Anda di halaman 1dari 2

Mohammad Alvin Augusta

1906358783

Review Artikel: How Sushi Went Global & Global Women In The New
Economy
Bestor dalam “How Sushi Went Global” menceritakan bahwa sushi yang merupakan
kuliner dari Jepang telah membawa perubahan dalam industri perikanan dunia, dan menjadikan
tuna sebagai komoditas utama di pasar global. Tuna Bluefin bagi masyarakat Jepang tidak hanya
sebagai ikan yang biasa diolah menjadi sushi, namun memiliki makna yang lebih dalam yaitu
sebagai simbol nasional. Bahkan, Nikkatsuren atau Federasi Koperasi Tuna Jepang menetapkan
tanggal 10 Oktober sebagai Hari Tuna, selain menjadi Hari Tuna, 10 Oktober juga diperingati
sebagai Hari Olahraga dan menjadi hari libur nasional. Maskot dari Hari Tuna yaitu Goro-kun
menunjukan hubungan antara budaya nasional, makanan sehat untuk kehidupan yang aktif dan
juga makanan liburan keluarga.
Permintaan atas tuna bluefin bukan hanya dari masyarakat Jepang saja, namun juga dari
negara lain. Namun tingginya permintaan tidak sebanding dengan jumlah tuna yang ada,
sehingga setelah tahun 1970 dilakukan perluasan wilayah penangkapan ikan yang menyebabkan
kapal-kapal asing tidak bisa menangkap ikan di wilayah penangkapan ikan utama. Karena hal ini
pula, Jepang harus beralih ke pemasok asing, karena tuna bluefin banyak ditemukan di wilayah
perairan New England. Tuna-tuna dari New England ini diekspor ke Tsukiji yang merupakan
seafood market terbesar di Jepang. Terdapat 60.000 pedagang yang mendatangi Tsukiji setiap
harinya untuk menjual maupun membeli seafood. 2,4 juta kilogram transaksi bisa dilakukan
kurang dari 12 jam di pasar ini. Tsukiji menjadi ‘pemimpin’ dalam perdagangan seafood global
dan menjadi penentu harga tuna dunia. Disini terdapat pula sistem lelang dan rantai komoditas
yang mengintegrasikan nelayan, perusahaan dan restauran di dunia dalam jaringan ekonomi lokal
dan translokal yang sangat rumit. Tsukiji telah menciptakan serta menyebarkan sejumlah budaya
Jepang ke seluruh dunia, Tzukiji bahkan memiliki standar kualitas tersendiri yang perlu
diperhatikan oleh produsen di seluruh dunia.
Globalisasi tidak melulu menyeragamkan budaya-budaya ataupun menghapus arti
penting dari label budaya. Dalam tulisan ini, disebutkan bahwa sushi digunakan sebagai
‘properti’ budaya Jepang dalam menambah imej negara dan masakan. Sushi sangat dikenal
sebagai identitas dari budaya Jepang, meskipun restoran sushi banyak dioperasikan oleh orang
Korea, Cina maupun Vietnam.
Selain artikel Sushi Went Global, terdapat pula artikel yang berjudul “Global Woman in
the New Economy” yang ditulis oleh Barbara Ehrenreich dan Arlie Russell Hochschild
menceritakan soal perempuan yang sudah mulai aktif berperan dalam dunia ekonomi yang
dipengaruhi oleh globalisasi. Dalam tulisan ini juga dituliskan bahwa perempuan harus bisa
berdiri sendiri tanpa bantuan laki-laki jika mengalami perceraian, artinya perempuan harus bisa
menopang hidupnya dan keluarganya seorang diri, hal ini menyebabkan banyaknya perempuan
yang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya.
Dalam artikel ini juga diceritakan mengenai perempuan imigran yang bekerja ke luar
negeri agar mendapat gaji yang lebih baik dibanding gaji jika bekerja di dalam negeri. Penulis
juga menceritakan soal empat arus utama penyebaran imigrasi yang dilakukan oleh para
perempuan imigran ini, yaitu dari Asia Tenggara ke Timur Tengah, kemudian dari negara bekas
blok Uni Soviet ke Eropa Barat selanjutnya dari daerah selatan ke utara Amerika. Yang terakhir
adalah dari Afrika ke berbagai tempat di Eropa.
Meskipun begitu, penulis juga menjelaskan bahwa perempuan imigran dan perempuan
yang menjadi pekerja di negara maju memiliki persamaan, yaitu mereka sama-sama berusaha
untuk bertahan hidup demi keluarganya tanpa mengandalkan laki-laki.

Referensi

Bestor, T.C. 2011. “How Sushi went Global,” dalam J.P. Spradley & D. McCurdy (peny.).
Conformity and Conflicts: Readings in Cultural Anthropology. Boston, dkk.: Pearson.
Hlm.296—306.

Ehreinrech, B dan Hochschild, A.R. 2011. “Global Women in the New Economy’, dalam J.P.
Spradley & D. McCurdy (peny.). Conformity and Conflicts: Readings in Cultural
Anthropology. Boston, dkk.: Pearson. Hlm. 325-333.

Anda mungkin juga menyukai