(Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Gender
dan Pemberdayaan Masyarakat
JURUSAN ADMINISTRASI
UNIVERSITAS CANDRAWASIH
KATA PENGANTAR
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan inipenulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan
makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalh ini tidak luput dari berbagai
Jayapura 155JUni
Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL...................................................................................................... i
Gender ................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
iii
I. PENDAHULUAN
1
yang perlu dikembangkan.Oleh karena itu muncullah berbagai strategi
pemberdayaan perempuan.Namun pemberdayaan terhadap perempuan samakin
mendoktrin peran perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi selain itu
pemberdayaan perempaun yang hanya fokus pada perempuan seakan melupakan
peran penting laki-laki dalam pembangunan.
Atas dasar permasalahan tersebut maka dibutuhkan sebuah konsep
pemberdayaan yang benar-benar berspektif gender, yang tidak hanya membahas
peranan perempuan saja tetapi juga laki-laki.Maka atas dasar tersebut disusunlah
makalah ini untuk memperlihatkan konsep pemberdayaan masyarakat dalam
perspektif gender.
1.3 Tujuan
2
e. Menjelaskan pemberdayaan perempuan sebagai upaya untuk mencapai
keadilan dan kesetaraan gender
f. Menjelaskan perkembangan strategi pemberdayaan masyarakat dalam
perspektif gender.
3
II. PEMBAHASAN
4
proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan
(pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan
kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu
(Sumodiningrat, Gunawan, 2002) .
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering,
andsustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya
belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap
konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari
upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman
(1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive
democracy, appropriateeconomic growth, gender equality and intergenerational
equaty”.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu
(Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi
yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa
daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain
dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-
langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
5
pembukaan akses kedalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-
nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Oleh karena
itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannyadengan pemantapan,
pembudayaan, pengamalan demokrasi.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan
dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi
dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat
atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi
makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada
dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. Dengan
demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan
membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih
baik secara berkesinambungan.
6
Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran pasar
dalam alokasisumber daya, serta dengan praanggapan bahwa kebijaksanaan
ekonomi makro yang tepat akanmenguntungkan semua lapisan masyarakat, dalam
kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawabanyang memuaskan bagi masalah
kesenjangan. Kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkankegagalan
pasar untuk mewujudkan harapan itu (Brown, 1995). Oleh karena itu,
diperlukanintervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat makro
mendukung upaya mengatasikesenjangan yang harus dilakukan dengan kegiatan
yang bersifat mikro dan langsung ditujukan padalapisan masyarakat terbawah.
Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagikonsep-konsep
pembangunan makro dan mikro.
Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan
sarana yangdialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program
pembangunan harus ditempatkan sebagairangsangan untuk memacu percepatan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkanuntuk meningkatkan
kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal
yangbersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat
menciptakan pendapatan yangdinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus
digerakkan oleh masyarakat sendiri.Pengertian pemupukan modal seperti itu
menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dansarana harus dikelola secara
tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok.Pertama, mudah
diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan
pengelola(acceptable); kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan
dapatdipertanggungjawabkan (accountable); ketiga, memberikan pendapatan yang
memadai dan mendidikmasyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis
(profitable); keempat, hasilnya dapatdilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga
menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembagasosial ekonomi setempat
(sustainable); dan kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapatdengan
mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih
luas(replicable).
7
Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus
mengikuti pendekatan sebagai berikut:
Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut
pemihakan. Iaditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang
dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan
oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan
dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena
sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu
sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan
pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri
masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara
individu. Karena itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok
adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih
efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan
kelompok yang lebih maju harus terus-menerus di bina dan dipelihara secara
sating menguntungkan dan memajukan. Selanjutnya untuk kepentingan analisis,
pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik dengan pendekatan
komprehensif rasional maupun inkremental.
Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan
berjangka, sertapengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi
yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini
perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun dunia usaha
dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu
yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnya
harus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk
menghasilkan dampak yang berarti. Dengan pendekatan yang kedua, perubahan
yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam
8
derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah demi langkah,
mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor
dengan sektor lainnya dapat berbeda percepatannya, demikian pula antara satu
wilayah dengan wilayah lain, atau suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam
pendekatan ini, maka desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan teramat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah didekatkan
sedekat mungkin kepada masyarakat.
9
kepada pihak yang terabaikan dan gotong royong serta masih banyak nilai-nilai
yang lainnya. Penanaman nilai ini bukan hanya sabatas retorika saja akan tetapi
harus dicontohkan oleh semua pihak yang terlibat kegiatan pemberdayaan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada berbagai lokasi ini akan terlihat dengan jelas, apabila
proses penyadaran berlangsung dangan baik maka bisa dipastikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat juga akan berjalan dengan baik pula.
Dalam rangka membentuk kesadaran maka nilai-nilai pemberdayaan harus
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan dilakukan secara berulang-ulang
(repetisi). Selanjutnya kedua hal tersebut akan membentuk habits baru yang secara
sadar akan melahirkan norma-norma baru dimasyarakat. Proses ini harus
dilakukan secara terus menerus dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
2. Tahap pengorganisasian
Pengorganisasian adalah untuk mengembangkan peningkatan kapasitas dan
daya tawar masyarakat (komunitas). Pemikiran ini bermuara pada prinsip
demokrasi, yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, atau suatu
proses dari, oleh dan untuk rakyat. Secara mendasar pengorganisasian diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dan disisi lain mempersiapkan
basis sosial bagi tatanan dan situasi yang baru dan lebih baik yang ingin
diciptakan.
Pengorganisasian masyarakat dilakukan dengan maksud memperkuat
(memberdayakan) sehingga masyarakat mampu mandiri dalam mengenali
persoalan-persoalan yang ada dan dapat mengembangkan jalan keluar (upaya
mengatasi masalahtersebut) berangkat dari asumsi:
a. Masyarakat punya kepentingan terhadap perubahan (komunitas harus
berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang lebih baik bagi seluruh
masyarakat);
b. Perubahan tidak pernah datang sendiri melainkan membutuhkan perjuangan
untuk dapat mendapatkannya;
c. Setiap usaha perubahan (sosial) pada dasarnya membutuhkan daya tekan
tertentu, dimana usaha memperkuat (daya tekan) juga memerlukan
perjuangan.
10
3. Tahap peningkatan kapasitas/pemberian daya
Tahap pengkapasitasan yaitu tahap dimana masyarakatdiberikan
pemampuan untuk memiliki skill mengelola manajemen diri dan sumber daya
yang dimiliki. Pada tahap ini mereka diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau
peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah
dimiliki.Sehingga mampu melakukan perubahan dalam hidunya kearah yang lebih
baik.
11
kesadaran dan kepekaanterhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik
sehingga pada akhirnya mereka mampu memperbaiki dan meningkatkan
kedudukannya di masyarakat. Cakupan dari pemberdayaan tidak hanya pada level
individu namun juga pada level masyarakat dan pranata-pranatanya. Yaitu
menanamkanpranata nilai-nilai budaya seperti kerja keras, keterbukaan dan
tanggung jawab.
Adapun pemberdayaan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi yang
selama ini gencar dilakukan merupakan pemberdayaan perempuan sebagai mitra
sejajar pria yaitu kondisi ketika pria dan perempuan memiliki kesamaan hak
dan kewajiban yang terwujud dalam kesatuan, kedudukan, peranan yang
dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang
kehidupan.Sikap saling membantu yang dimaksudkan, mengindikasikan adanya
sinergitas atau kerjasama laki-laki dan perempuan dalam pembangunan.
Di Indonesia, perempuan pada satu sisi menjadi kelompok utama dari
pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan
seperti pendidikan dan ekonomi. Hal ini berpijak pada kondisi lapangan
yang menunjukkan bahwa kondisi perempuan Indonesia masih dalam tingkat
yang rendah dalam berbagai aspek disebabkan oleh berbagai faktor seperti
lokasi tempat tinggal (potensi alam), budaya bias gender, politik dan berbagai
kebijakan pemerintah yang masih dalam proses netral gender. Oleh karena itu
pemerintah mencoba berbagai program, strategi dan pendekatan yang berbeda-
beda (berubah dengan menyesuaikan isu yang dikaji atau di analisa)
pemberdayaan dalam bentuk kebijakan. Akan tetapi, objek program atau
kegiatan pembangunan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi
dilapangan. Dengan kata lain, kelompok laki-laki dapat menjadi sasaran dari
program bahwadata lapangan menyatakan bahwa kelompok yang perlu
diberdayakan atau dilibatkan secara penuh adalah kelompok laki-laki. Jadi sekali
lagi, pemberdayaan dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta dilapangan.
12
Strategi pemberdayaan dapat melalui pendekatan individual, kelompok
atau kolektif dengan saling memberdayakan perempuan mitra sejajar pria
dengan menggunakan pendekatan dua arah perempuan dan pria yang saling
menghormati sebagai manusia, saling mendengar dan menghargai keinginan serta
pendapat orang lain. Upaya saling memberdayakan ini meliputi usaha
menyadarkan, mendukung, mendorong, dan membantu mengembangkan
potensi yang terdapat pada diri individu, sehigga menjadi manustia mandtiri
tetapi tetap berkepribadian.
WID (Women In Development) sebagai strategi pemberdayaan pertama
mulai dikenal antara tahun 1975-1985. Rentang tahun tersebut
dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”. Sejak
dideklarasikan, hampir semua negara mulai mengembangkan Kementerian
Peranan Wanita, termasuk Indonesia, dengan fokus utama meningkatkan peran
wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam
pembangunan ini berdasarkan analisis yang lebih memfokuskan strategi pada
kelompok perempuan. Strategi ini dibangun dengan berlandaskan asumsi
bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas
sumber daya perempuan itu sendiri yangberdampak pada tingkat kemampuan
bersaing perempuan terhadap laki-laki yang cenderung rendah dalam
masyarakat termasuk dalam proses pembangunan. Analisis ini menuntut adanya
usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi upaya mendidik dan
memberdayakan kelompok perempuan. Akan tetapi, strategi ini menuai banyak
kritik terutama dari kelompok feminis dengan mengasumsikan bahwa
strategi tersebut merupakan agenda dunia pertama terhadap dunia ketiga
dengan bias kepentingan feminis liberal serta berorientasi pada pemberdayaan
yang kontraproduktif terhadap pemberdayaan perempuan. Kritik lain yang
muncul terhadap strategi ini yaitu pengabaian terhadap hubungan dan relasi sosial
antara laki-laki dan perempuan. Strategi ini dipandang belum mampu
menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.
Strategi kedua kemudian muncul dengan dengan fokus berbeda yaitu
sistem, struktur, ideologi, dan budaya hidup masyarakat yang memungkinkan
13
untuk menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk ketidakadilan yang bersumber pada
keyakinan gender. Menurut strategi ini, inti dari persoalannya bukan kaum
perempuan sebagaimana yang pada awalnya diasumsikan, akan tetapi pada
upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Strategi
kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan
struktur gender dalam masyarakat. strategi ini dikenal sebagai pendekatan
Gender and Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi
WAD (Women and Development) setelah kegagalan strategi WID.
Strategi GAD pada dasarnya adalah salah satu pendekatan yang
mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan yang melingkupi perempuan
dalam pembangunan termasuk semua pekerjaan yang dilakukan perempuan
seperti kerja produktif dan reproduktif serta pekerjaan di ruang publik maupun
domestik. Lebih jauh lagi, pendekatan GAD juga menghapus berbagai asumsi dan
penilaian rendah terhadapsemua pekerjaan perempuan. selain aspek positif
yang dimiliki GAD, pendekatan ini memiliki aspek kelemahan yang
membuat pendekatan ini dikembangkan lagi kearah pendekatan lainnya.
Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan
kemungkinan memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan
pembangunan serta diperkuat konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya
platform action strategi gender mainstreaming. Dalam konferensi tersebut
dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang
kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi
Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD
yang tujuan dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam
pembangunan. Sasaran utama kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi
(masyarakat), institusi (organisasi dan masyarakat). Strategi ini menjadi
landasan hukum untuk implementasi pengarusutamaan gender dalam rangka
pencapaian kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat.
14
Program pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah
kurang memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal
ini terjadi karena pemerintah kurang melibatkan masyarakat dalam proses
pembangunan serta strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah belum
mengena kepada masyarakat.Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka
diterapkan strategi pembangunan yang bertumpu pada masyarakat atau yang
dikenal dengan istilah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
secara konsepsional memiliki 2 makna pokok :
a. Memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas
kepada masyarakat, agar masyarakat mempunyai kemandirian dalam
pengambil keputusan untuk membangun dirinya sendiri dan
lingkungannya secara mandiri.
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai
kebijakan dan program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat
dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.
15
penyadaran kritis dengan melibatkan secara penuh perempuan dan laki-laki,
anak-anak dan orang dewasa. Adapun tahapan kegiatan pelaksanaan Program
Terpadu P2M-BG terdiri dari (1) penyusunan data dasar, (2) perencanaan
kegiatan, (3) pelaksanaan kegiatan, dan (4) evaluasi kegiatan
Dalam penentuan jenis program dan kegiatan yang akan dilaksanakan di
Desa/Kelurahan dilakukan melalui proses partisipatif, dengan disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat mitra serta potensi yang ada di
Desa/Kelurahan. Adapun program yang ditawarkan dalam program Terpadu P2M-
BG meliputi :
a. Peningkatan akses pada pendidikan
b. Peningkatan produksi pertanian.
c. Peningkatan kualitas pemukiman
d. Peningkatan status kesehatan masyarakat
e. Mewujudkan Desa/Kelurahan sehat.
f. Peningkatan kesadaran hukum
g. Peningkatan pendapatan keluarga
h. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam berkoperasi.
16
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
17
DAFTAR PUSTAKA