Anda di halaman 1dari 21

SATUAN BAHASAN 4

DIMENSI SOSIAL-BUDAYA DALAM


PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL
STRUKTURAL

A. PENDAHULUAN
1. Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah
Materi kuliah ini membahas konsep-konsep dasar dalam Teori
Fungsionalis Struktural dan sejarah lahirnya, komponen-
komponen Teori Fungsionalis Struktural menurut Talcott Parsons,
dan Teori Fungsionalis Struktural Robert Merton.

2. Pedoman Mempelajari Materi


Baca dengan baik uraian satuan bahasan empat berkaitan
dengan pengertian Teori Fungsionalis Struktural, latar belakang
Teori Fungsionalis Structural Talcott Parsons, konsep dan
komponen dalam Teori Fungsionalis Structural, dan Teori
Fungsionalis Structural Robert Merton.

3. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan konsep-konsep
dasar Teori Fungsionalis Struktural
b. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah lahirnya Teori
Fungsionalis Struktural.
c. Mahasiswa dapat memahami komponen-komponen dalam
Teori Fungsionalis Struktural.
d. Mahasiswa dapat membedakan Teori Fungsionalis Struktural
menurut Talcott Parson dan Robert Merton.

47
B. KEGIATAN BELAJAR
1. Pandangan Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons
Sebenarnya ilmuwan sosial yang terlibat dalam
pengembangan teori fungsional struktural adalah cukup banyak,
baik yang berlatar belakang kajian antropologi maupun sosiologi,
misalnya: Levi Strauss; Emille Durkheim; R. Brown; Talcott
Parsons; Robert K Merton; Walter Buckley; Amitai Etzioni, dan
sebagainya. Dalam kajian berikut ini lebih menekankan pada
pandangan-pandangan teori fungsional struktural versi Talcott
Parsons dan versi Robert K Merton. Pemilihan dua pandangan
teoritikus sosiologi tersebut bukan berarti penulis menempatkan
Parsons dan Merton dalam posisi teoritikus fungsional struktural
yang paling baik dan sempurna. Uraian singkat tentang teori
fungsional struktural dari versi Parsons dan Merton tersebut
diharapkan bisa memotivasi para pembaca untuk lebih jauh
memahami perspektif fungsional struktural dalam memahami
fenomena sosial-budaya di masyarakat.
Parsons lahir di Colorado, USA tahun 1902. Selama
hidupnya dia membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada
perbedaan penting antara karya awal dan karya yang terakhirnya.
Menurut Herry Priyono (2002), ada tiga tahap refleksi teoritik
Parsons, antara lain: (1) Tahap pertama, ketika dia menyusun teori
Tindakan Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua, ketika dia
meninggalkan teori tindakan voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan
Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia menerangkan Teori
Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966).
Menurut Theodorson, dalam Raho, B. (2007), pengertian
fungsionalisme struktural adalah ‘salah satu paham atau perspektif di
dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri
dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang

48
satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain’.
Apabila terjadi perubahan pada unsur sosial-budaya pada salah satu
bagian akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pada
sistem, dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan
pada bagian yang lain. Kemudian asumsi dasar teori fungsional
struktural adalah ‘bahwa semua elemen atau unsur kehidupan sosial-
budaya dalam masyarakat harus berfungsi (fungsional) sehingga masyarakat
secara keseluruhan bisa menjalankan fungsi dengan baik’. Kajian berikut
ini, tentang Teori Fungsional Struktural Parsons lebih banyak
menitikbertakan pada konsep ‘Skema AGIL’ dan konsep ‘Fungsional
Struktural’.
Skema AGIL dalam fungsional struktural Parsons
Konsep, skema Adaptation, Goal attainment, Integration, dan
Latensi (AGIL). Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang
diperlukan dalam menganalisis semua sistem ‘tindakan’ manusia
untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu: adaptation (A), goal
attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan
kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem sosial dalam
kelompok itu harus memiliki empat fungsi yang saling
berhubungan secara timbal balik, yaitu:
a. Adaptation (menyesuaikan diri dengan lingkungan). Sebuah
sistem (dalam suatu kelompok) harus menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri kondisi
lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya.
Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan
sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
(menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal) dalam
sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’,
adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi
masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan
melalui: tenaga kerja, produksi, dan alokasi.

49
b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam
suatu kelompok) harus mendefinisikan tujuan dan upaya
mencapai tujuan utamanya. Kemudian aspek ‘Sistem
kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi
sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan utamanya.
Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem pemerintahan’
(sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain
tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan
memobilisasi aktor (sumber daya manusia) untuk mencapai
tujuan utama yang telah dirumuskan.
c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok)
harus mengatur hubungan antar bagian dalam sistem. Sistem
juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya
(adaptation; goal attainment; latency). Kemudian aspk ‘Sistem
sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan
mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan
bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas kemasyarakatan’ (contoh,
hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan), adalah
akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau
mengkoordinasi beragam komponen masyarakat menuju
terwujudnya integrasi sosial-budaya.
d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem (dalam suatu
kelompok) harus memperlengkapi, memelihara dan
memperbaiki, serta mendorong (memotivasi) individu atau
pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan
nilai-norma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian
aspek ‘Sistem kultural’, adalah melaksanakan fungsi
pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat
norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai
dengan nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’

50
(contoh lembaga keluarga, sekolah, dan lembaga
keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola
(nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hisup dalam
kelompok) dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor
(individu) untuk ‘disosialisasikan, diinternalisasikan dan
dienkulturasikan’ pada dirinya.
Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-
budaya di masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme
struktural versi Parsons, seharusnya menggunakan skema AGIL
sebagaimana yang tergambarkan pada gambar 2.1 pada halaman
berikut, yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lain secara fungsional.
Sedangkan hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam
kehidupan kelompok, dapat digambarkan seperti dalam skema
berikut:

ADAPTATION GOAL ATTAINMENT

- Organisme Perilaku - Sistem Kepribadian


- Sistem Ekonomi - Sistem Pemerintahan
(sistem politik)

LATENCY INTEGRATION
- Sistem Kultural - Sistem Sosial
- Sistem Fiduciari’ - Komunitas Kemasyarakatan
(lembaga keluarga, (hukum, norma)
sekolah, agama)

Gambar 4.1 Hubunganbtimbal balik skema AGIL (Johnson D,


1986; Ritzer dan Goodman, 2004)

51
Konsep fungsional struktural Parsons
Untuk memahami skema AGIL tersebut, perlu dipahami
beberapa pemikiran kunci dari Parsons tentang ‘fungsionalisme
struktural’ secara integral. Sedangkan beberapa konsep kunci
tentang teori fungsionalisme struktural Parsons antara lain:

a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat


berbagai sistem tindakan individu dalam kelompok. Kultur
mengatur interaksi antar aktor (individu), menginteraksikan
kepribadian dan menyatukan sistem sosial.
b. Kultur, dipandang sebagai: (1) sistem simbol yang terpola
(ajek/ sebagai etos), teratur yang menjadi sasaran orientasi
para aktor; dan (2) aspek-aspek kepribadian yang sudah
terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan di
dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor
eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam
kelompok agar sesuai dengan nilai-norma sosial-budaya.
Individu tidak merdeka dalam bertindak, karena semua
tindakan individu sudah ditentukan oleh kultur (budaya)
(Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W., 2008).
c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain
melalui penyebaran (difusi) dan dipindahkan dari kepribadian
satu ke sistem kepribadian lain melalui proses ‘pembelajaran
budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan proses
enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman,
2004). Proses internalisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini
sampai meninggal untuk membentuk pribadi (akhlak) yang
baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses sosialisasi adalah
‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk
berinteraksi sosial, berkomunikasi atau bergaul dalam
kelompok dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses

52
enkulturasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai
meninggal untuk tanggap pada sistem kontrol, disiplin pada
aturan dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Pada
hakikatnya setiap manusia sepanjang hidupnya selalu dalam
proses pembelajaran budaya (internalisasi, sosialisasi dan
enkulturasi), dan proses pembelajaran budaya tersebut
ditentukan oleh kultur yang berlaku, bukan ditentukan oleh
jiwa dan pikiran individu. Jadi, kultur (eksternal) menentukan
pikiran dan jiwa (internal) seseorang.
d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang
saling berinteraksi (hubungan timbal balik) dalam situasi
yang mempunyai aspek lingkungan (fisik). Aktor (individu)
mempunyai motivasi untuk ‘mengoptimalkan kepuasan’,
yang berhubungan dengan situasi lingkungan mereka, yang
didifinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol yang
terstruktur secara kultural.
e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor;
(b) interaksi; (c) lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e)
kultur. Meski Parsons melihat sistem sosial sebagai interaksi
(hubungan timbal balik), tetapi dia tidak menggunakan
interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang
sistem sosial. Dia menggunakan ‘status-peran’ sebagai unit
dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi
struktural individu dalam sistem sosial (kelompok),
sedangkan peran (role) adalah apa yang harus dilakukan
individu dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons,
bukan dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan
sehari-hari individu (seperti dalam teori berparadigma
definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi
‘aktor’ dilihat sebagai ‘kumpulan dari beberapa status dan peran
yang terpola oleh struktur dalam sistem sosial-budaya’. Jadi individu

53
ter-determinasi oleh aktor eksternal, atau individu ditentukan
oleh struktur sosial-budaya (Rossides, 1978).
f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut
Parsons, yaitu: (1) sistem sosial harus terstruktur (ditata)
sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan
yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2)
untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus
mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain;
(3) sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para
aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial
harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para
anggotanya; (5) sistem sosial harus mampu mengendalikan
perilaku yang berpotensi mengganggu; (6) apabila dalam
sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan,
oleh karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk
kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa
(Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini
menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan
mikro.
g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan,
yaitu: (1) sistem kultural; (2) sistem sosial; (3) sistem
kepribadian; dan (4) organisme perilaku, yang keempatnya
terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.
h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme
struktural’, yaitu: (1) sistem memiliki properti keteraturan dan
bagian-bagian yang saling tergantung; (2) sistem cenderung
bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan; (3) sistem mungkin statis atau bergerak dalam
proses perubahan yang teratur; (4) sifat dasar bagian suatu
sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain; (5)
sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (6)

54
alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental
yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem;
dan (7) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan
keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan
keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang
berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk
merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004).
Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur
keteraturan masyarakat sebagai prioritas utama teori
fungsionalisme struktural Parsons.
i. Aktor (individu) dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons
berpandangan: (1) antara aktor dan struktur sosial
mempunyai hubungan sangat erat; (2) persyaratan kunci bagi
terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah
proses internalisasi dan sosialisasi; (3) dalam proses
sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan
nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor
mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan;
(4) aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses
sosialisasi. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai proses
konservatif (sebagian besar kebutuhan dibentuk oleh
masyarakat). Norma dan nilai yang dipelajari sejak kecil
cenderung tidak berubah, dan cenderung berlaku sampai tua;
(5) perhatian Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai
satu kesatuan ketimbang pada aktor (individu) di dalam
sistem. Dalam fungsionalisme struktural Parsons, adalah,
bagaimana cara sistem mengontrol atau mengendalikan aktor
(individu), bukan mempelajari bagaimana cara aktor
menciptakan dan memelihara sistem (Abraham, 1982; Craib,
1984; Hamilton, 1990).

55
j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi
individu yang beragam agar tidak terjadi problem?. Parsons
mengemukakan pendapat, yaitu: (1) dalam sistem sosial
harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan
dengan baik (hemat); (2) sistem sosial harus mampu
menghormati perbedaan (differensial), bahkan penyimpangan
tertentu (sistem sosial harus lentur atau flexible); (3) sistem
sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang bagi aktor
untuk berperan, yang memungkinkan terjadinya perwujudan
beragam kepribadian di masyarakat tanpa mengancam
integrasi dalam masyarakat (kelompok).
k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah
satu ‘sistem sosial khusus’, karena kolektif ini relatif mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri. Parsons membedakan
antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat
menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat,
antara lain: (1) subsistem ekonomi (dalam Adaptation); (2)
subsistem pemerintahan (dalam Goal attainment); (3) sistem
komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan (4)
subsistem fiduciari (dalam Latency), lihat bagan di atas.
l. ‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem
kepribadian (personalitas) adalah: (1) personalitas diartikan
sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor
individual yang terorganisir dengan baik. Komponen
dasarnya adalah ‘disposisi dan kebutuhan’. Disposisi
kebutuhan merupakan ‘unit-unit motivasi tindakan individu
yang paling penting’; (2) ada tiga tipe dasar disposisi
kebutuhan, yaitu: (a) memaksa aktor mencari cinta,
persetujuan, dan sejenisnya, dari hubungan sosial mereka; (b)
meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor
mengamati berbagai standar nilai-norma dalam kultural; dan

56
(c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor
memberikan dan menerima respon yang tepat; dan (3)
hubungan sistem kepribadian dengan sistem sosial adalah: (a)
aktor harus belajar melihat dirinya sendiri (kepribadian)
sesuai dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat
(sistem sosial); dan (b) peran yang diharapkan untuk
dilakukan individu, terkait erat dengan status (kedudukan)
yang dimiliki oleh aktor di masyarakat. Berdasarkan ketiga
konsep tersebut dapat dipahami, bahwa dalam
fungsionalisme struktural Parsons, menempatkan citra aktor
dalam aktivitas sosial dalam posisi sangat pasif, dipaksa oleh
dorongan hati dan didominasi oleh kultur atau gabungan
dorongan hati dan kultur (disposisi-kebutuhan) (Craib, 1984;
Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).
m. Konsep perubahan sosial. Pandangan Parsons tentang proses
perubahan sosial di masyarakat adalah berlangsung secara
evolusioner. Menurut Parsons, ada tiga komponen
paradigma proses perubahan sosial secara evolusioner, yaitu:
(1) ‘proses diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang beragam strukturnya dan
fungsionalnya; (2) proses diferensiasi menimbulkan
‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-
masing subsistem mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri secara meningkat dan berkualitas).
Masyarakat akan berevolusi dari sistem yang bersifat ascription
(atas dasar kelahiran) ke sistem yang berdasarkan achievement
(atas dasar prestasi/ keahlian); dan (3) ‘sistem nilai dasar’,
artinya semakin maju masyarakat semakin beragam nilai-
norma yang dianut. Oleh karena itu diperlukan sistem nilai
dasar (umum /pokok /ide dasar) yang lebih tinggi untuk
melegitimasi atau sebagai pandangan hidup (way of life) bagi

57
beragam norma, tujuan dan fungsi yang ada pada subsistem
masyarakat (Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).
n. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap,
yaitu: (1) masyarakat primitif; (2) masyarakat lanjutan; dan (3)
masyarakat modern. Dia membedakan tiga tahap ini
berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib, 1984;
Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang
perubahan sosial-budaya adalah: (1) proses perubahan sosial
yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium)
dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari
upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem;
(2) proses diferensiasi struktural akan menimbulkan
perubahan baru di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah
struktur sistem sosial-budaya secara keseluruhan. Nilai-nilai
pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) perubahan evolusi
masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan
kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (4)
apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi
perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan
(perubahan sistem nilai-nilai terpenting), hal ini akan
mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem
(Appelbaum, R.P. 1970; Harper, C.L. 1989; Lauer, 1993)
atau perubahan revolusi.
Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan sosial
yang dibedakan menjadi tiga macam perubahan yaitu: (1)
perubahan ke arah sistem perbaikan (mempertahankan sistem),
yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap
perubahan yang sesuangguhnya (namun pola perubahan ini masih
statis); (2) perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit
perbedaan, sub sistem kedalam pola fungsional secara khusus atau
saling ketergantungan (perubahan koordinasi aktivitasnya dan

58
fungsi-fungsinya); dan (3) perubahan ‘adaptive apgrading’, artinya
sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan distribusi
sumber, sehingga meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer,
1993).
Meskipun pandangan Parsons tentang teori fungsional
struktural, telah dianggap sangat penting bagi setiap ilmuwan sosial
dalam melakukan analisis fenomena sosial, masih ada sisi
kelemahan sebagai kritik dari teori fungsional struktural Parsons,
antara lain
Pertama, kritik substantif (krtik utama), antara lain: (a) teori
fungsional struktural tidak berkaitan dengan sejarah (bersifat
ahistoris), lebih memusatkan pada masyarakat kontemporer
maupun masyarakat abstrak, atau teori fungsional struktural tidak
mampu menjelaskan peristiwa masa lalu; (b) teori fungsional
struktural dianggap tidak mampu menjelaskan proses perubahan
sosial secara efektif pada masa kini, atau teori fungsional structural
lebih senang menjelaskan struktur sosial statis daripada proses
perubahan itu sendiri (yang dinamis); (c) teori fungsional struktural
tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal ini
karena teori fungsional struktural terlalu menekankan aspek
keharmonisan antar unsur;, dan cenderung melihat konflik sebagai
sesuatu yang bersifat merusak dan terjadi di luar kerangka
kehidupan masyarakat; (d) teori fungsional struktural cenderung
memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai.
Individu dipandang sebagai dipaksa oleh kekuatan kultural dan
sosial (faktor eksternal), atau individu dianggap tidak merdeka
dalam menentukan jalan hidup; dan (e) teori fungsional struktural
dalam praktiknya banyak digunakan untuk mendukung status quo
dan elite dominan (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Turner, J.H.
1982).

59
Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills,
Abrahamson dan Cohen, antara lain: (a) teori fungsional struktural
pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna ganda (yaitu lebih
memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat nyata); (b) teori
fungsional struktural termasuk teori yang lebih bersifat umum
(abstrak), padahal dalam melakukan analisa fenomena sosial akan
lebih baik memakai ‘teori middle range’, spesifik yang lebih historis
(Merton); (c) pada dasarnya belum ada metode yang memadai
untuk mengkaji persoalan fenomena social dengan menggunakan
kerangka berpikir fungsional struktural; (d) teori fungsional
struktural membuat analisis konservatif dan sulit, sebab analisis
fungsional structural hanya cocok bagi kondisi sistem yang sama,
sedangkan sistem yang beragam sangat sulit; (e) logika teori
fungsional struktural bersifat tautologi. Argumentasi Tautologi
adalah argumen yang konklusinya semata-mata menegaskan apa-
apa yang terkandung di dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa
sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam sistem
dan bagian dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam sistem
sosial yang lebih luas; (f) teori fungsional struktural dianggap
terlalu teleologis (seolah-olah benar secara logika, tetapi tidak selalu
benar secara empiris); (g) teori fungsional struktural terlalu banyak
mengadopsi dari ahli fungsional struktural antropologi, yang tentu
kurang cocok untuk analisis masyarakat modern (Ritzer dan
Goodman, 2004).
Dari kedua konsep tentang kelemahan (kritik) terhadap
teori fungsional struktural Parsons tersebut, dapat disimpulkan
bahwa: (a) penerapan prinsip-prinsip biologis (hukum organism)
pada kehidupan masyarakat memang menimbulkan berbagai
persoalan atau mempunyai banyak titik kelemahan; (b) anggapan
bahwa persoalan masyarakat merupakan elemen integral dan
homeostatik yang kurang menekankan problem kekuasaan,

60
memunculkan tuduhan bahwa pandangan Parsons bersifat elitis
dan konservatif; (c) konsep struktur fungsionalisme Parsons
bersifat statis dan tidak berkembang atau banyak sisi kelemahannya
apabila digunakan untuk melakukan analisis masyarakat sekarang
yang sangat dinamik, dan kompleks; (d) penilaian Parsons, bahwa
masyarakat Barat merupakan bentuk masyarakat modern, dapat
menimbulkan ethnosentrisme; dan (e) metode ‘deduksi historis’
yang didasarkan pada analogi biologi, tentu banyak titik kelemahan
apabila diterapkan dalam realitas sosial-budaya yang unik, dinamik
dan kompleks.
Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik
di atas antara lain: (1) teori fungsional struktural tidak seluruhnya
bersifat statis equilibrium (Parsons), tetapi ada juga yang bersifat
dinamis (Merton); (2) teori fungsional struktural juga mengakui
adanya struktural konflik dan konflik internal di dalam struktur,
namun perubahan yang terjadi itu hanya bersifat evolusi (bukan
revolusi) (contoh, Aliran neo evolusi perspektif Merton); dan (3)
Neo evolusi perspektif Merton, melihat bahwa equilibrium dari statis
mengarah ke equilibrium dinamis (melihat masyarakat relatif
kompleks, sehingga terbuka untuk berubah).
2. Pandangan Teori Fungsional Struktural Robert K. Merton
Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam
beberapa aspek fungsionalisme struktural Parsons. Langkah atau
pandangan Merton ini lebih membantu para peneliti sosial dalam
menggunakan teori fungsional struktural untuk memahami
beragam fenomena sosial-budaya di masyarakat. Ada beberapa
perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons dengan
Merton, antara lain: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-
teori besar (Grand theory) dan luas cakupannya, sedangan FS
Merton menyukai teori yang terbatas, teori tingkat menengah

61
(Middle range theory); dan (2) FS Merton lebih menyukai teori
Marxian (fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis),
sedangkan FS Parsons tidak (Ritzer dan Goodman, 2004).
Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran R.K.
Merton berkaitan dengan teori fungsionalisme strukturalnya dalam
memahami fenomena sosial di masyarakat, antara lain:
Pertama, Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis
struktural yang dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan
Radcliffe Brown, antara lain: (1) postulat, ‘bahwa semua keyakinan
dan praktik sosial-budaya yang sudah baku adalah fungsional untuk
kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi integrasi
tingkat tinggi. Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi
masyarakat primitif atau masyarakat terisolir dengan jumlah
komunitas yang kecil, tetapi tidak cocok bagi masyarakat modern
yang sangat dinamik dan kompleks; (2) postulat, ‘fungsionalisme
universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk sosial, budaya, dan struktur
yang sudah baku mempunyai fungsi positif (mengikat dan
memaksa). Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan,
kepercayaan mempunyai fungsi positif, terlebih dalam masyarakat
yang kompleks atau modern yang multikultural dijumpai beragam
struktur; dan (3) postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua
struktur yang baku tersebut secara fungsional adalah penting untuk
masyarakat. Bagi Merton, dalam hidup sosial-budaya perlu ada
beragam alternatif struktur dan fungsional dalam masyarakat,
terutama pada masyarakat modern yang sangat kompleks
(Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a).
Kedua, sasaran studi struktural fungsional menurut Merton
adalah: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola budaya,
emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi
kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial
dan sebagainya. Perhatian analisis struktur fungsional seharusnya

62
lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif individual’.
Fungsi bagi Merton didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi
yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem
tertentu’ (Johnson, D.P. 1981; Raho, B. 2007).
Ketiga, beberapa konsep penting Merton tentang: disfungsi;
nonfunctions; net balance; dan manifest, antara lain: (1) konsep disfungsi,
menurut Merton, sistem sosial, struktur, atau institusi dapat
menimbulkan akibat positif dan juga negatif (disfungsi) dalam sistem
sosial. Contoh, sistem perbudakan di Amerika Serikat akan
menimbulkan disfungsi tatanan kehidupan politik (adanya
rasdiskriminasi); (2) konsep nonfunctions, yang didefinisikan sebagai
akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang
sedang diperhatikan, artinya bentuk tindakan sosial lama (kuno)
yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3) konsep net
balance (keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam
melakukan analisis sosial harus mampu mengembangkan
pertanyaan pada ‘tingkatan analisis fungsional’, dengan
menimbang, membandingkan, menjumlah fungsi positif dan
disfungsinya, misalnya: sistem perbudakan mungkin lebih
fungsional bagi unit sosial tertentu (lapisan sosial-ekonomi elit) dan
lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya (masyarakat bawah/
lapiran bawah). Inilah yang membedakan Merton dengan tokoh
fungsional struktural lainnya (umumnya teoritisi fungsional hanya
menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan); dan (4) konsep
manifest (fungsi nyata) dan latent (fungsi tersembunyi). Kedua istilah
ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional versi
Merton. Fungsi nyata (manifest) adalah fungsi yang diharapkan
(contoh, lembaga rumah sakit adalah berfungsi merawat dan
menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi (latent) adalah
fungsi yang tidak diharapkan (contoh, rumah sakit adalah lembaga

63
yang menghabiskan uang/ kekayaan bagi yang sakit, dan bisa
menimbulkan jumlah orang sakit bertambah). Menurut Merton,
fungsi latent ada yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang
tidak fungsional (Johnson, D.P. 1981; Bachtiar, W. 2006).
Keempat, sumbangan terpenting Merton terhadap
fungsionalisme struktural dan terhadap analisis sosial-budaya pada
umumnya, khususnya tentang analisisnya mengenai hubungan
antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie, antara lain: (1)
kultur, adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau kelompok;
struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir,
yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau
kelompok di dalamnya; dan anomie, adalah kondisi individu atau
kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai
normatif atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam
kelompoknya. (2) setiap melakukan analisis fenomena sosial-
budaya, perlu menghubungkan ketiga konsep tersebut (kultur,
struktur sosial dan anomie), artinya analisis terhadap pola aktivitas
individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau
tidak menyimpang sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis
hubungan antar ketiga konsep tersebut; dan (3) Merton lebih
tertarik dengan disfungsi yang dalam hal ini adalah anomie, lebih
khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie karena adanya
kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Craib, 1984;
Hamilton, 1990).
Kelima, beberapa konsep dasar Merton tentang organisasi
birokrasi modern, antara lain: (1) birokrasi merupakan struktur sosial
yang terorganisir secara rasional dan formal, (2) birokrasi meliputi
suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas; (3)
kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan
tujuan-tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi

64
diintegrasikan kedalam keseluruhan struktur birokratis; (5) status
dalam birokrasi tersusun kedalam susunan yang bersifat hirarkhis;
(6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi
oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada
jabatan bukan pada orang, tetapi ada pada kelompok; dan (9)
hubungan antar individu dibatasi secara formal oleh nilai-norma
yang telah disepakati kelompok (Poloma, 2000).
Keenam, beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial
(social change) menurut Merton, antara lain: (1) struktur birokrasi
dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi aturan
normatif dalam kelompok. Apabila perilaku dalam birokrasi tidak
sesuai dengan aturan normatif kelompok, maka akan terjadi anomie
(non konformis); (2) anomie, disini bukan bersifat psikologis,
melainkan lebih berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan)
antara kultural dengan struktural dalam kelompok. Jadi, fenomena
anomi dalam kehidupan sosial (masyarakat) memerlukan
penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3) analisa
fungsional struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan
tiga postulat di atas (yaitu: postulat kesatuan fungsional masyarakat;
postulat fungsional universal dan postulat indispensability), tetapi
juga perlu dipadu dengan analisis lainnya, yaitu: analisis konsep
disfungsi (anomie); analisis konsekwensi keseimbangan fungsional
(net balance); dan analisis fungsi manifes dan fungsi latent (Craib,
1984; Hamilton, 1990; Poloma, 2000).
Ketujuh, tentang perangkat peran (role-set). Setiap individu di
masyarakat memiliki status, dan setiap status terdapat beberapa
peranan atau seperangkat peran (role-set). Seperangat peran tersebut
harus terintegrasi dengan baik, apabila role-set tersebut tidak terjadi
integrasi secara baik akan terjadi konflik (disintegrasi). Oleh karena
itu Merton memusatkan analisisnya pada struktur sosial dan
menyelidiki elemen-elemen fungsional dan elemen-elemen

65
disfungsional dalam kelompok. Elemen fungsional adalah beragam
elemen yang dapat menghindarkan terjadinya konflik (disintegrasi)
dalam kelompok, sedangkan elemen disfungsional adalah beragam
elemen yang dapat memunculkan terjadinya konflik di masyarakat
(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Raho,B., 2007).
Menurut Merton, ada beberapa strategi yang dapat
dilakukan untuk meminimalkan konflik di masyarakat, antara lain:
(1) membangun intensitas keterlibatan individu dalam beragam
peranan dalam kehidupan di masyarakat; (2) membangun sikap
kompetitor (persaingan) diantara individu yang ada dalam role-set
(seperangkat peran) secara positif dan konstruktif; (3) apabila
terjadi konflik dalam role set (seperangkat peran), maka setiap
anggota dalam kelompok harus segera melakukan penyelesaian
konflik; dan (4) melakukan isolasi peran, sehingga sulit diamati
oleh orang lain yang ada dalam role set (seperangkat peran). Jadi,
Merton dalam melakukan studi sosial memberikan penekanan
pentingnya melakukan ‘analisis elemen-elemen disfungsional’ dan
‘alternatif-alternatif fungsional’ dalam kehidupan masyarakat.
C. Rangkuman
1. Fungsionalisme struktural memandang masyarakat sebagai
satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak
dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang
lain.
2. Semua elemen atau unsur kehidupan sosial-budaya dalam
masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga
masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsi
dengan baik.
3. Ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam
menganalisis semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk

66
pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu: adaptation (A), goal
attainment (G), integration (I), dan latensi (L).
4. Fungsi didefinisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang
dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian
dari sistem tertentu.
D. Konsep-Konsep Penting
1. Adaptation (adaptasi) berarti menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
2. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam
suatu kelompok) harus mendefinisikan tujuan dan upaya
mencapai tujuan utamanya.
3. Integration (Integrasi). Sebuah sistem dalam suatu kelompok
harus mengatur hubungan antar bagian dalam system.
4. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem dalam suatu
kelompok harus memperlengkapi, memelihara dan
memperbaiki, serta mendorong (memotivasi) individu atau
pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan
nilai-norma (seperangkat aturan) yang berlaku.
E. Latihan
1. Uraian latar belakang lahirnya Teori Struktural Fungsional!
2. Jelaskan substansi Teori Struktural Fungsional !
3. Uraikan karakteristik Teori Robert Merton !
4. Uraikan perbedaan perspektif Talcott Parson dengan Robert
Merton tentang Teori Struktural Fungsional !
F. Tes Formatif
1. Jelaskan masing-masing komponen dalam A-G-I-L !
2. Berikan contoh fakta sosial terkait Teori Struktural
Fungsional !
3. Uraikan kelebihan dan kelemahan Teori Struktural
Fungsional !

67

Anda mungkin juga menyukai