Anda di halaman 1dari 46

KAJIAN MANDIRI

KAJIAN SEMIOTIKA FILM (FILM DOKUMENTER SEXY KILLER SEBAGAI MEDIA


COUNTER HEGEMONY KAUM ELIT)

Disusun Oleh:

Putri Sari Ramadhani

187045005

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan
penulisan kajian mandiri tentang Kajian Semiotika Film: Film Dokumenter Sexy Killer
Sebagai Media Counter Hegemoni Kaum Elit ini.

Kajian ini disusun dengan materi yang rinci dengan harapan dapat menambah dan
memperluas wawasan mahasiswa/i dan juga penulis untuk mengetahui dan memahami
tentang penulisan karya ilmiah.

Penulis menyadari kajian ini masih jauh dari sempurna, masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk perbaikan kajian ini.

Medan, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Fokus Kajian ............................................................................................................. 13
1.3 Tujuan Kajian ............................................................................................................ 13
1.4 Manfaat Kajian .......................................................................................................... 14
BAB II URAIAN TEORITIS .................................................................................................. 15
2.1 Paradigma Penelitian ................................................................................................. 15
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................................................. 16
2.3 Uraian Teori .............................................................................................................. 20
2.3.1 Sejarah Dan Perkembangan Semiotika .............................................................. 20
2.3.2 Kaitan Semiotika Dengan Ilmu Komunikasi ..................................................... 22
2.3.3 Prinsip-Prinsip Kajian Semiotika....................................................................... 24
2.3.4 Model-Model Analisis Semiotika ...................................................................... 28
2.3.5 Model Semiotika yang Digunakan..................................................................... 33
2.4 Kerangka Pemikiran .................................................................................................. 34
BAB III IMPLIKASI METODOLOGI ................................................................................... 35
3.1 Metode Kajian ........................................................................................................... 35
3.2 Aspek Kajian ............................................................................................................. 36
3.3 Subjek Kajian ............................................................................................................ 36
3.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................ 37
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................................. 38
3.6 Teknik Keabsahan Data (Triangulasi)....................................................................... 39
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................................... 40
4.1 Kesimpulan................................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Media massa merupakan media informasi yang memiliki peran penting dalam
penyampaian pesan kepada masyarakat secara global. Dengan adanya media massa,
masyarakat dapat mendapatkan informasi seputar lingkungan sekitar, seputar Negara dan
bahkan dunia. Oleh sebab itu, media massa mampu mempengaruhi dan merubah sudut pandang
suatu kelompok masyarakat. Media massa memiliki fungsi sebagai pengamat lingkungan dan
sebagai media kontrol sosial politik. Sehingga media massa memiliki kekuatan besar dalam
penyampaian informasi tentang penyimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat. Kekuatan
media massa ini juga digunakan pemilik media, pemerintah dan suatu kelompok masyarakat
dalam pemerintah untuk mempengaruhi opini publik. Dalam dunia politik, media massa
merupakan media komunikasi yang sangat efektif dan efisien. Banyak dari para pelaku politik
menggunakan media massa sebagai media kampanye untuk mendapat dukungan suara
masyarakat.

Saat ini, banyak dari para pemilik media massa merupakan para elit politik itu sendiri.
Sehingga, saat ini banyak isi pemberitaan media massa dipenuhi dengan hal-hal yang
berhubungan dengan politik. Tidak hanya para elit politik saja yang menggunakan media massa
sebagai media kampanye politik, banyak dari masyarakat yang menggunakan media massa
sebagai media aspirasi dalam menyuarakan dan mengemukakan pendapatnya. Media massa
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama dan seni serta kebudayaan merupakan
bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologi guna membangun kepatutan
khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Akan tetapi pandangan Althusser tentang media
ini dianggap oleh Antonio Gramsci justru mengabaikan resistensi ideologis dari kelas
tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media massa merupakan arena pergulatan
antar ideologi yang saling berkompetensi (Prasetya, 2019).

Antonio Gramsci melihat media sebagai sebuah ruang dimana berbagai ideologi
direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi
penguasa, jadi alat pengesahan dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain, media juga
bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media massa bisa menjadi alat untuk

1
membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan
bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Terlebih dengan adanya
internet saat ini, media massa sudah semakin terbuka dan sangat mudah untuk di akses oleh
siapa saja. Masyarakat dengan bermodalkan smartphone dan paket data sudah dapat mengakses
dan menyebarkan berita dengan mudah di media massa yang berbasis online. Bahkan ada juga
para aktivis yang menggunakan media massa untuk mengungkapkan realitas yang terjadi
terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif dari proyek pembangunan pemerintah dan
para penguasa melalui media film.

Film memiliki karya seni tersendiri, karena film tercipta sebagai sebuah karya dari
tenaga-tenaga kreatif yang profesional dibidangnya. Dari sebuah film kita dapat menyaksikan
pengalaman hidup seseorang yang telah dikemas secara menarik, kisah-kisah inspirasi dan
menambah ilmu pengetahuan hingga gambaran budaya sebuah suku tertentu yang tidak pernah
kita ketahui. Alasan khusus mengapa seseorang menyukai film, karena ada unsurnya dalam
usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu untuk melepas kepenatan
(Yoyon Mudijiono, 2011). Film -selain itu- merupakan media hiburan yang sangat digemari
oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari awal mula adanya pembuatan film di Indonesia yang
langsung digandrungi oleh masyarakat, meskipun film pertama yang diproduksi di Indonesia
merupakan “Film bisu” yaitu berupa gambar hidup dan bisu. Film yang pertama kali disiarkan
merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan tentang perkembangan pembangunan
di Belanda dan Afrika Selatan (Prayoga, 2009).

Sebelum penemuan televisi, film merupakan bentuk utama hiburan masyarakat. Lebih
dari media lainnya, masyarakat beranggapan bahwa film merupakan cerminan dari kehidupan.
Karena mayoritas film menggambarkan kehidupan manusia pada umumnya. Ada juga
beberapa pembuatan dasar film menggambarkan pesan politik, memcerminkan perubahan
nilai-nilai sosial dan beberapa film berperan sebagai hiburan saja. Film tidak ditemukan oleh
satu orang saja, melainkan melibatkan beberapa orang yang turut memiliki peran penting dalam
proses penemuannya. Proses ini melibatkan enam orang yaitu Etienne Jules Marey, Eadward
Muybridge, Thomas Edison, William K.L. Dickson, Auguste dan Louis Lumiere. Etienne Jules
Marey merupakan seorang ilmuan yang berusaha untuk merekam gerakan hewan dalam sekali
rekan untuk membandingkan satu binatang dengan yang lainnya.

Pada tahun 1877 Eadward Muybridge menangkap gambar bergerak dalam film ketika
ia menggunakan 12 kamera untuk memotret seekor kuda untuk Leland Stanford di Palo Alto,

2
California. Thomas Edison membeli beberapa gambar Muybridge pada tahun 1888 dan
memperlihatkan gambar tersebut kepada asistennya William K. L. Dickson. Edison kemudian
bertemu dengan Marey di eropa saat Marey telah menemukan proyektor, namun proyektor
tersebut masih memiliki kendala. Kembali dari Amerika, Dickson membuat perforasi pada
tepian film sehingga film tersebur bergerak melalui kamera sprockets (jari-jari/gerigi berputar)
namun alat tersebut juga memiliki kendala. Di Prancis, Lumiere bersaudara, Auguste dan Louis
mengembangkan kamera dan sebuah proyektor film yang dapat menampilkan film pada layar
lebar. Pertunjukan public pertama Lumiere adalah pada tanggal 28 Desember 1895 dengan 10
subjek pendek dan memukau (Biagi, 2010).

Empat bulan setelah film perdana oleh Lumiere di Prancis, Edison menyelenggarakan
pemutaran film di Amerika untuk pertama kalinya dengan kamera yang telah dikembangkan
oleh Thomas Armat. Edison menjuluki mesin baru itu dengan Vitascope. Inilah untuk pertama
kalinya public Amerika melihat film pada tanggal 23 April 1896, di teater Koster and Bial’s,
di New York (Biagi, 2010). Film pun memiliki berbagai jenis yang sangat variatif, adapun
jenis-jenis film yang telah beredar saat ini yaitu film action, advanture/petualangan, komedi,
kejahatan/gangster, drama, horror, historical, musical, science action, documenter dan lainnya.
Dari berbagai jenis film ini, film yang akan di analisis dalam kajian ini adalah film dokumenter.
Film dokumenter merupakan sebuah film yang diproduksi/direkam secara fakta dan sesuai
peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

Pada masa digitalisasi ini, masyarakat telah beralih pada media baru atau internet untuk
memenuhi kebutuhan informasi sehari-harinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, pengguna internet di Indonesia
mencapai 171,17 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 264,16 juta
jiwa. Maknanya, 64,8% penduduk Indonesia merupakan pengguna internet aktif (APJII, 2017).
Dengan adanya media baru atau internet, masyarakat menjadi lebih bebas mengakses informasi
yang dibutuhkan, begitu juga halnya dengan menyebarkan informasi. Hal ini juga
dimanfaatkan oleh sebagian besar pelaku politik untuk mengangkat citra diri. Masyarakat dan
para aktivis juga lebih leluasa mengutarakan pendapat dan hasil pemikiran melalui karya-
karyanya dalam bentuk ilustrasi, gambar, meme, video dan bahkan dalam bentuk film.

Pada saat ini, telah bayak beredar film dokumenter yang menggambarkan keadaan alam
Indonesia. Salah satu rumah produksi film dokumenter yang sedang hangat diperbincangkan
pada saat ini adalah Watchdoc Image. Watchdoc Image merupakan rumah produksi audio

3
visual yang berdiri sejak tahun 2009. Rumah produksi ini didirikan oleh Dandhy Dwi Laksono
bersama rekannya Andhy Panca Kurniawan. Rumah produksi ini telah banyak memproduksi
film dokumenter yang bertemakan sosial. Watchdoc Image secara khusus memperhatikan
kesejahteraan masyarakat kecil yang terpinggirkan dan terkena dampak negatif dari
pembangunan pemerintah dan bisnis para elit. Watchdoc image juga melakukan Ekspedisi
Indonesia Biru untuk melihat secara langsung keindahan alam Indonesia serta kondisi
masyarakat dipedalaman yang berjuang melawan ketidakadilan pemerintah. Sehingga
menghasilkan beberapa film dokumenter yang cukup fenomenal.

Adapun beberapa film dokumenter yang diproduksikan oleh Watchdoc Image yang
cukup fenomenal dan banyak ditonton/views oleh masyarakat selama tahun 2017-2019
diantaranya yaitu:

Tabel 1.1 Daftar Film Dokumenter yang Diproduksi oleh Watchdoc Image Tahun 2017-2019

Judul Tanggal Upload Ditonton/ views


Kala Benoa 4 April 2017 9.470 views
Samin vs Semen 4 Mei 2017 25.138 views
The Mahuzes 2 Mei 2017 7.894 views
Huhate 16 Juli 2017 1.763.648 views
Gorontalo Baik 26 Agustus 2017 67.212 views
Asimetris 28 April 2018 478.806 views
Boti 10 Juni 2018 107.989 views
Made In Siberut 1 September 2018 150.543 views
Sexy Killer 13 April 2019 26.886.460 views

Sumber: (“Watchdoc Image - YouTube,” n.d.).

Untuk menyaksikan film-film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc Image,


masyarakat bisa mengaksesnya di media youtube. Watchdoc Image menggunakan media
youtube agar film dokumenter hasil produksinya dapat ditonton setiap orang kapan saja dan
dimana saja, khususnya oleh masyarakat Indonesia. Dari beberapa film dokumenter yang telah
diproduksi oleh Watchdoc image selama tahun 2017-2019 ini, penulis memilih untuk
menganalisis film dokumenter Sexy Killer. Ada beberapa alasan mengapa penulis memilih film
dokumenter Sexy Killer, pertama yaitu dikarenakan film ini merupakan film dokumenter
terbaru yang diproduksi oleh Watchdoc Image. Alasan berikutnya dikarenakan film

4
dokumenter Sexy Killer merupakan film yang paling fenomenal dari film dokumenter lainnya
yang telah diproduksi oleh Watchdoc Image. Hal ini dapat dilihat dari jumlah views dalam
beberapa hari setelah di-upload sudah mencapai angka 26.886.460 views. Dengan demikian,
film dokumenter Sexy Killer ini merupakan film yang sangat fenomenal pada pertengahan
tahun 2019.

Film Sexy Killer merupakan film yang sangat fenomenal dikarenakan film ini di-upload
menjelang pemilu 2019 yaitu pada tanggal 13 April 2019. Film ini juga mengungkap lingkaran
pemilik saham pertambangan batubara yang merupakan para tokoh elit negara termasuk kedua
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Film Sexy Killer menceritakan tentang bagaimana
bumi Indonesia yang dikupas dan dikeruk batu baranya di wilayah Kalimantan Timur, batubara
tersebut digunakan untuk mengalirkan listrik ke seluruh penjuru wilayah Indonesia. Batubara
diambil dengan jumlah yang sangat mencengangkan, eksploitasi besar-besaran dilakukan
swasta untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan. Walaupun aliran listrik tersebut sampai
ketempat kita dan kita pun menikmatinya, namun hal ini sangat miris ketika kita menyaksikan
bagaimana kondisi lingkungan, penduduk, sosial politik dan sosial ekonomi yang sangat
memprihatinkan.

Pembangkit listrik yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar adalah PLTU.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi kinetik
dari uap sebagai penggerak utama untuk memutar turbin. Prinsip yang digunakan adalah siklus
Rankine, dimana air dipanaskan hingga menjadi uap, lalu uap tersebut digunakan untuk
menggerakkan turbin yang selanjutnya akan memutar generator sehingga listrik dapat
dihasilkan. Selanjutnya uap dialirkan ke kondensor agar menjadi air kembali dan didaur ulang
untuk dipanaskan kembali. Dari hasil survey institute for essential services reform (IESR),
produksi batubara di indonesia sebagian besar berasal dari Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan lainnya. Pada tahun 2017, Kalimantan
Timur memproduksi batubara sebesar 221,7 juta ton, Kalimantan Selatan memproduksi
batubara sebesar 157,5 juta ton, Sumatera Selatan memproduksi batubara sebesar 45,8 juta ton,
Kalimantan Tengah memproduksi batubara sebesar 17,3 juta ton dan berbagai daerah lainnya
di Indonesia memproduksi batubara sebesar 18,9 juta ton. Dapat dilihat bahwa pulau
Kalimantan merupakan penghasil batubara terbesar di Indonesia (IESR, 2019).

5
Table 1.2 Produk Domestik Bruto (PDB) Kalimantan Timur pada Tahun 2017

PDB Kalimantan Timur pada 2017: IDR 592,5


Triliun Minyak Bumi, Gas
Bumi dan Panas
Transportasi dan Bumi
Lainnya 8%
10%

Perdagangan Penambangan
4% Batubara dan Lignit
36%
konstruksi
6%

Pertanian,
Kehutanan dan
Pabrik /
Perikanan
industri Pemrosesan
8%
8% 20%

Sumber: Institute For Essential Services Reform (IESR, 2019).

Konsumsi listrik di Indonesia akan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat
dilihat dari konsumsi listrik pada PT. Indonesia pada tahun 2014 adalah 812 kWh per kapita
atau 26% dari rata-rata dunia. Pada tahun 2017, naik menjadi 1.021 kWh per kapita (Directorate
General of Electicity (DGE), 2018). Untuk memenuhi pertumbuhan listrik, Indonesia sangat
bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang didominasi oleh batubara.
Apalagi menurut rencana umum penyediaan tenaga listrik PLN (RUPTL 2018-2027), jumlah
kapasitas daya yang direncanakan hingga 2027 mencapai 56 GW yang diantaranya 48%
pembangkit listrik tenaga uap berbahan batubara dan 26% berbahan bakar gas. Batubara lebih
banyak digunakan karena dari segi biaya batubara merupakan sumber daya yang murah,
sehingga mendukung perkembangan ekonomi Indonesia (IESR, 2019).

Dari eksploitasi yang terjadi, seluruh dampak ditanggung oleh penduduk setempat
tanpa adanya pertanggung jawaban yang harus diupayakan Negara maupun oleh korporasi.
Belum lagi legalisasi perusahaan dan peraturan-peraturan yang harus ditaati pada saat proses
penambangan yang diabaikan dan dilanggar oleh perusahaan yang memiliki dampak yang
sangat merugikan bagi penduduk sekitar. Belum lagi dampak dari lubang bekas pertambangan
yang berada di sekitar kawasan pemukiman warga dan sepanjang 2014-2018 telah merenggut

6
115 nyawa. Terdapat 3.500 lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi dan di tutup
kembali, namun hal tersebut tidak juga dilaksanakan. Baru-baru ini seorang remaja bernama
Rizki Nur Aulia yang berusia 14 tahun ditemukan tewas di lubang bekas penggalian batubara
di desa Bung Jadi Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur. Rizki dikabarkan tewas pada hari minggu, 21 April 2019. Dengan ini daftar korban
yang tewas di lubang bekas pertambangan batubara di Kalimantan Timur telah mencapai 33
orang (Tempo.co, 2019).

Salah seorang warga Kutai Kartanegara yang bernama nyoman ditahan polisi karena
telah melakukan aksi protes/demo. Nyoman di tahan selama 6 bulan pada tahun 2005-2006,
sehingga setelah kejadian tersebut tidak ada lagi warga yang berani untuk melakukan
perlawanan dan lebih memilih untuk diam. Pada tahun 2014 dua orang warga Batang Jawa
Tengah, pak Karman dan pak Cahyadi di tahan karena mereka tidak mau menjual lahannya
untuk pembangunan PLTU Batang dan keduanya dikenakan hukuman kekerasan dan ditahan
selama 7 bulan.

Film dokumenter Sexy Killers menampilkan adanya keterlibatan para pejabat dan
purnawirawan di sektor pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Mereka terlibat
secara aktif sebagai direksi, komisaris, pemilik saham dan sebagainya. Keterlibatan para
pejabat ini secara tidak langsung menjadi alasan mengapa pemerintah seakan tidak
menunjukkan komitmen yang kuat. Sejumlah politisi top di Indonesia, termasuk para calon
pemimpin seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno memiliki kepentingan
politik dan ekonomi yang besar dalam bisnis batu bara di Indonesia. Jaringan pebisnis dan
politisi dalam sektor pertambangan tersebut menjadi tema film dokumenter terbaru Sexy
Killers yang diproduksi Watchdoc Image. Pada pembahasan ini, penulis memfokuskan film
dokumenter Sexy Killer sebagai media counter hegemoni (perlawanan hegemoni) kaum elit
yang ditunjukkan masyarakat sekitar yang terkena dampak negatif dari pertambangan batubara.

Hegemoni menurut Gramsci merupakan sebuah situasi sosial politik yang merupakan
suatu kondisi dimana dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar diantara
masyarakat melalui sebuah lembaga dan manifestasi perorangan (Patria & Arief, 2003).
Hegemoni merupakan suatu proses yang diawali dari sebuah ideologi dominan yang
dikemukakan oleh tokoh berpengaruh sehingga membentuk kesadaran masyarakat dan
kemudian kuasa sosial pun dijalankan oleh si pengemuka ideologi, dengan kata lain hegemoni
merupakan metode untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
7
Hegemoni merupakan suatu dominasi yang dimiliki para elit dan penguasa terhadap
masyarakat, sehingga masyarakat tanpa sadar patuh terhadap keinginan penguasa walaupun itu
merugikan. Namun saat ini masyarakat mulai sadar akan kerugian yang diakibatkan aktivitas
pertambangan, sehingga muncul keinginan untuk melakukan perlawanan. Istilah hegemoni
saat ini sering kali digunakan sebagai singkatan untuk menggambarkan posisi yang lebih
dominan dari suatu gagasan atau ide tertentu yang dikemukakan seseorang yang memiliki
pengaruh atau kekuasaan, sehingga gagasan atau ide alternatif lain diacuhkan. Dalam hal ini
para masyarakat kecil dan miskinlah yang selalu menjadi korbannya. Film dokumenter Sexy
Killer merupakan salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat melalui sebuah
media youtube dalam bentuk film.

Film merupakan media teks berbentuk visual yang banyak dikaji oleh para akademisi.
Dalam kajian teks, ada beberapa model analisis yang digunakan dalam menganalisis teks,
diantaranya yaitu analisis isi, analisis wacana kritis, framing, analisis semiotika dan analisis
naratif. Dalam kajian ini, penulis menggunakan analisis semiotika sebagai pisau bedahnya.
Kajian semiotika merupakan ilmu yang membahas tentang tanda, simbol dan segala hal yang
berkaitan dengannya. Dalam ranah ilmu komunikasi, kajian semiotika menganalisis tanda dan
simbol yang ada dalam sebuah teks atau audio visual yang memiliki suatu makna yang tersirat
didalamnya. Melalui sebuah pengamatan secara indrawi, kita dapat memaknai suatu gambar
atau simbol yang ada di sekitar kita. Makna yang terkandung dalam suatu simbol inilah yang
akan menentukan tingkat keberhasilan kita dalam berkomunikasi. Tidak menutup
kemungkinan, suatu saat nanti kita akan berkomunikasi menggunakan suatu simbol yang
belum ada saat ini. Bahkan tanpa kita sadari, mungkin saja kita sudah menggunakan suatu
simbol yang hanya diri kita sendiri yang mengetahui maknanya.

Penerapan kajian semiotika ini tidak hanya berpusat pada teks yang terstruktur dan
kaku, namun juga sampai pada tataran penerapan semiotika pada sebuah tokoh atau karakter
film. Dalam kajian semiotika, ada beberapa model kajian semiotika yang digunakan dalam
sebuah penelitian, diantaranya yaitu model semiotika Roland Barthes, Ferdinand de Saussure
dan Charles Sanders Pierce. Dalam kajian ini penulis menggunakan model semiotika Charles
Sanders Pierce yang biasanya dikenal dengan model semiotika Pearce. Model semiotika Pearce
terdiri dari tiga aspek penting sehingga sering disebut dengan segitiga makna atau triangle of
meaning (Littlejohn, 1998). Tiga aspek tersebut yaitu tanda, acuan tanda atau objek dan
pengguna tanda (interpretant) (Prasetya, 2019).

8
Dari segi akademis, penelitian sejenis ini sudah banyak dilakukan, dari hasil
penelusuran di Neliti.com, adapun penelitian tentang kajian semiotika film yang menggunakan
model semiotika Charles Sanders Peirce yaitu model semiotika yang sama dengan kajian ini
adalah:

1. Michael Laurentius, dkk. (2013). Representasi kekuasaan kulit putih Amerika terhadap
kaum Afrika Amerika dalam film A Time To Kill.
2. Megaria Farnisari (2013). Bias gender dalam film seri Korea ‘sungkyunkwan scandal’.
3. Suyanto dan Harry Anofrina (2014). Analisis semiotika representasi persahabatan
dalam film Hugo.
4. Novi Andry A (2014). Simulasi masyarakat Jogja pada program acara “film televisi
(Ftv) surya citra televisi (Sctv)”.
5. Ricky Widianto, Desie M. D. Warouw dan Jhoni J Senduk (2015). Analisis semiotika
dalam film senyap karya Joshua Oppenheimer.
6. Fajar Bima Wismoyo (2015). Kancing baju sebagai simbol geng anak-anak dalam film
la nouvelle guerre des boutons: kajian semiotika.
7. Fanny Gabriella Adipoetra (2016). Representasi patriarki dalam film batas.
8. Dwipa Anggraini Setiaputri (2016). Pendidikan di perbatasan dalam film batas.
9. Ulin Sasmita (2017). Representasi maskulinitas dalam film Disney moana
menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Pierce.
10. Ahmad Toni dan Rafki Fachrizal (2017). Studi semiotika pierce pada film dokumenter
‘the look of silence: senyap’.
11. Oseani Umi Damayanti dan Ahmad Toni (2018). Analisis semiotika film dokumenter
Citizenfour karya Laura Poitras.
12. Ulinnuha, Emzir dan Prima Gustiyanti (2018). Kajian semiotika: identitas budaya lokal
dalam film golok lanang wanten karya Darwin Mahesa.

Dari penelitian sejenis terdahulu yang telah saya telusuri di Neliti.com, terdapat 12 (dua
belas) penelitian terdahulu yang menggunakan model semiotika yang sama dengan kajian ini,
yaitu model semiotika Charles Sanders Pierce. Namun dari penelitian-penelitian tersebut,
belum ada yang meneliti tentang film dokumenter Sexy Killer. Film dokumenter Sexy Killer
merupakan film yang sangat fenomenal pada pertengahun tahun 2019 ini, namun film ini masih
jarang diteliti karena film ini masih tergolong baru. Kajian ini cukup berbeda dengan penelitian

9
sebelumnya dikarenakan kajian ini difokuskan pada counter hegemoni kaum elit yang
dilakukan oleh masyarakat yang terkena dampak negatif dari pertambangan batubara.

Adapun penelitian terdahulu tentang kajian semiotika film, namun menggunakan model
semiotika lain yaitu:

1. Anderson Daniel Sudarto, Jhoni Senduk dan Max Rembang (2015). Analisis semiotika
film ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’ menggunakan model semiotika Roland Barthes.
2. Akhmad Riza Faizal (2009). Cult film dan analisa semiotika film pada nagabonar jadi
2.
3. Yolanda Hana Chornelia (2013). Representasi feminisme dalam film ‘snow white and
the huntsman’.
4. Stella Natalia (2014). Normalisasi relasi homoseksual dalam film arisan 2
menggunakan model semiotika Roland Barthes.
5. Munirah Ulfah (2013). Isu kemajemukan (pluralisme) bangsa Indonesia dalam film ‘?’
tanda Tanya.
6. Dafin Wiratama (2013). Representasi whiteness dalam film machine gun preacher.
7. Febryana Dewi Nilasari, dkk. (2014). Representasi nasionalisme warga perbatasan
Kalimantan Barat dalam film (analisis semiotika pada film tanah surga katanya.
8. Jenny Putri Avianti, dkk. (2014). Representasi perempuan dalam budaya patriarki
(studi semiotika pada film sang penari).
9. Aan Munandari Natalia (2015). Representasi kekerasan simbolik dalam film comic 8.
10. Inneke Primalia (2013). Representasi product placement dalam film Habibi dan Ainun.
11. Prissy Febrie Tjiabrata, Listia Natadjaja dan Elisabeth Christine Yuwono (2015).
Makna di balik penampilan preman dan perubahannya dalam film bioskop Indonesia di
tahun 1986-2014.
12. Dody Pradana Eryanto (2015). Pesan propaganda ideologi imperialism dalam film
transformers.
13. Dyah Mayangsari Puspaningrum, dkk. (2015). Representasi perempuan dalam film I
don’t know how she does it.
14. Fathimatul Muyassaroh (2016). Representasi freedom dalam ‘the great gatsby’ (analisis
semiotika pada tokoh Daisy Buchanan).
15. Merdina Nestya (2013). Perbandingan representasi gaya hidup remaja perkotaan dalam
film ‘catatan si boy 1987’ dan ‘catatan harian si boy 2011’.

10
16. Nilna Rifda Kholisha (2014). Representasi toleransi antarumat beragama dalam film
’?’.
17. Puspita Ningsih, dkk (2014). Representasi kekerasan terhadap transgender dalam film
taman lawing.
18. Daniel Surya Pratama (2016). Representasi rasisme dalam film Cadillac records.
19. Jessica Belinda Kaya (2016). Representasi homoseksual dalam film the imitation game.
20. Kusuma dewi, dkk. (2017). Analisis semiotika film Christian Metz: studi kasus
visualisasi pesan religi dalam film hijrah cinta.
21. Arif Rifai (2013). Film animasi Persepolis sebagai media penyampaian gagasan pesan
Satrapi Marjane.
22. Monica Chandra (2013). Representasi profesi dokter dalam film 7 hati 7 cinta 7 wanita.
23. Dini Tiara I, dkk. (2015). Ultra violence dalam film django unchained.
24. Mhd Dandy Alexander J. A. dan Suyanto (2016). Representasi poligami dalam film
surga yang tak dirindukan karya Kuntz Agus (studi semiotika Roland Barthes).
25. Edwin Pujadiharja (2013). Kajian multimodal teks tubuh perempuan dalam film
dokumenter nona nyonya? Karya Lucky Kuswandi.
26. Vivitri Endah Andriani, dkk. (2014). Resistensi terhadap konstriksi dominan
homoseksual dalam film coklat stroberi.
27. Lidya Ivana Rawung (2013). Analisis semiotika pada film laskar pelangi.
28. Berril Theo Yufandar (2016). Representasi ras kulit hitam dan kulit putih dalam film
the avengers.
29. Oni Sutanto (2017). Representasi feminisme dalam film Spy.
30. Tiara Pudyadita (2013). Representasi perempuan penari dalam kesenian rakyat
ronggeng (studi semiotika dalam film sang penari).
31. Yudi Agung Kurniawan, dkk. (2015). Representasi kepahlawanan orang jawa dalam
film java heat.
32. Dea Dwidinda Lutfi, dkk. (2014). Memaknai prasangka sosial masyarakat non-muslim
di Eropa terhadap masyarakat muslim dalam film 99 cahaya di langit Eropa.
33. Afra Widyawiratih Arini, dkk. (2014). Naturalisasi transgender dalam film lovely man.
34. Daniel Suryajaya Dharmasaputra (2014). Representasi posthumanisme dalam film
Battleship.
35. Joane Priskila Kosakoy (2016). Representasi perempuan dalam film Star Wars VII: The
Force Awakens.

11
36. Patricia Evangeline Setiawan (2014). Representasi banalitas kejahatan dalam film the
act of killing.
37. Bagus Fahmi Weisarkurnai dan Belli Nasution (2017). Representasi pesan moral dalam
film Rudy Habibie karya Hanung Bramantyo (analisis semiotika Roland Barthes).
38. Bhaswarani Oktadianisty (2015). Father daughter relationship dalam film I am sam
karya Jessica Nelson.
39. Sholakhiyyatul Khizana (2014). Representasi identitas keindonesiaan dalam film
merah putih.
40. Arfianto Adi Nugroho (2015). Representasi whiteness dalam film 12 years a slave.
41. Yohanes Erik Wibawa (2014). Performativitas gender dalam film the kids are all right
karya Lisa Cholodenko.
42. Astir Nur Afidah (2013). Representasi konflik ideologi antar kelas dalam film the help.
43. Bebby Rihza Priyono (2014). Representasi rasisme kaum kulit putih terhadap kulit
hitam dalam film 42 ‘forthy two’.
44. Fandy Sandra Rahmadhani dan Nita Rimayanti (2017). Representasi diktator dalam
film the interview (studi semiotika Roland Barthes).
45. Theresa Christya A, dkk. (2013). Representasi nasionalisme dalam film Soegija 100%
Indonesia.
46. Bayu Hastinoto Prawirodigdo (2014). Representasi bangsa Amerika dan bangsa Jepang
dalam film the last samurai.
47. Indah S, dkk. (2015). Konstruksi agama dan identitas dalam film cinta tapi beda
(analisis semiotika film cinta tapi beda).
48. Ismail Sam Giu (2009). Analisis semiotika kekerasan terhadap anak dalam film ekskul.
49. William Wijaya Saragih, dkk. (2015). Representasi aturan adat pemilihan pasangan
(romantic relationship) masyarakat batak dalam film mursala.
50. Intan Murni Handayani, dkk. (2013). Representasi persahabatan dalam film 5 cm.
51. Septia Hartiningrum, dkk, (2014). Representasi pendidikan pesantren dalam film
(analisis semiotika pada film negeri 5 menara).
52. Sisca Yulidya (2014). Konstruksi gender pada tokoh minions dalam film Despicable
me 2.
53. Shafira Indah Muthia, dkk. (2013). Batman sebagai pahlawan borjuis (analisis
semiotika pada film Batman Returns).
54. Daeng Lanta Mutiara Rato R, dkk. (2013). Representasi sosok anak-anak pedalaman
papua dalam film Denias, senandung di atas awan.
12
55. Geta Ariesta Herdini, dkk. (2013). Representasi islam dalam film tanda Tanya ‘?’.

Penelitian tentang kajian semiotika film ini sudah sangat banyak dilakukan di
Indonesia. Dari hasil penelusuran di (Neliti.com, n.d.), terdapat penelitian sejenis terdahulu
yang telah dilakukan yaitu sebanyak 67 (enam puluh tujuh) penelitian terkait tentang kajian
semiotika film. Diantaranya terdapat 12 (dua belas) penelitian yang menggunakan model
semiotika yang sama dengan kajian ini, yaitu model semiotika Pierce dan 55 (lima puluh lima)
penelitian semiotika menggunakan model semiotika yang berbeda dengan kajian ini. Dari 67
(enam puluh tujuh) penelitian terkait dengan kajian semiotika film, belum ada penelitian yang
mengkaji tentang film dokumenter Sexy Killer maupun yang berfokus membahas tentang
counter hegemoni. Hal ini menunjukkan bahwa kajian ini belum pernah diteliti sebelumnya,
sehingga kajian ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.

1.2 Fokus Kajian


Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang akan menjadi fokus
permasalahan dalam kajian ini adalah:
1. Bagaimana representasi gambaran counter (perlawanan) hegemoni kaum elit yang
dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara dalam film dokumenter Sexy
Killer?
2. Bagaimana film dokumenter Sexy Killer mengungkap realitas yang terjadi pada
masyarakat sekitar pertambangan batubara?

1.3 Tujuan Kajian


Berdasarkan fokus permasalahan diatas, maka penulisan kajian ini memiliki beberapa
tujuan yaitu:
1. Untuk menganalisis gambaran counter (perlawanan) hegemoni kaum elit yang
dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara dalam film dokumenter Sexy
Killer.
2. Untuk menganalisis film dokumenter Sexy Killer dalam mengungkap realitas yang
terjadi pada masyarakat sekitar pertambangan batubara.

13
1.4 Manfaat Kajian
Adapun manfaat kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek Teoritis
Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperluas wawasan secara
teori dan dapat digunakan sebagai referensi penelitian selanjutnya, terutama yang
berkaitan dengan kajian semiotika film dalam konteks ilmu komunikasi.
2. Aspek Akademis
Kajian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menambah dan memperluas penelitian
ilmu komunikasi, dan dapat menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa ilmu
komunikasi khususnya dalam bidang kajian semiotika film.
3. Aspek Praktis
Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi pihak-pihak yang
membutuhkan pengetahuan terkait tentang gambaran counter hegemoni kaum elit yang
dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara.

14
BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam kajian ini adalah paradigma konstruktivisme.


Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang
natural, tetapi merupakan realitas yang terbentuk dari hasil konstruksi. Konstruktivisme
menyatakan bahwa manusia melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai
konseptual yang ada dalam pikirannya. Realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuk kasar
tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui pemikirannya (Morissan, 2013). Kebenaran suatu
realitas bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks yang relevan oleh pelaku sosial. Oleh
karenanya, paradigma konstruktivisme memandang bahwa realitas merupakan sebuah
konstruksi mental yang beragam berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik
tergantung pada orang yang melakukannya.

Menurut (Cresswell, 2016), Sejumlah asumsi terkait konstruktivisme, yaitu:

a. Manusia mengkonstruksi makna-makna agar mereka dapat melihat dunia yang sedang
mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-
pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.
b. Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha untuk memahaminya
berdasarkan historis dan sosial mereka sendiri.
c. Lingkungan sosial pada dasarnya merupakan pencipta makna yang muncul di dalam
dan di luar interaksi dengan komunitas manusia.

Menurut (Dewi, 2017) dalam papernya menyatakan bahwa:

“Dalam kapasitasnya sebagai media yang merepresentasi dan mengkonstruk realitas,


film bukan hanya dapat mempengaruhi sikap tetapi juga mengubah pola pikir dan ideologi
masyarakat. Jalaluddin Rakhmat mengatakan, ada tiga efek pesan sebuah film, yaitu efek
kognitif, efek afektif, dan efek konatif. Efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa
yang diketahui, dipahami, dan dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi
pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan informasi. Efek afektif yang timbul apabila ada
perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, dan dibenci khalayak. Efek ini ada
hubungannya dengan emosi, sikap, dan nilai. Efek konatif (behavioural) yang merujuk pada

15
perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan
berperilaku”.

Dalam film dokumenter ini, masyarakat dalam berkomunikasi dan mengungkapkan


pendapatnya juga telah melalui tahapan konstruksi dalam pemikirannya terlebih dahulu.
Dengan demikian, dalam kajian ini penulis akan menganalisis tanda-tanda yang ditunjukkan
masyarakat dalam film dokumenter Sexy Killer untuk mengetahui realitas sesungguhnya yang
ingin ditunjukkan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan menganalisis memenggunakan
analisis semiotika.

2.2 Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan serta bahan bacaan dalam menganalisa dan mengevaluasi
penelitian, penulis akan mencantumkan penelitian terdahulu yang menggunakan topik yang
sama dengan kajian ini. Dalam kajian ini, ada dua belas penelitian terdahulu yang penulis
temukan di Neliti.com. Namun, penulis akan memasukkan enam penelitian terdahulu yang
diterbitkan pada tahun 2016 -2018 saja. Penelitian sejenis terdahulu yang sejenis dengan kajian
ini yaitu tentang kajian semiotika film yang menggunakan model analisis semiotika Charles
Sanders Peirce.

Penelitian pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Fanny Gabriella Adipoetra,
2016). Yang berjudul tentang Representasi patriarki dalam film batas. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana representasi patriarki dalam film “Batas”. Metode yang
digunakan adalah metode semiotika Charles S Pierce. Teori yang digunakan untuk menganalisa
film adalah milik Kamla Bhasin yang terdiri dari aspek Daya Produktif dan Tenaga Kerja
Perempuan, aspek Reproduksi Perempuan, aspek Kontrol Atas Seksualitas Perempuan, aspek
Pembatasan Gerak Perempuan, aspek Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya.
Patriarki terlihat masih dilanggengkan dalam film “Batas”. Film ini sendiri sebenarnya pada
awalnya bertujuan untuk menunjukkan adanya harapan di desa Entikong, khususnya dalam
bidang pendidikan. Tetapi peneliti menemukan adanya unsur-unsur patriarki dalam film ini.
Harapan yang menjadi tujuan dari film ini dimiliki oleh laki-laki. Perempuan masih di
marginalkan dan tidak memiliki kontrol atas dirinya. Perempuan tidak mendapatkan
kesempatan yang sama dengan yang dimiliki laki-laki dan pada akhirnya kembali ke ranah
domestik.

16
Berdasarkan analisa peneliti, patriarki dalam film “Batas” juga tergambar melalui
kategori-kategori yang menjadi aspek patriarki. Dalam aspek daya produktif dan tenaga kerja
perempuan, menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa keluar dari ranah yang sudah dibangun
dalam masyarakat yaitu ranah domestik. Bahkan ketika perempuan beraktivitas, perempuan
tetap harus bertanggung jawab dengan urusan rumah tangganya seperti mengurus anak.
Perempuan juga tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mendapatkan
pendidikan, dimana hal ini harusnya menjadi tujuan dari pembuatan film ini. Kesempatan
untuk perempuan selangkah lebih maju tidak terdapat dalam film ini.
Penelitian kedua yaitu penelitan (Dwipa Anggraini Setiaputri, 2016) yang berjudul
Pendidikan di perbatasan dalam film batas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana
representasi pendidikan di perbatasan dalam film “Batas”. Metode analisis semiotika Charles
Sanders Peirce digunakan untuk membedah film. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan jenis penelitian ini adalah deskriptif. Peneliti memilih untuk melihat bagaimana
representasi pendidikan di perbatasan yang berlokasi di Entikong, Kalimantan Barat, karena
wilayah perbatasan merupakan wilayah yang jauh dari pemerintah pusat dan butuh perhatian
khusus karena mengingat wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Terdapat
banyak isu-isu perbatasan yang muncul seperti tindak kriminal dan perdagangan manusia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa film “Batas” merepresentasikan
pendidikan yang berbeda dengan konsep pendidikan nasional pada umumnya, yaitu pendidikan
yang tidak formal, yang tidak mengacu pada aturan-aturan, kurikulum, dan jam-jam sekolah
pada umumnya. Penyaluran pendidikan diupayakan dengan cara memasuki pola kehidupan
masyarakat disana. Ini disebabkan karena masyarakat perbatasan dalam film tersebut belum
memiliki kesadaran untuk bersekolah karena mereka beranggapan pendidikan bukan
kebutuhan primer. Butuh upaya untuk tetap dapat menyalurkan pendidikan bagi anak-anak
perbatasan agar dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sehingga dapat
memajukan wilayah perbatasan. Upaya menyalurkan pendidikan untuk anak-anak perbatasan
dengan cara memasuki pola kehidupan mereka berhasil sehingga menciptakan sebuah
pendidikan versi perbatasan. hal ini mencerminkan pendidikan bekerja sebagai agen perubahan
sosial.
Penelitian ketiga yaitu penelitian (Ulin Sasmita, 2017) yang berjudul Representasi
maskulinitas dalam film Disney moana menggunakan analisis semiotika Charles Sanders
Pierce. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan tanda-tanda maskulinitas yang
terdapat pada pemeran utama putri Moana dengan model semiotika Charles Sanders Pierce dan
bentuk-bentuk representasi maskulinitas terhadap pemeran utama putri Moana melalui
17
representament, object dan interpretant. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis Semiotika sebagai teknik analisis data. Subjek penelitian ini adalah Film
Disney Moana dengan objek penelitiannya adalah scene-scene yang di dalamnya menampilkan
sisi maskulinitas pemeran utama Putri Moana. Hasil temuan representasi maskulinitas
berdasarkan trikotomi Charles Sanders Pierce memberikan gambaran bahwa bahwa istilah
maskulinitas atau feminim adalah suatu konsep pengklasifikasikan gender yang dapat di
pertukarkan. Artinya, perempuan bisa bersifat maskulin dan laki-laki bisa bersifat feminim
yang sifatnya relatif pada tiap budaya. Dalam film ini pemeran utama putri Moana
direpresentasikan sebagai perempuan yang maskulin diantaranya pemberani, kuat, pantang
menyerah, percaya diri, mandiri dan bahkan bertindak sebagai pemimpin.
Penelitian keempat yaitu penelitian (Ahmad Toni & Rafki Fachrizal, 2017) yang
berjudul Studi semiotika pierce pada film dokumenter ‘the look of silence: senyap’. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pelanggaran HAM Procedural
Rights yang terdapat dalam film dokumenter The Look of Silence: Senyap. Hasil dari penelitian
ini Bahwa didalam film Senyap: “The Look Of Silence” terdapat scene-scene yang
mengandung unsur pelanggaran HAM procedural rights, yakni rekonstuksi yang dilakukan
para pembunuh kepada korban-korban anggota PKI pada tahun ’65. Kebenaran yang masih
belum terungkap jelas, sehingga masih banyak masyakat yang belum faham tentang
keseluruhan penyebab terjadinya tragedi G30s/PKI. Sejarah yang belum diluruskan, sehingga
akan menimbulkan pandangan dan pemahaman yang salah bagi generasi-generasi dimasa
depan. Adanya tujuan rekonsiliasi antara pelaku dengan keluarga korban PKI dari beberapa
scene yang ditampilkan dalam film Senyap: “The Look Of Silence”. Kadilan yang masih belum
ditegakkan, sehingga para keluarga korban PKI masih merasa diasingkan dari tengah masyakat
umum. Dalam Senyap: “The Look Of Silence” tidak semua pelaku menyatakan permintaan
maaf kepada Adi selaku keluarga korban PKI.
Penelitian kelima yaitu penelitian (Oseani Umi Damayanti & Ahmad Toni, 2018) yang
berjudul Analisis semiotika film dokumenter Citizenfour karya Laura Poitras. Penelitian ini
membahas tentang semiotika yang berada di dalam film „Citizenfour‟ dimana dalam film
tersebut terdapat adanya makna dari sebuah tanda yang diantaranya yaitu Sign, Object, dan
Interpretant. Citizenfour merupakan sebuah film dokumenter tentang kisah pembocoran
program mata-mata NSA yang dilakukan oleh seorang Edward Snowden. Cerita citizenfour
dimulai pada januari 2013, Laura Poitras, seorang pengarah film mendapat kiriman e-mail dari
seorang anonim bernama “citizenfour” yang mengaku memiliki sebuah bukti tentang program
illegal pengintai rahasia yang digunakan oleh NSA dengan badan-badan intelijen lain di
18
seluruh dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menjadi seorang jurnalis yang berani
mengungkap sebuah kebenaran. Dimana kebenaran tersebut sangatlah berbahaya karena
menyangkut sebuah keamanan negara. Dalam film ini banyak sekali makna yang dapat
diungkap dari seorang jurnalis yang sangat cermat dalam menjalani profesi dan sekaligus
dalam mencari berita yang merupakan sebuah kebenaran dari rahasia skandal yang dilakukan
oleh NSA (National Security Agency). Semua ini berarti bahwa seorang jurnalis harus lah
berpegang teguh atas prinsip yang ia punya, memiliki kecermatan dalam melakukan tugas dan
dalam mencari, mengungkap, serta menyebarkan berita aktual yang didasari atas data-data
yang mendukung kebenaran tersebut.
Penelitian keenam yaitu penelitian (Ulinnuha, Emzir, & Prima Gustiyanti, 2018) yang
berjudul Kajian semiotika: identitas budaya lokal dalam film golok lanang wanten karya
Darwin Mahesa. Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat identitas budaya lokal masyarakat
Indonesia khusunya di Provinsi Banten. Berupa pemahaman dan kepekaan mendalam
mengenai identitas budaya lokal ditinjau dari sistem tanda ikon, indeks, dan simbol dalam film.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan di analisis menggunakan model
analisis Charles Sanders Peirce. Terdapat dua Ikon dalam film ini yang mendeskripsikan
identitas budaya lokal yang sangat kuat bahkan dapat merangkum seluruh budaya yang menjadi
identitas yang disajikan dalam film ini, yakni sebuah ikon golok Banten dengan sarungnya
yang digambar di tengah-tengah lapangan tempat penduduk biasa berkumpul. Terdapat dua
indeks dalam film tersebut yakni suasana pagi yang sedikit mendung yang ditandai dengan
warna langit yang masih biru dan sedikit berawan serta suasana di siang hari yang ditandai
dengan bayangan manusia terihat pada tanah ketika mereka beraktifitas.
Hampir dari scene pertama hingga terakhir film ini dibangun dengan simbol-simbol
yang berjumlah 22 scene yang mengkonstruksi identitas budaya lokal bangsa Indonesia di
Provinsi Banten. Dari beberapa sistem tanda yang ditemukan pada film ini, menyampaikan
makna identitas budaya lokal serta pesan moral yang menjadi peran dan penyokong penting
untuk pembelajaran siswa di sekolah khsusunya pada mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia yang diperdalam pada kelas sepuluh tentang mengidentifikai sistem tanda yang akan
diamalkan pada kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan
bagaimanakah implentasi sistem tanda yang membangun identitas budaya lokal baik bagi
pembelajaran siswa di sekolah, masyarakat, dan sineas.
Dari keseluruhan penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian-penelitian tersebut
memiliki perbedaan dengan kajian ini, baik subjek maupun objek penelitian terdahulu tidak
ada yang sama dengan kajian ini. Penulis melakukan analisis pada film dokumenter Sexy Killer
19
ini dikarenakan film ini masih tergolong baru dan masih sedikit yang melakukan penelitian
terhadap film tersebut. Sehingga kajian ini menarik untuk diteliti lebih mendalam.

2.3 Uraian Teori


2.3.1 Sejarah Dan Perkembangan Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti tanda. Jadi dalam dunia
sastra semiotika merupakan analisis karya sastra yang mengacu pada sistem tanda yang ada di
dalam karya sastra. Menurut (Berger, 2013) semiotika merupakan ilmu tentang tanda, tanda
yang dimaksudkan adalah tanda apa saja. Secara terminologis semiotika dapat diidentifikasi
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa dan seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Analisis dalam semiotika bersifat paradigmatik dalam artian berupa menemukan
makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks. Semiotika dapat juga
dikatakan sebagai ilmu untuk menemukan makna dibalik sebuah berita. Semiotika dipelopori
oleh dua orang penting yaitu Charles Sander Peirce dan Ferdinand De Saussure. Keduanya
meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Peirce dikenal sebagai pemikir argumentatif dan
filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Teori dari Peirce seringkali disebut
sebagai ‘grand theory’ dalam semiotika. Ini dikarenakan gagasan Peirce bersifat menyeluruh,
deskripsi struktural dari semua sistem penandaan Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar
dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Sebuah
tanda atau representamen menurut Peirce adalah sesuatu bagi seseorang yang mewakili sesuatu
yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (Wahjuwibowo, 2018).

Ilmuan Amerika Utara (Peirce, 1931-1935) dan Inggris (Ogden dan Richards, 1923)
kemudian bekerja untuk tujuan pembentukan ilmu umum mengenai tanda (semiology atau
semiotika). Wilayah ini melibatkan strukturalisme dan hal lain di samping itu, dan semua hal
yang berkaitan dengan signifikasi (pemberian makna oleh alat bahasa), bagaimanapun
lemahnya hal tersebut terstruktur, terbagi dan terpisah-pisah. Konsep sistem lambang dan
signifikasi mirip dengan linguistik, strukturalisme, dan semiologi yang diambil sebagian besar
dari de Saussure. Konsep dasar yang sama digunakan dengan cara yang cukup berbeda oleh
para ketiga teoritikus yang disebutkan sebelumnya. Tanda (Sign) adalah kendaraan fisik yang
mendasar bagi makna di dalam bahasa. Tanda adalah citra suara apapun yang dapat kita dengar
atau lihat dan biasanya merujuk kepada beberapa objek atau aspek realitas mengenai
bagaimana kita ingin berkomunikasi yang dikenal dengan rujukan (referent) (McQuail, 2011).

20
Charles Sanders Peirce membagi tanda dan cara kerjanya ke dalam tiga kategori
sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Meski begitu dalam prakteknya, tidak dapat
dilakukan secara ‘mutually exclusive’ sebab dalam konteks-konteks tertentu ikon dapat
menjadi simbol. Banyak simbol yang berupa ikon. Disamping menjadi indeks, sebuah tanda
sekaligus juga berfungsi sebagai simbol.

Tabel 2.1 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya

Jenis Tanda Ditandai dengan Contoh Proses Kerja


Ikon -persamaan (kesamaan) Gambar, foto dan patung -dilihat
Kemiripan
Indeks -hubungan sebab akibat -asap—api -diperkirakan
-keterkaitan -gejala—penyakit
Simbol -konvensi atau -kata-kata -dipelajari
-kesepakatan sosial -isyarat
Sumber: (Wahjuwibowo, 2018).

Selain itu, Peirce juga memilah-milah tipe tanda menjadi kategori lanjutan, yakni
kategori firstness, secondness dan thirdness. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi qualisign,
signsign, dan legisign. Begitu juga dibedakan menjadi rema (rheme), tanda disen (dicent sign)
dan argumen (argument). Dari berbagai kemungkinan persilangan diantara seluruh tipe tanda
ini tentu dapat dihasilkan berpuluh-puluh kombinasi yang kompleks. Selain Pierce, pendekatan
semiotika yang terus berkembang hingga saat ini sangat berhutang budi pada peletak dasar
semiotika lainnya yakni Ferdinand De Saussure yang lebih terfokus pada semiotika linguistik.
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah sarjana dan
tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure”, demikian pujian dari John Lyons.

Saussure memang terkenal dan banyak dibicarakan orang karena teorinya tentang
tanda. Meski tidak pernah mencetak buah pikirannya dalam sebuah buku, para muridnya
mengumpulkan catatan-catatannya menjadi sebuah outline. Pandangannya tentang tanda
sangat berbeda dengan pandangan para ahli linguistik di zamannya. Saussure justru mengarah
pada pemahaman historis terhadap bahasa yang dikembangkan pada abad ke-19. Pada saat itu,
studi bahasa hanya berfokus kepada perilaku linguistik yang nyata. Studi tersebut menelusuri
perkembangan kata-kata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang
berpengaruh seperti geografi, perpindahan penduduk dan faktor lain yang mempengaruhi
perilaku linguistik manusia. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang terkenal yaitu soal

21
signifier (penanda) dan signified (pertanda), form (bentuk) dan content (isi), langue (bahasa)
dan parole (tuturan/ujaran), synchronic (sinkronik) dan diachronic (berdasarkan sejarah), serta
syntagmatic dan associative atau paradigmatic.

Ranah penelitian semiotika tidak dapat begitu saja melepaskan nama Roland Barthes
(1915-1980) yaitu ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna
kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan
denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana
saat membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari
bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content atau
signified (C): ERC. Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah
elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda dari
pada semula.

Ahli semiotika yang berikutnya adalah Umberto Eco, beliau merupakan semiotikus
terkenal di Italia. Menurut Eco, tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus
juga dapat digunakan untuk menyatakan sebuah kebohongan. Semiotika menaruh perhatian
pada apapun yang dapan menjadi sebuah tanda. Sebuah tanda merupakan semuahan yang dapat
dimaknai sebagai sebuah penanda yang memiliki arti penting untuk menggantikan sesuatu yang
lain. Suatu tanda tersebut tidak harus ada, namun tanda tersebut ada di suatu tempat pada waktu
tertentu. Semiotika pada prinsipnya merupakan suatu disiplin yang mempelajari apapun yang
dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan yang tersirat melalui sebuah tanda-tanda
yang ditunjukkan oleh seseorang (Wahjuwibowo, 2018).

2.3.2 Kaitan Semiotika Dengan Ilmu Komunikasi


Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori
komunikasi. Hal ini dapat dilihat bahwa tujuan dari semiotika adalah untuk mengetahui makna-
makna yang terkandung dalam sebuah tanda sehingga dapat diketahui bagaimana seorang
komunikator mengkonstruksi sebuah pesan. Hal ini tidak terlepas dari perspektif dan nilai-nilai
ideologi tertentu dan konsep kultural sebuah masyarakat dalam memaknai sebuah tanda. Kode
kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol merupakan
aspek penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna
inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya sebuah ideologi dalam sebuah tanda.

22
Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotika tentunya melihat
bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dalam menentukan sebuah makna dari suatu
tanda (Prasetya, 2019).

Simbol atau tanda merupakan inti dari kajian semiotika dalam ranah ilmu komunikasi.
Penempatan simbol sebagai aspek yang mendasari kajian semiotika memperlihatkan pada kika
bagaimana sebenarnya sebuah simbol bekerja untuk menyampaikan pesan pada masyarakat.
Hal ini diperkuat dengan adanya asumsi bahwa manusia berkomunikasi menggunakan simbol-
simbol. Terkadang ketika kita melihat rambu lalu lintas yang berwarna merah, kuning dan
hijau, muncul sebuah pertanyaan siapakah yang menentukan warna-warna tersebut sebagai
warna rambu lalu lintas. tanpa kita sadari, ketika muncul pertanyaan tersebut di benak kita,
pada saat itu lah kita sedang berkutat dengan semiotika. Melalui sebuah pengamatan indrawi,
kita dapat memaknai berbagai macam tanda maupun simbol yang ada disekitar kita. Makna
yang terkandung dalam sebuah simbol inilah yang kemudian menjadi penentu dari keberhasilan
kita dalam berkomunikasi (Prasetya, 2019).

Littlejohn dalam bukunya yang berjudul teori ilmu komunikasi mengungkapkan


bahwa:

“Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda


merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi diluar tanda-tanda itu
sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tidak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi,
melainkan memiliki pengaruh yang kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang
diterapkan pada teori komunikasi” (Littlejohn & Foss, 2017).
Perspektif mengenai semiotika merupakan sebuah landasan dimana tradisi semiotika
ini terbentuk. Tradisi semiotika seolah-olah menekankan kepada penggunanya untuk berfikir
secara subjektif, sebab penandaan makna memang bersifat relatif, tergantung dari konstruksi
realitas yang terbentuk dari pola pemikiran seseorang. Relasi antartanda menjadi salah satu
fokus dari kajian semiotika. Masyarakat lebih nyaman berkomunikasi menggunakan sebuah
tanda yang secara wujud dan struktur sama dengan makna yang muncul. Tanda tersebut
berangsur-angsur menjadi tanda yang umum untuk digunakan oleh masyarakat dan terkadang
masyarakat tidak sadar bahwa mereka berkomunikasi menggunakan sebuah tanda yang hanya
berupa simbol visual saja. Semiotika melihat hal tersebet sebagai peran tanda dalam
menjalankan tugas sebagai alat berkomunikasi (Prasetya, 2019).

Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan tanda untuk menjelaskan makna


mengenai objek sesuai dengan pengalamannya dengan orang lain, kemudian menafsirkan tanda

23
yang digunakan menggunakan bahasa bersama atau berdasarkan pengetahuan terhadap sistem
tanda yang digunakan (misalnya komunikasi nonverbal). Menurut de Saussure, proses
pemaknaan dilakukan oleh dua elemen tanda. Ia menyebut elemen fisik (kata-kata, gambar,
suara) sebagai penanda (signifier) dan menggunakan istilah petanda (signified) untuk merujuk
pada konsep mental yang dibangkitkan oleh tanda fisik di dalam kode bahasa tertentu. Pada
prinsipnya, apapun yang dapat membentuk makna dapat bertindak sebagai tanda dan
pemaknaan ini tidak harus sama dengan pemaknaan yang dibuat oleh sesuatu yang
dilambangkan, yang penting adalah sistem tanda atau sistem rujukan yang mengelola dan
saling berhubungan dengan keseluruhan proses pemaknaan (McQuail, 2011).

Semiotika selalu dibagi menjadi tiga wilayah kajian yaitu semantik, sintaktik dan
pragmatik. Semantik berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang
ditunjukkan atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Semiotika menggambarkan dua dunia
yaitu dunia benda dan dunia tanda, dan mencerahkan hubungan diantara kedua dunia tersebut.
Ketika muncul sebuah pertanyaan di benak kita seperti apa yang direpresentasikan oleh tanda,
maka kita berada didalam ranah semantik. Wilayah kajian kedua dalam semiotika adalah
sintaktik atau kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebenarnya tidak pernah
berdiri sendiri, hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda
yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Pragmatik, kajian utama semiotika
ketiga memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia
atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda dalam kehidupan sosial.
Cabang ini memiliki pengaruh yang paling penting dalam teori komunikasi karena tanda-tanda
dan sistem tanda dilihat sebagai alat komunikasi manusia (Littlejohn & Foss, 2017).

2.3.3 Prinsip-Prinsip Kajian Semiotika


Menurut Pialang dalam (Tinarbuko, 2012) bahwa, penjelajahan semiotika sebagai
metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan karena adanya
kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena sosial.
Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai
fenomena bahasa, maka semuanya dapat dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan
karena luasnya tanda itu sendiri.

Penerapan analisis semiotika membuka kemungkinan untuk menyingkap lebih banyak


makna teks yang tersirat secara utuh, dari pada yang dimungkinkan hanya dengan mengikuti

24
aturan tata bahasa tertentu atau mengkonsultasikan makna kata-kata dari kamus secara terpisah.
Analisis ini memiliki kelebihan yaitu dapat diterapkan kepada teks yang melibatkan lebih dari
satu sistem tanda dan kepada tanda (misalnya gambar visual dan suara) yang tidak memiliki
tata bahasa yang mapan dan tidak ada kamus yang tersedia. Tanpa semiotika misalnya, akan
sangat sulit bagi Williamson (1978) untuk melakukan studi yang berpengaruh mengenai
periklanan (McQuail, 2011).

Adapun prinsip-prinsip semiotika menurut pemikiran Saussure yaitu pertama, prinsip


struktural. Dimana tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang berbentuk
material dan konseptual. Fokus pada prinsip ini yaitu pada relasi unsur-unsur tersebut sehingga
menghasilkan makna. Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan antara bidang pertanda yang berupa konsep, ide, gagasan, makna dan bidang
penanda yang bersifat material yaitu berupa tulisan, gambar, suara dan objek. Semua itu seperti
kedua sisi mata uang yang idak dapat dipisahkan. Ketiga, prinsip konvensional. Yaitu berupa
kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Keempat,
prinsip sinkronik. Yaitu sebuah kajian tanda sebagai sebuah sistem yang tetap dalam konteks
waktu yang dianggap konstan, stabil dan tidak berubah. Kelima, prinsip representasi. Yaitu
dalam sebuah tanda merepresentasikan sebuah realitas yang akan menjadi rujukan atau
referensinya. Sebuah tanda bunga misalnya, mewakili sesuatu di dalam dunia realitas, sehingga
hubungan tanda dan realitas lebih bersifat mewakili. Dan keenam, prinsip kontinuitas. Yaitu
hubungan antara sistem tanda dengan penggunanya secara sosial dalam bahasa bersifat
berkelanjutan dan tidak pernah berubah, sehingga didalamnya tidak ada kemungkinan adanya
perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna kecuali perubahan yang sangat kecil sekali
(Piliang, 2003).

Salah satu cara berfikir yang berpengaruh mengenai konten media berasal dari kajian
umum mengenai bahasa. Pada dasarnya strukturalisme merujuk pada bagaimana cara makna
dikonstruksikan dalam teks, istilah ini diterapkan pada struktur bahasa tertentu yang terdiri atas
lambang, narasi dan mitos. Secara umum, bahasa dapat dikatakan bekerja karena struktur yang
ada didalamnya. Istilah struktur menunjukkan adanya hubungan yang konstan dan teratur dari
elemen-elemen, walaupun hal ini mungkin tidak terlihat jelas di permukaan dan membutuhkan
penafsiran. Diasumsikan bahwa struktur seperti itu ditempatkan dan dikelola oleh budaya
tertentu, sistem makna, referensi, dan signifikansi yang lebih luas. Semiotika adalah jenis yang
lebih spesifik dari pendekatan strukturalis umum (McQuail, 2011).

25
Menurut (McQuail, 2011), semiotika memiliki beberapa prinsip utama yaitu:

1. Teks memiliki makna yang dibangun melalui bahasa.


2. Makna bergantung pada kerangka rujukan budaya dan linguistik yang lebih luas.
3. Teks mewakili proses pemaknaan.
4. Sistem tanda dapat ditafsirkan berdasarkan basis pengetahuan akan budaya dan sistem
tanda.
5. Makna teks dapat bersifat konotatif, denotatif atau mitos.

Bahasa dapat memberikan suatu konstruksi pola pikir terhadap suatu pihak dan dengan
menggunakan bahasa, seseorang dapat meraih kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan
tersebut. Makna yang terkandung di dalam bahasa merupakan bentuk dari konstruksi pemikiran
pembuatnya dimana makna tersebut akan disampaikan dalam bentuk representasi yang
beragam. Penerima atau receiver akan melakukan sebuah persepsi yang akan menghasilkan
suatu perspektif tersendiri. Roland Barthes mengkaji bahasa dengan menggunakan dua aspek
pendekatan yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan makna dalam suatu tanda yang
diartikan secara sebenarnya, sedangkan konotasi merupakan arti yang bukan sesungguhnya
atau merupakan sebuah kiasan. Bahasa merupakan sebuah konstruksi makna dalam bentuk
kata-kata yang dipengaruhi oleh unsur budaya yang diwarnai dengan adanya ideologi
tersembunyi. Ideologi inilah yang nantinya akan membuat seseorang berkuasa, karena dengan
bahasa seseorang akan dapat melakukan hegemoni dan mempertahankan kekuasaannya
(Prasetya, 2019).

Dalam kajian ini, penulis akan menganalisis tentang counter hegemoni kaum elit yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar pertambangan batubara. Gramsci dalam pemikirannya
menjelaskan bahwa hegemoni berarti perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif dari kelompok-
kelompok yang didominasi oleh kelas yang berkuasa lewat kepemimpinan intelektual, moral
dan politik terwujud dalam bentuk-bentuk korporasi institusional dan manipulasi sistematis
atas teks dan tafsirnya (Al Hakim, 2019). Sebagai sebuah basis pikiran (kognitif), ideologi
digunakan untuk memenangkan pemikiran kelas yang berkuasa melalui konsensus yang
menggiring kesadaran kelompok/masyarakat yang dikuasai mengenai masalah-masalah sosial
ke dalam pola kerangka pikiran yang ditentukan melalui perangkat birokrasi. Hegemoni
merujuk pada suatu ideologi yang sudah sedemikian dominan dan menyebar dalam suatu
masyarakat hingga terjadi konsensus. Konsep hegemoni dapat diadaptasikan dalam
perkembangan kekuasaan industri kapitalisme yang juga menggunakan cara-cara sangat halus

26
untuk membuat masyarakat tunduk dan juga menganggap wajar ketimpangan, ketidakadilan,
dan juga kesalahan yang dialaminya dan pada akhirnya bertujuan untuk memenangkan industri
dengan membuat manipulasi-manipulasi dalam bentuk ‘pseudo-individualisasi’ atas berbagai
hal (Pramudyanto, 2013).

Dalam Ilmu Komunikasi khususnya di kajian Cultural Studies kita mengenal istilah
counter hegemoni yang berarti menolak adanya hegemoni. Menurut Gramsci dalam teorinya,
ia memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter hegemoni) yaitu dengan menitikberatkan
pada sektor pendidikan. Adanya counter hegemoni muncul karena adanya hegemoni.
Hegemoni sendiri adalah upaya atau cara yang dilakukan agar membuat suatu kelompok
terpengaruh atau mengikuti cara-cara berpikir kelompok tertentu dengan cara memberikan
pemahaman yang dianggap benar sehingga kelompok yang terhegemoni menganggap bahwa
pemahaman yang diberikan kelompok itu benar saja dan sah-sah saja diterapkan. Padahal tanpa
disadari mereka sudah terhegemoni oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki suatu
kepentingan. Hegemoni dilakukan secara terus menerus. Perjuangan hegemoni pun juga
berlangsung secara luas yaitu mencakup masyarakat sipil (pendidikan, serikat pekerja,
keluarga) (Fairclough, 2010) dalam (Fauziyah & Nasionalita, 2018).
Dalam konteks zamannya, Gramsci juga yakin akan peran kunci kelas buruh dalam
menciptakan masyarakat baru sehingga Gramsci percaya masih ada jalan dengan melakukan
counter-hegemony terhadap budaya yang ditanamkan oleh kapitalis. Menciptakan hegemoni
baru, berlawanan dengan apa yang dilakukan kaum kapitalis hanya dapat diraih dengan
mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang
dunia’, serta norma perilaku moral mereka. Hal ini dapat dipahami, karena dalam pemikiran
Gramsci hegemoni bukanlah sesuatu yang stabil dan membutuhkan perjuangan secara terus
menerus untuk mempertahankannya, sehingga peluang untuk menumbangkan kekuatan
hegemoni tetap dapat dimungkinkan. Gagasan counter-hegemony dapat diadaptasi sebagai
bentuk perlawanan terhadap ketimpangan yang sudah menghegemoni seperti yang terjadi
dalam sistem kapitalisme (Pramudyanto, 2013). Counter-hegemony kaum elit yang melakukan
aktivitas pertambangan batubara dapat dimungkinkan oleh pihak-pihak yang memiliki
kemampuan intelektual (intelektual organik) dengan melakukan perubahan dan menyadarkan
masyarakat bahwa masyarakat juga berdaya dan mampu melakukan perlawanan terhadap
ketidakadilan pada diri mereka dan juga lingkungan sekitar yang diakibatkan aktivitas
pertambangan batubara.

27
2.3.4 Model-Model Analisis Semiotika
Dalam kajian semiotika, ada tiga model analisis semiotika yaitu model analisis
semiotika Charles Sanders Peirce, model analisis semiotika Ferdinand Saussure dan model
analisis semiotika Roland Barthes.

A. Model Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yang disebut Peirce sebagai teori segitiga
makna (triangle of meaning). Yang dikupas pada teori segitiga ini adalah bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan seseorang pada saat berkomunikasi. Hal
ini dihubungkan menggunakan tiga elemen utama yaitu tanda (representament), acuan tanda
(objek) dan pengguna tanda (interpretant).

• Tanda (representament)
Tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar
tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek.

• Acuan Tanda (Objek)


Acuan tanda atau objek merupakan konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda
atau sesuatu yang dirujuk tanda.
• Pengguna Tanda (Interpretant)
Pengguna tanda atau Interpretant merupakan konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya pada suatu makna tertentu atau makna yang
ada pada benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh tanda.

Gambar 2.1: Hubungan Tanda (representament), Objek dan Interpretant (Triangle of


Meaning) (Kriyantono, 2008).

Sign (representament)

Interpretant Object

Gambar di atas menjelaskan bagaimana perjalanan makna dari sebuah objek yang
diamati hingga berakhir menjadi interpretasi bagi seseorang. Pengamatan dari sebuah benda

28
tak ubahnya mengamati sebuah makna atau maksud kenapa, mengapa dan bagaimana benda
tersebut eksis. Tanda yang menjadi aspek utama dalam pemikiran semiotika, oleh Peirce
diperlakukan sebagai sebuah poros dalam segitiga makna. Maksud dari sebuah poros disini
merupakan sebuah pemikiran utama yang tidak terlepas dari hubungan antar manusia, makna
dan objek yang diamati (Prasetya, 2019). Analisis Peirce ini bersifat subjektif. Peneliti berdiri
seolah-olah ia memahami pemikiran subjek yang ditelitinya. Tentu saja peneliti harus
menyertakan konteks sosiobudaya, teori-teori, konsep-konsep dan data-data untuk menjelaskan
analisis dan interpretasinya (Kriyantono, 2008).

Pierce mengembangkan analisisnya dari masing-masing komponen trikotomi menjadi


sembilan macam berdasarkan masing-masing hubungan dengan ketiga fungsinya yaitu untuk
representament dengan qualisign, legisign, sinsign; untuk object dengan icon, index, symbol;
untuk interpretant dengan rhema, decisign, argument. Dilihat dari sudut pandang
representament yang semata-mata posibilitis logis (logical possibilities) Pierce dalam
(Budiman, 2011) membedakan tanda-tanda menjadi:
a. Qualisign adalah suatu kualitas yang merupakan tanda, walaupun pada dasarnya ia
belum dapat menjadi tanda sebelum mewujud (embodied). Hawa panas yang kita
rasakan pada tubuh di siang bolong di dalam sebuah ruangan. Misalnya, adalah
qualisign sejauh ia hanya “terasa”, tidak/belum direpresentasikan dengan apapun.
b. Sinsign adalah suatu hal yang ada (exist) secara aktual yang berupa tanda tunggal. Ia
hanya dapat menjadi tanda melalui kualitas-kualitasnya sehingga dengan demikian
melibatkan sebuah atau beberapa qualisign. Hawa panas yang kita rasakan tadi, apabila
kemudian diungkapkan dengan sepatah kata panas, maka kata tersebut adalah sinsign.
Sambil mengucapkan kata itu, tangan kita mungkin secara spontan mengipas-ngipas.
Gerakan tangan mengipas-ngipas ini pun adalah sinsign yang merepresentasikan hawa
panas yang kita rasakan itu.
c. Legisign adalah suatu hukum (law), seperangkat kaidah atau prinsip yang merupakan
tanda; setiap tanda konvensional kebahasaan adalah legisign. Berdasarkan hubungan
representament dengan objeknya.

Dalam (Wahjuwibowo, 2018) menyatakan, upaya klasifikasi yang dilakukan oleh


Peirce terhadap tanda memiliki kekhasan meski tidak dapat dibilang sederhana. Peirce
membedakan tipe-tipe tanda pada objek menjadi ikon (icon), indeks (index) dan simbol
(symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen dan objeknya.

29
a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa sehingga tanda itu mudah dikenali
oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya
terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya sebagian rambu lalu
lintas merupakan tanda yang ikonik karena menggambarkan bentuk yang memiliki
kesamaan dengan objek yang sebenarnya.
b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara
representamen dan objeknya. Di dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya
bersifat kongkrit, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal.
Contoh jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari
seseorang atau binatang yang telah lewat di sana, ketukan pintu merupakan indeks dari
kehadiran seorang tamu di rumah kita.
c. Simbol merupakan tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai dengan
kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan
pada umumnya adalah simbol-simbol. Tak sedikit dari rambu lalu lintas yang bersifat
simbolik.

Menurut (Budiman, 2011), berdasarkan interpretant, tanda (sign/representament)


dipilah menjadi rhema, dicent sign atau dicisign dan argument:
a. Rhema adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif (a sign qualitative possibility), yakni
tanda apa pun yang tidak betul dan tidak salah.
b. Dicent sign atau dicisign adalah tanda eksistensial aktual, suatu tanda faktual yang
biasanya berupa sebuah proposisi. Sebagai proposisi, dicisign adalah tanda yang
bersifat informasional seperti pada pernyataan Tom adalah seekor kucing. Akan tetapi,
berbeda dengan rhema, sebuah dicisign adalah betul atau salah, namun tidak secara
langsung memberi alasan mengapa begitu.
c. Argument adalah tanda “hukum” atau kaidah suatu tanda nalar (a sign of reason) yang
didasari oleh leading principle yang menyatakan bahwa peralihan dari premis-premis
tertentu kepada kesimpulan tertentu adalah cenderung benar. Apabila dicisign
menegaskan eksistensi objek, maka argument mampu membuktikan kebenarannya.

B. Model Analisis Semiotika Ferdinand Saussure


Menurut Saussure, tanda terdiri dari:
1. Bunyi-bunyi dan gambar (sound and images), disebut sebagai “Signifier”.

30
2. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar (the concepts these sounds and
images), disebut “Signified” berasal dari kesepakatan.

Gambar 2.2: Model Semiotika dari Sausure ((Kriyantono, 2008).

Sign

Compossed of

Signifier Signification Signified Referent (External Reality)

Tanda (Sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat dilihat dan didengar yang
biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan.
Objek tersebut dikenal dengan “referent”. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan
tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Syaratnya komunikator dan komunikan harus memiliki bahasa atau pengetahuan yang
sama tentang sistem tanda tersebut agar komunikasi berjalan dengan lancar. Saussure juga
menggunakan kode dalam mengorganisasikan tanda. Kode mempunyai sejumlah unit atau
kadang-kadang mempunyai satu unit tanda. Dalam semiotika, kode dipakai untuk merujuk
pada struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode.

Tabel 2.2: Contoh Model semiotika Saussure (Kriyantono, 2008).

Signifier Signified
Kata “Pohon” Tanaman Besar
Bunga Mawar Tanda Cinta

Saussure dalam (Kriyantono, 2008) merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke


dalam kode, yaitu:

a) Paradigmatik
Merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan.
Misalnya, kumpulan bentuk untuk rambu lalu lintas yaitu persegi, lingkaran atau
segitiga merupakan bentuk paradigma, dengan paradigma itu sekumpulan simbol dapat

31
bekerja didalamnya. Karena itu tanda harus di seleksi. Artinya setiap kita
berkomunikasi, paradigmatik digunakan untuk mencari simbol-simbol yang ditemukan
dalam teks (tanda) yang dapat membantu memberikan makna. Dengan kata lain,
bagaimana simbol-simbol yang tersembunyi dalam teks menggeneralisasi makna.
b) Syntagmatic
Merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Rambu lalu
lintas merupakan sintagma, yaitu paduan dari bentuk-bentuk pilihan dengan simbol
pilihan. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigma dan kalimat adalah
sintagma. Semua pesan melibatkan seleksi dari paradigma dan kombinasi ke dalam
sintagma. Dalam semiotika, sintagma digunakan untuk menginterpretasikan teks
(tanda) berdasarkan urutan kejadian atau peristiwa yang memberikan makna atau
bagaimana urutan peristiwa atau kejadian menggeneralisasi makna.

C. Model Analisis Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks dalam pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menetukan makna,
tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat sama bisa saja menyampaikan makna
yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significations”.

Dalam (Kriyantono, 2008), tatanan pertandaan (Order of Signification) terdiri dari:

a. Denotasi: makna dari sebuah kata atau terminologi atau objek (literal meaning of a
term or object). Misalnya, makna denotative dari “Big Mac” adalah sandwich yang
dibuat oleh McDonalds yang di makan dengan saus.
b. Konotasi: makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural
meanings that become attached to a term). Misalnya, “Big Mac” dari McDonalds di
atas dapat dapat mengandung makna konotatif bahwa orang Amerika identik dengan
makanan cepat saji, keseragaman, mekanisasi makanan, kekurangan waktu, dan tidak
tertarik memasak.
c. Metafora: mengomunikasikan dengan analogi. Misalnya, metafora yang didasarkan
pada identitas: “cintaku adalah mawar merah”. Artinya, mawar merah digunakan untuk
menganalogikan cinta.

32
d. Simile: subkategori metafor dengan menggunakan kata-kata “seperti”. Metafora
berdasarkan identitas (cintaku = mawar merah), sedangkan simile berdasarkan
kesamaan (cintaku seperti mawar merah).
e. Metonimi: mengomunikasikan dengan asosiasi. Asosiasi dibuat dengan cara
menghubungkan sesuatu yang kita ketahui dengan sesuatu yang lain. Misalnya, mobil
Roll-Royce diasosiasikan dengan “kekayaan”, karena kita tahu harga mobil tersebut
sangat mahal.
f. Synecdoche: subkategori metomini yang memberikan makna “keseluruhan” atau
“sebaliknya”. Artinya, sebuah bagian digunakan untuk mengasosiasikan keseluruhan
tersebut. Misalnya, Gedung Putih identik dengan “Kepresidenan Amerika”, Pentagon
identik dengan “Kemiliteran Amerika”. Kita tahu bahwa Gedung Putih adalah nama
gedung kantor dan kediaman resmi Presiden Amerika, sedangkan Pentagon adalah
nama kantor departemen pertahanan Amerika.
g. Intertextual: hubungan antarteks (tanda) dan dipakai untuk memperlihatkan
bagaimana teks saling bertukar satu dengan yang lain, sadar ataupun tidak sadar. Parodi
merupakan contoh intertextual dimana sebuah teks (perilaku seseorang misalnya)
meniru perilaku orang lain dengan maksud humor.

2.3.5 Model Semiotika yang Digunakan


Model semiotika yang digunakan dalam kajian ini adalah model analisis semiotika
Charles Sanders Peirce. Model semiotika ini digunakan karena dari ketiga model analisis
semiotika yang ada, model analisis semotika Peirce inilah yang paling cocok digunakan untuk
menganalisis kajian ini. Model analisis semiotika Peirce lebih menekankan pada logika dan
filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat. Sedangkan model analisis Saussure lebih
mengarah pada penguraian sistem tanda yang berkaitan dengan linguistik dan lebih berfokus
pada cara kompleks pembentukan kalimat dan apa makna yang terkandung di dalam kalimat
tersebut. Model semiotika Barthes merupakan penerus dari pemikiran Saussure yang melihat
bahwa suatu kalimat yang sama bisa saja memiliki makna berbeda-beda tergantung
pengalaman personal dan latar belakang budaya pengguna yang memaknai makna tersebut.

A. Kelemahan Analisis Semiotika

Kekurangan analisis semiotika yaitu pendekatan ini memerlukan banyak dukungan


ilmu yang lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi dan lainnya. Dalam hal ini, yang paling

33
penting adalah diperlukan kematangan konseptual tentang sastra, wawasan luas dan teorinya.
Peranan peneliti sangat penting, peneliti harus fokus, teliti dan menguasai materi yang akan
diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang
tereksplor dan tidak tersampaikan kepada pembaca.

2.4 Kerangka Pemikiran

▪ Tanda (representament)
Film Dokumenter
▪ Objek
Sexy Killer
▪ interpretant
Realitas yang
Model Analisis terjadi di sekitar
semiotika Peirce pertambangan
Media Counter Potongan-potongan film yang batubara
Hegemoni Kaum menggambarkan counter
Elit hegemoni kaum elit

Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran

34
BAB III

IMPLIKASI METODOLOGI

3.1 Metode Kajian


Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan studi analisis tekstual.
Dalam hal ini, kajian ini menganalisis teks menggunakan analisis semiotika. Dalam hal ini,
penulis akan menganalisis kajian menggunakan model analisis semiotika Charles Sanders
Peirce. Penelitian kualitatif menggunakan data berupa statement-statement atau pernyataan-
pernyataan. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan sedalam-
dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan
besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi dan samplingnya sangat terbatas. Jika data
yang dikumpulkan sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, mata tidak
perlu mencari sampling lainnya. Pada penelitian ini, yang lebih ditekankan adalah persoalan
kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2008).

Metode kualitatif menurut Chaedar Alwasilah (2003), yaitu memiliki kelebihan adanya
fleksibilitas yang tinggi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah penelitian.
Berdasarkan sifat realitas, metode kualitatif mengandung persepsi subjektif bahwa realitas
bersifat ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksikan dan holistik. Sehingga kebenaran realitas
bersifat relatif (Hikmat, 2014). Dalam penelitian kualitatif, mengarahkan bahwa pendekatan
yang dilakukan oleh peneliti tidak harus merujuk dalam dikotomi benar dan salah melainkan
bagaimana cara pendekatan yang dilakukan oleh peneliti. Tidak seperti halnya penelitian
kuantitatif yang menggunakan realibilitas yang artinya jika peneliti satu dan lainnya melakukan
penelitian dengan prosedur yang sama, maka hasilnya harus sama. Penelitian kualitatif lebih
menekankan pada cara yang berbeda yang dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap realitas
sosial yang diamatinya dan komitmennya terhadap metodologi yang ditempuhnya (Ida, 2014).

Menurut (Kriyantono, 2008), secara umum penelitian yang menggunakan metodologi


kualitatif memiliki ciri-ciri:

▪ Intensif, partisipasi penelitian dalam waktu yang lama di lapangan, peneliti adalah
instrumen pokok penelitian.
▪ Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan catatan-catatan di
lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti dokumenter.

35
▪ Analisis data lapangan.
▪ Melaporkan hasil termasuk deskripsi detail, quotes (kutipan-kutipan) dan komentar-
komentar.
▪ Tidak ada realitas yang tunggal, setiap peneliti mengkreasi realitas sebagai bagian dari
proses penelitiannya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan produk konstruksi sosial.
▪ Subjektif dan berada hanya dalam referensi peneliti. Peneliti sebagai sarana penggalian
interpretasi data.
▪ Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilih-pilih.
▪ Peneliti memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan individu-
individunya.
▪ Lebih pada kedalaman daripada keluasan.
▪ Prosedur penelitian yaitu empiris, rasional dan tidak berstruktur.
▪ Hubungan antara teori, konsep dan data yaitu data memunculkan atau membentuk teori
baru.

3.2 Aspek Kajian


Pada kajian ini, penulis akan mengkaji tentang analisis semiotika film dokumenter Sexy
Killer sebagai media counter hegemoni kaum elit. adapun beberapa aspek kajian dalam kajian
ini adalah:
1. Aspek tentang representasi gambaran counter (perlawanan) hegemoni kaum elit yang
dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara dalam film dokumenter Sexy
Killer yaitu berupa potongan-potongan film yang mengandung simbol-simbol dan
makna-makna tertentu.
2. Aspek tentang film dokumenter Sexy Killer dalam mengungkap realitas yang terjadi
pada masyarakat sekitar pertambangan batubara.

3.3 Subjek Kajian


Subjek ataupun informan adalah orang yang dapat memberikan fokus penelitian
ataupun diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi maupun fakta dari objek
penelitian (Bungin, 2011). Dikarenakan kajian ini merupakan kajian analisis tekstual, maka
yang menjadi subjek dalam kajian ini yaitu film itu sendiri. Adapun subjek dalam kajian ini
adalah film dokumenter Sexy Killer yang berdurasi 1 jam 28 menit 55 detik. Film ini

36
menggambarkan tentang realitas yang terjadi disekitaran pertambangan batubara. Film ini
diproduksi oleh rumah produksi Watchdoc Image. Rumah produksi ini didirikan oleh Dandhy
Dwi Laksono bersama rekannya Andhy Panca Kurniawan. Watchdoc Image secara khusus
memperhatikan kesejahteraan masyarakat kecil yang terpinggirkan dan terkena dampak negatif
dari pembangunan pemerintah dan bisnis para elit.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam melakukan
penelitian. Tanpa melakukan pengumpulan data, maka penelitian tidak dapat dilakukan. Oleh
karena itu sebelum mengumpulkan data, peneliti harus terlebih dahulu menentukan teknik
pengumpulan data yang akan digunakan. Alat pengumpul data juga harus memenuhi kesahihan
(validitas) dan kesesuaian (reliabilitas) dengan penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan
kualitas kepentingan data dalam mendukung keberhasilan penelitian, data dapat di kategorikan
dalam dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang sangat
dibutuhkan dalam melakukan penelitian atau data utama. Sedangkan data sekunder juga
diperlukan dalam penelitian, tetapi berperan sebagai data pendukung yang fungsinya
menguatkan data primer (Hikmat, 2014).

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
tekstual berupa studi pustaka dan dokumentasi. Yaitu:

1. Studi Kepustakaan
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh teori dalam penyusunan penelitian. Oleh
karena itu, yang dimaksud dengan studi kepustakaan yaitu data yang berkaitan dan
relevan dengan penelitian dikumpulkan dengan cara studi literatur berupa buku-buku
dan dokumen-dokumen yang sesuai dengan fokus penelitian. Studi kepustakaan yang
dilakukan dalam kajian ini yaitu membaca buku-buku yang berhubungan degan kajian
semiotika film dan counter hegemoni dengan cara mengakses jurnal, skripsi, tesis, dan
sumber lainnya untuk dipelajari sebagai referensi yang mendukung kajian ini.
2. Dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data informasi melalui pencarian dan
peneluan bukti-bukti. Teknik dokumentasi ini merupakan teknik pengumpulan data
yang berasal dari non manusia (Afifuddin & Saebani, 2012). Pengumpulan data dengan
dokumentasi sangat penting dan merupakan data utama dalam kajian ini, karena kajian

37
ini merupakan analisis tekstual. Oleh karena itu, pengumpulan data dokumentasi disini
yaitu dengan cara mengamati dan menganalisis dokumen yang menjadi subjek dalam
kajian ini yaitu berupa film.

3.5 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang akan dilakukan penulis adalah sebagai berikut (Stokes, 2006)
dalam (Adipoetra, 2016):
a. Mendefinisikan objek analisis
Peneliti mendefinisikan objek analisis, yaitu counter hegemoni kaum elit yang
dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara dalam film dokumenter Sexy Killer.
b. Mengumpulkan teks
Semua teks dan potongan-potongan film yang menggambarkan counter hegemoni
kaum elit yang dilakukan masyarakat sekitar pertambangan batubara akan dikumpulkan oleh
penulis.
c. Menjelaskan teks
Selanjutnya peneliti menganalisi isi teks dan potongan-potongan film yang berupa
tanda dan lambang dari film dokumenter Sexy Killer tersebut.
d. Menafsirkan teks
Pada tahap ini peneliti akan mendiskusikan makna dan implikasi masing- masing tanda
secara terpisah kemudian secara kolektif, dan akan menimbang makna konotasi dari teks.
Dalam hal ini, penulis akan mengolah data menggunakan model analisis semiotika Charles
Sanders Peirce.
e. Menjelaskan kode-kode cultural
Kemudian peneliti akan memberikan makna dan menafsirkan sesuai dengan
pengetahun dan juga didasarkan pada kode-kode cultural.
f. Generalisasi
Dalam tahap ini, penulis membuat generalisasi dari teks yang telah dikaji.
g. Membuat kesimpulan
Di tahap terakhir ini, peneliti akan membuat kesimpulan dari penelitian ini.

38
3.6 Teknik Keabsahan Data (Triangulasi)
Hasil penelitian yang bersifat kualitatif ini benar-benar dapat dipertanggung jawabkan
dari segla segi, maka peeliti melaksanakan pemeriksaan keabsahan data secara cermat sesuai
dengan teknik pemeriksaan keabsahan data. Untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan data
yang terlah terkumpul. Dengan demikian data penelitian ini digunakan uji keabsahan data
meliputi uji credibility (Validitas Internal), tansferability (validitas eksternal), depenablilty
(reliabilitas) dan confirmability (obyektivitas) (Muhammad, 2011) dalam (Ulinnuha et al.,
2018).
Triangulasi menurut (Moleong, 2004) dalam (Anofrina & Suyanto, 2014) adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Dalam kajian ini,
triangulasi tersebut diaplikasikan dengan cara:
▪ Membandingkan Data hasil pengamatan film dengan data hasil analisis
▪ Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa
yang dikatakan sepanjang waktu.
▪ Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang mengenai film dokumenter Sexy
Killer, serta pendapat dan pandangan orang seperti pakar Film, orang berpendidikan
menengah atau tinggi. Dalam kajian ini, penulis dan para dosen pembimbing
merupakan triangulasi.
▪ Membandingkan hasil analisis dengan isu suatu dokumen yang berkaitan.

39
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Kajian semiotika film merupakan kajian yang menarik untuk di analisis. Terutama
kajian semiotika film tentang film dokumenter Sexy Killer. Penelitian tentang kajian semiotika
film ini sudah sangat banyak dilakukan di Indonesia. Dari hasil penelusuran di (Neliti.com,
n.d.), terdapat penelitian sejenis terdahulu yang telah dilakukan yaitu sebanyak 67 (enam puluh
tujuh) penelitian terkait tentang kajian semiotika film. Diantaranya terdapat 12 (dua belas)
penelitian yang menggunakan model semiotika yang sama dengan kajian ini, yaitu model
semiotika Pierce dan 55 (lima puluh lima) penelitian semiotika menggunakan model semiotika
yang berbeda dengan kajian ini. Dari 67 (enam puluh tujuh) penelitian terkait dengan kajian
semiotika film, belum ada penelitian yang mengkaji tentang film dokumenter Sexy Killer
maupun yang berfokus membahas tentang counter hegemoni. Hal ini menunjukkan bahwa
kajian ini belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga kajian ini menarik untuk dikaji lebih
mendalam.

40
DAFTAR PUSTAKA

Adipoetra, F. G. (2016). Representasi Patriarki dalam Film “ Batas .” Jurnal E-Komunikasi, 4,


1–11.

Afifuddin, & Saebani, B. A. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Al Hakim, S. (2019). Budaya Lokal dan Hegemoni Negara: Legitimasi Kuasa di Balik
Kearifan Lokal. Malang: Intrans Publishing.

Anofrina, H., & Suyanto. (2014). Analisis Semiotika Representasi Persahabatan Dalam Film
“Hugo.” Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(1), 1–
15. Retrieved from https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/2482

Berger, A. A. (2013). Semiotics and Society. San Francisco: Emeritus of Broadcast and
Electronic communication Arts at San Francisco State.

Biagi, S. (2010). Media/Impact: Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika.

Budiman, K. (2011). Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problematika Ikonisitas. Yogyakarta:
Jala Sutra.

Bungin, B. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Cresswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan


Campuran (4th ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damayanti, O. U., & Toni, A. (2018). Analisis Semiotika Film Dokumenter Citizenfour Karya
Laura Poitras. Jurnal Ilmiah LISKI (Lingkar Studi Komunikasi), 4(2), 145.
https://doi.org/10.25124/liski.v4i2.1508

Dewi, E. N. (2017). Film dan Konstruksi Sosial. In ResearchGate. Retrieved from


https://www.researchgate.net/publication/332697326_Film_dan_Konstruksi_Sosial

Fauziyah, S., & Nasionalita, K. (2018). Counter Hegemoni Atas Otoritas Agama Pada Film
(Analisis Wacana Kritis Fairclough Pada Film Sang Pencerah). Informasi, 48(1), 79.
https://doi.org/10.21831/informasi.v48i1.17397

Hikmat, M. M. (2014). Metode Penelitian: Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ida, R. (2014). Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.

41
IESR. (2019). Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition.

Kriyantono, R. (2008). Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public
Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta:
Kencana.

Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2017). Teori Komunikasi: Theories of Human Communication
(9th ed.). Jakarta: salemba humanika.

McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa (6th ed.). Jakarta: Salemba Humanika.

Morissan. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenada Media Group.

Patria, N., & Arief, A. (2003). Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atau matinya makna.


Yogyakarta: Jala Sutra.

Pramudyanto, A. B. (2013). Media Baru dan Peluang Counter-Hegemony atas Dominasi


Logika Industri Musik (Studi Kasus Perkembangan Netlabel di Indonesia). Jurnal ILMU
KOMUNIKASI, 10(1), 63–82. https://doi.org/10.24002/jik.v10i1.154

Prasetya, A. B. (2019). Analisis Semiotika Film dan Komunikasi. Malang: Intrans Publishing.

Prayoga, W. A. (2009). Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia


Tahun 1966-1980.

Sasmita, ulin. (2017). Representasi Maskulinitas Dalam Film Disney Moana (Analisis
Semiotika Charles Sanders Pierce) Ulin Sasmita. 4(2), 127–144.

Setiaputri, D. A. (2016). Pendidikan Di Perbatasan Dalam Film “ Batas ” Pendahuluan


Penjaga Perbatasan Republik In- Kritik Sekali Ditangkap Oleh Media Massa . 5.

Tinarbuko, S. (2012). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jala Sutra.

Toni, A., & Fachrizal, R. (2017). Studi Semitoka Pierce pada Film Dokumenter The Look of
Silence: Senyap. Jurnal Komunikasi, 11(2), 137–154.
https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol11.iss2.art3

Ulinnuha, Emzir, & Gustiyanti, P. (2018). Kajian Semiotika: Identitas Budaya Lokal dalam
Film Golok Lanang Wanten Karya Darwin Mahesa. 1(2), 106–115.

Wahjuwibowo, I. S. (2018). Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan


Skripsi Komunikasi (3rd ed.). Jakarta: Mitra Wacana Media.

42
Yoyon Mudijiono. (2011). Kajian Semiotika Dalam Film. Ilmu Komunikasi, 1(1), 123.

Sumber Internet:

APJII. (2017). Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Apjii. Retrieved from
www.apjii.or.id

Neliti.com. (n.d.). Kajian Semiotika Film - Neliti.com. Retrieved December 30, 2019, from
https://www.neliti.com/id/search?q=kajian+semiotika+film

tempo.co. (2019). Lubang Bekas Tambang Kembali Memakan Korban Jiwa - Nasional
Tempo.co. Retrieved December 5, 2019, from tempo.co website:
https://nasional.tempo.co/read/1199943/lubang-bekas-tambang-kembali-memakan-
korban-jiwa

Watchdoc Image - YouTube. (n.d.). Retrieved November 11, 2019, from


https://www.youtube.com/channel/UCEfBiFTaxLT5Kxe-m6JS5iw

43

Anda mungkin juga menyukai