Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Fotografi dan Cinematografi
Kelas VI-C
Dosen Pengampu :
Dr. Amiq, MA
Abdurrahman, M.Hum.
Disusun Oleh :
2023
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Semesta alam yang
Maha Pengasih lagi Penyayang yang telah melimpahkan segala nikmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penugasan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Cinematografi (Film Dunia/Global dan Film Indonesia)”. Makalah ini
kami buat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Fotografi dan Cinematografi.
Makalah ini kami persembahkan kepada:
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
K. Lahengko and Van Rate J, Sekolah Fotografi Dan Sinematografi (Wujud Ekspresionisme), 2016.
2
P. A. Panendra, Hardiman, and Mursal, “Komposisi Fotografi Pemandangan Karya Nusantara Photo
Club Indonesia,” Jurnal Pendidikan Seni Rupa Undiksha 6, no. 2 (2016).
2
3
Alsendo Anjaya and Deli, “Studi Perbedaan Komposisi Pada Sinematografi Dan Efek Yang
Dihasilkan,” Conference on Business, Social Sciences and Innovation Technology 1, no. 1 (2020): 604–
612.
3
BAB II
PEMBAHASAN
orang yang bertanggungjwab baik secara teknis ataupun tidak teknis di seluruh
aspek visual dalam sebuah film.
Cinematografer harus mendukung visi dari sutradara serta skenario,
sebab bagaimanapun yang hendak disampaikan kepada penonton ialah seluruh
informasi dalam bentuk visual yang sesuai dengan visi sutradara serta visi
skenario meskipun di beberapa kasus, sutradara dapat mengubah alur atau jalan
cerita dalam skenario demi keindahan bercerita yang telah merupakan gaya
sutradara itu.
Flm (movie atau cinema) ialah produk budi karya dari kegiatan
cinematografi. Film sebagai karya cinematografi ialah hasil dari perpaduan
antara kemampuan seseorang maupun sekelimpok orang dalam penguasaan
teknologi, olah seni, komunikasi, serta manajemen berorganisasi. Dalam
memasuki dunia perfilman, artinya juga memasuki dunia tentang pemahaman
estetik melalui paduan seni acting, fotografi, teknologi optik, komunikasi
visual, industri perfilman ide, cita-cita, serta imajinasi yang sangat kompleks.
Pemahaman estetik dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya ialah
apresiasi. Apresiasi seni adalah proses secara sadar yang dilakukan melalui
penghayatan dalam menghadapi karya seni (termasuk film). Apresiasi tak
identik dengan penikmatan, sebab mengapresiasi merupakan proses untuk
menafsirkan suatu makna yang terkandung dalam suatu karya seni.
Cinematografi ialah salah satu upaya manusia guna menggambarkan
kepada orang lain, melalui penggunaan teknik yang menggabungkan gambar
gerak dengan teks, dunia dan pesan itu bisa mengalihkan sebab inilah yang
dipahami oleh seorang seniman. Berdasarkan dua kata Yunan, yakni
cinematografi yang secara etimologis berarti “menulis dalam gerakan” serta
diperkenalkan sebagai teknik baru dalam merekam gambar orang serta benda-
benda ketika mereka bergerak, dan juga proyek mereka pada jenis layar.
Cinematografi lalu bisa juga dikombinasikan dengan patung, lukisan, tari,
6
Periodisasi ialah salah satu pokok bahasan paling menarik ketika kita
membahas mengenai sejarah perkembangan salam suatu bidang. Tema itu
sangat berperan dalam melihat pencapaian-pencapaian yang diraih, selain
mampu menjadi gambaran seberapa dinamiskah sebuah bidang itu dalam
berevolusi. Meskipun begitu terkadang periodisasi dapat berubah menjadi suatu
problematika yang diiringi dengan muatan kepentingan ideologis, sehingga
mengaburkan konteks dari esensi suatu problematika. Dalam konteks sejarah
film seringkali kita menjumpai berbagai pendekatan yang berbeda terhadap
periode-periode perkembangannya. Hal semacam ini bisa terjadi sebab versi
4
Nia Shusanty, “Sejarah Dan Perkembangan Sinematografi,”
https://niashusanty.blogspot.com/2016/11/sejarah-dan-perkembangan-sinematografi.html.
7
serta metode pendekatan yang berbeda dari setiap praktisi, teoritikus, serta
akademisi film dalam merumuskan sejarah film. Sebagai contoh, misalnya
pendekatan teknologi yang melakukan periodisasi sejarah film menjadi; zaman
film bisu, lalu film suara dan periode digital (Mark Cousins).
Kata modern bukan merupakan sesuatu yang baru serta berbeda dengan
bentuk sinema klasik, yang menjadi dominan ialah melalui
penyempurnaan-penyempurnaan formula naratif sera gaya film pada puncak
dari sistem studio Hollywood sekitar periode 1930-an hingga akhir 1940-an.
Dalam konteks seni atau film dapat dianggap bahwa modern berarti bentuk
yang berbeda dari yang sebelumnya. Modern ialah suatu tema penting dalam
perjalanan seni. Hal itu bisa terjadi karena ia mengindikasikan suatu gerak
perubahan yang membuat suatu bentuk kesenian menjadi hidup. Ketika
perkembangan seni terkesan bergerak di tempat karena faktor yang bersifat
eksternal maupun internal yang membuatnya terhenti, kemudian sejarah
membuktikan lahirnya praktek-praktek ataupun refleksi-refleksi yang
menginginkan suatu pembaharuan. Serta ini merupakan sesuatu yang sangat
alamiah. Seluruh cabang seni mengalami perjalan sejarah yang mirip dalam hal
munculnya inovator-inovator yang membuat seni tersebut menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan baru yang memberikan dampak tak hanya pada
masalah afeksi semata, namun menantang cara berpikir orang sebab kebaruan
dari bentuk dan isinya.
Periodisasi estetika dalam sejarah film oleh para kritikus Perancis
(seperti Dominique Paini, Fabrice Revault D'Allonnes, dll) umumnya dibagi
menjadi Klasik - Modern - Pasca-Modern. Pada sinema klasik, cerita adalah
tujuan utama, jadi seluruh properti teknis dari sinema diarahkan ke sana (Model
utama ialah Sinema Hollywood Klasik). Sinema modern melakukan
perlawanan terhadap sinema klasik dengan mendekonstruksi semua konvensi
dari sinema sebagai medium naratif. Sedangkan Pasca-Modern melakukan
sinergi antara konvensi dari sinema klasik untuk bercerita dengan berbagai
8
inovasi yang dicapai oleh sinema modern. Apabila sinema Pasca-Modern ialah
suatu label yang kerap kali digunakan untuk berbagai aplikasi terhadap
beberapa film-film Hollywood pasca 1970-an yang menerapkan cara bercerita
film-film seni Eropa yang ambigu dan kompleks serta sulit dipahami, melalui
contoh sempurna pada film-film David Lynch, seperti Eraserhead, Blue Velvet,
Lost Highway dan Mulholland Drive. Maka sinema modern biasanya dianggap
muncul pasca perang dunia II melalui film-film Eropa macam Neo-Realisme
Italia atau New-Wave Perancis. Persoalan modern tidak terjadi hanya
berdasarkan faktor historis semata, namun harus juga benar secara teoritis sebab
tidak semua film Eropa pasca Perang Dunia II berbeda dengan bentuk sinema
Hollywood Klasik.5
5
Mohamad. Ariansah, “Sinema Modern: Sebuah Persoalan Historiografi Dalam Sejarah Film,” Jurnal
Imaji 3, no. 2 (2011): 67–70.
9
tahun 1932 hingga 1934.6 Hingga kini, masih banyak pengamat ataupun
pembuat film dokumenter yang meyakini bahwa film-film Robert Flaherty
ialah film dokumenter awal di dunia. Terutama beberapa film awalnya,
seperti Nanook of the North (1922), Moana (1926), dan Man of Aran
(1934). Film Nanook of the North dan Moana sendiri menjadi kontroversi
serta polemik di kalangan teoretisi film, karena dianggap terlalu banyak
campur tangan Flaherty di dalam peristiwanya.
Menurut Jill Nelmes, Flaherty tak segan-segan mengarang peristiwa
ketika menggambarkan kehidupan keluarga Suku Inuit yang tinggal di
bagian utara Kanada. Salah satu contohnya ialah membangun igloo (rumah
suku Eskimo) dengan sisi yang terbuka. Hal itu bertujuan supaya bisa
melakukan shooting interior. Hal yang lebih kontroversial lagi ialah
penggunaan tombak tradisional ketika perburuan tokoh Nanook. Tokoh
yang memerankan Nanook secara faktual telah menggunakan senjata
modern ketika berburu. Selain itu, Flaherty juga memasukkan adegan
penduduk asli Polinesia yang tengah melakukan ritual yang telah lama tak
mereka lakukan dalam kedihupan sehari-hari dalam film Moana.
Dari terdapatnya fakta-fakta di atas, tak membuat film-film Robert
Flaherty luntur sebagai film dokumenter awal, sebab telah terlanjur melekat
dengan terminologi dokumenter yang digagas oleh John Grierson. Sebagian
masyarakat film di Indonesia sendiri juga tak kritis dengan mencari fakta
serta mempertanyakan lagi kebenaran dari film Nanook of the North sebagai
film dokumenter pertama di dunia. Banyak orang yang telah menerima
begitu saja (taken for granted) fakta yang disajikan mengenai film itu.
6
Katz, Ephraim, and Ronald Dean Nolen, The Film Encyclopedia: The Complete Guide to Film and The
Film Indusrty, 7th ed. (New York: HarperCollins Publishers, 2012).
10
7
Thompson Dkk, Film History: An Introduction, 4th ed. (New York: McGraw Hill, 2018).
8
Kusen Dony Hermansyah, “Sejarah Film Dokumenter Awal Dunia,” Jurnal Imaji: Film, Fotografi,
Televisi, dan Media Baru 13, no. 3 (2022): 223–231.
11
juga menjadi subjek penelitian akademis serta studi kritis. Hal yang juga
menjadi menarik ialah dalam genre dokumenter, ketidaksetaraan gender
masih banyak terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung.9 Banyak
asumsi yang menyatakan bahwa perempuan dalam bidang dokumenter
mempunyai hambatan yang sangat banyak, sehingga mengakibatkan
minimnya sineas perempuan dalam bidang dokumenter, seperti
keterbatasan waktu, faktor keluarga, faktor keamanan dalam bekerja, faktor
mood dan lain sebagainya. Kendala ini memang cukup masuk akal, padahal
bila diambil rata-rata pekerja perempuan dalam dokumenter bisa dibilang
“multitasking”, yang artinya ialah beberapa pekerjaan dalam berkarya bisa
dirangkap oleh hanya satu orang. Berikut ini merupakan beberapa jumlah
karya-karya dari film dokumenter yang berisisineas, karya, serta prestasi
dokumenter perempuan (Sumber : Data Asosiasi Dokumentaris Nusantara
2020).
9
M Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008).
12
Jika dilihat melalui tabel di atas, maka sesungguhnya tak hanya film
fiksi, jumlah produksi film yang dibuat oleh sineas perempuan dalam karya
dokumenter juga meningkat dalam lima tahun terakhir, dan juga memperoleh
banyak prestasi dari berbagai festival film. Hal ini pun juga membuktikan
bahwa adanya potensi sineas perempuan dalam dokumenter tentunya. Selain
prestasi, potensi lainnya bisa dilihat melalui tema-tema yang diangkat yang
kebanyakan ialah tentang isu kelas sosial dan perempuan, ini menjadi suatu
tanda adanya kedekatan tema dengan para pembuatnya. Dengan demikian,
sejalan dengan pendapat Graeme Tumer yang mengungkapkan bahwasannya
film tak hanya seperti dalam pandangan atau sekadar refleksi dari suatu
realitas.10 Sebaliknya, film lebih merupakan representasi atau gambaran dari
realitas, film membentuk serta “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan
kode-kode, konvnsi-konvensi, serta ideologi dari kebudayaannya.11
10
A Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017).
11
Dara Bunga Rembulan and Rufus Goang Swaradesy, “Srikandi in the Documentary Film: Nusantara
Documentary Association’S Rekam Pandemi,” Capture : Jurnal Seni Media Rekam 13, no. 2 (2022):
120–131.
12
G Rose, Visual Methodologies (London: Sage Publication, 2001).
14
13
AANBK Yudha, “Memaknai Linimasa Kemunculan Sinematografi Nusantara,” SENADA (Seminar
Nasional Manajemen … 1 (2018): 36–43.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anjaya, Alsendo, and Deli. “Studi Perbedaan Komposisi Pada Sinematografi Dan Efek
Yang Dihasilkan.” Conference on Business, Social Sciences and Innovation
Technology 1, no. 1 (2020): 604–612.
Dkk, Thompson. Film History: An Introduction. 4th ed. New York: McGraw Hill, 2018.
Hermansyah, Kusen Dony. “Sejarah Film Dokumenter Awal Dunia.” Jurnal Imaji:
Film, Fotografi, Televisi, dan Media Baru 13, no. 3 (2022): 223–231.
Katz, Ephraim, and Ronald Dean Nolen. The Film Encyclopedia: The Complete Guide
to Film and The Film Indusrty. 7th ed. New York: HarperCollins Publishers, 2012.
Lahengko, K., and Van Rate J. Sekolah Fotografi Dan Sinematografi (Wujud
Ekspresionisme), 2016.
Rembulan, Dara Bunga, and Rufus Goang Swaradesy. “Srikandi in the Documentary
Film: Nusantara Documentary Association’S Rekam Pandemi.” Capture : Jurnal
Seni Media Rekam 13, no. 2 (2022): 120–131.
https://niashusanty.blogspot.com/2016/11/sejarah-dan-perkembangan-
sinematografi.html.