Anda di halaman 1dari 4

Mohammad Alvin Augusta

1906358783

Review Artikel: Reciprocity and The Power of Giving & The Exchanges of Gifts and The
Obligation to Reciprocate (Polynesia)

Dalam tulisannya, Cronk mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai timbal balik
dan juga kekuatan yang berasal dari memberikan hadiah. Resiprositas atau bisa juga disebut
timbal balik merupakan suatu hal yang sifatnya sangat melekat di dalam hal pemberian hadiah,
hal ini sangat melekat pada sistem masyarakat. Meskipun melekat pada sistem masyarakat,
pemberian hadiah ini memiliki interpretasi yang berbeda di setiap daerah. Pemberian hadiah
dapat diartikan sebagai kemurahan hati. Namun, tidak menutup kemungkinan juga jika hadiah
diberikan sebagai bentuk provokasi terhadap suatu hal.

Hubungan timbal balik biasanya mengharapkan sesuatu yang setara atau equal. Ketika
diberi hadiah, seseorang memiliki rasa responsibilitas untuk membalas tindakan tersebut dengan
memberikan kembali kado yang setara atau equal kepada orang yang memberikannya hadiah, di
lain sisi, orang yang memberikan hadiah juga mengharapkan balasan perilaku yang sama dari
orang yang telah diberi hadiah, hal inilah yang dinamakan dengan resiprositas. Kemudian, ketika
seseorang gagal memahami adanya keharusan untuk meresiprositas suatu pemberian, orang
tersebut bisa dianggap sebagai seseorang yang tidak sopan yang kemudian dapat menimbulkan
konflik.

Cronk mencontohkan mengenai resiprositas dengan kasus orang !Kung yang memiliki
sistem “hxaro” yaitu ketika kita menemukan sesuatu yang bagus dan berharga, kita akan
memberinya kepada orang lain. Kemudian, jika orang tersebut menemukan sesuatu yang
berharga pula maka diberikan ke kita. Tidak ada penentuan seberapa berharga benda atau barang
tersebut karena prinsip yang mereka anut adalah “kita tidak bertukar dengan bendanya,
melainkan dengan orangnya”.

Kasus lain yang dituliskan oleh Cronk adalah kasus masyarakat Kwakiutl. Masyarakat
Kwakiutl sangat menjunjung tinggi status, dimana setiap divisi sukunya, clan, dan individunya
memiliki peringkat tertentu. Masalah status ini sampai diselesaikan dalam upacara besar-besaran
yang saling bersaing untuk kehormatan dan gengsi dalam bentuk pemberian properti seperti
selimut, makanan, pot, dan bahkan budak. Pada tahun 1880an, ajang upacara besar-besaran ini
menjadi pengganti perang, bahkan masyarakat Kwakiutl sendiri berbicara pada Boas bahwa
“waktu perkelahian itu dulu.. sekarang kita tidak bertarung dengan menggunakan senjata, kita
bertarung dengan properti.”. Hal inilah yang menjadi awal dari perang kekayaan.

‘Taktik’ pemberian hadiah ini pun juga digunakan oleh pemerintah, yaitu dengan cara
menawarkan hadiah yang sebenarnya tidak dapat dilunasi dan juga ditambah dengan klaim
kemurahan hati dan kemahatahuan, seperti yang dilakukan oleh Jepang. Pada tahun 1989, Jepang
menjadi negara dengan donor terbesar, tidak tanggung-tanggung, Jepang menghabiskan sepuluh
miliar dollar untuk bantuan asing. Usaha yang dilakukan Jepang pun tidak sia-sia, Jepang
menjadi pendonor terbesar dunia selama dua tahun berturut-turut, mengalahkan Amerika Serikat.
Namun, tentu saja ini hanyalah taktik Jepang. Mereka hanya menargetkan bantuan kepada
negara-negara yang berhubungan dengan mereka dari sisi ekonomi.

Marcell Mauss juga membahas mengenai resiprositas, dia mencoba


memahami konsep dari pemberian hadiah dan timbal baliknya, ia
menemukan bahwa dalam setiap pemberian pasti ada harapan serta
tuntutan untuk mengembalikan, dalam kasus ini adalah masyarakat di
wilayah Polinesia. Mauss mencontohkan dengan masyarakat Samoa yang
memiliki contractual gifts yang mencakup kegiatan seperti pernikahan, kelahiran, sunat,
upacara pemakaman, dan lainnya. Dalam sistem ini, jika kita tidak melakukan pembalasan atau
dalam hal ini disebut repayment maka kita akan kehilangan otoritas kita. Terdapat dua istilah
pemberian hadiah yaitu tonga dan oloa. Tonga merupakan suatu hadiah yang merujuk pada
perlengkapan yang diwarisi oleh anak perempuan dan merupakan jenis properti tetap, sedangkan
oloa merujuk pada benda-benda milik suami dan merupakan benda bergerak. Reciprocity atau
timbal balik adalah sebuah hubungan antara orang yang melibatkan saling tukar hadiah barang,
jasa, atau bantuan. Terdapat perbedaan dari fungsi pemberian di berbagai masyarakat. Memberi
dapat berarti murah hati atau juga dapat diartikan sebagai sifat agresif untuk melawan dan
menekan orang lain. Reciprocity mengharapkan suatu sebagai gantinya merupakan sesuatu yang
setara. Hubungan seperti ini berfungsi memperpenjang hubunngan kita dengan orang lain atau
bahkan membuat hubungan baru. Di lain sisi, hubungan ini dapat digunakan untuk membuat
lawan merasa malu dan berhutang.

Pemberian hadiah masyarakat !Kung memiliki sistem yang disebut hxaro, dimana saat
kita menemukan sesuatu yang bagus dan berharga, kita akan memberikannya kepada orang lain
dan jika orang tersebut menemukan sesuatu yang berharga akan melaukan hal yang sama.
Pemberian benda ini tidak mengenal seberapa berharganya benda, tetapi melihat bagaimana
hubungannya dengan orang itu. Contoh lainnya orang Mukogodo yang menganggap bahwa
seluruh pemberian memiliki perhitungan dan anak-anak mulai diajarkan sejak kecil bahwa
membawa hadiah merupakan suatu kewajiban.
Hubungan timbal balik apat menjadi hal yang agresif dan membuatnya seperti sebuah
senjata. Pada masyarakat Kwakiutl dimana setiap suku, klan, dan individunya memiliki peringkat
tertentu. Permasalahan status ini nantinya akan diselesaikan dalam upacara besar-besaran untuk
bersaing mendapat kehormatan dan gengsi dalam bentuk pemberian property. Pada
perkembangannya, perang bukan lagi menggunakan senjata, melainkan menjadi pertarungan
property atau kekayaan. Pada bidang politik pemberian seringkali memiliki tujuan tertentu.
Seperti pada saat Jepang menjadi negara dengan donor terbesar di dunia. Jepang banyak
membantu daerah yang memiliki keterbatasan dalam akses barang-barang. Jepang sebenarnya
bertujuan untuk memperluas pengaruhnya. Dapat dilihat disini bahwa suatu pemberian dapat
digunakan untuk menguasai suatu wilayah.

DAFTAR PUSTAKA
Cronk,L. 2011. “Reciprocity and the power of giving”, dalam J.P. Spradley & D. McCurdy
(peny.). Conformity and Conflicts: Readings in Cultural Anthropology. Boston, dkk.:
Pearson. Hlm. 119-124.
Mauss, Marcel. 1990. The Gift: The Form and Reason for Exchange in Archaic Societies
(English Translation). New York & London: Routledge. (Wajib baca Bab I).

Anda mungkin juga menyukai