Anda di halaman 1dari 18

Ekonomi Media

Ekonomi Industri Film

Oleh :
Kelompok 10
Aulia Ananda 50100119075
Altair Putra Abidin 50100119076
Fitriani 50100119077
Nurafni 50100119078
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR
2022
Kata Pengantar

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana karena

anugerah yang diberikannya penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah

satu tugas mata kuliah.

Makalah ini berjudul ”ekonomi industri film. Penulis pun tidak lupa mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua pihak terutama dosen mata kuliah

yang bersangkutan yang sudah memberi pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada makalah

atau karya tulis penulis selanjutnya Insya Allah.

Semoga makalah yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan dapat menambah pengetahuan kita semua. Amin.

S a m a t a . 9 J u n i 2022

Penulis
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Film sebagai media komunikasi massa hingga kini masih bertahan di tengah
perkembangan new media yang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang
dalam berbagai perspektif yang berbeda baik sebagai seni, media edukasi, dan industri
media massa.
Dalam konteks industri media massa, film merupakan industri budaya yang
bergerak dalam logika bisnis yang tidak dapat dilepaskan dari ekonomi media.
Ekonomi media akan menggerakkan bisnis film dengan perhitungan profit yang sering
kali mengabaikan peran dan posisi film dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Pentingnya film bagi perjalanan bangsa dituangkan dalam Undang-Undang Perfilman
tahun 1992 yang kemudian diperbarui pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009
yang disesuaikan dengan perkembangan masa.
Dalam UU Perfilman tahun 2009, dinyatakan bahwa bahwa (1) film sebagai
karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya
bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan
nasional
dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman; (2) bahwa
film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan
bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan
masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan
perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi; (3) bahwa film dalam era
globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari
pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa
Indonesia; dan (4) bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan
dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi1
Berdasarkan keempat pertimbangan tersebut, maka negara bertanggung jawab
untuk memajukan perfilman termasuk industri kreatif yang sejalan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, film dan perfilman tidak
hanyadikembangkan tetapi juga dijaga dan dilindungi dari pengaruh negatif yang
tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa.
Salah satu upaya pemerintah untuk memadukan kemajuan perfilman dan
melindungi pengaruh negatif yaitu dengan mengembangkan festival- festival film.
Dalam Laporan Dialog Perfilman Nasional yang disusun oleh Pusat Pengembangan
Film Nasional terekam berbagai permasalahan perfilman nasional. Laporan tersebut
menyebutkan bahwa beragam kegiatan festival perfilman diprakarsai oleh berbagai
kelompok masyarakat akar rumput, kerap dengan menggunakan dana swadaya yang
dimobilisasi sendiri. Berdasarkan data dari asosiasi festival film Indonesia, terdapat
sekitar 20 festival film yang aktif diselenggarakan. Laporan tersebut menyebutkan
bahwa pada satu sisi, festival film berfungsi menjadi ajang pemberian apresiasi
terhadap film-film atau para pekerja budaya yang dianggap memenuhi standar kualitas
tertinggi dan di sisi lain festival film diselenggarakan sebagai sebuah moda budaya
yang menumbuhkan dan merawat budaya menonton di suatu daerah serta menjaring
talenta dan karya lokal, yang kerap terpinggirkan dari wajah sinema Indonesia.
Terbukti bahwa dari festival- festival ini, lahir sineas-sineas muda berpengaruh.
Laporan yang disusun berdasarkan Focus Group Discusssion tersebut dilakukan pada
22 Desember 2015 di Jakarta yang menghadirkan sekitar 40 peserta yang mewakili
beragam kepentingan: produser film, sutradara, jaringan gedung bioskop.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ekonomi
Media, sebagai ilmu dan wawasan bagi penulis
1.3 Rumusan Masalah
1. Berapa biaya produksi dan penghasilan industri film ?
2. Bagaimana pasar dalam ekonomi industri film?
3. Bagaimana bioskop dalam ekonomi industri film?
4. Bagaimana kepemilikan ekonomi industri film?
5. Bagaimana Teknologi industri film?
6. Bagaimana kompetisi dalam industri film?
7. Bagaimana regulasi industri film?
8. Bagaimana masa depan ekonomi industri film?

1.4 Manfaat
1. Untuk mengetahui biaya produksi dan penghasilan industri film
2. Untuk mengetahui pasar dalam industri film
3. Untuk mengetahui bioskop industri film
4. Untuk mengetahui kepemilikan industri film
5. Untuk mengetahui teknologi industri film
6. Untuk mengetahui kompetisi industri film
7. Untuk mengetahui regulasi industri film
8. Untuk mengetahui masa depan industri film
Bab II
Pembahasan

1. Ekonomi media
Pengertian ekonomi
Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani oikonomia yang berarti oikos (rumah
tangga) dan nomos (mengatur), jadi oikonomia berati mengatur rumah tangga. Ekonomi
adalah kegiatan atau usaha manusia dalam memenuhi keperluan (kebutuhan dan keinginan)
hidupnya. Secara konspetual hampir semua aktifitas manusia terkait dengan ekonomi, karena
semua aktifitas manusia berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Aktifitas
ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia melalui kegiatan investasi,
produksi dan distribusi barang dan jasa melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dimana
masing-masing pihak mendapatkan kepuasan.
Ekonomi sebagai ilmu adalah mempelajari aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumsinya, yang meliputi kegiatan investasi, produksi, distribusi,
serta konsumsi barang dan jasa. Dalam konsep ini ilmu ekonomi dikelompokkan menjadi
ekonomi makro dan ekonomi mikro

Pengertian media
Media adalah kata lain dari alat atau sarana. Kata ini sering menjadi bahasan sehari-
hari terutama bila melakukan suatu kegiatan. Misalnya proses belajar mengajar menggunakan
media kelas, buku, alat tulis dan sebagainya. Namun media yang dimaksud disini adalah alat
dalam berkomunikasi dari komunikator dengan komunikan. Dalam komunikasi, media adalah
alat untuk menyimpan dan menyampaikan informasi atau data untuk keperluan tertentu.
Secara konsep yang dimaksud dengan media adalah berbagai alat yang dapat digunakan
untuk menyimpan dan menyebarkan informasi seperti buku, alat perekam, bahkan pada
jaringan komputer yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Macam-macam media:
 Media iklan, yaitu berbagai media yang isi dan tujuannya untuk kegiatan iklan
 Media elektronik yaitu media komunikasi melalui elektronik atau tenaga
elektromekanik
 Media digital yaitu media elektronik yang menerima, menyimpan, dan memproses
infromasi secara digital
 Media bisnis elektronik yaitu media digital yang digunakan untuk bisnis
 Media beragam (multimedia) adalah komunikasi yang menggunakan berbagai bentuk
proses informasi secara terpadu
 Media cetak adalah media komunikasi yang menggunakan kertas atau kanvas
 Media publik adalah media yang ditujukan untuk masyarakat luas
 Media massa adalah media untuk berkomunikasi massal
 Media penyiaran adalah media yang menyiarkan informasi baik melalui cetak maupun
elektronik
 Media berita adalah media massa yang fokusnya menyampaikan atau menyiarkan
berita
 Media perekam adalah peralatan yang digunakan untuk menyimpan informasi

2. Biaya Produksi dan Penghasilan

Biaya produksi film di AS terus meningkat sejak dekade lalu. Pada 1983, rata-rata
biaya produksi film sekitar 11,3 juta dolar AS. Pada 1993, rata-rata biaya produksi film
menjadi 44 juta dolar AS, dan pada 1994 melonjak menjadi 50,4 juta dolar AS.

Lembaga analis keuangan Wedbush Morgan Securities melaporkan sejak tahun 2003
pendapatan film-film Hollywood terus meningkat. Tahun 2006 pendapatan Hollywood naik
5,5% atau setara 9,5 miliar dolar AS. Tahun 2007 pendapatan Hollywood diperkirakan
mencapai 10 miliar dolar AS atau hampir Rp 100 triliun. Peningkatan pendapatan Hollywood
meningkat antara lain akibat naiknya harga tiket sebesar 50% dibanding tahun sebelumnya.

Industri film Hollywood antara lain berasal dari film-film box office. Titanik menjadi
salah satu film Hollywood dengan penghasilan terbesar sepanjang masa.

Tabel XX : Penghasilan 10 film box office Amerika sepanjang masa untuk


penayangan di seluruh Amerika

Film Penghasilan (juta dolar)


Titanic (1997) 601

Star wars (1977) 461

Shrek 2 (2004) 437

E.T. (1982) 435


Star Wars: The Panthom Manace (1999) 431

Pirates of The Caribbean: Dead Man Chest (2006) 423

Sprider Man (2002) 408

Star Wars: Revenge of The Sith (2005) 380

Lord of the Ring: Return of the King (2003) 377

Spider Man 2 (2004) 373

Sumber: Internet Movies Database 2007 seperti dikutip baran, 2008

Biaya produksi film Indonesia berkisar antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar
(tahun 1997). Film-film istimewa dibuat dengan biaya produksi Rp 4-5 miliar. Biaya produksi
film Opera Jawa garapan Garin Nugroho mencapai Rp 3,5 miliar. Biaya film horor terbilang
murah, bisa di bawah Rp 1,5 miliar, karena pemain utama tidak harus bintang ternama, cukup
pendatang baru dengan honor relatif murah. Biaya termahal yang pernah dikeluarkan dalam
memproduksi film Indonesia sebesar Rp 11 miliar, karena pengambilan gambar dilakukan di
luar negeri. Film „‟Merah Putih‟‟ yang dirilis untuk memperingati Proklamasi 17 Agustus
2009, dengan melibatkan profesional Hollywood menelan biaya produksi 60 miliar dolar AS.

Biaya produksi film di Indonesia, selain dari kocek produser, bisa berasal dari sponsor
(rokok, operator ponsel) atau sponsor dari negara lain. Opera Jawa, misalnya, biaya
pembuatannya berasal dari Austria, Belanda, Belgia. (Behind The Scene, Vol 2#11,
September 2006).

Jika penonton 300.000 orang, dengan modal Rp 2 miliar, keuntungan Rp 250 juta.
Asumsinya harga tiket rata-rata Rp 25.000 per lembar, seteah dipotong pajak untuk negara
dan dibagi dua dengan pemilik bioskop dan distributor, maka pemilik film atau produser
menerima Rp 7.500 per lembar tiket. Jika penonton 300.000 orang, produser memperoleh
300.00 x Rp 7.500 = Rp 2.250.000.000. Jika biaya produksi 2 miliar, maka keuntungan Rp
250.000.
3. Pasar

Struktur pasar industri film di AS adalah oligopoli. Hingga 1994 terdapat setidaknya
delapan pemain utama di dalamnya: Disney dengan market share 18,6%, Warner Brothers
15,9%, Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox 10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%,
MGM 2,5%

Khalayak

Industri film memperoleh revenue dari audience melalui berbagai teknologi atau cara,
seperti penjualan tiket (bioskop), home video, distribusi internasional, pay-per-view.

Berdasarkan riset Nielsen, penggemar film rata-rata mengonsumsi 10,5 judul film di
layar bioskop. Sebanyak 46% di antaranya adalah pelanggan Netflix dan 68% pemilik home
theatre. Sebanyak 63 persen penonton lebi suka menonton film di bioskop ketimbang di
rumah. Tahun 2007, penonton diperkirakan tumbuh sebesar 6,4%.

Di Amerika, penjualan tiket mencapat rekor pada 1946, yaitu sebanyak lebih dari 4
miliar tiket. Dewasa ini, 1,3 miliar tiket terjual setiap tahun di Amerika Serikat.

Di Indonesia, dari tahun 1926-2005 diproduksi 2.261 judul film (Katalgog Film
Indonesia 1926-2005). Berdasarkan data Departemen Penerangan, 112 judul film diproduksi
pada 1990/1991, 41 di tahun 1991/1992, 28 di tahun 1992/1993. Pada 1997/1998 hanya tujuh film
Indonesia yang diproduksi. Pada 2006, jumlah film Indonesia yang diproduksi mencapai 40
judul. Pada 2007, beredar 53 judul film di bioskop-bioskop Indonesia.

Film Indonesia umumnya mengandalkan penonton sebagai pasar. Untuk meraih


penonton, film Indonesia hanya memanfaatkan beberapa teknologi: penjualan tiket bioskop,
DVD/VCD. Diperkirakan saat ini hanya 20 persen rakyat Indonesia yang bisa mengonsumsi
film. Pada tahun 2006 dengan jumlah produksi sebanyak 40 judul, film Indonesia mampu
meraih 12 juta penonton. Dengan produksi dan jumlah penonton sebanyak itu, film Indonesia
meraih 34 persen dari total film. Pada tahun 2007 dengan jumlah produksi 53 judul film, 17
film di antaranya meraih lebih dari 500 ribu penonton, bahkan empat lainnya meraih sejuta
penonton.
Tabel XXI : Film-film Indonesia dengan Jumlah Penonton Terbesar (2007)

Judul Film Jumlah Penonton


1. Get Married 1,4 juta

2. Nagabonar Jadi 2 1,3 juta

3. Terowongan Casablanca 1,2 juta

4. Quicky Express >1,0 juta

5. Film Horor 900 ribu

6. Suster Ngesot 800 ribu

7. Pulau Hantu 650 ribu

8. Pocong 3 600 ribu

9. Lantai 13 550 ribu

10. Kuntilanak 2 550 ribu

Sumber: Indonesian Film Catalogue 2008

Pada tahun 2008, film Indonesia yang diproduksi mencapai 87 judul. Film yang paling
banyak ditonton adalah Laskar Pelangi dengan jumlah penonton 4,5 juta orang, dan Ayat-ayat
Cinta dengan jumlah penonton 3,5 juta orang. Hingga Maret 2009, film yang diproduksi
mencapai 16 judul.

Iklan: Product Placement dan Sponsor

Industri film kadang memperoleh pendapatan lain dari apa yang disebut penempatan
produk (product placement) atau build in product dalam istilah industri televisi siaran.

Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Tranformer tampil dalam film
Transformer (2007); Mobil Audi berulangkali muncul dalam film Transporter 2 (2005); Calvin
Klein tampak dalam film The Island.

Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Dalam film The African
Queen, bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke
sungai. Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam film Father of the Bride (1950).
Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau lembaga tertentu.
Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan telepon seluler atau
perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung sebelumnya, biaya pembuatannya
berasal dari Austria, Belanda, Belgia.

4. Bioskop

Bioskop merupakan sarana eksibisi dalam industri film. Jumlah penonton film antara
lain ditentukan oleh jumlah bioskop. Di Amerika terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih
dari 80 peresn bioskop punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk.

Pada 1980-an, berdasarkan Paramount Decision, bioskop dimiliki oleh studio.


Somy/Loews Theaters, Sony-IMAX Theaters, Magic Johnson Theaters, dan Loews-Star
Theaters menguasai 3.000 layar biskop. Warner Brothers International Theaters memiliki
1.000 layar bioskop di 12 negara bagian.

Pemerintahan Reagen membuat deregulasi kepemilikan bioskop. Sejak 1990-an,


studio tak memiliki layar bioskop lagi. Biskop dimiliki oleh jaringan besar. Century Theaters
memiliki 800 layar dan berencana menambah 400 layar lagi di 11 negara bagian. Regal
Entertainment Group (Regal Cinemas, United Artist Theaters, Edwards Theaters) memiliki
6.061 layar di 26 negara bagian. Tujuh jaringan biskop serta jaringan studio menguasai 80
persen penjualan tiket bioskop di Amerika.

Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah penduduk. Hingga Juni
2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop untuk 220 juta penduduk. Sebagai
perbandingan, di Korea dengan jumlah penduduk jauh lebih sedikit dibanding Indonesia,
terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini bioskop di Indonesia dikuasai oleh jaringan 21 dan
Blitz.

Sejak 1986 hingga 2008 sekitar 107 bioskop tutup akibat tidak bisa mengikuti irama
permainan dalam peredaran film di Indonesi. Kematian biskokp dipercepat oleh maraknya
peredaran VCD dan DVD. (Kompas, 23 mei 2008).

Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007) terhadap penduduk
di 20 kota utama di Indonesia menunjukkan lebih dari 2 juta orang mengunjungi bioskop
lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar 1,7 juta orang mengunjungi bioskop satu
kali dalam tiga bulan terakhir, dan sekitar 500 ribu orang mengunjungi bioskop antara 3
sampai 12 bulan terakhir.

Bioskop juga menjadi sarana beriklan. Di tingkat global, iklan bioskop meningkat dari
tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia seperti dikutip Me dia Planning Guide
Indonesia 2008, pada 2006, iklan bioskop global mencapai 1,9 miliar dolar AS. Diperkirakan
iklan bioskop meningkat menjadi hampir 3 miliar dolar AS pada 2010. Di Indonesia,
pendapatan bioskop dari iklan meningkat dari tahun ke tahun.

Tabel XXII : Pendapatan Bioskop di Indonesia dari iklan

Tahun Pendapatan Iklan (miliar rupiah)


2003 11

2004 13

2005 14

2006 15

2007 (perkiraan) 16

2008 (perkiraan) 19

2009 (perkiraan) 22

Sumber: Zenith Optimedia seperti dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008

5. Kepemilikan

Di Amerika, hingga 1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di dalamnya:


Disney dengan market share 18,6%, Warner Brothers 15,9%, Paramount 14,2%, Universal
13,5%, Fox 10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%, MGM 2,5% .

Konglomerasi dalam industri film dunia merupakan kepemilikan internasional.


Columbia dimiliki oleh perusahaan Jepang Sony. Fox dimiliki oleh perusahaan Australia.

Di Indonesia, pengusaha yang terjun ke industri film cenderung meningkat. Menurut


catatan Kementerian Kebudayaan dan pariwisata, pada 2007 terdapat penguasaha, dan hingga
Juli 2009 tercatat 1.163 penguasa. (Kompas, 9 September 2009).
Beberapa perusaahan film di Indonesia merupakan perusahaan besar. Produsen utama
dalam industri film di Indonesia antara lain Rexinema, Kharisma Starvision, SinemArt
Pictures, Maxima, dan Multivision Plus. Multivision Plus dimiliki oleh raja sinetron Raam
Punjabi.

Dalam hal kepemilikan bioskop, jaringan bioskop 21 merupakan kepemilikan yang


bersifat monopolistik, hingga munculnya jaringan biskop Blitz. Jaringan bioskop 21 dituding
sebagai penyebab tutupnya bioskop-bioskop non-21.

6. Kompetisi

Di Amerika, kompetisi terjadi di antara delapan pemain utama dalam industri fil di
sana. Kompetisi ini melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality—pembuatan film
lebih didasarkan pada upaya mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Di Amerika, industri film berkompetisi dengan televisi berlangganan, terutama yang


memutar film, seperti Home Box Office (HBO). Di Indonesia, film bersaing dengan sinetron
di televisi.

Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood dan sinetron di televisi atau
film televisi. Pada tahun 1990-an, untuk mempertahankan eksistensi film Indonesia dalam
persaingan dengan film Hollywood, sineas Indonesia membuat film-film bernuansa seks.

Di Indonesia, persaingan juga terjadi antarbioskop. Pada 1990-an, bioskop jaringan 21


berkompetisi dengan bioskop non-21. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, bioskop-
bioskop non-21 memutar film-film Indonesia bernuansa seks. Namun, bioskop non-21 tak
mampu bersaing dengan bioskop 21 sehingga banyak yang bangkrut.

Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan jaringan jaringan
bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal harga tiket, film-film yang diputar, serta
kenyamanan menonton.

7. Teknologi

Terdapat dua jenis teknologi yang mempengaruhi industri film. Pertama, penggunaan
secara lebih luas teknologi produksi film, seperti penggunaan kamera digital, special effects,
komputer, dll. Kedua, berkaitan dengan teknologi konsumsi film, seperti video on demand,
gambar digital, home video, private theatre, internet, dll.

Dalam hal konsumsi film, dewasa ini mulai berlangsung konvergensi teknologi. Film
kini tidak hanya diproduksi untuk bioskop, tetapi juga DVD, televisi jaringan dan televisi
kabel.

Untuk keperluan perawatan atau pengarsipan, dalam industri film telah berkembang
teknologi digital. Namun, biaya mendigitalisasi film terbilang mahal. Untuk mendigitalisasi
satu film dibutuhkan biaya Rp 15 juta (tahun 2008).

8. Regulasi

Di Amerika, regulasi awalnya berhubungan dengan kompetisi. Belakangan regulasi


dalam industri film umumnya berkaitan dengan sensor. Selama lebih dari setengah abad,
banyak negara bagian dan kota yang memiliki lembaga sensor film. Sensor umumnya
berkaitan dengan masalah politik dan moral. Namun, pada 1950-an, Mahkamah Agung
melarang pemerintah negara bagian menyensor atau melarang peredaran film-film tertentu.

Namun, Hollywood kemudian melakukan sensor mandiri dengan menciptakan sistem


rating. Rating berupa penggolongan film berdasarkan materi atau isi film. Rating terdiri dari:

 G : general audiences
 PG : parental guidence; for mature audiences)
 PG-13 : parental guidence (advised for children under 13 years old)
 R : restricted; no one under 17 years old admitted unless

accompanied by an adult

 NC-17 : no children under 17; replaces the old X rating

Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta. Penerapan hak cipta di
sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film, berkembang pesat. Industri
hak cipta di Amerika, menurut laporan International Intellectual Property Alliance(IIPA),
menyumbang $1,38 triliun atau 11,12% DGP AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan
lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang.
Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah Ordonansi
Film No. 507. Pemerintah Orde Lama memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Pnps tahun
1964. Di masa Orde Baru berlaku Undang-undang Perfilman No. 8 Tahun 1992. Pada 2009,
DPR mengesahkan berlakunya Undang-undang Perfilman baru untuk menggantikan Undang-
undang [perfilman No. 8 tahun 1992.

Di Indonesia regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa Orde Baru memiliki
lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF). Di masa reformasi, ia berganti nama
menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).

Di Indonesia, antara 1970 hingga 2005 setidaknya 40 film Indonesia terkena sensor.
Pada 2007, LSM menyensor 53 judul film Indonesia dan 2007 judul film impor. (Koran
Tempo, 25 Mei 2008)

Film-film tersebut disensor kebanyakan karena menampilkan seks, kekerasan, dan


SARA. Berdasarkan data LSF, sepanjang 2007, adegan seks yang disensor sepanjang 2.383,5
meter (18 rol film), sadistis 539,3 meter (4 roll film), dan SARA atau ketertiban umum 260,5
meter (2 rol film)

Regulasi lainnya adalah berkaitan dengan perlindungan film dari pembajakan (UU
Hak Cipta). Pelaku pembajakan umumnya membajak film-film Indonesia ke dalam DVD.
Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal distribusi, film-film Indonesia hanya dibuat
untuk bioskop. Setelah film tidak diputar di bioskop, baru dibuatkan DVD-nya.

Sebagaimana di Amerika, LSF menetapkan rating film. Rating film terdiri dari semua
umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas. Rating seperti ini penerapannya tidak begitu ketat.
Bioskop seringkali meloloskan anak-anak menonton film 17 tahun ke atas.

9. Masa Depan

Dilihat dari kemampuannya beradaptasi dengan berbagai teknologi untuk meraih


penonton, masa depan industri film bisa dikatakan cerah. Namun, dilihat dari sisi cost
production yang cenderung makin mahal, selera penonton yang berubah-ubah, pembajakan,
serta munculnya industri film di negara lain, membuat masa depan industri film masih
merupakan tantangan.

Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser film yang
membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan tenaga profesional,
dan metode profesional. Penyediaan tenaga profesional harus didukung oleh ketersediaan
sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 225 juta jiwa, Indonesia hanya punya satu
sekolah film. Bandingkan dengan India yang punya 30 sekolah film, Korea 7, Filipina 5, dan
Iran 2.

Tantangan lain industri film di Indonesia adalah pembajakan. Pemerintah juga harus
menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi pembajakan demi
kelangsungan industri film. Kampanye antipembajakan serta strategi distribusi—misalnya
dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa awal distribusi—merupakan langkah lain
untuk mengurangi pembajakan
Bab III
Penutup

a. Kesimpulan
1 Film sebagai media massa tumbuh dalam industri budaya yang padat modal. Tuntutan
industri budaya menyebabkan komodifikasi realitas sosial dalam film. Akibat
komodifikasi ini, kebutuhan dan tema-tema film terstandarisasi dengan keseragaman
antara satu produser dengan lainnya hingga mengabaikan kreativitas seni. Selera yang
tercipta dikelola dengan objek yang relatif sama dan publik tidak memiliki alternatif
pilihan, karena industri film menghadirkan selera yang relatif seragam.
2. Film Indonesia yang dinilai memiliki kualitas berdasarkan penilaian dewan juri dalam
berbagai ajang festival kurang mendapatkan perhatian publik karena terbatasnya ruang
dan waktu untuk ekhibisi bagi film-film tersebut.
3. Film yang berkualitas dalam penilaian festival dapat masuk dalam industri film
komersial dengan memperhatikan aspek ekonomi media serta menyelaraskan kualitas
konten dan berupaya memperhatikan ekonomi media, karena tak dapat dipungkiri
produksi, distribusi dan ekhibisi sebuah film membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Dengan demikian publik senantiasa teredukasi melalui film dengan konten berkualitas dan
dapat menikmati dengan pilihan beragam di bioskop komersil.

b. Saran

Di masa depan, industri perfilman harus menyesuaikan diri dengan perkembangan


teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi konsumsi. Konvergensi teknologi
diperlukan untuk mempertahankan kelangsung hidup industri film.

Selain itu, diharapkan pemerintah yang didukung oleh masyarakat pecinta film untuk
mengurangi bahkan memberantas pembajakan. Karena pembajakan dapat merugikan dan
menghambat berkembangnya ekonomi industri perfilman di Indonesia.
Daftar Pustaka

Kansong, Usman. 2010. Ekonomi Media, pengantar konsep. Jakarta:

Kurnia, Novi. 2008. Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM.

Mufid, Muhammad.2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Prenada Media Rivers,

William, et. al. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media Sardar,

Ziauddin.2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resist Book

Selva James, et, al. 2008. Media Planning Guide Indonesia 2008, Jakarta: Perception Media
Internasional

Anda mungkin juga menyukai