Anda di halaman 1dari 15

PELUANG PEREMPUAN DALAM MEDIA

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Nursapiah Harahap, M.A

DISUSUN OLEH :
IKOM 7 JURNALISTIK SEMESTER 7
KELOMPOK 4 :

ALFI SYAHRIN (0105182257)


AYU FARADILLA (0105183345)
RIZKY MARYAM NASUTION (0105182224)

PRODI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya makalah yang berjudul “Peluang Perempuan Dalam Media” ini
dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih
atas bantuan dari teman-teman kelompok yang telah berpartisipasi dalam
menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini disusun sebagai bahan dalam pengambilan nilai presentase


dan sebagai penunjang pelaksanaan dalam mengerjakan tugas mata kuliah Media
dan Gender. Dengan adanya makalah ini kita bisa menambah wawasan materi
Media dan Gender.

Mungkin makalah ini masih sangat banyak memiliki kekurangan


walaupun penulis telah berusaha dengan baik bagi para pembaca atau pendengar.
Oleh karena itu, kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini sangat di
perlukan dengan senang hati penulis terima. Mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca maupun pendengar. Kami sebagai
penulis makalah ini memohon maaf apabila terdapat kesalahan.

Medan, 7 November 2021


Penulis,

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1. Latar Belakang............................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3. Tujuan ........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

1. Citra Perempuan Dalam Media..............................................................3


2. Stereotipe Terhadap Perempuan............................................................6
3. Peranan Media Dalam Menciptakan Stereotipe Tentang Perempuan....8

BAB III PENUTUP..............................................................................................12


1. Kesimpulan..........................................................................................12
2. Saran....................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perempuan kini tengah menjadi sorotan. Di era emansipasi ini masyarakat
mulai mengakui keberadaan perempuan yang makin maju dan mulai
menunjukkan diri mereka. Keadaannya tentu berbeda ketika masyarakat belum
mengenal emansipasi. Perempuan tidak bisa bebas untuk berekspresi dan
bersosialisasi dengan leluasa. Perempuan masa kini sudah berani
mengekspresikan diri dan mandiri tanpa terkekang oleh adat dan mitos dalam
masyarakat. Mereka mulai meretas karir untuk meningkatkan kualitas dan
kemampuan diri demi masa depan. Masyarakat yang mulai merasakan kekuatan
emansipasi perempuan pun mulai terbuka dan mengakui sosok perempuan yang
ingin disejajarkan dengan sesama mereka, laki-laki.
Untuk menunjukkan kemampuan diri, perempuan lebih berani dan bebas
memilih pekerjaan sesuai dengan minat mereka. Bahkan perempuan tak ragu lagi
terjun ke dunia kerja yang kerap diidentikkan dengan kaum laki-laki, salah
satunya menjadi seorang jurnalis. Bukan hal yang mengejutkan lagi perempuan
menjadi seorang jurnalis, karena pada dasarnya masing-masing individu baik itu
perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama, meskipun
mayoritas pekerja media didominasi oleh laki-laki yang menyebabkan media
massa identik sebagai ranah maskulin.
Anggapan media sebagai dunia laki-laki ini, dibarengi dengan munculnya
tiga hal yang menggambarkan persoalan perempuan di media massa yang masih
bias gender . Pertama, seputar penggambaran sosok perempuan di media massa
yang masih kurang sensitif gender dan cenderung menyudutkan posisi kaum
perempuan. Dalam berita kriminal, perempuan banyak disorot terkait masalah
kekerasan, penganiayaan, dan pelecehan seksual. Perempuan digambarkan
sebagai objek eksploitasi, sebagai tersangka, atau sebagai korban. Bahkan ada
anggapan bahwa perempuan dianggap ‘mengundang’ (memancing) tindak
kriminalitas atas diri mereka.

1
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam pembahasan makalah
kali akan dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana citra perempuan dalam media?
2. Bagaimana stereotipe terhadap perempuan?
3. Bagaimana peranan media dalam menciptakan stereotipe tentang perempuan?

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Memahami citra perempuan dalam media.
2. Memahami stereotip terhadap perempuan.
3. Memahami peranan media dalam menciptakan stereotipe tentang perempuan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Citra Perempuan Dalam Media


Citra perempuan dengan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga sudah
jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media massa. Ketika melihat
iklan di televisi yang menayangkan perempuan sedang memasak dengan memakai
bumbu masak tertentu, di situ kita disuguhi citra tentang posisi sosial perempuan
yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai pengelola utama
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Keindahan perempuan, sering kali dijadikan
objek yang sangat menguntungkan bagi pelaku media, dengan mendiskreditkan
perempuan untuk mengejar rating tertinggi dan berlomba-lomba mengejar
duniawi yang dibutakan akan azaz kapitalisme. Oleh karena itu, kekaguman-
kekaguman terhadap perempuan, terkadang tanpa disadari terlihat sangat
diskriminatif ketika perempuan hanya dijadikan simbol dalam seni-seni
komersial, yang ditayangkan melalui karya-karya seni kreatif seperti iklan,
sehingga menjadi konsumsi masyarakat dalam berbagai media masa dan posisi
perempuan sangat potensial untuk di eksploitasi.

Menurut Jalaluddin Rahmat, media berperan besar dalam pencitraan. Citra


adalah gambaran suatau realitas yang memiliki makna, karena media memiliki
kemampuan tertentu dalam menciptakan realitas. Mulamula citra adalah sebuah
elemen representasi atas kenyataan dengan pengembangan bentuk-bentuk bahasa
yang mengandung acuan faktual yang menghasilkan makna baru.1

Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap


konstruksi. Dimana banguan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini
terbentuk dua model. Pertama, model good news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengkonstruksi suatau pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik.
Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai objek yang memiliki citra
baik sehingga terkesan lebih baik sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu
sendiri. Kedua, model bad news, adalah suatu konstruksi yang cenderung
1
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia,2005, hal 11

3
memberitakan citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek,
lebih buruk, lebih jahat, dan sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada
pada objek pemberitaan itu sendiri. Citra yang dibentuk oleh media akan
mempengaruhi khalayak dalam mempersepsikan pandangan seseorang terhadap
orang lain seperti halnya pandangan terhadap perempuan. Jika media
mengkonstruksikan hal yang baik mengenai perempuan, maka masyarakatpun
akan memandang perempuan tersebut baik dan sebaliknya. Dalam produksi
media, tak jarang perempuan dicitrakan untuk jadi pihak yang kalah atau selalu
harus melayani dan memenuhi kebutuhan laki-laki dalam relasi.2

Salah satu acara yang sering mengeksploitas citra perempuan adalah iklan,
sebagian besar iklan menggunakan tubuh perempuan untuk menarik minat
konsumen. Tampilan tubuh perempuan dalam dunia iklan diarahkan untuk
kepentingan laki-laki, sehingga citra perempuan dikonstruksikan dari perspektif
nilai dan hasrat laki-laki.3 Tayangan iklan itu tidak menampilkan sesuatu yang
baru tentang citra perempuan. Iklan itu hanya “mengambil-alih” sesuatu yang
dianggap wajar dan seharusnya terjadi dalam kehidupan, yakni salah satu jenis
pekerjaan yang melekat pada perempuan sebagai pemasak makanan untuk
memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Dengan menggambarkan atau menceritakan perilaku dan aktivitas


perempuan seperti itu, media tampak hanya memperkuat citra perempuan yang
sudah dibangun sebelumnya. Tampilan substansi media itu bukan sesuatu baru,
mungkin yang baru hanya pada tingkatan performance-nya, bukan isinya. Adakah
media yang menampilkan laki-laki yang mengasuh dan mengajari anak, yang
memasak atau mencuci pakaian, dan yang sedang membersihkan rumah? Sangat
jarang sekali, untuk tidak menyebutkan tidak ada. Dengan demikian, media
tampak lebih merepresentasikan citra yang sudah dibuat masyarakat, yang
memisahkan identitas mental (feminim dan maskulin) dan pembagian kerja
2
Burhan Bungin, Sosiologi komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus eknologi Komunikasi di
Masyarakat, Jakarta, Prenada Media Group, 2006, hal 209
3
Sri Yuliani dan Argyo Demartoto dalam Laporan Penelitian “Konstruksi Sosial Mengenai Tubuh
Perempuan dalam kaitannya dengan Pornografi dan Pornoaksi“, Fisip Uns, 2007, hal 41.

4
seksual (ranah domestik dan ranah publik) antara laki-laki dan perempuan. Itu
berarti, ikut memperkuat pembakuan stereotype yang sudah dikonstruksi
masyarakat.

Citra perempuan yang dikonstruksi media sangat buruk. Konstruksi ini


akan mempengaruhi persepsi atau paradigma publik terhadap kaum perempuan.
Ada beberapa citra media terhadap perempuan:

1) Bias gender terhadap perempuan, di banyak media, terutama media


cetak koran dan majalah serta media elektronik seperti televisi melalui
iklan dan berita, kaum perempuan “dikemas” sebagai kaum yang
lemah.
2) Perempuan yang diekspose berlebih, setiap perempuan memiliki sisi
sensualitas tersendiri. Banyak pengiklan memanfaatkan hal ini.
Sensualitas perempuan dijadikan umpan untuk penarik perhatian
audience, terutama laki-laki. Karena secara psikologi manusia suka
melihat keindahan yang menarik ditangkap mata. Selain
sensualitasnya, perempuan juga dikosntruksi sebagai feminimisme.
Perempuan cantik dikonstruksi dengan gambaran tertentu. Dan
peremuan semacam itu menjadi role model kebanyaan perempuan.
Inilah bentuk feminimisme yang diciptakan media.
3) Perempuan sebagai subjek dan objek media, perempuan dalam balutan
media bukan saja hanya sebagai subjek namun juga objek. Media
“menggunakan” perempuan sebagai sosok utama yang dapat mereka
gunakan. Pengiklan produk yang berbau seks dan laki-laki banyak
menggunakan model perempuan.

Melalui ragam media, citra perempuan ditampilkan dengan berbagai daya


tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu,
pakaiannya yang modis dan up to date, serta perilakunya yang mengesankan
keanggunan. Kalaupun ditampilkan maskulin, seperti agresif dan kasar serta
berpakaian layaknya laki-laki, hal itu akan dianggap sebagai penyimpangan

5
belaka. Inilah citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa: a)
Citra Pigura: perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh yang
ideal. b) Citra Pilar: perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah
tangga. c) Citra Peraduan: perempuan sebagai objek seksual. d) Citra Pinggan:
perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur. e) Citra pergaulan:
perempuan sebagai sosok yang kurang pede dalam bergaul.4

2. Stereotipe Terhadap Perempuan


Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan.
Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan
tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media.Pendekatan feminis-strukturalis
Simone de Beauvoir telah mengilhami Ortner dalam menilai bahwa subordinasi
perempuan secara universal adalah dampak dan fungsi khas mereka dalam tradisi
dan budaya yang melekat di masyarakat. Perempuan dianggap sebagai pengasuh
dan orang yang membesarkan anak.Perempuanselalu diidentifikasi pada ranah
domestik.

Pada posisi yang berbeda, hieraki gender menempatkan laki-laki sebagai


gender yang perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya
bertanggungjawab secara publik, bukan secara domestik. Hal inilah yang
membuat orang-orang di luar hierarki menjadi kesulitan untuk diterima dalam
nilai-nilai tersebut. Padahal, di luar dua kelompok gender tersebut ada juga
kelompok lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT), yang keberadaannya
dipinggirkan.5

Konstruksi gender dalam konteks patriarki membuat perempuan sulit


untuk mengubah―takdirnya‖. Bukan hanya perempuan, orang-orang yang hidup
diluar hierarki gender pun terpinggirkan, kelompok LGBT (lesbian, gay,
biseksual,dan transgender), menjadi sulit diterima dan sulit dibahasakan di

4
Tamrin Amal Tomogola, Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik (MD, Mukhotib) Menggagas
Jurnalisme Sensitif Gender, Yogyakarta, PMII-INPI Pact, 1998, hal 8
5
Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori
SosialKonflik,Makalah Universitas Surakarta. hal. 12

6
kalangan masyarakat.DiBarat, hierarki gender terjadi sejak manusia
mengkonstruksikannya. Walaupun konstruksi ini terus berubah, namun sepanjang
sejarah--sejak masa pemerintahan demokrasi modern, masa Revolusi Industri di
Eropa di abad 16, hingga sekarang-- perempuan tak pernah lepas dari penilaian,
dari konstruksi. Konstruksi ini pun merasuk dalam seni dan kebudayaan sehari-
hari. Pada masa Revolusi Industri, konstruksi ini mengemuka dalam Monalisa
karya Leonardo da Vinci. Hari ini, mengejawantah dalam boneka Barbie
(Luviana, 2010).

Stereotipe yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini
kemudian menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang
melekat dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah
melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan industri media
kita merupakan propagandis terdepan dalam mengkampanyekan stereotipe
tersebut.

Pada masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi


dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas
(misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti
dikutip Yasraf Amir Piliang, masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam
dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi
―tontonan‖. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan
untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas
tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.6

Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah


jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas,
mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini,
perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara
sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia
6
Hidayati, Ratna, 2006, ―Jurnalisme Berperspektif Gender‖, disampaikan dalam Short
CourseJurnalisme Denpasar, 22 April 2006. hal. 9

7
komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu,
kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan
sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis
sebagai kritikan kepada media massa.

Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam


masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April
diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak
sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni
majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam
media massa akan memperbaiki citra mereka.

3. Peranan Media Dalam Menciptakan Stereotipe Tentang


Perempuan
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran
perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam
masyarakatnya. Mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia.
Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan.
Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis –
maskulin, alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi,
karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum
laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam
media massa.
Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat dalam
berbagai tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita.
Gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam
tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal
yang paling penting dalam kehidupan perempuan. Jika seorang artis perempuan
tidak berpasangan, maka ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan pekerja
infotainment. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan
oleh infotainment di televisi kita. Hal lainnya adalah status cantik yang melekat
dalam industri media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi

8
harus selalu cantik. Jika tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan
ejekan: tak seksi, kurang putih, mukanya kurang menjual, kalah pamor dari
perempuan cantik lainnya.
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di
media, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—
stereotipe yang sangat jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun
radio.Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya
membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci wajahnya
yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu
gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi
tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian
digunakan untuk menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol,
signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering
dilabelkan pada seseorang atau kelompok tertentu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias
gender. Iklan-iklan yang ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan
teks-teksnya. Pencitraan yang paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan
berbagai kalangan adalah citra peraduan, dimana elemen seksualitas perempuan
ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Dengan mengutip Busby dan Leichty, bahwa tubuh perempuan digunakan
sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling tidak
berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil sebagai
simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan
kelincahan produk mobil dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh
perempuan sebagai sebuah simbol merupakan upaya komodifikasi tubuh
perempuan, sementara bagi sebagian yang lain, para praktisi periklanan
khususnya, hal ini adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk memperkuat
daya jual sebuah produk.7

7
Suharko, Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa, Dalam Idi Subandi,
1998. hal. 29

9
Prabasmoro menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh
perempuan hanya potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas
perempuan juga dikomodifikasi. Banyak produk yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan semata-
mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual (selling point ) bagi produk
itu.8
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak
hanya menjadi objek pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya
berkuasa atas dirinya sendiri dan berperan aktif menentukan citra, makna dan
identitas dirinya. Menurut Lacan, jika perempuan menggunakan tubuhnya untuk
membebaskan hasratnya dan bermain-main (jouissance) maka bisa jadi
perempuan otonom berperan aktif membebaskan tubuhnya. Karenanya, bagi para
pengkaji cultural studies, persoalannya bukan terletak pada benar tidaknya
representasi citra perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan
mampu menjadi subjek sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya
tidak menghadirkan bad taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998).
Makna bad taste advertising itu sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati
batas, dalam arti tidak terjebak pada over-exposure, over-signification dan over-
imagination
Di sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan
kapitalisme. Madonna sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan
identitasnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan
dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki dalam masyarakat kapitalis yang
eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus diwaspadai.

8
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan dalam Iklan
Kita, Dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media, Yayasan Jurnal Peremuan, Jakarta,
2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan Media (Ketidakadilan Gender dalam Media),
Equilibrium, Jurnal Pendidikan, volume 1, no 1/2013. hal. 53-63

10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam konteks kemampuan dalam pembentukan citra itulah, media bisa
berperan untuk mengangkat isu-isu perempuan ke sektor publik yang lebih luas.
Di sini media bisa membuat citra yang tidak dikriminatif dan memojokkan
identitas mental dan tubuh perempuan, atau membakukan peran sosial perempuan.
Media bisa membangun citra bahwa perempuan pun memiliki kemampuan yang
sama seperti laki-laki bila diberi kesempatan. Karena itu, citra-citra “baru”
mengenai perempuan harus terus-menerus ditampilkan, sampai akhirnya menjadi
familiar. Robeet Thadi Citra Perempuan dalam Media Peran media dalam
mengubah posisi subordinasi perempuan adalah mengubah citra perempuan yang
selama ini diyakini masyarakat dan kemudian ditampilkan oleh media itu sendiri.

Dalam konteks perempuan dan gender, media dapat digunakan sebagai


bekal untuk masuk dalam arena perjuangan tanda dimana perempuan harus
mampu merebut makna. Hal ini perlu dilakukan agar yang berhubungan dengan
perempuan tidak lagi ditempatkan dalam posisi marjinal terus menerus. Bahwa
perjuangan gender adalah perjuangan mengubah relasi memandang dan
dipandang. Artinya, perempuan harus lebih mengarah pada political subject
daripada political object karena dengan demikian ia punya komitmen atas
perubahan yang lebih baik bagi dunia dan peletakan sejarahnya sendiri.

3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis mengharapkan sekiranya pembaca akan
memahami bagaimana tentang peluang perempuan di media. Semoga dengan
makalah ini pembaca dapat memahami materi yang disampaikan, dan mengambil
nilai-nilai positif dari materi ini.
Dan semoga makalah ini bisa menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-
makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus penulis.

11
DAFTAR PUSTAKA

Asrini, Dwi., 2013, Gender dalam Konteks Teori Struktural-Fungsional dan Teori
SosialKonflik, Makalah Universitas Surakarta.

Bungin, Burhan, 2006. Sosiologi komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus


eknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Prenada Media Group.

Hidayati, Ratna, 2006, ―Jurnalisme Berperspektif Gender‖, disampaikan dalam


Short CourseJurnalisme Denpasar, 22 April 2006.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, Putih, Femininitas, dan seksualitas Perempuan


dalam Iklan Kita‖, Dalam Jurnal Perempuan, Remaja Melek Media. Yayasan
Jurnal Peremuan, Jakarta, 2004Quraisy, Hidayah., 2013, Perempuan dan Iklan
Media (Ketidakadilan Gender dalam Media), Equilibrium, Jurnal Pendidikan,
volume 1, no 1/2013.

Sri Yuliani dan Argyo Demartoto dalam Laporan Penelitian “Konstruksi Sosial
Mengenai Tubuh Perempuan dalam kaitannya dengan Pornografi dan
Pornoaksi“, Fisip Uns, 2007.

Suharko, Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media Massa, Dalam
Idi Subandi, 1998.

Tamrin Amal Tomogola, Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik (MD,


Mukhotib) Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, Yogyakarta, PMII-INPI Pact,
1998.

Wiryanto, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Gramedia Widiasarana


Indonesia

12

Anda mungkin juga menyukai