Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI ANTROPOLOGI KLASIK

Dosen Pengampu: Imam Ardhianto S.Sos., M.Si.

Disusun oleh :

WINDI ULFIATUN NASIKHA

1906396623

Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Teori Antropologi Klasik

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2020
Ilmu antropologi merupakan sub disiplin ilmu yang menjelaskan budaya lebih dalam
berdasarkan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Berbagai teori dan pendekatan menjadi
pendukung bagi antropologi untuk mengungkapkan realita budaya yang terjadi. Keberadaan
suatu budaya tentu tidak bisa terlepaskan oleh kehidupan manusia di dalamnya sehingga
aspek perubahan sosial yang terjadi pada manusia menjadi objek penting bagi antropologi
untuk memahami hal tersebut. Dalam mendefinisikan budaya sendiri, masyarakat tertentu
memiliki keyakinan tersendiri dalam memahami kebudayaan. Proses perubahan sosial
bekerja didukung dengan dinamika interaksi sosial yang ada hingga mempengaruhi
perubahan struktur masyarakat. Berbagai pandangan antropolog mencoba menjelaskan
bagaimana perubahan-perubahan mempengaruhi dan membentuk budaya. Pandangan yang
ditawarkan oleh beberapa tokoh antropologi menekankan pada dua pendekatan utama yaitu
struktur dan proses. Sebagaimana paradigma ilmu antropologi melihat budaya yang begitu
kompleks dan menghadirkan pemahaman budaya secara holistik. Adapun pendekatan struktur
dan proses telah lebih dijelaskan dalam antropologi klasik diikuti rangkaian peristiwa
perubahan budaya bersama dengan evolusi. Berikut beberapa pemikiran- pemikiran
antropolog melalui pemikirannya dengan membagi atas pendekatan utamanya.

Tokoh Pendekatan Bukti


Franz Boaz (1940) Proses Ia menjelaskan melalui
analisisnya terhadap folklore
Seperti halnya cerita The
Dog-Rib Indians of Great
Slave Lake dengan metode
nya historical particularism
yang menggambarkan
bahwa suatu budaya melalui
proses berkembang dapat
menghasilkan kesamaan
kebudayaan di beberapa
wilayah.
Durkheim struktur
isu perubahan masyarakat
dari yang tradisional menuju
masyarakat yang modern
dengan pendekatan dengan
nuansa fungsionalisme
struktural Radcliffe Brown
juga teori Parsons (tulisan
The Structure of Social
Action)
Radcliffe Brown (1952) Struktur
Pelopor pendekatan
fungsionalisme struktural
yaitu bagaimana ia
mempelajari masyarakat
dalam satu organisme dapat
dipertahankan
keberlangsungan hidupnya
melalui berbagai aktivitas
lembaga masyarakat di
dalamnya
Claude Levi- Strauss (1968) Struktur
ia berupaya memahami lebih
mendalam prinsip-prinsip
universal sistem klasifikasi
pemikiran umat manusia
Victor Turner (1969) (1969) Proses
yaitu menekankan
pentingnya proses sebagai
kunci utama untuk
memahami simbol-simbol
yang bekerja di dalam
kehidupan masyarakat
(ketika memahami sebuah
ritual).
Marcell Mauss (2002) Struktur
Menjelaskan melalui
analisisnya terkait sistem
potlach merupakan
fenomena struktur sosial
Evans Pritchard (1980) Struktur
Menjelaskan suku Nuer
dalam tulisannya “The
Nuer, a description of the
models of livelihood and
political institutions of a
nilotic people” bagaimana
kekerabatan mereka telah
diatur oleh struktur sosial
Max Gluckman (1940) Struktur
membahas proyek
penelitiannya Manchester
School dengan
pandangannya melalui
‘Analysis of A Social
Situation in Modern
Zululand’ ia pun
menganalisis masalah kaum
kulit hitam dan putih yang
dipengaruhi struktur
sosialnya.
Geertz (1973) Proses
Mencoba menjelaskan
melalui contoh “kedipan
mata” melalui analisisnya
thick and thin description
bahwa proses kedipan mata
dapat menunjukkan sebuah
simbol proses sosial.
Barth (1981) Struktur
Menjelaskan melalui teori
transaksionalisme dengan
melanjustkan pemikiran
Malinowski dan Brown
bahwa intinya kelompok
sosial tidak sepenuhnya
membentuk keberadaan
individu dikarenakan setiap
individu dapat menciptakan
lingkungannya didukung
keterkaitan aspek ideologi,
wilayah, dan egonya.
Bourdieu (1977) Proses
Pemikirannya terkenal
dengan konsep habitus yang
lebih menekankan
praktiknya untuk menjawab
struktural realita di
kehidupan. Pemikirannya
pun bertentangan dengan
dengan pemikiran Levi
Strauss dan Marx yang lebih
memfokuskan unsur struktur
objektif dan juga
menyampingkan proses
penting terjadinya
konstruksi sosial.
Sahlins (2009) Proses
Menjelaskan terkait
bagaimana suatu peristiwa
dalam sejarah dapat terulang
melalui prosesnya.
Menurutnya proses
strukturalis menjadi hal
penting untuk memahami
budaya karena menjelaskan
rangkaian peristiwa itu
terjadi.

Secara keseluruhan pemikiran dari beberapa tokoh antropologi telah berusaha menjelaskan
pendekatan proses dan struktur mempengaruhi kebudayaan. Diantara pendekatan tersebut,
menurut saya salah satu pemikiran antropolog yang berusaha keras keras untuk menggali
struktur yaitu pemikiran Evan Pritchard (1980) ketika menjelaskan Suku Nuer dalam
tulisannya “The Nuer, a description of the models of livelihood and political institutions of a
nilotic people”. Analisisnya dimulai dari bagaimana ia menggambarkan Suku Nuer seperti
memiliki koneksi kuat dengan aspek sosial budaya nya baik segi ekonomi, ekologi, politik
dan kemasyarakatan. Dalam segi Politik, Suku Nuer mengklasifikasikan gender untuk sistem
politiknya, mereka juga mempercayai ada seorang nabi yang menjadi kekuatan gaib dan
diteruskan pada keturunan laki-laki. Ekologi memberikan peran bagi suku Nuer untuk
membantu memahami karakteristik demografi tertentu Suku Nuer hingga pusat struktur
mereka. Masyarakat suku Nuer juga berpegang teguh dengan tali kekerabatan mereka, Setiap
desa Nuer memiliki marga, dan meskipun anggotanya biasanya hanya sebagian kecil dari
penduduk desa. Dengan mempertimbangkan karakteristik utama wilayah maka akan
mempengaruhi pada pola interaksi hingga mempengaruhi struktur sosial. Kondisi pendekatan
struktur disini menyiratkan keterkaitan aspek sosial, lingkungan, budaya membentuk
keyakinan yang di pahami Suku Nuer.

Adapun pendekatan proses yang menjadi penekanan utama telah dijelaskan secara mendalam
oleh Geertz (1973) pada contoh kasus tindakan “kedipan mata” yaitu terjadi ketika seseorang
mengedipkan mata maka akan terjadi sebuah interpretasi dalam memaknai pesan yang tersirat
tersebut. Begitupun Geertz (1973) memberikan pendapatnya bahwa budaya terletak pada
pikiran dan hati manusia, semakin kompleks nya pikiran dan hati setiap manusia maka saat
mengidentifikasi dan menganalisisnya perlu keterampilan yang tepat. Penting perlunya
melihat dari sudut pandang lain pula agar dapat menganalisisnya dengan sesuai melihat
proses berperan penting menciptakan perspektif berbeda. Runtutan peristiwa, perilaku, dan
proses sosial secara kausal menunjukkan arti budaya sebagai simbol. Geertz (1973)
menekankan budaya harus dipelajari dari perilaku manusia atau tindakan sosial agar dapat
menemukan artikulasi budaya melalui proses sosial.

Pendekatan proses merupakan salah satu penekanan yang penting untuk


menggambarkan kebudayaan yang begitu kompleks. Pendekatan proses juga menekankan
pada rangkaian peristiwa yang tercipta di dalam masyarakat sehingga menghasilkan suatu
kebiasaan dan kebudayaan bagi mereka. Adapun pandangan terkait pendekatan proses erat
kaitannya dengan beberapa pemikiran seperti pemikiran Turner (1969) dan Geertz (1973)
menekankan simbolik, Tylor dengan pendekatan cultural ecology, dan Gluckman (1940)
dengan pendekatan Manchester School. Anggapan budaya di konstruksi melalui proses dalam
pendekatan simbolik dilihat bagaimana keterkaitan hubungan internal diantara elemen dan
struktur yang saling mempengaruhi. Geertz (1973) menilai bahwa budaya harus dipelajari
berdasarkan perilaku atau tindakan sosial sehingga menemukan artikulasi budaya tersebut.
Jika ditinjau budaya sebagai simbol maka budaya bukanlah kekuatan, melainkan sesuatu
peristiwa sosial, perilaku, institusi, atau proses dapat dikaitkan secara kausal. Dimensi
simbolis dapat dilihat melalui tindakan sosial, seni, agama, ideologi, sains, hukum, moralitas,
akal sehat, maupun eksistensial dalam kehidupan. Simbolik berasal dari pemikiran abstraksi
yang dipercayai masyarakat tertentu dan mengatur tindakan perilaku seseorang. Seperti
halnya agama yang dianggap sebagai bukti simbolik kebudayaan karena mempengaruhi
seseorang dalam bertindak. Simbol-simbol agama merumuskan kesesuaian dasar antara gaya
hidup tertentu dan metafisika tertentu. Proses terjadinya simbol dalam budaya juga menjadi
fokus bagi Turner (1969) seperti dalam tulisannya The Ritual Process: Structure and Anti-
Structure. Analisisnya ia gagas dengan pendekatan konsepnya yaitu liminalitas dan
komunitas. Konsep liminalitas menggambarkan perubahan proses “tak terstruktur” menjadi
“struktur” menandakan adanya perkembangan dari ruang lingkup komunitas terkecil nya
tanpa mengenal sepenuh identitasnya hingga terbawa oleh hal bersifat conscience collective.
Begitupun ritual salah satu contoh Liminalitas, terjadinya ritual dalam liminalitas disebabkan
beberapa tahapan diantaranya pemisahan individu terhadap struktur rangkaian budaya, lalu
adanya margin, dan penggabungan diantara struktur. Sama halnya dengan proses
perkembangan budaya juga merupakan contoh dari konsep liminalitas karena terjadi ketika
individu lahir sebagai bagian struktur kecil kemudian menyesuaikan dengan struktur besar
dan membentuk rangkaian kebiasaan hingga mempengaruhi pembentukan budaya.
Sedangkan konsep komunitas, artinya budaya dibentuk berdasarkan persamaan identitas yang
dimiliki oleh tiap individu. Persamaan identitas inilah kemudian melahirkan perasaan
kepemilikan bersama-sama dan membentuk budaya. Oleh karenanya, penekanan proses
menurut pendekatan simbolik merupakan komponen utama pada paradigma budaya.

Faktor kultural ekologi juga tidak terlepaskan untuk memahami kompleksitas budaya.
Pemikiran tersebut dijelaskan lebih dalam oleh Steward dalam tulisan Primitive Culture, yang
mana menurutnya lingkungan turun andil memperlihatkan pengaruhnya terhadap budaya
melalui tiga tahapan yaitu melalukan pengamatan teknologi budaya yang eksploratif,
mengamati pola perilaku, serta mengamati relasi antara perilaku dalam memengaruhi suatu
kebudayaan. Setiap individu memanfaatkan lingkungan budayanya masing-masing dengan
semaksimal mungkin. Hal tersebut dilakukan bagaimana perilaku dengan produktif mengolah
lingkungannya melalui aktifitas sehari-hari dan tidak jarang lingkungan menjadi bagian hidup
bagi mereka, biasa ditemukan pada masyarakat pedalaman yang menjadi lingkungan sesuatu
yang sakral dan berharga bagi mereka. Rutinitas sehari-hari tersebut secara tidak langsung
menyiratkan hubungan mendalam dengan lingkungan. Selanjutnya juga pola perilaku tiap
individu terhadap lingkungan juga membentuk ketergantungan terhadap lingkungan dan
terjadinya penyesuaian dengan lingkungan untuk memenuhi hidupnya. Faktor lingkungan
pun tak luput dipengaruhi kondisi geografis yang berbeda sehingga pola perilaku masyarakat
di wilayah tertentu pun berbeda bergantung dengan kondisi lingkungannya seperti pola
perilaku masyarakat di wilayah dataran rendah akan berbeda dengan di daerah dataran tinggi.
Relasi perilaku dengan lingkungan tentu sangatlah berkaitan seperti yang sudah disinggung
bagaimana perilaku atau tindakan menyesuaikan dengan lingkungan karena timbulnya
ketergantungan dengan lingkungan. Hal tersebut pula menggambarkan proses perkembangan
budaya disebabkan oleh pengaruh lingkungan hingga menyebabkan kompleksitas budaya.
Lingkungan pun bersifat dinamis dan dapat dengan cepat berkembang secara luas terhadap
lingkungan lainnya. Disamping itu lingkungan juga dianggap mudah untuk beradaptasi
sehingga nilai dan kepercayaan dapat tumbuh dan mengakomodasi terjadinya kebudayaan.

Terakhir, pendekatan Manchester School yang dipopulerkan oleh Gluckman (1940)


(1940) turut memberikan kontribusi dalam tulisannya ‘Analysis of A Social Situation in
Modern Zululand’ guna memahami penekanan pendekatan proses budaya. Ia
menganalisisnya menggunakan metodologi analisis situasional untuk menjelaskan realitas
sosialnya dengan menunjukkan kekuatan serta proses di dalamnya. Gluckman (1940) melihat
generalisasi atau pengetahuan teoritis sebagai didasarkan pada particular yaitu membedakan
dalam peristiwa praktik dasar logika tindakan manusia yang tidak terbatas pada waktu dan
tempat tertentu. Analisis situasional menurut Gluckman (1940) menunjukkan adanya
kemungkinan yang terjadi pada antropologi, proses perkembangan budaya tersebut
ditekankan melihat situasional. 'proses' menjadi istilah yang disenangi bagi pendekatan
Manchester karena seperti yang ditekankan Gluckman (1940) dalam A Social Situation,
bahwa segala aspek kehidupan sosial dan politik akan terus berubah. Dalam Situasi Sosial,
sangat digambarkan sebagai peristiwa dan situasi yang merupakan momen kehidupan sosial
dalam proses pembentukan. Pada intinya situasional yang dimaksudkan oleh Gluckman
(1940) bagaimana budaya menyesuaikan adanya perubahan yang dilakukan oleh tiap individu
dipengaruhi oleh konflik yang ada. Manchester School merupakan ciri penting ide situasional
dikarenakan menjadi sara untuk dapat melihat kompleksitas budaya tersebut. Bagi Gluckman
(1940), istilah 'situasi' mengarah pada konteks total krisis dan bukan hanya proses yang
sifatnya kontradiktif ataupun bertentangan namun berusaha menemukan potensi yang terjadi,
seperti dengan proses budaya berdasarkan adanya konflik maka tidak menutup kemungkinan
terdapat hal lain membentuk kebudayaan sebagai hasil dari solusi.

Referensi

Barth, Fredrik. Process and form in social life. Vol. 1. Routledge Kegan & Paul, 1981. Bab 2.

Boas, F. (1940). Advances in Methods of Teaching. In F. Boas, Race, Language, and


Culture. New York: The Macmillan Company.

Bourdieu, Pierre. “STRUCTURES AND THE HABITUS.” Chapter 2. In Outline of a Theory


of Practice, translated by Richard Nice, 72–95. Cambridge Studies in Social and
Cultural Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
Evans-Pritchard. E. E. (1980). The Nuer. Oxford: Oxford University Press.

Geertz (1973), Cliffod. 1973. "Thick description: Toward an Interpretive Theory of Culture."
In The Interpretation of Cultures: Selected Essays, by Clifford Geertz (1973), 3-32. New
York: Basic Books, Inc.

Geertz (1973), Clifford. 1973. "Religion As a Cultural System." In The Interpretation of


Cultures: Selected Essay, by Clifford Geertz (1973), 87-125. New York: Basic Books, Inc.

Gluckman (1940), Max. Order and rebellion in tribal Africa: Collected essays with an
autobiographical introduction. Vol. 4. Psychology Press, 1963. Gluckman
(1940), Max. "Analysis of a social situation in modern Zululand." Bantu studies 14.1
(1940): 1- 30

Levi-Strauss, Claude (1968). ”Ch. I: Introduction”, “Ch. II: Structural Analysis in Linguistics
and Anthropology”, “Ch. III: Language and the Analysis of Social Laws”, dan “Ch. IV:
Linguistics and Anthropology”, di dalam Structural Anthropology. London: Penguin Press.
Mauss, Marcel. 2002. The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaic Socities.
London & New York: Routledge. 
Radcliffe-Brown A.R. (1952). “Introduction”, “On Joking Social Relationships”, dan “On
Social Structure”, di dalam Structure and Function in Primitive Society. London: Cohen &
West. 
Rudyansjah, T. (2015). Emile Durkheim: Pemikiran Utamanya dan
Percabangannya  ke Radcliffe-Brown, Fortes, Levi-Strauss, Turner (1969), dan
Holbraad. Jakarta: Kompas.  
Sahlins, Marshall D. Historical Metaphors And Mythical Realities: Structure In The Early
History of The Sandwich Islands Kingdom. University of Michigan Press, 2009.
Turner, Terence. The Fire Of The Jaguar. HAU books, 2017.
The concept and method of cultural ecology. The Environment in Anthropology: A Reader in
Ecology, Culture and Sustainable Living, 1(1), 5-9.

Turner, Victor. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell
University Press.

Anda mungkin juga menyukai