Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MEDIA BARU DAN IMPERIALISM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Media Baru

Dosen Pembimbing:

Uswatun Nisa, M.A.

Disusun Oleh:

Siti Kanesya Sofya (2010102010130)

Tiara Andiny (2110102010046)

Maulana Lucky Darma (2110102010068)

Alivya Ananda Gasehna (2110102010141)

Shofya Dara Phonna (2110102010053)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SYIAH KUALA


2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb…

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT. Senantiasa kita ucapkan atas
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya kami bisa menyelesaikan
makalah ini. Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Media Baru. Selain itu, tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah
wawasan tentang ----------- bagi para pembaca dan penulis.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Uswatun Nisa, M.A.


selaku dosen mata kuliah Hukum Adat yang telah membimbing kami agar dapat
menyelesaikan makalah ini. Sehingga, dapat menambah pengetahuan dan wawasan
yang sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.

Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran yang
membangun agar penyusunanmakalah selanjutnya lebih baik.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Banda Aceh, 10 Oktober 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................3

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4

1.3 Tujuan & Manfaat............................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................4

2.1 Perkembangan Imperialisme Budaya......................................................................................5

2.2 Media dan Imperialisme Budaya............................................................................................7

2.3 Perkembangan Imperialisme di Indonesia..............................................................................8

2.4 Kaitan Media Baru dan Imperialisme.....................................................................................9

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Globalisasi telah menghilangkan batas-batas sistem komunikasi antara satu wil
ayah dengan wilayah lainnya yang ditransfer dengan sangat cepat melalui berbagai m
edia seperti televisi, majalah, dan internet. Budaya nasional di sebuah negara dengan s
angat cepat menjadi budaya global dan manjadi industri yang mampu mempengaruhi
budaya nasional di negara lainnya. Imperialisme budaya di era reformasi, tampak sem
akin menonjol dibandingkan era rezim sebelumnya yang memperngaruhi segala send
i-sendi kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Imperialisme kebudayaan kini, bukan
hanya dari Barat melainkan juga dari non-Barat seperti India, Korea, Cina, Jepang dan
Turki.

Dalam menyikapi hal ini, dibutuhkan adanya strategi kebudayaan untuk terbuk
a mengambil nilai-nilai universal dalam semua bidang baik ilmu, teknologi, ekonomi
dan budaya tanpa kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan berm
artabat di tengah bangsa-bangsa lain. Budaya tradisional merupakan kekayaan nasiona
l yang berharga dan tidak pengganggu proses pembangunan dan modernisasi.

1.2 Rumusan Masalah


2. Bagaimana perkembangan imperialisem budaya?
3. Bagaimana keterkaitan media dan imperialisme budaya?
4. Bagaimana perkembangan imperialisme di Indonesia

1.3 Tujuan & Manfaat


Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai media dan imperialisme dengan tujuan memperluas ilmu
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Imperialisme Budaya


Teori imperialisme budaya muncul sejak tahun 1960 dan telah menjadi topik
pembahasan di kalangan elit politik sejak tahun 1970. Perbincangan tersebut
melahirkan istilah- istilah seperti “imperialisme media, imperialisme struktural,
ketergantungan budaya dan dominasi, sinkronisasi budaya, kolonialisme elektronik,
imperialisme ideologis, dan imperialisme ekonomi.

Rauschenberger (2003) menyatakan bahwa pada awalnya cultural imperialism


pertama kali muncul pasca perang dunia II dengan berbagai macam nama pada saat
itu, seperti halnya neo-colonialisme, soft imperialism, dan economic imperialism.
Dan istilah-istilah tersebut berubah setelah beberapa tahun kemudian berubah
setelah mendapat pembenaran dari beberapa ahli sehingga berubah menjadi media
imperialism, structural imperialism, Cultural dependency and synchronization,
electronic colonialism, ideological imperialism, dan communication imperialism.
Pernyataan Rauschenberger tersebut mengutip dari pemahaman Herbert Schiller
yang merupakan tokoh penemu teori tersebut dan tertuang dalam bukunya yang
berjudul Communication and Cultural Domination. Dalam bukunya, Herbert
Schiller menyatakan bahwa fenomena-fenomena yang terjadi dan memungkinkan
bagi perusahaan ataupun media untuk menjadikan cara bagi Negara-negara maju
untuk mendominasi Negara-negara berkembang.

Rumyeni (2012) menyatakan bahwa imperialisme budaya pada umumnya juga


disebut juga dengan imperialisme budaya Amerika Serikat karena yang dianggap
imperialisme budaya adalah berasal dari negara Amerika Serikat. Ini seperti
pendapat Rauschenberger (2003) yang mengatakan bahwa secara umumnya
imperialisme budaya merujuk kepada penyebaran dan kuasa dari produk dan budaya
konsumen Amerika Serikat keseluruh dunia, yang mana banyak negara mendakwa
terkikisnya tradisi budaya dan nilai lokal mereka.

Teori imperialisme budaya menurut Nuruddin (2007) pertama kali


dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama Schiller yang
dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural
Domination. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat
mendominasi media di seluruh dunia ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat
juga mendominasi media massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai
efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Media Barat sangat
mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya
yang muncul lewat media tersebut.

Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara
berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara
ketiga. Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di
dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain- lain. Dominasi ini dapat terjadi
didukung oleh:

1. Dunia Barat mempunyai uang/ modal. Dengan uang, mereka akan bisa
berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang
dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara
kapitalis. Dengan kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan
menjadi industri yang juga mementingkan laba/ keuntungan.
2. Dunia Barat mempunyai kemapanan atas teknologi. Dengan teknologi
modern yang mereka punya memungkinkan sajian media massa diproduksi
secara lebih baik, meyakinkan dan seolah terlihat nyata. Contohnya saja
dalam penciptaan film- film produksi amerika serikat yang berifat
pencitraan bagi amerika serikat itu sendiri. Semua sudah bisa dikerjakan
dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Semua itu bisa
diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern. Sehingga
negara dunia ketiga tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Oleh
karena itu, membeli produk itu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
membuatnya sendiri.

2.2 Media dan Imperialisme Budaya


Media massa merupakan suatu hal yang sudah sangat dikenal sebagai jalur
kehidupan sosial yang mampu melewati batas-batas negara. Tidak dapat dipungkiri
bahwa media massa berperan penting dalam tercapainya arus informasi yang dimana
merupakan salah satu kepentingan dunia barat dalam mendominasi dunia. Dalam hal
ini, McQuail (2000) menyebutkan terdapat enam perspektif dalam melihat peran
media, hal itu tertuang dalam bukunya Mass Communication Theories:

1. Media massa dipandang sebagai cara yang memungkinkan untuk melihat


apa yang sedang terjadi di luar, juga sebagai sarana pembelajaran untuk
mengetahui berbagai peristiwa.
2. Media massa sering sekali dianggap sebagai cermin berbagai fenomena
yang ada di masyarakat dunia. Oleh karena itu, para pengelola media tidak
mau menjadi pihak yang disalahkan atas isi media yang penuh dengan
kekerasan, konflik, pornografi dan keburukan lainnya, karena memang
sudah seharusnya seperti itu berdasarkan faktanya, media berperan sebagai
refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka.
3. Media massa dipandang sebagai filter atau gate keeper yang bertugas untuk
menyeleksi dalam menentukan hal-hal untuk diberi perhatian atau tidak.

Salah satu aspek yang kerap kali dibahas mengenai imperialisme dari media baru
adalah budaya.

Budaya menjadi salah satu hal yang selalu mengalami perubahan dari masa ke
masa. Singkatnya imperialisme budaya adalah ketika suatu negara atau koalisi negara
yang maju secara finansial, politik, atau teknologi menggunakan budaya untuk
menciptakan dan mempertahankan dominasi atau hubungan yang tidak setara antara
negata atau kelompok negara lain. Ini adalah hubungan manusia dan budata yang
tidak setata antara kelompok sosial yang didasarkan pada keyakinan akan superioritas
dan dominasi.

Pengaruh budaya dominan secara ekonomi terhadap budaya lain, biasanya


menyebat melalui perdagangan, media massa dan internet. Sering kali diterapkan
secara merendahkan terhadap penyebaran global metrk, budaya populer, nilai-nilai,
adat istiadat, dan praktik Amerika, yang diduga merugikan budaya lain (Oxford
reference, 2022). Contoh dari imperialisme budaya melalui media baru salah satu nya
adalah Netflix. Netflix adalah representasi sempurna dari imperialisme budaya
Amerika dalam bentuk Imperialisme media baru. Ini menggantikan televisi lokal di
ratusan negara di dunia. Meskipun menawarkan film dan serial dalam bahasa lokal,
sebagian besarnya juga menyampaikan cara hidup dan nilai nilai Amerika.

2.3 Perkembangan Imperialisme di Indonesia


Gejala imperialisme budaya di Indonesia menurut Ismail dapat dilihat dari
kurun waktu rezim berkuasa dan politik kebudayaannya. Pada era rezim Orde Lama,
imperialisme budaya tumbuh namun tidak masif akibat politik kebudayaan pintu
tertutup bagi budaya Barat yang diterapkan oleh Soekarno. Sedangkan era Orde Baru
di bawah kepemimpinan Soeharto, imperialisme budaya lebih terbuka dan masif
kecuali liberalisasi politik Barat. Lebih lanjut pada era reformasi, imperialisme
budaya semakin masif dan semakin terbuka akibat kebijakan politik kebudayaan yang
diambil dan didukung dengan kehadiran media sosial yang menumbuhkan partisipasi
warga di segala sektor kehidupan.

Era Reformasi, politik kebudayaan semakin terbuka lebar. Negara seakan


mengalami stateless dalam kaitannya dengan gerak imperialisme budaya. Globalisasi
yang semakin intensif dan mendatangkan perkembangan teknologi informasi yang
bersifat interaktif, maka sumber pengetahuan
tidak saja datang dari media konvensional, tetapi juga dari inkonvensional
ketika masyarakat mulai memanfaatkan media sosial. Pemanfaatan media sosial
sangat mempengaruhi produk kebudayaan pop yang datang dari tiap penjuru dunia.
Kegandrungan remaja kota terhadap K-Pop yang membuat boyband dan girlband asal
Korea menjadi trendsetter. Sehingga kini media massa maupun media sosial telah
menjadi sumber utama bagi akselerasi dan sosialisdasi budaya pop dunia yang
mengakibatkan imperialisme budaya Barat dan non-Barat semakin deras merasuki
kalangan masyarakat Indonesia.

Imperialisme budaya di era reformasi, tampak semakin menonjol dibandingkan


era rezim sebelumnya karena kualitas dan intensitasnya, frekuensi dan bobotnya,
semakin lebar, luas dan merasuk segala sendi-sendi kehidupan ekonomi, politik dan
budaya. Imperialisme yang datang sekarang, bukan hanya dari Barat melainkan juga
dari non- Barat. Musik, film dan serial drama dari India, Korea, Cina, Jepang dan
Turki menjadi tayangan sehari-hari di televisi nasional kita. Bahkan hingga jenis
makanan Cina, Jepang termasuk makanan Timur Tengah seperti kebab dan nasi
kebuli, bukanlah makanan asing lagi bagi warga Indonesia.

2.4 Kaitan Media Baru dan Imperialisme


Media baru sering kali menjadi subjek diskusi terkait dengan isu imperialisme,
terutama dalam konteks globalisasi dan dominasi kekuatan ekonomi dan politik
tertentu. Imperialisme media merujuk pada kontrol atau dominasi yang dilakukan oleh
negara-negara atau perusahaan media besar terhadap informasi, narasi, dan budaya
dalam skala internasional. Kaitan antara media baru dan imperialisme melibatkan
peran media baru dalam memperkuat atau menentang bentuk imperialisme modern.
Berikut beberapa aspek kaitan antara keduanya:

1. Pengaruh Media Baru dalam Membentuk Opini dan Narasi: Media baru,
seperti platform media sosial dan situs web berita, memiliki kekuatan besar
dalam membentuk opini publik dan menyebarkan narasi. Dalam konteks
imperialisme, media baru dapat digunakan untuk memperkuat narasi dominan
negara-negara yang lebih kuat atau untuk menentang hegemoni mereka.
Misalnya, platform media sosial dapat digunakan oleh gerakan sosial dan
aktivis untuk menggalang dukungan internasional dan menyebarkan informasi
tentang penindasan atau eksploitasi oleh kekuatan imperialist.
2. Konsentrasi Pemilikan Media: Media baru sering kali berada di bawah kendali
perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik
yang kuat. Konsentrasi pemilikan media ini dapat mengarah pada
homogenisasi narasi dan perspektif yang disampaikan kepada publik.
Meskipun media baru memberikan akses yang lebih besar kepada individu
untuk berpartisipasi dalam produksi dan distribusi konten, masih ada
konsentrasi pemilikan media di tangan beberapa perusahaan besar. Hal ini
dapat memperkuat dominasi kekuatan ekonomi dan politik tertentu dalam
menyebarkan narasi dan informasi yang mendukung kepentingan mereka,
sehingga memperkuat imperialisme.
3. Pengaruh Politik dan Ideologi: Media baru dapat menjadi alat untuk
menyebarkan ideologi atau agenda politik dari negara-negara yang memiliki
kekuatan ekonomi dan politik yang dominan. Hal ini dapat menyebabkan
hegemoni budaya, di mana budaya dan nilai-nilai dari negara-negara tertentu
mendominasi di seluruh dunia.
4. Eksploitasi Sumber Daya: Perusahaan media besar dari negara-negara yang
lebih kuat secara ekonomi dapat memanfaatkan sumber daya dari negara-
negara yang lebih lemah untuk memproduksi konten media. Hal ini dapat
mengarah pada representasi yang tidak seimbang atau distorsi dalam cakupan
berita dan narasi tentang negara-negara tersebut.
5. Kontrol terhadap Platform Digital: Perusahaan teknologi besar yang
mengoperasikan platform media sosial dan layanan streaming memiliki
kekuatan besar dalam menentukan jenis konten yang dipromosikan dan
disaring kepada pengguna. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi dan
pandangan dunia pengguna secara signifikan.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori imperialisme budaya muncul sejak tahun 1960 dan telah menjadi topik
pembahasan di kalangan elit politik sejak tahun 1970. Tulisan pertama Schiller yang
dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural
Domination. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk
mempengaruhi media dunia ketiga. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses
peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran
budaya asli di negara ketiga. Dengan uang, mereka akan bisa berbuat apa saja untuk
memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Dengan kata lain,
media massa Barat sudah dikembangkan menjadi industri yang juga mementingkan
laba/ keuntungan. Dengan teknologi modern yang mereka punya memungkinkan
sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan seolah terlihat
nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Ardian, H. Y. (2018). Komunikasi Dalam Perspektif Imperialisme Kebudayaan.


Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi
Bisnis, 1(1).

Hardiyanti, R., & Irianti, E. (2023). Korean Wave Dalam Perspektif Imperialisme
Budaya. Prosiding Nasional FISIP Universitas Islam Syekh-Yusuf, 1, 111-116.

Yudipratomo, O. (2020). Benturan Imperialisme Budaya Barat Dan Budaya Timur


Dalam Media Sosial. Jurnal Audience: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(2), 170-186.

Indrawan, J., & Ilmar, A. (2020). Kehadiran media baru (new media) dalam proses
komunikasi politik. Medium, 8(1), 1-17.

Anda mungkin juga menyukai