


Karwur (2013) Representasi bertujuan melihat
Feminisme tanda-tanda
Multikultural representasi
dalam Film feminisme
‘Red Cobex multikultural,
dimana ternyata
38

masih ada orang


membeda-
bedakan dari
tampilan fisik,
baik ras, entis dan
Budaya

4. Linda Representasi Kualitatif Penelitian ini


Indrawati Kekerasan bertujuan untuk ’
Sidabutar Terhadap Anak memperlihatkan
(2016) dalam Film bahwa
‘Elif’. representasi
kekerasan yang
dialami oleh
karakter Elif yaitu
kekerasan fisik,
kekerasan psikis
dan kekerasan
sosial. Film ‘Elif’
sendiri
memperlihatkan
bagaiman
kekerasan tidak
hanya dilakukan
oleh orang
dewasa tetapi
oleh teman-teman
sebaya yang
digambarkan
dalam film
tersebut.

5. Agnes Eferdina Konfestasi Kualitatif Penelian ini


39

Mamoribo “Citra Islam” bertujuan untuk


(2013) dalam Film ‘?’ dalam kehidupan
beragama,
toleransi agama
diwujudkan
dengan saling
memahami,
memberikan
ruang kepada
agama lain dan
tidak
menonjolkan
agama tertentu.
Film Tanda
Tanya ‘?’ sebagai
media massa yang
memiliki fungsi
untuk mendidik,
dan realitanya
justru tidak
menjadikan
wadah toleransi
secara hakiki, dan
sejatinya toleransi
tetap sulit
diwujudkan
dalam kehidupan
masyarakat
multikultural,
yang
direpresentasikan
dalam Film Tanda
40

tanya ‘?’.

Persamaan Dan Perbedaan

Persamaan : Sama-sama menggunakan metode Kualitatif

Perbedaan : Menggunakan teori yang berbeda

2.9 Kerangka Pemikiran


Kerangka Pemikiran adalah model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting. Kerangka pemikiran yang baik akan menjelaskan secara teoritis
pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi secara teoritis perlu dijelaskan
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.

Penelitian terhadap film dapat dilakukan dengan memilih salah satu model
analisis semiotika tertentu. Bagaimana analisis semiotika diterapkan pada sebuah
film, penelitian yang mengkaji makna nilai nasionalisme dari cahaya dari timur
dapat dijadikan contoh dalam kajian ini.

FILM

NILAI NASIONALISME

Pesan Nasionalisme

Nilai sejarah

Nilai Budaya

Nilai Semangat Juang


41

Analisis Semiotik

Semiologi Roland Barhes

Denotasi Konotasi
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Istilah penelitian Kualitatif menurut Kirk & Miller (dalam nasution,
1998:23) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang
dipertentangkan dengan pengamatan Kualitatif. Lalu mereka mendefinisikan
bahwa metodologi kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kaasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya. Penelitian Kualitatif memiliki ciri atau
karakteristik yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya.(Rahmat, 2009).

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan


penemuan- penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-
prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Straus dan Corbin (2008)
merinci bahwa penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial, atau
hubungan kekerabatan.

Creswell (1998) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu


proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci
dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan
dan Taylor (Moleong, 2007) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian
kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti
harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya,
menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas.
Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.(Luthfiyah, 2020).

41
42

Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan untuk mengeksplorasi dan


memahami makna individu atau kelompok yang terkait dengan masalah sosial
(Creswell, 2013) yang dapat digunakan untuk menginterpretasi, mengeksplorasi,
atau memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang aspek tertentu dari
keyakinan, sikap, atau perilaku manusia (George et al., 2012). Penelitian ini
fokus pada persepsi dan pengalaman peserta, juga cara mereka memahami
kehidupan. Sedangkan analisis data dibangun secara induktif dari tema khusus ke
tema umum, lalu peneliti membuat interpretasi tentang makna data. Peneliti lebih
memperhatikan pendapat secara individu dan dituntut untuk mampu
menerjemahkan kompleksitas situasi.(Mayssara A. Abo Hassanin Supervised,
2014).

3.2 Jenis Penelitian


Analisis semiotik merupakan teknik analisis data kualitatif yang bertujuan
untuk menemukan atau menganalisis simbol atau tanda dalam teks dengan
sistematis. Semiotik dikenal dengan istilah tanda, yaitu sesuatu yang
menggambarkan sesuatu yang lain.

Terdapat dua macam tanda yaitu berupa ekspresi seperti kata, suara,
simbol, dsb dan macam lainnya yaitu berupa konten. Terdapat beberapa contoh
penerapan teknik ini seperti analisis semiotika pada media massa, analisis
semiotika pada film, dan analisis semiotika pada musik.

Jenis penelitian yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah analisis
semiotik Semiotika merupakan metode penelitian dengan pendekatan tekstual dan
studi tentang tanda. Untuk memaknai tanda diperlukan bahasa dan kode-kode
kultural agar dapat dibentuk dan dikomunikasikan. Tanda akan membentuk
makna yang mengacu satu sama lain, yang merupakan hasil konvensi sosial yang
terorganisasi melalui relasi antar-tanda. Sebagai contoh berita di televisi dari
analisis semiotika menjadi representasi makna yang telah dikonstruksi, bukan
cermin realitas (Barker, 2000). menerapkan metode semiotik ini hendaknya
pengamatan secara menyeluruh dari isi teks, peneliti diminta untuk
memperhatikan kohenrensi teks dengan konteknyaEkspresi sangat tergantung
pada perspektif atau cara berpikir seorang pengamat. Sedangkan konten bersifat
43

objektif, sehingga yang dapat menyatukan antara ekspresi dan konten adalah
konteks. Hubungan antara ekspresi dan konten bersifat mental, tergantung dari
siapa yang menginterpretasikan tanda tersebut (Manning & Swan, 1997). Metode
semiotika menjadi dasar asumsi dan konsep yang memungkinkan kita untuk
menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Sistem simbolik ini
direpresentasikan melalui bahasa verbal, kode, dan simbol. Dalam kehidupan
sosial, struktur kelompok, kepercayaan/agama, praktik-praktik budaya, dan makna
relasi sosial beranalogi dengan struktur bahasa (Denzin & Lincoln, 1997).(Sebuah
et al., 2020).

3.3 Waktu Penelitian


No. Kegiatan Jan Feb Mar Apr

1. Penyusunan Propsal

2. Ujian Proposal

3. Pengumpulan Data

4. Ujian Skripsi

5. Ujina Kompre

6. Yudisium

7. Wisuda
44

3.4 Subjek Dan Objek Penelitian


3.4.1 Subjek Penelitian
Subyek Penelitian adalah sumber data yang diperoleh atau informan yang
dapat memberikan keterangan kepada peneliti.(Ansori, 2015)

Subjek penelitian menurut Suharsimi Arikonto tahun (2016: 26) memberi


batasan subjek penelitian sebagai benda, hal atau orang tempat data untuk variabel
penelitian melekat, dan yang di permasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek
penelitian mempunyai peran yang sangat strategis karena pada subjek penelitian,
itulah data tentang variabel yang penelitian amati.

Pada penelitian kualitatif responden atau subjek penelitian disebut dengan


istilah informan, yaitu orang memberi informasi tentang data yang diinginkan
peneliti berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan. Adapun subjek
dalam penelitian ini adalah informan kunci, yaitu Jovan Koswara sebagai Owner
Phillip Works, dua informan ahli dalam analisis semiotika yaitu Bapak Ferry
Darmawan, S.Sos.,M.Ds dan Odjie dan konsumen dari Brand Phillip Works di
Kota Bandung (Ardiansyah, 2017).

NO NAMA UMUR JABATAN

3.4.2 Objek Penelitian


Objek penelitian adalah suatu sifat dari objek yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian memperoleh kesimpulan (Sugiyono,
45

2013:38).Objek penelitian merupakan titik fokus perhatian dari penelitian.(Ansori,


2015)

3.5 Metode Pemilihan Responden


Purposive sampling merupakan sebuah metode samplinggnon
randomssampling dimana periset memastikan pengutipan ilustrasi melalui metode
menentukan identitas spesial yang cocok denganntujuan riset
sehinggaadiharapkan bisa menanggapi kasus riset. Misalnya hendak dicoba riset
tentang mutu santapan, hingga sumber informasinya merupakan orang yang pakar
dalam bidang santapan. Bila melaksanakan riset tentang politik hingga yang jadi
ilustrasi merupakan orang yang pakar dalam bidang politik. Ilustrasi ini lebih
sesuai digunakan buat riset kualitatif ataupun penelitian-penelitian yang tidak
melaksanakan generalisasi. (Lenaini, 2021)

Non Probability Sampling adalah suatu teknik pengambilan data atau


sampel sehingga semua data kemungkinan terpilih sebagai sampel tidak sama
besar. Berdasarkan kebijakan peneliti dalam menentukan elemen sampel yang
akan digunakan. Pada non probability sampling ini, elemen yang akan digunakan
mempunyai sifat tidak menentu. Dalam Non Probability Sampling, terbagi
menjadi beberapa jenis, antara lain : Sampling Accidental dan Judgement
Sampling.

Berdasarkan jenis-jenis sampling yang ada di dalam Non Probability


Sampling. Menurut (Davis, Gallardo, & Lachlan, 2012) yaitu dilakukan pemilihan
berdasarkan keputusan peneliti, sehingga akan secara khusus memilih orang-orang
yang memenuhi tujuan atau kriteria. Ada kesengajaan memilih orang tersebut
karena mereka dapat berfungsi sebagai informan (orang yang dapat memberikan
informasi) dan dirasa dapat mewakili populasi. Dibatasi oleh Roscoe dalam
sugiyono (2011 : 90) jumlah sampel yang benar adalah diatas tiga puluh dan
dibawah lima ratus, sehingga penelitian multivariate disarankan bahwa jumlah
sampel baiknya adalah lebih besar sepuluh kali dari ukuran variable yang ada di
penelitian. Dengan landasan teori tersebut, peneliti menentukan sampel size
sebanyak 40 responden. (Fitria, 2013)
46

3.6 Metode Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara
pendokumentasian. Data yang dijadikan sebagai bahan dokumentasi dalam
penelitian ini merupakan teks atau lirik lagu dari kelompok musik Seringai, Efek
Rumah Kaca dan Homicide.

3.6.1 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
wawancara (interview) adalah suatu kejadian atau suatu proses interaksi antara
pewawancara (interviewer) dan sumber informasi atau orang yang di wawancarai
(interview) melalui komunikasi langsung (yusuf, 2014). Metode
wawancara/interview juga merupakan proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden/ orang yang di wawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara. Dalam wawancara tersebut biasa
dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok, sehingga di dapat
data informatik yang orientik.

Teknis pelaksanaan wawancara dapat dilakukan secara sistematis atau


tidak sistematis. Yang dimaksud secara sistematis adalah wawancara dilakukan
dengan terlebih dahulu peneliti menyusun instrument pedoman wawancara.
Disebut tidak sistematis, maka peneliti melakukan wawancara secara langsung
tanpa terlebih dahulu menyusun instrument pedoman wawancara. Saat ini.
dengan kemajuan teknologi informasi, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap
muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara
merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang
sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau merupakan proses
pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik
yang lain sebelumnya. Dalam wawancara harus direkam, wawancara yang
direkam memberikan nilai tambah. Karena, pembicaraan yang di rekam akan
menjadi bukti otentik bila terjadi salah penafsiran. Dan setelah itu data yang
47

direkam selanjutnya ditulis kembali dan diringkas. Dan peneliti memberikan


penafsiran atas data yang diperoleh lewat wawancara.

Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh


informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam
penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya. Karena
merupakan proses pembuktian, maka bisa saja hasil wawancara sesuai atau
berbeda dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Agar wawancara
efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni ; 1). mengenalkan
diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3). menjelaskan materi wawancara,
dan 4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010: 358).

Setidaknya, terdapat dua jenis wawancara, yakni: 1). wawancara


mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara
mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan
bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan
sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali- kali; 2).
wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada
informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara
mendalam, wawancara terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup,
karena peneliti terikat dengan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya.
Sering terjadi pewawancara atau peneliti lebih memperhatikan daftar pertanyaan
yang diajukan daripada bertatap muka dengan informan, sehingga suasana terasa
kaku. (DHARMAWAN, 1990)

3.6.2 Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti barang tertulis,
metode dokumentasi berarti tata cara pengumpulan data dengan mencatat data-
data yang sudah ada. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data
yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dokumen tentang orang atau
sekelompok orang, peristiwa, atau kejadian dalam situasi sosial yang sangat
berguna dalam penelitian kualitatif (yusuf, 2014).
48

Teknik atau studi dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui


peninggalan arsip- arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,
dalil-dalil atau hukum-hukum dan lain-lain berhubungan dengan masalah
penelitian. Dalam penelitian kualitatif taknik pengumpulan data yang utama
karena pembuktian hipotesisnya yang diajukan secara logis dan rasional melalui
pendapat, teori, atau hukum-hukum, baik mendukung maupun menolak hipotesis
tersebut.

Dokumentasi sebagai metode pengumpulan penelitian memiliki kelebihan dan


kelemahan, yaitu (Dimyati, 2013) :

a. Kelebihan metode dokumentasi

1) Efisien dari segi waktu

2) Efisien dari segi tenaga

3) Efisien dari segi biaya

Metode dokumentasi menjadi efisien karena data yang kita butuhkan


tinggal mengutip atau memfotokopi saja dari dokumen yang ada. Namun
demikian, metode dokumentasi juga memiliki kelemahan

b. Kelemahan metode dokumentasi

1) Validitas data rendah, masih bisa di ragukan,

2) Reabilitas data rendah, masih bisa di ragukan.(DHARMAWAN, 1990)

3.7 Analisis Data


Miles dan Huberman (2014) menyebutkan bahwa analisis data selama
pengumpulan data membawa peneliti mondar-mandir antara berpikir tentang data
yang ada dan mengembangkan strategi untuk mengumpulkan data baru.
Melakukan koreksi terhadap informasi yang kurang jelas dan mengarahkan
analisis yang sedang berjalan berkaitan dengan dampak pembangkitan kerja
lapangan. Langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data yaitu penyusunan
lembar rangkuman kontak (contact summary sheet), pembuatan kode-kode,
49

pengkodean pola (pattern codding) dan pemberian memo. Lembar rangkuman


kontak merupakan lembar yang berisi serangkaian pemfokusan atau rangkuman
pertanyaan tentang kontak lapangan tertentu. Dalam hal ini, peneliti menelaah
catatan-catatan lapangan dan menjawab setiap pertanyaan secara singkat untuk
mengembangkan rangkuman secara keseluruhan dari hal pokok dalam kontak.
Pertanyaan itu dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Orang, peristiwa atau situasi apa yang akan diungkap?


2. Tema dan isu apa dalam kontak?
3. Tempat mana yang paling energi pada kontak berikutnya, dan informasi
apa saja yang akan dilacak?(Abdul, 2020)

Model analisis data yang digunakan peneliti adalah model interaktif Miles,
Huberman, dan Saldana (2014: 12- 14). Komponen dalam analisis data Miles,
Huberman dan Saldana (2014: 12-13) sebagai berikut:

1. Kondensasi Data (Data Condensation)

Kondensasi data merujuk pada proses pemilihan, memfokuskan,


menyederhanakan, mengabstraksikan, dan mentransformasikan data yang
mendekati keseluruhan bagian dari catatan lapangan secara tertulis, transkrip
wawancara, dokumen-dokumen dan materi-materi empiris. Kesimpulannya bahwa
proses kondensasi data ini diperoleh setelah peneliti melakukan wawancara dan
mendapatkan data tertulis yang ada di lapangan, yang nantinya traskrip
wawancara tersebut dipilah-pilah untuk mendapatkan fokus penelitian yang
dibutuhkan oleh peneliti.
50

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data merupakan sebuah pengorganisasian, penyatuan, dan


informasi yang disimpulkan.Penyajian data disini juga membantu dalam
memahami konteks penelitian karena melakukan analisis yang lebih mendalam.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusions Drawing)

Penarikan kesimpulan disini dilakukan peneliti dari awal peneliti


mengumpulkan data seperti mencari pemahaman yang tidak memiliki pola,
mencatat keteraturan penjelasan, dan alur sebab akibat, yang tahap akhirnya
disimpulkan keseluruhan data yang diperoleh peneliti.(Wanto, 2018)

Pada proses analisis data kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata
dan bukan rangkaian angka. Data dikumpulkan dalam aneka macam cara
(observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), yang biasanya diproses
sebelum digunakan, tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang
biasanya disusun dalam teks yang diperluas. Analisis dalam pandangan ini
meliputi tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan (B. Milles dan Huberman, 2014)

Miles dan Huberman, (2014) menyatakan bahwa untuk bisa menentukan


kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian mendalam,
kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan expertise peneliti.
Kualitas hasil analisis data kualitatif sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.
Analisis data selama pengumpulan data membawa peneliti berpikir tentang data
yang ada dan mengembangkan strategi untuk mengumpulkan data baru.
Selanjutnya Miles dan Huberman, (2014) mengemukakan bahwa: The analysis of
qualitative data is closely related to the discourse analysis. However, since
discourse analysis is a broad field of study, we analyze a particular type of
discourse that we consider key to the comprehension of the meaning of social
action: the argumentative discourse. This article is organized as follows: 1) In the
first part we present an overview of the model and the analytical stages the model
implies. 2) In the second part we develop every stage of the model through the
empirical study, presenting the interviewees’ arguments regarding their traffic
51

behavior. 3) In the third part we elaborate our conclusions. (Analisis data


kualitatif adalah terkait erat dengan analisis wacana. Namun, karena analisis
wacana adalah bidang studi yang luas, kami menganalisis jenis tertentu dari
wacana yang kita anggap kunci untuk pemahaman makna tindakan sosial:
argumentatif ceramah. Artikel ini disusun sebagai berikut: 1) Pada bagian pertama
kami menyajikan gambaran dari model dan analitis tahap model menyiratkan. 2)
Pada bagian kedua kita mengembangkan setiap tahap model melalui studi empiris,
menyajikan argumen yang diwawancarai mengenai mereka perilaku lalu lintas. 3)
Dalam bagian ketiga kita menguraikan kesimpulan kita).(Wanto, 2018)
52

DAFTAR PUSTAKA
2015, A. (2009). No Title. 17–41.
Abdul, A. (2020). Teknik Analisis Data Analisis Data. 1–15.
Achmad Wildan Naufal Hais. (2019).
Ahadian, A., Kesejahteraan, Y., Dan, P., Ilmu, F., Dan, S., Politik, I., Studi, P., &
Komunikasi, I. (2012). REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “
THE LADY ” ( Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi
NASIONALISME Dalam Film “ The.
Airlangga, P. U. (1998). Ir — perpustakaan universitas airlangga. 1–27.
Alfaqi, M. Z. (n.d.). MELIHAT SEJARAH NASIONALISME INDONESIA
UNTUK. 209–216.
Ansori. (2015). Pengertian Subjek dan Objek Penelitian. Jurnal Sistem Informasi,
3(April), 49–58.
Ardiansyah, R. (2017). Subjek, Objek dan Metodologi Penelitian.
Repository.Unpas.Ac.Id, 63–79.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film. (1992). 1–18.
Balaram Naik, P Karunakar,1 M Jayadev, 1 and V Rahul Marshal2. (2013). FILM
NASIONALISME KOREA. J Conserv Dent. 2013, 16(4), 2013.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23956527/
Barthes, R. (2016). SISTEM KODE DALAM REPRESENTASI NASIONALISME
DALAM NOVEL 3 SRIKANDI KARYA NADIA SILVARANI ( SUATU
TINJAUAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES ) Fakultas Bahasa dan Sastra
, Universitas Negeri Makassar , Makassar. 1–18.
defenisi film. (2013). 33, 11–21.
DHARMAWAN, I. A. (1990). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者にお
ける 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title. BUDIDAYA AYAM
RAS PETELUR (Gallus Sp.), 21(58), 99–104.
Erwin. (2010). (nation building). 7, 176–187.
Fernandes, H. P. (2014). NILAI NASIONALISME GARUDA DI DADAKU.
09480042, 139.
Film, S. (n.d.). intermitten movement ,. 11–32.
Fitria. (2013). Bab 3 metode penelitian. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Ii, B. A. B. (1990). Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembang
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
53

hlm. 242 1 17. 17–38.


Ii, B. A. B., & Nilai, A. P. (2013). No Title. 9–25.
Ii, B. A. B., Semiotika, A. T., Semiotika, P., & Umum, S. (2016). Alwan Husni
Ramdani, 2016 ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BENCANA KABUT ASAP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu 12. 12–45.
Islam, studi dakwah. (2016). nilai nasionalisme indonesia masih shubuh.
Islam, D. P., & Choliq, A. (2011). NASIONALISME ” DALAM PESPEKTIF
ISLAM ” Oleh: Abdul Choliq Murod Perguruan Futuhiyyah Semarang.
Jurnal Sejarah Citra Lekha, 16(2), 45–58.
Komunikasi, J. (2017). KOMUNIKASI MEDIA FILM WONDERFUL LIFE
( Pengalaman Sineas Tentang Menentukan Tema Film ). VIII, 33–39.
Kusumawardani, A., & Psikologi, B. (2004). Nasionalisme 61. 2, 61–72.
Lenaini, I. (2021). Teknik Pengambilan Sampel Purposive Dan. Jurnal Kajian,
Penelitian & Pengembangan Pendidikan Sejarah, 6(1), 33–39.
Lina. (2015). No TitleÉ?__. Ekp, 13(3), 1576–1580.
Luthfiyah, F. (2020). Metode Penelitian Kualitatif (Sistematika Penelitian
Kualitatif). In Bandung: Rosda Karya.
Maluku, K. K. (2017). Volume 12 No 2 Maret 2017 Volume 12 No 2 Maret 2017.
12(2).
Mayssara A. Abo Hassanin Supervised, A. (2014). Pendekatan Penelitian. Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2007, 43–62.
nasionalisme film king. (2557). Nasionalisme, 4(1), 88–100.
Nilai moral film 5 cm. (2021). 16(4), 2021.
Penanaman nasionalisme. (2010). 1–10.
Pendidikan, S., & Siswa, L. (2019). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. 8(1), 1–9.
Penelitian, T. (2014). Bab ii landasan teori 2. 1. 10–17.
Rachman, F., Medan, U. N., & Utara, S. (2022). KEWARGENEGARAAN
NASIONALISME WARGA MUDA DI ERA GLOBALISASI : 19, 66–75.
https://doi.org/10.24114/jk.v19i1.33214
Rahmat, P. S. (2009). Penelitian Kualitatif. In Journal Equilibrium: Vol. 5 No. 9
(pp. 1–8).
representasi nilai nasionalisme film 98. (2018). Bitkom Research, 63(2), 1–3.
54

http://forschungsunion.de/pdf/industrie_4_0_umsetzungsempfehlungen.pdf
%0Ahttps://www.dfki.de/fileadmin/user_upload/import/9744_171012-KI-
Gipfelpapier-online.pdf%0Ahttps://www.bitkom.org/ sites/default/files/
pdf/Presse/Anhaenge-an-PIs/ 2018/180607 -Bitkom
Rosen, A., Trauer, T., Hadzi-Pavlovic, D., Parker, G., Patton, J. R., Cronin, M. E.,
Bassett, D. S., Koppel, A. E., Zimpher, N. L., Thurlings, M., Evers, A. T.,
Vermeulen, M., Obanya, P., Avsec, S., Nurzarina Amran, Liu, S. H., Petko,
D., Aesaert, K., Van Braak, J., … Brown, N. (2015). REPRESENTASI
NASIONALISME DALAM FILM KING. Teaching and Teacher Education,
12(1), 1–17.
http://dx.doi.org/10.1080/01443410.2015.1044943%0Ahttp://dx.doi.org/
10.1016/j.sbspro.2010.03.581%0Ahttps://publications.europa.eu/en/
publication-detail/-/publication/2547ebf4-bd21-46e8-88e9-f53c1b3b927f/
language-en%0Ahttp://europa.eu/.%0Ahttp://www.leg.st
Saputra, M. A. D. E. (2021). Nilai - Nilai Nasionalisme Dalam Film Battle of
Surabaya Dan Relevansinya Pada Anak Sd / Mi Skripsi Program Studi
Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri.
Sebuah, S., Semiotik, S., & Film, D. (2020). PESAN NASIONALISME DALAM
FILM 3 SRIKANDI (Sebuah Studi Semiotik Dalam Film 3 Srikandi).
Sejarah, J., Sosial, F. I., & Semarang, U. N. (2019). No Title.
SEJARAH NASIONALISME DUNIA DAN INDONESIA Oleh: Dr. Drs. Yosaphat
Haris Nusarastriya, M.Si. (n.d.).
Semiotik, A., & Saussure, F. D. E. (2020). NASIONALISME FILM MENDUNG
ATAS AWAN.
Semiotika, A., Film, P., & Surga, T. (n.d.). Skripsi Disusun untuk memenuhi
persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Penyusun Febryana Dewi
Nilasari.
Semiotika, A., Sanders, C., & Pierce, C. S. (2019). Disusun Oleh : NAMA :
MUHAMMAD FAROUQ IBRAHIM NPM : 2016530009 FAKULTAS
AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 1440 H /
2019 M.
Semiotika, P., Barthes, R., & E, T. R. W. (2020). ANALISIS PESAN
PERDAMAIAN DALAM FILM “ CAHAYA DARI TIMUR : BETA
MALUKU .” 16(2), 115–124.
Sm, T. R. I. S. (2017). Analisis semiotika makna nasionalisme dalam film cahaya
dari timur: beta maluku karya angga dwimas sasongko.
Smp, nilai nasionalisme bagi anak. (2019). MELALUI PEMBELAJARAN PKN
PADA SISWA KELAS V MIN 8 BANDAR LAMPUNG . Skripsi RADEN
INTAN LAMPUNG 1441 H / 2019 M MELALUI PEMBELAJARAN PKN
PADA SISWA KELAS V MIN 8 BANDAR LAMPUNG . Skripsi.
55

Sos, S., Sabiruddin, M. M., Sos, S. I., & Tujuan, M. A. (2017). NASIONALISME
DALAM FILM HABIBIE AINUN. 5(2), 266–279.
Studi, P., Dan, K., Islam, P., Dakwah, F., Komunikasi, D. A. N., Negeri, U. I., &
Hidayatullah, S. (2008). ANALISIS WACANA PESAN MORAL.
Studi, P., Penyiaran, K., Dakwah, F., Ilmu, D. A. N., Islam, U., Syarif, N., &
Jakarta, H. (2022). No Title.
Wanto, A. H. (2018). Strategi Pemerintah Kota Malang Dalam Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Publik Berbasis Konsep Smart City. JPSI (Journal of
Public Sector Innovations), 2(1), 39. https://doi.org/10.26740/jpsi.v2n1.p39-
43
56

Media massa merupakan sarana penyebaran informasi kepada masyarakat.


Media massa diartikan sebagai media komunikasi dan informasi yang
menyebarkan informasi dalam skala besar dan dapat diakses oleh masyarakat
umum. Konten berita, opini, komentar, hiburan, dan lainnya. Bungin (2006:
72)

Media massa merupakan jembatan informasi yang sangat strategis.


Masyarakat membutuhkan media massa yang objektif, kuat, dan independen serta
berpihak pada kepentingan publik. Selain itu, kecepatan penyampaian pesan dan
keakuratan informasi juga penting. Media tidak hanya menyajikan informasi
tetapi juga fakta, data, penjelasan dan situasi. (Mayer, Davis, & Schoolman,
1995).

Anda mungkin juga menyukai