DOSEN PENGAMPU :
Dr. Nursapiah Harahap, M.A
DISUSUN OLEH :
IKOM 7 JURNALISTIK SEMESTER 7
KELOMPOK 4 :
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya makalah yang berjudul “Peluang Perempuan Dalam Media” ini
dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih
atas bantuan dari teman-teman kelompok yang telah berpartisipasi dalam
menyelesaikan makalah ini.
Kelompok IV
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perempuan kini tengah menjadi sorotan. Di era emansipasi ini masyarakat
mulai mengakui keberadaan perempuan yang makin maju dan mulai
menunjukkan diri mereka. Keadaannya tentu berbeda ketika masyarakat belum
mengenal emansipasi. Perempuan tidak bisa bebas untuk berekspresi dan
bersosialisasi dengan leluasa. Perempuan masa kini sudah berani
mengekspresikan diri dan mandiri tanpa terkekang oleh adat dan mitos dalam
masyarakat. Mereka mulai meretas karir untuk meningkatkan kualitas dan
kemampuan diri demi masa depan. Masyarakat yang mulai merasakan kekuatan
emansipasi perempuan pun mulai terbuka dan mengakui sosok perempuan yang
ingin disejajarkan dengan sesama mereka, laki-laki.
Untuk menunjukkan kemampuan diri, perempuan lebih berani dan bebas
memilih pekerjaan sesuai dengan minat mereka. Bahkan perempuan tak ragu lagi
terjun ke dunia kerja yang kerap diidentikkan dengan kaum laki-laki, salah
satunya menjadi seorang jurnalis. Bukan hal yang mengejutkan lagi perempuan
menjadi seorang jurnalis, karena pada dasarnya masing-masing individu baik itu
perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama, meskipun
mayoritas pekerja media didominasi oleh laki-laki yang menyebabkan media
massa identik sebagai ranah maskulin.
Anggapan media sebagai dunia laki-laki ini, dibarengi dengan munculnya
tiga hal yang menggambarkan persoalan perempuan di media massa yang masih
bias gender . Pertama, seputar penggambaran sosok perempuan di media massa
yang masih kurang sensitif gender dan cenderung menyudutkan posisi kaum
perempuan. Dalam berita kriminal, perempuan banyak disorot terkait masalah
kekerasan, penganiayaan, dan pelecehan seksual. Perempuan digambarkan
sebagai objek eksploitasi, sebagai tersangka, atau sebagai korban. Bahkan ada
anggapan bahwa perempuan dianggap ‘mengundang’ (memancing) tindak
kriminalitas atas diri mereka.
1
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam pembahasan makalah
kali akan dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana citra perempuan dalam media?
2. Bagaimana stereotipe terhadap perempuan?
3. Bagaimana peranan media dalam menciptakan stereotipe tentang perempuan?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
memberitakan citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek,
lebih buruk, lebih jahat, dan sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada
pada objek pemberitaan itu sendiri. Citra yang dibentuk oleh media akan
mempengaruhi khalayak dalam mempersepsikan pandangan seseorang terhadap
orang lain seperti halnya pandangan terhadap perempuan. Jika media
mengkonstruksikan hal yang baik mengenai perempuan, maka masyarakatpun
akan memandang perempuan tersebut baik dan sebaliknya. Dalam produksi
media, tak jarang perempuan dicitrakan untuk jadi pihak yang kalah atau selalu
harus melayani dan memenuhi kebutuhan laki-laki dalam relasi.2
Salah satu acara yang sering mengeksploitas citra perempuan adalah iklan,
sebagian besar iklan menggunakan tubuh perempuan untuk menarik minat
konsumen. Tampilan tubuh perempuan dalam dunia iklan diarahkan untuk
kepentingan laki-laki, sehingga citra perempuan dikonstruksikan dari perspektif
nilai dan hasrat laki-laki.3 Tayangan iklan itu tidak menampilkan sesuatu yang
baru tentang citra perempuan. Iklan itu hanya “mengambil-alih” sesuatu yang
dianggap wajar dan seharusnya terjadi dalam kehidupan, yakni salah satu jenis
pekerjaan yang melekat pada perempuan sebagai pemasak makanan untuk
memenuhi kebutuhan makan keluarga.
4
seksual (ranah domestik dan ranah publik) antara laki-laki dan perempuan. Itu
berarti, ikut memperkuat pembakuan stereotype yang sudah dikonstruksi
masyarakat.
5
belaka. Inilah citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa: a)
Citra Pigura: perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh yang
ideal. b) Citra Pilar: perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah
tangga. c) Citra Peraduan: perempuan sebagai objek seksual. d) Citra Pinggan:
perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur. e) Citra pergaulan:
perempuan sebagai sosok yang kurang pede dalam bergaul.4
4
Tamrin Amal Tomogola, Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik (MD, Mukhotib) Menggagas
Jurnalisme Sensitif Gender, Yogyakarta, PMII-INPI Pact, 1998, hal 8
5
Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori
SosialKonflik,Makalah Universitas Surakarta. hal. 12
6
kalangan masyarakat.DiBarat, hierarki gender terjadi sejak manusia
mengkonstruksikannya. Walaupun konstruksi ini terus berubah, namun sepanjang
sejarah--sejak masa pemerintahan demokrasi modern, masa Revolusi Industri di
Eropa di abad 16, hingga sekarang-- perempuan tak pernah lepas dari penilaian,
dari konstruksi. Konstruksi ini pun merasuk dalam seni dan kebudayaan sehari-
hari. Pada masa Revolusi Industri, konstruksi ini mengemuka dalam Monalisa
karya Leonardo da Vinci. Hari ini, mengejawantah dalam boneka Barbie
(Luviana, 2010).
Stereotipe yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini
kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang
melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah
melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media
kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe
tersebut.
7
komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu,
kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan
sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis
sebagai kritikan kepada media massa.
8
harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan
ejekan: tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari
perempuan cantik lainnya.
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di
media, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—
stereotipe yang sangat jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun
radio.Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya
membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya
yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu
gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi
tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian
digunakan untuk menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol,
signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering
dilabelkan pada seseorang atau kelompok tertentu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias
gender. Iklan-iklan yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan
teks-teksnya. Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan
berbagai kalangan adalah citra peraduan, dimana elemen seksualitas perempuan
ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Dengan mengutip Busby dan Leichty, bahwa tubuh perempuan digunakan
sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling tidak
berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil sebagai
simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan
kelincahan produk mobil dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh
perempuan sebagai sebuah simbol merupakan upaya komodifikasi tubuh
perempuan, sementara bagi sebagian yang lain, para praktisi periklanan
khususnya, hal ini adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk memperkuat
daya jual sebuah produk.7
7
Suharko, Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa, Dalam Idi Subandi,
1998. hal. 29
9
Prabasmoro menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh
perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas
perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan semata-
mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual (selling point ) bagi produk
itu.8
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak
hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya
berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan citra, makna dan
identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan menggunakan tubuhnya untuk
membebaskan hasratnya dan bermain-main (jouissance) maka bisa jadi
perempuan otonom berperan aktif membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para
pengkaji cultural studies, persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya
representasi citra perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan
mampu menjadi subjek sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya
tidak menghadirkan bad taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998).
Makna bad taste advertising itu sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati
batas, dalam arti tidak terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-
imagination
Di sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan
kapitalisme. Madonna sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan
identitasnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan
dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki dalam masyarakat kapitalis yang
eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus diwaspadai.
8
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan dalam Iklan
Kita, Dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media, Yayasan Jurnal Peremuan, Jakarta,
2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan Media (Ketidakadilan Gender dalam Media),
Equilibrium, Jurnal Pendidikan, volume 1, no 1/2013. hal. 53-63
10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam konteks kemampuan dalam pembentukan citra itulah, media bisa
berperan untuk mengangkat isu-isu perempuan ke sektor publik yang lebih luas.
Di sini media bisa membuat citra yang tidak dikriminatif dan memojokkan
identitas mental dan tubuh perempuan, atau membakukan peran sosial perempuan.
Media bisa membangun citra bahwa perempuan pun memiliki kemampuan yang
sama seperti laki-laki bila diberi kesempatan. Karena itu, citra-citra “baru”
mengenai perempuan harus terus-menerus ditampilkan, sampai akhirnya menjadi
familiar. Robeet Thadi Citra Perempuan dalam Media Peran media dalam
mengubah posisi subordinasi perempuan adalah mengubah citra perempuan yang
selama ini diyakini masyarakat dan kemudian ditampilkan oleh media itu sendiri.
3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis mengharapkan sekiranya pembaca akan
memahami bagaimana tentang peluang perempuan di media. Semoga dengan
makalah ini pembaca dapat memahami materi yang disampaikan, dan mengambil
nilai-nilai positif dari materi ini.
Dan semoga makalah ini bisa menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-
makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus penulis.
11
DAFTAR PUSTAKA
Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori
SosialKonflik, Makalah Universitas Surakarta.
Sri Yuliani dan Argyo Demartoto dalam Laporan Penelitian “Konstruksi Sosial
Mengenai Tubuh Perempuan dalam kaitannya dengan Pornografi dan
Pornoaksi“, Fisip Uns, 2007.
Suharko, Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa, Dalam
Idi Subandi, 1998.
12