Oleh :
Kelompok 10
Aulia Ananda 50100119075
Altair Putra Abidin 50100119076
Fitriani 50100119077
Nurafni 50100119078
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana karena
anugerah yang diberikannya penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah
Makalah ini berjudul ”ekonomi industri film. Penulis pun tidak lupa mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua pihak terutama dosen mata kuliah
yang bersangkutan yang sudah memberi pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada makalah
Semoga makalah yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembaca
S a m a t a . 9 J u n i 2022
Penulis
Bab I
Pendahuluan
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ekonomi
Media, sebagai ilmu dan wawasan bagi penulis
1.3 Rumusan Masalah
1. Berapa biaya produksi dan penghasilan industri film ?
2. Bagaimana pasar dalam ekonomi industri film?
3. Bagaimana bioskop dalam ekonomi industri film?
4. Bagaimana kepemilikan ekonomi industri film?
5. Bagaimana Teknologi industri film?
6. Bagaimana kompetisi dalam industri film?
7. Bagaimana regulasi industri film?
8. Bagaimana masa depan ekonomi industri film?
1.4 Manfaat
1. Untuk mengetahui biaya produksi dan penghasilan industri film
2. Untuk mengetahui pasar dalam industri film
3. Untuk mengetahui bioskop industri film
4. Untuk mengetahui kepemilikan industri film
5. Untuk mengetahui teknologi industri film
6. Untuk mengetahui kompetisi industri film
7. Untuk mengetahui regulasi industri film
8. Untuk mengetahui masa depan industri film
Bab II
Pembahasan
1. Ekonomi media
Pengertian ekonomi
Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani oikonomia yang berarti oikos (rumah
tangga) dan nomos (mengatur), jadi oikonomia berati mengatur rumah tangga. Ekonomi
adalah kegiatan atau usaha manusia dalam memenuhi keperluan (kebutuhan dan keinginan)
hidupnya. Secara konspetual hampir semua aktifitas manusia terkait dengan ekonomi, karena
semua aktifitas manusia berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Aktifitas
ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia melalui kegiatan investasi,
produksi dan distribusi barang dan jasa melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dimana
masing-masing pihak mendapatkan kepuasan.
Ekonomi sebagai ilmu adalah mempelajari aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumsinya, yang meliputi kegiatan investasi, produksi, distribusi,
serta konsumsi barang dan jasa. Dalam konsep ini ilmu ekonomi dikelompokkan menjadi
ekonomi makro dan ekonomi mikro
Pengertian media
Media adalah kata lain dari alat atau sarana. Kata ini sering menjadi bahasan sehari-
hari terutama bila melakukan suatu kegiatan. Misalnya proses belajar mengajar menggunakan
media kelas, buku, alat tulis dan sebagainya. Namun media yang dimaksud disini adalah alat
dalam berkomunikasi dari komunikator dengan komunikan. Dalam komunikasi, media adalah
alat untuk menyimpan dan menyampaikan informasi atau data untuk keperluan tertentu.
Secara konsep yang dimaksud dengan media adalah berbagai alat yang dapat digunakan
untuk menyimpan dan menyebarkan informasi seperti buku, alat perekam, bahkan pada
jaringan komputer yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Macam-macam media:
Media iklan, yaitu berbagai media yang isi dan tujuannya untuk kegiatan iklan
Media elektronik yaitu media komunikasi melalui elektronik atau tenaga
elektromekanik
Media digital yaitu media elektronik yang menerima, menyimpan, dan memproses
infromasi secara digital
Media bisnis elektronik yaitu media digital yang digunakan untuk bisnis
Media beragam (multimedia) adalah komunikasi yang menggunakan berbagai bentuk
proses informasi secara terpadu
Media cetak adalah media komunikasi yang menggunakan kertas atau kanvas
Media publik adalah media yang ditujukan untuk masyarakat luas
Media massa adalah media untuk berkomunikasi massal
Media penyiaran adalah media yang menyiarkan informasi baik melalui cetak maupun
elektronik
Media berita adalah media massa yang fokusnya menyampaikan atau menyiarkan
berita
Media perekam adalah peralatan yang digunakan untuk menyimpan informasi
Biaya produksi film di AS terus meningkat sejak dekade lalu. Pada 1983, rata-rata
biaya produksi film sekitar 11,3 juta dolar AS. Pada 1993, rata-rata biaya produksi film
menjadi 44 juta dolar AS, dan pada 1994 melonjak menjadi 50,4 juta dolar AS.
Lembaga analis keuangan Wedbush Morgan Securities melaporkan sejak tahun 2003
pendapatan film-film Hollywood terus meningkat. Tahun 2006 pendapatan Hollywood naik
5,5% atau setara 9,5 miliar dolar AS. Tahun 2007 pendapatan Hollywood diperkirakan
mencapai 10 miliar dolar AS atau hampir Rp 100 triliun. Peningkatan pendapatan Hollywood
meningkat antara lain akibat naiknya harga tiket sebesar 50% dibanding tahun sebelumnya.
Industri film Hollywood antara lain berasal dari film-film box office. Titanik menjadi
salah satu film Hollywood dengan penghasilan terbesar sepanjang masa.
Biaya produksi film Indonesia berkisar antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar
(tahun 1997). Film-film istimewa dibuat dengan biaya produksi Rp 4-5 miliar. Biaya produksi
film Opera Jawa garapan Garin Nugroho mencapai Rp 3,5 miliar. Biaya film horor terbilang
murah, bisa di bawah Rp 1,5 miliar, karena pemain utama tidak harus bintang ternama, cukup
pendatang baru dengan honor relatif murah. Biaya termahal yang pernah dikeluarkan dalam
memproduksi film Indonesia sebesar Rp 11 miliar, karena pengambilan gambar dilakukan di
luar negeri. Film „‟Merah Putih‟‟ yang dirilis untuk memperingati Proklamasi 17 Agustus
2009, dengan melibatkan profesional Hollywood menelan biaya produksi 60 miliar dolar AS.
Biaya produksi film di Indonesia, selain dari kocek produser, bisa berasal dari sponsor
(rokok, operator ponsel) atau sponsor dari negara lain. Opera Jawa, misalnya, biaya
pembuatannya berasal dari Austria, Belanda, Belgia. (Behind The Scene, Vol 2#11,
September 2006).
Jika penonton 300.000 orang, dengan modal Rp 2 miliar, keuntungan Rp 250 juta.
Asumsinya harga tiket rata-rata Rp 25.000 per lembar, seteah dipotong pajak untuk negara
dan dibagi dua dengan pemilik bioskop dan distributor, maka pemilik film atau produser
menerima Rp 7.500 per lembar tiket. Jika penonton 300.000 orang, produser memperoleh
300.00 x Rp 7.500 = Rp 2.250.000.000. Jika biaya produksi 2 miliar, maka keuntungan Rp
250.000.
3. Pasar
Struktur pasar industri film di AS adalah oligopoli. Hingga 1994 terdapat setidaknya
delapan pemain utama di dalamnya: Disney dengan market share 18,6%, Warner Brothers
15,9%, Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox 10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%,
MGM 2,5%
Khalayak
Industri film memperoleh revenue dari audience melalui berbagai teknologi atau cara,
seperti penjualan tiket (bioskop), home video, distribusi internasional, pay-per-view.
Berdasarkan riset Nielsen, penggemar film rata-rata mengonsumsi 10,5 judul film di
layar bioskop. Sebanyak 46% di antaranya adalah pelanggan Netflix dan 68% pemilik home
theatre. Sebanyak 63 persen penonton lebi suka menonton film di bioskop ketimbang di
rumah. Tahun 2007, penonton diperkirakan tumbuh sebesar 6,4%.
Di Amerika, penjualan tiket mencapat rekor pada 1946, yaitu sebanyak lebih dari 4
miliar tiket. Dewasa ini, 1,3 miliar tiket terjual setiap tahun di Amerika Serikat.
Di Indonesia, dari tahun 1926-2005 diproduksi 2.261 judul film (Katalgog Film
Indonesia 1926-2005). Berdasarkan data Departemen Penerangan, 112 judul film diproduksi
pada 1990/1991, 41 di tahun 1991/1992, 28 di tahun 1992/1993. Pada 1997/1998 hanya tujuh film
Indonesia yang diproduksi. Pada 2006, jumlah film Indonesia yang diproduksi mencapai 40
judul. Pada 2007, beredar 53 judul film di bioskop-bioskop Indonesia.
Pada tahun 2008, film Indonesia yang diproduksi mencapai 87 judul. Film yang paling
banyak ditonton adalah Laskar Pelangi dengan jumlah penonton 4,5 juta orang, dan Ayat-ayat
Cinta dengan jumlah penonton 3,5 juta orang. Hingga Maret 2009, film yang diproduksi
mencapai 16 judul.
Industri film kadang memperoleh pendapatan lain dari apa yang disebut penempatan
produk (product placement) atau build in product dalam istilah industri televisi siaran.
Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Tranformer tampil dalam film
Transformer (2007); Mobil Audi berulangkali muncul dalam film Transporter 2 (2005); Calvin
Klein tampak dalam film The Island.
Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Dalam film The African
Queen, bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke
sungai. Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam film Father of the Bride (1950).
Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau lembaga tertentu.
Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan telepon seluler atau
perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung sebelumnya, biaya pembuatannya
berasal dari Austria, Belanda, Belgia.
4. Bioskop
Bioskop merupakan sarana eksibisi dalam industri film. Jumlah penonton film antara
lain ditentukan oleh jumlah bioskop. Di Amerika terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih
dari 80 peresn bioskop punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk.
Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah penduduk. Hingga Juni
2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop untuk 220 juta penduduk. Sebagai
perbandingan, di Korea dengan jumlah penduduk jauh lebih sedikit dibanding Indonesia,
terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini bioskop di Indonesia dikuasai oleh jaringan 21 dan
Blitz.
Sejak 1986 hingga 2008 sekitar 107 bioskop tutup akibat tidak bisa mengikuti irama
permainan dalam peredaran film di Indonesi. Kematian biskokp dipercepat oleh maraknya
peredaran VCD dan DVD. (Kompas, 23 mei 2008).
Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007) terhadap penduduk
di 20 kota utama di Indonesia menunjukkan lebih dari 2 juta orang mengunjungi bioskop
lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar 1,7 juta orang mengunjungi bioskop satu
kali dalam tiga bulan terakhir, dan sekitar 500 ribu orang mengunjungi bioskop antara 3
sampai 12 bulan terakhir.
Bioskop juga menjadi sarana beriklan. Di tingkat global, iklan bioskop meningkat dari
tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia seperti dikutip Me dia Planning Guide
Indonesia 2008, pada 2006, iklan bioskop global mencapai 1,9 miliar dolar AS. Diperkirakan
iklan bioskop meningkat menjadi hampir 3 miliar dolar AS pada 2010. Di Indonesia,
pendapatan bioskop dari iklan meningkat dari tahun ke tahun.
2004 13
2005 14
2006 15
2007 (perkiraan) 16
2008 (perkiraan) 19
2009 (perkiraan) 22
Sumber: Zenith Optimedia seperti dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008
5. Kepemilikan
6. Kompetisi
Di Amerika, kompetisi terjadi di antara delapan pemain utama dalam industri fil di
sana. Kompetisi ini melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality—pembuatan film
lebih didasarkan pada upaya mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood dan sinetron di televisi atau
film televisi. Pada tahun 1990-an, untuk mempertahankan eksistensi film Indonesia dalam
persaingan dengan film Hollywood, sineas Indonesia membuat film-film bernuansa seks.
Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan jaringan jaringan
bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal harga tiket, film-film yang diputar, serta
kenyamanan menonton.
7. Teknologi
Terdapat dua jenis teknologi yang mempengaruhi industri film. Pertama, penggunaan
secara lebih luas teknologi produksi film, seperti penggunaan kamera digital, special effects,
komputer, dll. Kedua, berkaitan dengan teknologi konsumsi film, seperti video on demand,
gambar digital, home video, private theatre, internet, dll.
Dalam hal konsumsi film, dewasa ini mulai berlangsung konvergensi teknologi. Film
kini tidak hanya diproduksi untuk bioskop, tetapi juga DVD, televisi jaringan dan televisi
kabel.
Untuk keperluan perawatan atau pengarsipan, dalam industri film telah berkembang
teknologi digital. Namun, biaya mendigitalisasi film terbilang mahal. Untuk mendigitalisasi
satu film dibutuhkan biaya Rp 15 juta (tahun 2008).
8. Regulasi
G : general audiences
PG : parental guidence; for mature audiences)
PG-13 : parental guidence (advised for children under 13 years old)
R : restricted; no one under 17 years old admitted unless
accompanied by an adult
Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta. Penerapan hak cipta di
sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film, berkembang pesat. Industri
hak cipta di Amerika, menurut laporan International Intellectual Property Alliance(IIPA),
menyumbang $1,38 triliun atau 11,12% DGP AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan
lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang.
Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah Ordonansi
Film No. 507. Pemerintah Orde Lama memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Pnps tahun
1964. Di masa Orde Baru berlaku Undang-undang Perfilman No. 8 Tahun 1992. Pada 2009,
DPR mengesahkan berlakunya Undang-undang Perfilman baru untuk menggantikan Undang-
undang [perfilman No. 8 tahun 1992.
Di Indonesia regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa Orde Baru memiliki
lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF). Di masa reformasi, ia berganti nama
menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).
Di Indonesia, antara 1970 hingga 2005 setidaknya 40 film Indonesia terkena sensor.
Pada 2007, LSM menyensor 53 judul film Indonesia dan 2007 judul film impor. (Koran
Tempo, 25 Mei 2008)
Regulasi lainnya adalah berkaitan dengan perlindungan film dari pembajakan (UU
Hak Cipta). Pelaku pembajakan umumnya membajak film-film Indonesia ke dalam DVD.
Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal distribusi, film-film Indonesia hanya dibuat
untuk bioskop. Setelah film tidak diputar di bioskop, baru dibuatkan DVD-nya.
Sebagaimana di Amerika, LSF menetapkan rating film. Rating film terdiri dari semua
umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas. Rating seperti ini penerapannya tidak begitu ketat.
Bioskop seringkali meloloskan anak-anak menonton film 17 tahun ke atas.
9. Masa Depan
Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser film yang
membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan tenaga profesional,
dan metode profesional. Penyediaan tenaga profesional harus didukung oleh ketersediaan
sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 225 juta jiwa, Indonesia hanya punya satu
sekolah film. Bandingkan dengan India yang punya 30 sekolah film, Korea 7, Filipina 5, dan
Iran 2.
Tantangan lain industri film di Indonesia adalah pembajakan. Pemerintah juga harus
menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi pembajakan demi
kelangsungan industri film. Kampanye antipembajakan serta strategi distribusi—misalnya
dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa awal distribusi—merupakan langkah lain
untuk mengurangi pembajakan
Bab III
Penutup
a. Kesimpulan
1 Film sebagai media massa tumbuh dalam industri budaya yang padat modal. Tuntutan
industri budaya menyebabkan komodifikasi realitas sosial dalam film. Akibat
komodifikasi ini, kebutuhan dan tema-tema film terstandarisasi dengan keseragaman
antara satu produser dengan lainnya hingga mengabaikan kreativitas seni. Selera yang
tercipta dikelola dengan objek yang relatif sama dan publik tidak memiliki alternatif
pilihan, karena industri film menghadirkan selera yang relatif seragam.
2. Film Indonesia yang dinilai memiliki kualitas berdasarkan penilaian dewan juri dalam
berbagai ajang festival kurang mendapatkan perhatian publik karena terbatasnya ruang
dan waktu untuk ekhibisi bagi film-film tersebut.
3. Film yang berkualitas dalam penilaian festival dapat masuk dalam industri film
komersial dengan memperhatikan aspek ekonomi media serta menyelaraskan kualitas
konten dan berupaya memperhatikan ekonomi media, karena tak dapat dipungkiri
produksi, distribusi dan ekhibisi sebuah film membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Dengan demikian publik senantiasa teredukasi melalui film dengan konten berkualitas dan
dapat menikmati dengan pilihan beragam di bioskop komersil.
b. Saran
Selain itu, diharapkan pemerintah yang didukung oleh masyarakat pecinta film untuk
mengurangi bahkan memberantas pembajakan. Karena pembajakan dapat merugikan dan
menghambat berkembangnya ekonomi industri perfilman di Indonesia.
Daftar Pustaka
Kurnia, Novi. 2008. Posisi dan Resistensi: Ekonomi Politik Perfilman Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM.
Mufid, Muhammad.2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Prenada Media Rivers,
William, et. al. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media Sardar,
Selva James, et, al. 2008. Media Planning Guide Indonesia 2008, Jakarta: Perception Media
Internasional