Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH PERKEMBANGAN CINEMATOGRAFI (FILM DUNIA/GLOBAL

DAN FILM INDONESIA)

Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Fotografi dan Cinematografi
Kelas VI-C

Dosen Pengampu :

Dr. Amiq, MA

Abdurrahman, M.Hum.

Disusun Oleh :

Nikken Dwi Retno Sari (03010220016)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Semesta alam yang
Maha Pengasih lagi Penyayang yang telah melimpahkan segala nikmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penugasan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Cinematografi (Film Dunia/Global dan Film Indonesia)”. Makalah ini
kami buat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Fotografi dan Cinematografi.
Makalah ini kami persembahkan kepada:

1. Keluarga penulis yang telah mendukung serta memberikan semangat dalam


kegiatan perkuliahan penulis.
2. Bapak Dr. Amiq MA, dan Bapak Abdurrahman, M.Hum., selaku dosen
pengampu mata kuliah Fotografi dan Cinematografi di Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya.
3. Teman-teman sejawat program studi Sejarah Peradaban Islam Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Kami sebagai penyusun makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan
Cinematografi (Film Dunia/Global dan Film Indonesia)”. Dengan disusunnya
makalah ini kami bertujuan penuh untuk menyampaikan informasi kepada para
pembaca dengan pokok bahasa secara rinci dan bahasa yang mudah dipahami. Kami
sebagai penyusun makalah “Sejarah Perkembangan Cinematografi (Film
Dunia/Global dan Film Indonesia)”, mohon maaf jika dalam makalah berjudul masih
terdapat banyak kekurangan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Sidoarjo, 07 April 2023

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Pembahasan ........................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4
2.1 Sejarah Munculnya Cinematografi ................................................................. 4
2.2 Dinamika Perkembangan Cinematografi ....................................................... 6
2.3 Contoh Film Dokumenter Dunia dan Nusantara (Indonesia) ......................... 8
2.3.1 Film Dokumenter Dunia ......................................................................... 8
2.3.2 Film Dokumenter Nusantara (Indonesia) .............................................. 10
BAB III ....................................................................................................................... 15
PENUTUP ................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 15
3.2 Saran ............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 17
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sinematografi merupakan seni serta kerajinan dalam membuat film dengan


menangkap suatu cerita secara visual. Padahal, secara teknis, sinematografi
merupakan seni dan ilmu merekam cahaya, baik secara elektronik ke sensor gambar
maupun secara kimiawi ke film. Itu merupakan gambar yang biasa kita lihat di
layar. Serangkaian tembakan yang kemudian membentuk narasi kohesif.
Sinematografi menyusun setiap bidikan, mempertimbangkan, yang mana segala
sesuatu dalam bingkai menuntut suatu perhatian dari penonton. Sinematografi
sangat mempunyai hubungan dengan fotografi, sebab pada dasarnya fotografi
menjadi hal pertama yang dibutuhkan serta kemudian dibangun dan dibentuk
menjadi sinematografi.1
Di dalam fotografi maupun sinematografi, masing-masing bagian tersebut
mempunyai beberapa komposisi yang di antaranya yakni The Golden Ratio, Rule
of Thirds, Golden Triangles, Balance, Leading Lines, dan Lighting. Sementara pada
sinematografi juga mempunyai komposisi di antaranya yakni Rule of Thirds,
Headroom, Noseroom atau Lookroom, Leadroom, Leadings Lines, dan Diagonals.
Jika kita mengaplikasikan fotografi dan sinematografi tanpa memperhatikan
komposisi yang ada, maka akan menghasilkan foto yang kurang baik serta terlihat
bisa. Oleh karena itu, komposisi wajib dipertimbangkan oleh semua fotografer
supaya memperoleh foto yang baik.2

1
K. Lahengko and Van Rate J, Sekolah Fotografi Dan Sinematografi (Wujud Ekspresionisme), 2016.
2
P. A. Panendra, Hardiman, and Mursal, “Komposisi Fotografi Pemandangan Karya Nusantara Photo
Club Indonesia,” Jurnal Pendidikan Seni Rupa Undiksha 6, no. 2 (2016).
2

Dalam perkembangannya, sinematografi mempunyai objek yang sama dengan


fotografi yaitu menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Dikarenakan
objeknya yang sama, maka peralatan antara fotografi dan sinematografi pun juga
mirip. Perbedaannya terletak pada jika fotografi mengambil satu buah gambar,
namun sinematografi mengambil beberapa gambar.3 Dalam penulisan makalah ini,
penulis akan mengkaji secara lebih khusus tentang sinematografi, khususnya
tentang sejarah perkembangannya hingga pada contoh-contoh film dunia dan film
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya cinematografi?


2. Bagaimana dinamika perkembangan cinematografi?
3. Apa saja contoh film dokumenter dunia dan Nusantara (Indonesia)?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui sejarah munculnya cinematografi.


2. Untuk mengetahui dinamika perkembangan cinematografi.
3. Untuk mengetahui contoh film dokumenter dunia dan Nusantara (Indonesia).

1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi penulis


Sebagai pembuat makalah ini, penulis mendapatkan banyak ilmu dari
referensi yang didapat dalam mencari sumber pilihan yang ada.

3
Alsendo Anjaya and Deli, “Studi Perbedaan Komposisi Pada Sinematografi Dan Efek Yang
Dihasilkan,” Conference on Business, Social Sciences and Innovation Technology 1, no. 1 (2020): 604–
612.
3

2. Manfaat bagi pembaca


Sebagai penikmat makalah ini, pembaca tentunya juga mendapat ilmu
dan wawasan baru terkait topik Sejarah Perkembangan Cinematografi (Film
Dunia/Global dan Film Indonesia).
4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Munculnya Cinematografi

Secara etimologis, cinematografi berasal dari bahasa Latin, yakni


Kinema (gerak), Photos (cahaya), Graphos (lukisan/tulisan). Jadi, bisa
disimpulkan bahwa cinematogrfai merupakan aktivitas melukis gerak dengan
bantuan cahaya. Menurut Kamus Ilmiah Serapan Bahasa Indonesia,
cinematografi diartikan sebagai ilmu serta teknik pembuatan film ataupun ilmu,
teknik, dan seni pengambilan gambar film dengan cinematograf. Cinematograf
sendiri artinya ialah kamera untuk pengambilan gambar atau shooting, serta alat
yang digunakan untuk memproyeksikan gambar-gambar dalam suatu film.
Sementara cinema, diartikan sebagai gambar hidup, film, atau gedung bioskop.
Cinematografi merupakan semua perbincangan tentang sinema (perfilman),
baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, ataupun
penontonnya. Jadi, seluk beluk dari perfilman dikupas tuntas dalam
cinematografi.
Kemudian tentang cinematografer yang merupakan orang yang
bertanggungjawab atas semua aspek visual dalam pembuatan suatu film.
Aspek-aspek tersebut di antaranya ialah mencakup interpretasi visual pada
skenario, pemilihan jenis kamera, jenis bahan baku yang hendak digunakan,
pemilihan lensa, pemilihan jenis filter yang hendak dipakai di depan lensa
ataupun di depan lampu, pemilihan lampu serta jenis lampu yang sesuai dengan
konsep sutradara serta alur cerita dalam skenario. Seorang cinematografer juga
memutuskan gerak kamera, membuat konsep visual, membuat floorplan guna
keefesienan pengambilan gambar. Artinya ialah seorang cinematografer ialah
5

orang yang bertanggungjwab baik secara teknis ataupun tidak teknis di seluruh
aspek visual dalam sebuah film.
Cinematografer harus mendukung visi dari sutradara serta skenario,
sebab bagaimanapun yang hendak disampaikan kepada penonton ialah seluruh
informasi dalam bentuk visual yang sesuai dengan visi sutradara serta visi
skenario meskipun di beberapa kasus, sutradara dapat mengubah alur atau jalan
cerita dalam skenario demi keindahan bercerita yang telah merupakan gaya
sutradara itu.
Flm (movie atau cinema) ialah produk budi karya dari kegiatan
cinematografi. Film sebagai karya cinematografi ialah hasil dari perpaduan
antara kemampuan seseorang maupun sekelimpok orang dalam penguasaan
teknologi, olah seni, komunikasi, serta manajemen berorganisasi. Dalam
memasuki dunia perfilman, artinya juga memasuki dunia tentang pemahaman
estetik melalui paduan seni acting, fotografi, teknologi optik, komunikasi
visual, industri perfilman ide, cita-cita, serta imajinasi yang sangat kompleks.
Pemahaman estetik dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya ialah
apresiasi. Apresiasi seni adalah proses secara sadar yang dilakukan melalui
penghayatan dalam menghadapi karya seni (termasuk film). Apresiasi tak
identik dengan penikmatan, sebab mengapresiasi merupakan proses untuk
menafsirkan suatu makna yang terkandung dalam suatu karya seni.
Cinematografi ialah salah satu upaya manusia guna menggambarkan
kepada orang lain, melalui penggunaan teknik yang menggabungkan gambar
gerak dengan teks, dunia dan pesan itu bisa mengalihkan sebab inilah yang
dipahami oleh seorang seniman. Berdasarkan dua kata Yunan, yakni
cinematografi yang secara etimologis berarti “menulis dalam gerakan” serta
diperkenalkan sebagai teknik baru dalam merekam gambar orang serta benda-
benda ketika mereka bergerak, dan juga proyek mereka pada jenis layar.
Cinematografi lalu bisa juga dikombinasikan dengan patung, lukisan, tari,
6

arsitektur, musik, dan sastra. Kini, cinematografi seringkali dianggap sebagai


seni yang ketujuh.
Hal inilah yang kemudian sulit bagi penulis ketika menemukan serta
emenentukan individu yang dapat diberi julukan sebagai “bapak
cinematografi”. Namun, menjadi hal yang jelas bahwasannya manusia sejak
awal sudah melakukan eksperimen dengan metode yang berbeda yang
kemudian akan memungkinkannya untuk merekam gerakan gambar. Hal ini
sangat berhubungan dengan fotografi, yang sudah menjadi katalis untuk
perkembangan cinematografi sejak pertengahan abad ke-19. Teknik yang akan
memungkinkan gambar yang akan direkam sementara di gerak sudah dipelajari
secara ekstensif. Salah satu usaha pertama dalam hal menganalisis unsur
gerakan dengan bantuan mesin foto ialah dibuat oleh Edward Muybridge,
seorang fotografer Inggris pada tahun 1878. Sesudah berhasil mengembangkan
metode baru dalam menghasilkan gambar foto secara berturut-turut, ia
mencatat gerakan kuda berjalan.4

2.2 Dinamika Perkembangan Cinematografi

Periodisasi ialah salah satu pokok bahasan paling menarik ketika kita
membahas mengenai sejarah perkembangan salam suatu bidang. Tema itu
sangat berperan dalam melihat pencapaian-pencapaian yang diraih, selain
mampu menjadi gambaran seberapa dinamiskah sebuah bidang itu dalam
berevolusi. Meskipun begitu terkadang periodisasi dapat berubah menjadi suatu
problematika yang diiringi dengan muatan kepentingan ideologis, sehingga
mengaburkan konteks dari esensi suatu problematika. Dalam konteks sejarah
film seringkali kita menjumpai berbagai pendekatan yang berbeda terhadap
periode-periode perkembangannya. Hal semacam ini bisa terjadi sebab versi

4
Nia Shusanty, “Sejarah Dan Perkembangan Sinematografi,”
https://niashusanty.blogspot.com/2016/11/sejarah-dan-perkembangan-sinematografi.html.
7

serta metode pendekatan yang berbeda dari setiap praktisi, teoritikus, serta
akademisi film dalam merumuskan sejarah film. Sebagai contoh, misalnya
pendekatan teknologi yang melakukan periodisasi sejarah film menjadi; zaman
film bisu, lalu film suara dan periode digital (Mark Cousins).
Kata modern bukan merupakan sesuatu yang baru serta berbeda dengan
bentuk sinema klasik, yang menjadi dominan ialah melalui
penyempurnaan-penyempurnaan formula naratif sera gaya film pada puncak
dari sistem studio Hollywood sekitar periode 1930-an hingga akhir 1940-an.
Dalam konteks seni atau film dapat dianggap bahwa modern berarti bentuk
yang berbeda dari yang sebelumnya. Modern ialah suatu tema penting dalam
perjalanan seni. Hal itu bisa terjadi karena ia mengindikasikan suatu gerak
perubahan yang membuat suatu bentuk kesenian menjadi hidup. Ketika
perkembangan seni terkesan bergerak di tempat karena faktor yang bersifat
eksternal maupun internal yang membuatnya terhenti, kemudian sejarah
membuktikan lahirnya praktek-praktek ataupun refleksi-refleksi yang
menginginkan suatu pembaharuan. Serta ini merupakan sesuatu yang sangat
alamiah. Seluruh cabang seni mengalami perjalan sejarah yang mirip dalam hal
munculnya inovator-inovator yang membuat seni tersebut menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan baru yang memberikan dampak tak hanya pada
masalah afeksi semata, namun menantang cara berpikir orang sebab kebaruan
dari bentuk dan isinya.
Periodisasi estetika dalam sejarah film oleh para kritikus Perancis
(seperti Dominique Paini, Fabrice Revault D'Allonnes, dll) umumnya dibagi
menjadi Klasik - Modern - Pasca-Modern. Pada sinema klasik, cerita adalah
tujuan utama, jadi seluruh properti teknis dari sinema diarahkan ke sana (Model
utama ialah Sinema Hollywood Klasik). Sinema modern melakukan
perlawanan terhadap sinema klasik dengan mendekonstruksi semua konvensi
dari sinema sebagai medium naratif. Sedangkan Pasca-Modern melakukan
sinergi antara konvensi dari sinema klasik untuk bercerita dengan berbagai
8

inovasi yang dicapai oleh sinema modern. Apabila sinema Pasca-Modern ialah
suatu label yang kerap kali digunakan untuk berbagai aplikasi terhadap
beberapa film-film Hollywood pasca 1970-an yang menerapkan cara bercerita
film-film seni Eropa yang ambigu dan kompleks serta sulit dipahami, melalui
contoh sempurna pada film-film David Lynch, seperti Eraserhead, Blue Velvet,
Lost Highway dan Mulholland Drive. Maka sinema modern biasanya dianggap
muncul pasca perang dunia II melalui film-film Eropa macam Neo-Realisme
Italia atau New-Wave Perancis. Persoalan modern tidak terjadi hanya
berdasarkan faktor historis semata, namun harus juga benar secara teoritis sebab
tidak semua film Eropa pasca Perang Dunia II berbeda dengan bentuk sinema
Hollywood Klasik.5

2.3 Contoh Film Dokumenter Dunia dan Nusantara (Indonesia)

2.3.1 Film Dokumenter Dunia

Pada tanggal 8 Februari 1926, seorang sosiolog bernama John Grierson


menerbitkan tulisannya di harian The New York Sun sesudah menonton
film Moana karya dari seorang tokoh bernama Robert Flaherty yang
dirilis pada tahun yang sama. Kala itu, Grierson untuk pertama kalinya
memperkenalkan terminologi film dokumenter (documentary film).
Baginya, Robert Flaherty tak lagi menggunakan cara bercerita model film
fiksi Hollywood. Dalam Directing the Documentary, John Grierson
mengartikan dokumenter sebagai perlakuan aktualitas secara kreatif atau
creative treatment of actuality. Setelah itu, Grierson menyinggung kembali
terminologi dokumenter dalam esainya yang berjudul First Principle of
Documentary. Tulisannya itu dipublikasikan oleh Cinema Quarterly dari

5
Mohamad. Ariansah, “Sinema Modern: Sebuah Persoalan Historiografi Dalam Sejarah Film,” Jurnal
Imaji 3, no. 2 (2011): 67–70.
9

tahun 1932 hingga 1934.6 Hingga kini, masih banyak pengamat ataupun
pembuat film dokumenter yang meyakini bahwa film-film Robert Flaherty
ialah film dokumenter awal di dunia. Terutama beberapa film awalnya,
seperti Nanook of the North (1922), Moana (1926), dan Man of Aran
(1934). Film Nanook of the North dan Moana sendiri menjadi kontroversi
serta polemik di kalangan teoretisi film, karena dianggap terlalu banyak
campur tangan Flaherty di dalam peristiwanya.
Menurut Jill Nelmes, Flaherty tak segan-segan mengarang peristiwa
ketika menggambarkan kehidupan keluarga Suku Inuit yang tinggal di
bagian utara Kanada. Salah satu contohnya ialah membangun igloo (rumah
suku Eskimo) dengan sisi yang terbuka. Hal itu bertujuan supaya bisa
melakukan shooting interior. Hal yang lebih kontroversial lagi ialah
penggunaan tombak tradisional ketika perburuan tokoh Nanook. Tokoh
yang memerankan Nanook secara faktual telah menggunakan senjata
modern ketika berburu. Selain itu, Flaherty juga memasukkan adegan
penduduk asli Polinesia yang tengah melakukan ritual yang telah lama tak
mereka lakukan dalam kedihupan sehari-hari dalam film Moana.
Dari terdapatnya fakta-fakta di atas, tak membuat film-film Robert
Flaherty luntur sebagai film dokumenter awal, sebab telah terlanjur melekat
dengan terminologi dokumenter yang digagas oleh John Grierson. Sebagian
masyarakat film di Indonesia sendiri juga tak kritis dengan mencari fakta
serta mempertanyakan lagi kebenaran dari film Nanook of the North sebagai
film dokumenter pertama di dunia. Banyak orang yang telah menerima
begitu saja (taken for granted) fakta yang disajikan mengenai film itu.

6
Katz, Ephraim, and Ronald Dean Nolen, The Film Encyclopedia: The Complete Guide to Film and The
Film Indusrty, 7th ed. (New York: HarperCollins Publishers, 2012).
10

Secara general, penulisan sejarah film dimulai dari pengujian


persistence of vision; penayangan gambar yang diproyeksikan; serta
penemuan teknologi fotografi. Ketiga aspek tadi lalu mempengaruhi
munculnya teknologi perekaman dan juga penayangan kembali gambar
bergerak yang lalu dikenal dengan film. Lalu muncul dua bersaudara dari
Prancis, yakni Louis dan August Lumiere yang menyempurnakan teknologi
itu. Mereka berhasil menayangkan hasil rekamannya di Grand Café di salah
satu sudut kota Paris.7 Film-film yang mereka tayangkan ialah hasil dari
perekaman langsung para pekerja pabrik mereka serta kereta apu yang akan
memasuki stasiun. Lalu film-film itu diberi judul Workers Leaving the
Lumiere Factory (1895) sera The Arrival of a Train (1896).
Sesungguhnya, film tersebut lebih dekat dikenal sebagai film
dokumentasi, namun banyak yang menganggap bahwa film-film tersebut
merupakan cikal bakal dari film dokumenter. Kata film pada tipe ini
sesungguhnya merujuk pada aspek teknis film. Film dokumentasi
merupakan perekaman dengan menggunakan teknologi film yang di
dalamnya terkandung data, informasi ataupun dokumen. Hal-hal itulah
yang nantinya diperlukan sebagai catatan atau buti dengan tujuan tertentu.8

2.3.2 Film Dokumenter Nusantara (Indonesia)

Dewasa ini, pertumbuhan perfilman di Indonesia semakin meningkat.


Film dokumenter pun juga mengalami peningkatan, sebagaimana pernah
dikatakan bahwa “documentary films have not only increasingly popular in
the recent years, they have also attracted more and more attention as a
complex subject of academic research and critical study”. Film dokumenter

7
Thompson Dkk, Film History: An Introduction, 4th ed. (New York: McGraw Hill, 2018).
8
Kusen Dony Hermansyah, “Sejarah Film Dokumenter Awal Dunia,” Jurnal Imaji: Film, Fotografi,
Televisi, dan Media Baru 13, no. 3 (2022): 223–231.
11

juga menjadi subjek penelitian akademis serta studi kritis. Hal yang juga
menjadi menarik ialah dalam genre dokumenter, ketidaksetaraan gender
masih banyak terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung.9 Banyak
asumsi yang menyatakan bahwa perempuan dalam bidang dokumenter
mempunyai hambatan yang sangat banyak, sehingga mengakibatkan
minimnya sineas perempuan dalam bidang dokumenter, seperti
keterbatasan waktu, faktor keluarga, faktor keamanan dalam bekerja, faktor
mood dan lain sebagainya. Kendala ini memang cukup masuk akal, padahal
bila diambil rata-rata pekerja perempuan dalam dokumenter bisa dibilang
“multitasking”, yang artinya ialah beberapa pekerjaan dalam berkarya bisa
dirangkap oleh hanya satu orang. Berikut ini merupakan beberapa jumlah
karya-karya dari film dokumenter yang berisisineas, karya, serta prestasi
dokumenter perempuan (Sumber : Data Asosiasi Dokumentaris Nusantara
2020).

No. Nama Judul Karya Prestasi


1. Amelia Hapsari • The Heroes and The Land Rising from
(2001) Silence, Piala Citra
• Sharing Paradise (2005) untuk kategori film
• Weaving Stories (2010) dokumenter pendek

• The Youth Paniament terbaik pada 2018.


(2011)
• Jadi Jagoan Ala Ahok
(2012)
• AKAR (2014)

9
M Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008).
12

• Rising from Silence


(2016) as Producer
2. Anggi Frisca • Aksa#7 (2014) Negeri Dongeng,
• Negeri Dongeng (2017) “Piala Citra untuk
kategori film
dokumenter pendek
terbaik pada 2017”.
3. Ani Ema Susanti • Mengusahakan Cinta Pertaruhan, “Best
(2008) Feature
• At Stakel Pertaruhan Documenter pada
(2008) The 2009
• Helper Hongkong Documentary Film

• Donor ASI Festival”, Donor

• SK Trimurti (2015) Asi “Film


Dokumenter
terbaik FFI 2011”.
4. Chairun Nissa • Payung Hitam (2011) Payung Hitam
• Chocolate Comedy ditayangkan pada
(2013) “Salaya Bangkok
• Tarian Malam (2014) Film Festival,

• Asa di Kekait Deye Thailand” dan

(2018) Flying Broom

• Potongan (2016) International

• Semesta (2018) Women’s Festival


Turki”.
13

Jika dilihat melalui tabel di atas, maka sesungguhnya tak hanya film
fiksi, jumlah produksi film yang dibuat oleh sineas perempuan dalam karya
dokumenter juga meningkat dalam lima tahun terakhir, dan juga memperoleh
banyak prestasi dari berbagai festival film. Hal ini pun juga membuktikan
bahwa adanya potensi sineas perempuan dalam dokumenter tentunya. Selain
prestasi, potensi lainnya bisa dilihat melalui tema-tema yang diangkat yang
kebanyakan ialah tentang isu kelas sosial dan perempuan, ini menjadi suatu
tanda adanya kedekatan tema dengan para pembuatnya. Dengan demikian,
sejalan dengan pendapat Graeme Tumer yang mengungkapkan bahwasannya
film tak hanya seperti dalam pandangan atau sekadar refleksi dari suatu
realitas.10 Sebaliknya, film lebih merupakan representasi atau gambaran dari
realitas, film membentuk serta “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan
kode-kode, konvnsi-konvensi, serta ideologi dari kebudayaannya.11

Seni cinematografi berlanjut mengikuti perkembangan dunia.


Cinematografi yang pada mulanya suatu media penyampaian pesan kemudian
berangsur menjadi pesan itu sendiri. Pesan dalam bentuk susunan gambar yang
terlihat. Selain itu, apa yang menjadi penting ialah bagaimana masyarakat
melihat gambar yang ditampilkan. Bagaimana gambar tersebut dilihat oleh
penonton tertentu yang melihat dengan cara tertentu juga.12 Penekanan budaya
visual ialah pada keterikatan gambar visual (visual images) dalam budaya yang
lebih luas. Mengingat kekuatan dari cinematografi itu sendiri, maka banyak
para pemangku kekuasaan yang menggunakan seni cinematografi dalam
menyampaikan idenya pada masyarakat. Bila dapat disebut sebagai

10
A Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017).
11
Dara Bunga Rembulan and Rufus Goang Swaradesy, “Srikandi in the Documentary Film: Nusantara
Documentary Association’S Rekam Pandemi,” Capture : Jurnal Seni Media Rekam 13, no. 2 (2022):
120–131.
12
G Rose, Visual Methodologies (London: Sage Publication, 2001).
14

propaganda, sebutlah seperti Hitler yang menggambarkan keagungannya


sebagai fuhrer dalam Trumph of The Will. Juga penegasan ideologi komunis
pengancam Pancasila yang lalu berbuah pada film Pengkhianatan G30 S/PKI
arahan dari Arifin C. Noer. Trumph of The Will yang ditujukan pada masyarakat
Jerman serta pengkhianatan G30 S/PKI yang ditonton oleh masyarakat
Indonesia ialah contoh bahwa para penguasa juga menyadari kekuatan pesan
yang diantarkan melalui karya cinematografi kepada masyarakat. Pada tahap
ini, produk visual tak lagi bertumpu pada pembuktian bahwa diri “mereka”
pernah ada di tempat tertentu melalui guratan lukisan gua ataupun sebagai
medium cerita melalui tayangan wayang terdahulu. 13

13
AANBK Yudha, “Memaknai Linimasa Kemunculan Sinematografi Nusantara,” SENADA (Seminar
Nasional Manajemen … 1 (2018): 36–43.
15

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Secara etimologis, cinematografi berasal dari bahasa Latin, yakni Kinema


(gerak), Photos (cahaya), Graphos (lukisan/tulisan). Jadi, bisa disimpulkan
bahwa cinematogrfai merupakan aktivitas melukis gerak dengan bantuan
cahaya. Menurut Kamus Ilmiah Serapan Bahasa Indonesia, cinematografi
diartikan sebagai ilmu serta teknik pembuatan film ataupun ilmu, teknik,
dan seni pengambilan gambar film dengan cinematograf. Cinematografi
ialah salah satu upaya manusia guna menggambarkan kepada orang lain,
melalui penggunaan teknik yang menggabungkan gambar gerak dengan
teks, dunia dan pesan itu bisa mengalihkan sebab inilah yang dipahami oleh
seorang seniman.
2. Periodisasi ialah salah satu pokok bahasan paling menarik ketika kita
membahas mengenai sejarah perkembangan salam suatu bidang. Tema itu
sangat berperan dalam melihat pencapaian-pencapaian yang diraih, selain
mampu menjadi gambaran seberapa dinamiskah sebuah bidang itu dalam
berevolusi. Periodisasi estetika dalam sejarah film oleh para kritikus
Perancis (seperti Dominique Paini, Fabrice Revault D'Allonnes, dll)
umumnya dibagi menjadi Klasik - Modern - Pasca-Modern.
3. Beberapa contoh film dokumenter dunia di antaranya ialah Nanook of the
North (1922), Moana (1926), dan Man of Aran (1934). Film Nanook of the
North dan Moana sendiri menjadi kontroversi serta polemik di kalangan
teoretisi film, karena dianggap terlalu banyak campur tangan Flaherty di
dalam peristiwanya. Serta untuk contoh beberapa film dokumenter di
16

Nusantara (Indonesia) di antaranya ialah Negeri Dongeng, Pengkhianatan


G30 S/PKI, dll.

3.2 Saran

Dengan disusunnya makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan


Cinematografi (Film Dunia/Global dan Film Indonesia)” ini, maka penulis
menganjurkan kepada pembaca agar terus menggali ilmu dan pengetahuan
khususnya terkait tentang film-film dokumenter sejarah, baik film
dunia/global maupun film Indonesia. Sebab di balik ditampilkannya film-
film tersebut di layar bioskop atau layar kaca televisi, terdapat makna
mendalam yang mungkin bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup.
17

DAFTAR PUSTAKA

Anjaya, Alsendo, and Deli. “Studi Perbedaan Komposisi Pada Sinematografi Dan Efek
Yang Dihasilkan.” Conference on Business, Social Sciences and Innovation
Technology 1, no. 1 (2020): 604–612.

Ariansah, Mohamad. “Sinema Modern: Sebuah Persoalan Historiografi Dalam Sejarah


Film.” Jurnal Imaji 3, no. 2 (2011): 67–70.

Dkk, Thompson. Film History: An Introduction. 4th ed. New York: McGraw Hill, 2018.

Fakih, M. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar,


2008.

Hermansyah, Kusen Dony. “Sejarah Film Dokumenter Awal Dunia.” Jurnal Imaji:
Film, Fotografi, Televisi, dan Media Baru 13, no. 3 (2022): 223–231.

Katz, Ephraim, and Ronald Dean Nolen. The Film Encyclopedia: The Complete Guide
to Film and The Film Indusrty. 7th ed. New York: HarperCollins Publishers, 2012.

Lahengko, K., and Van Rate J. Sekolah Fotografi Dan Sinematografi (Wujud
Ekspresionisme), 2016.

Panendra, P. A., Hardiman, and Mursal. “Komposisi Fotografi Pemandangan Karya


Nusantara Photo Club Indonesia.” Jurnal Pendidikan Seni Rupa Undiksha 6, no.
2 (2016).

Rembulan, Dara Bunga, and Rufus Goang Swaradesy. “Srikandi in the Documentary
Film: Nusantara Documentary Association’S Rekam Pandemi.” Capture : Jurnal
Seni Media Rekam 13, no. 2 (2022): 120–131.

Rose, G. Visual Methodologies. London: Sage Publication, 2001.

Shusanty, Nia. “Sejarah Dan Perkembangan Sinematografi.”


18

https://niashusanty.blogspot.com/2016/11/sejarah-dan-perkembangan-
sinematografi.html.

Sobur, A. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017.

Yudha, AANBK. “Memaknai Linimasa Kemunculan Sinematografi Nusantara.”


SENADA (Seminar Nasional Manajemen … 1 (2018): 36–43.

Anda mungkin juga menyukai