Anda di halaman 1dari 11

Globalisasi dan Perubahan Budaya:

Perspektif Teori Kebudayaan1

Bachtiar Alam
(Universitas Indonesia)

Abstract

This paper discusses the relevance of culture theories for


understanding globalization and cultural change taking place in Indonesia.
The issue of globalization and cultural change has recently figured
prominently in various discourses in Indonesia, especially in relation to the
question of how Indonesia’s cultural identities should be maintained in the
face of such a global process. This paper argues that the contemporary
culture theory can help us understand such concepts as national culture
and identity not as a static, essentialist entity, but rather as a dynamic social
construction that is continuously reproduced and innovated by individual
subj ects. Such an argument is put forth in this paper by introducing aspects
of culture theory that have not received much attention in Indonesia, i.e.
practice, process, context and discourse concerning cultural construction.
berkembang dalam Antropologi,
Pengantar dengan secara khusus menyoroti teori-
teori kebudayaan mutakhir.
Makalah ini bertujuan
Antropologi adalah suatu disiplin
membahas masalah “Globalisasi dan
ilmu yang telah lama berusaha
Perubahan Budaya” dari perspektif
merumuskan konsep kebudayaan
teori kebudayaan yang telah
sebagai salah satu konstruksi teoritis
1
Maka lah untuk dipresentasikan pada Widyakarya Nasional “Antropologi dan
Pembangunan,” 26-28 Agustus 1997, di Jakarta

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 1


utama dalam penelitian sosial. Mulai model-model pengetahuan yang
dari definisi kebudayaan yang “klasik” secara selektif dapat digunakan untuk
seperti yang berasal dari Tylor, yang memahami and menginterpretasi
melihat kebudayaan sebagai “suatu lingkungan yang dihadapi, dan untuk
kesatuan kompleks yang terdiri dari mendorong dan menciptakan tindakan-
pengetahuan, kepercayaan, hukum, tindakan yang diperlukannya.
moralitas dan adat istiadat,” hingga Dalam membahas masalah
pendekatan interpretatif Clifford “Globalisasi dan Perubahan Budaya,”
Geertz yang mencoba mempertajam makalah ini akan menyoroti teori-teori
pengertian kebudayaan sebagai “pola - kebudayaan mutakhir, yang
pola arti yang terwujud sebagai berkembang setelah tampilnya
simbol-simbol yang diwariskan secara pendekatan interpretatif Geertz
historis . . . . dengan bantuan mana maupun definisi kebudayaan yang
manusia mengkomunikasikan, operasional seperti dikemukakan oleh
melestarikan dan mengembangkan Suparlan. Teori-teori kebudayaan
pengetahuan dan sikap terhadap demikian, yang sering dijuluki beragam
hidup” (1973: 89), teori-teori sebutan seperti “post-modernis,”
kebudayaan telah memberi berbagai “post-strukturalis,” “refleksif,” dan
sumbangsih bagi pemahaman lain-lain., berusaha menghindari
kehidupan sosial. esensialisme dan reifikasi dalam
Dalam perkembangannya di penggambaran suatu kebudayaan,
Indonesia, Antropologi juga telah dengan menekankan berbagai aspek
menghasilkan beragam teori kebudayaan yang sebelumnya kurang
kebudayaan. Koentjaraningrat menonjol dalam bahasan antropologis,
(1985:180), misalnya, pada dekade seperti: 1)wacana (eg. Foucault 1980;
1970an mendefinisikan kebudayaan Said 1978), 2)praksis (Alam 1995a,
sebagai keseluruhan sistsem gagasan, 1995b, 1997; Bourdieu 1977), 3)proses
tindakan dan hasil karya manusia (Moore 1987), dan 4)kebudayaan
dalam rangka kehidupan masyarakat sebagai konteks (Keesing 1994;
yang dijadikan milik manusia dengan Sahlins 1994).
belajar. Di awal dekade 1980an, Teori-teori kebudayaan
Parsudi Suparlan (1986) mencoba demikian membantu kita memahami
melihat kebudayaan sebagai secara lebih rinci implikasi proses
pengetahuan yang bersifat “Globalisasi dan Perubahan Budaya”
operasional, yaitu sebagai keseluruhan yang sering menjadi pokok bahasan di
pengetahuan yang dipunyai oleh negeri kita dewasa ini. Misalnya saja,
manusia sebagai mahluk sosial; yang studi-studi antropologis yang bertumpu
isinya adalah perangkat-perangkat pada teori-teori ini menunjukkan

2 ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998


bahwa proses globalisasi bukanlah dan mengembangkan pengetahuan
suatu proses yang baru mulai akhir - dan sikap terhadap kehidupan
akhir ini, yang disebabkan oleh (1973:89)” telah banyak
lonjakan perkembanagan sistem mempengaruhi kajian-kajian
komunikasi, tapi sejak masa lalu setiap Antropologi sejak dekade 1970an
masyarakat di muka bumi ini hingga pertengahan 1980an.
merupakan suatu “masyarakat global” Berdasarkan konsep
(Sahlins 1994: 387). Begitu juga, kebudayaan demikian, dalam
kemajemukan kebudayaan terwujud pendekatan interpretatif Geertz
bukan karena terisolasinya kelompok- “agama” misalnya diteliti sebagai
kelompok sosial, melainkan justeru suatu “sistem kebudayaan” yang
karena adanya kontak secara terus didefinisikan sebagai “suatu sistem
menerus antara kelompok-kelompok simbol yang bertindak untuk
tersebut (Lévi-Strauss, dikutip dalam memantabkan suasana hati (moods)
Sahlins 1994: 387). dan motivasi (motivations) yang kuat,
Temuan-temuan demikian mendalam dan bertahan lama dengan
mengajarkan kita bahwa proses cara mengformulasikan konsepsi-
“Globalisasi dan Perubahan Budaya” konsepsi mengenai tatanan dasar alam
tidak perlu dihadapi dengan sikap dan kehidupan, dan dengan
menutup diri yang ekstrim. Sebaliknya, menyelimuti konsepsi-konspesi
dengan memahami bagaimana tersebut dengan suatu suasana yang
kebudayaan itu dikonstruksi melalui faktual sehingga suasana hati dan
wacana dan praksis, misalnya, kita motivasi yang ditumbulkannya terasa
juga dapat memanfaatkan proses nyata” (1973:90).
globalisasi sebagai sarana utnuk Walaupun pendekatan
memperkaya kemajemukan interpretatif demikian telah
kebudayaan-kebudayaan kita. memberikan sumbangsih besar dalam
memperkaya pengertian kita akan
Praksis, proses dan konteks makna -makna yang terkandung dalam
Pendekatan interpretatif Clifford kehidupan sosial dan kehidupan
Geertz yang melihat kebudayaan beragama pada umumnya, kelemahan-
sebagai “suatu sistem kelemahannya telah banyak dikritik
konsepsi yang diwariskan [dari sejak pertengahan dekade 1980an (eg.
generasi sebelumnya] dan Clifford 1988: 40-41, Crapanzano
diekspresikan dalam bentuk simbolik; 1988, Shankman 1984). Salah satu
dengan bantuan kebudayaan manusia kritik yang paling tajam dalam
mengkomunikasikan, mengabadikan mengungkapkan kelemahan konsep
kebudayaan Geertz adalah yang

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 3


dikemukakan oleh Asad (1983). dipisahkan dari proses pembe ntukan
Kritik Asad sebetulnya kekuasaan dan efek-efeknya” (“a
ditujukan kepada definisi agama notion of culuture as an a priori
Geertz, namun kritiknya juga totality of meanings, divorced from
mengungkapkan kelemahan konsep processes of formation and effects
kebudayaannya. Menurut Asad of power ”) [Asad 1983:251]. Sebagai
(1983:50), walaupun definisi agama akibat dari konsepsi kebudayaan
yang dikemukakan oleh Geertz sangat demikian, menurut Asad, terwujudlah
kaya dalam menggambarkan dalam pendekatan Geertz “jurang
bagaimana agama membentuk pemisah” (hiatus) antara “sistem
pengetahuan dan sikap manusia kebudayaan” dan “realitas sosial”
terhadap hidup, definisi ini sama sekali (1983;252).
tidak menyinggung proses sebaliknya, Konsep teoritis yang mencoba
yaitu bagaimana kehidupan manusia mengisi kelemahan definisi
mempengaruhi, mengkondisi dan kebudayaan demikian adalah konsep
membentuk simbol-simbol keagamaan. practice, yang dalam makalah ini
Dengan kata lain, definisi agama yang diterjemahkan sebagai “praksis.”
demikian menggambarkan hubungan Konsep ini dikemukakan oleh
antara simbol-simbol keagamaan dan Bourdieu (1977) pada akhir dekade
kehidupan sosial sebagai suatu 1970an, tetapi mulai menarik perhatian
“hubungan satu arah” di mana simbol- para antropolog baru pada
simbol keagamaan yang pertengahan 1980an (eg. Moore 1987,
menginformasikan, mempengaruhi dan Ohnuki-Tierney 1995, Ortner 1984),
membentuk kehidupan sosial. Dengan bahkan ada artikel yang secara
melihat simbol-simbol keagamaan eksplisit membandingkan konsep
sebagai sesuatu yang sui generis, kebudayaan Geertz dan Bourdieu
sama sekali tidak ditunjukkan dalam (Lee 1988).
definisi Geertz ini bagaimana Dalam presentasi ini tidak dapat
perspektif keagamaan dipengaruhi diberikan uraian rinci mengenai teori
oleh pengalaman-pengalaman manusia praksis Bourdieu karena terbatasnya
dalam kehidupan sehari-hari. Lebih waktu. Pokok pikiran teori praksis
lanjut Asad mengemukakan bahwa yang paling relevan dalam
kelemahan utama pendekatan Geertz pembahasan ini adalah bahwa konsep
ini disebabkan oleh definisi “praksis” (practice) Bourdieu
kebudayaan sebagai “suatu totalitas dibedakan dari konsep “tindakan”
arti yang bersifat a priori [seolah- (action) yang merupakan salah satu
olah diterima “jadi” dari generai konstruk teoritis utama sosiologi
sebelumnya], yang sama sekali Weber, yang diwariskan dalam

4 ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998


pendekatan interpretatif Geertz. 2 lainnya seperti habitus, doxa, dan lain-
Berbeda dengan konsep tindakan yang lain., namun hal itu tidak dapat
dalam tradisi sosiologi Weber dilakukan dalam presentasi ini.
cenderung dilihat sebagai pencerminan Implikasi utama dari konsep praksis
ide-ide yang terkandung dalam seperti yang dijabarkan di atas,
kebudayaan si pelaku, konsep praksis khususnya bagi konsep kebudayaan,
menekankan adanya hubungan timbal ialah bahwa simbol-simbol maupun
balik antara si pelaku dan apa yang konsepsi-konsepsi yang terkandung
oleh Bourdieu disebut sebagai dalam suatu kebudayaan senantiasa
“sturktur obyektif” yang mencakup bersif at cair, dinamis, dan sementara,
juga “kebudayaan” sebagai sistem karena keberadaannya tergantung
konsepsi yang diwariskan dari pada praksis para pelakunya yang
generasi ke generasi (Bourdieu berada pada konteks sosial tertentu,
1977:83). Bourdieu menggambarkan yang sudah barang tentu mempunyai
hubungan timnbal balik di antara “kepentingan” tertentu. Kebudayaan
keduanya sebagai 1)struktur obyektif dalam arti ini merupakan suatu
direproduksi secara terus menerus konstruksi sosial yang berkaitan erat
dalam praksis para pelakunya yang dengan kepentingan maupun
berada dalam kondisi historis tertentu, kekuasaan yang dimiliki si pelaku.
2)dalam proses tersebut para pelaku Pengertian kebudayaan sebagai
mengartikulasikan dan mengapropriasi praksis seperti ini sama sekali tidak
simbol-simbol budaya yang terdapat terungkap dalam pendekatan
dalam sturktur obyektif sebagai interpretatif yang telah lama
tindakan strategis dalam konteks sosial mendominasi kajian-kajian
tertentu, 3)sehingga proses timbal antropologis.
balik secara terus menerus antara Implikasi lainnya dari konsep
praksis dan struktur obyektif dapat kebudayaan demikian adalah bahwa
menghasilkan baik perubahan maupun kebudayaan sebagai senantiasa
konstinuitas. terwujud sebagai proses; proses
Pemahaman konsep praksis interaksi timbal balik antara si pelaku
sesungguhnya memerlukan dan simbol-simbol budaya dalam
pembahasan konsep-konsep Bourdieu upaya si pelaku untuk
mengartikulasikan dan
2
Mengenai hubungan antara tradisi mengapropriasikan simbol-simbol
sosiologi Weber dan pendekatan tersebut demi kepentingannya.
interpretatif Geertz, lihat tulisan James Terakhir, kebudayaan yang
Peacock berjudul “The Third Stream: terwujud sebagai praksis dan proses,
Weber, Parsons, Geertz” (1981). akan juga berfungsi sebagai “konteks”

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 5


bagi tindakan si pelaku. Kebudayaan berfungsi mereproduksi kebudayaan
dalam arti konteks seperti ini adalah praksis kewacanaan
menawarkan sejumlah konsepsi yang (discursive practice ).
menjadi bahan pertimbangan si pelaku Perpesktif demikian mempuyai
dalam menentukan tindakannya. suatu perbedaan tajam dengan sudut
pandang konvesnional yang semata-
Wacana mata melihat kebudayaan sebagai
Pembahasan konsep semata -mata sebagai kenyataan
kebudayaan dari segi teori praksis di empiris, karena pendekatan ini
atas mencoba mengungkapkan mengisyaratkan bahwa tulisan-tulisan
kelemahan pendekatan kebudayaan Antropologi seperti etnografi pada
yang banyak mempengaruhi kajian- dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk
kajian Antropologi hingga dewasa ini. wacana tentang kebudayaan, yang
Aspek lain konsep kebudayaan yang dalam aspek konstruksi sosial tidak
masih sangat jarang disinggung dalam beda efeknya dari wacana tentang
kajian-kajian Antropologi di Indonesia kebudayaan yang muncul dalam dunia
adalah hubungan antara kebudayaan politik, ekonomi, sastra, seni, iptek dan
dan wacana (disocurse). lain-lain. Perbedaan antara jenis-jenis
Lepas dari berbagai orientasi wacana tersebut bukan dalam
teoritis yang terdapat dalam disiplin “obyektivitas”nya, tetapi dalam
Antropologi, hampir semua teori-teori audience nya.
kebudayaan yang dikemukakan dalam Wacana adalah suatu bentuk
Antropologi melihat kebudayaan penuturan verbal yang berkaitan erat
sebagai suatu kenyataan empiris. dengan “kepentingan” si penutur,
Apakah kebudayaan itu dilihat sebagai sehingga dapat merupakan suatu
gagasan, tindakan, atau hasil tindakan, akumulasi konsep ideologis yang
Antropologi senantiasa melihatnya didukung oleh tradisi, kekuasaan,
sebagai suatu kenyataan empiris yang lembaba dan berbagai macam modus
dapat diamati, dimengerti ataupun penyebaran pengetahuan (Foucault
1980). Perlu diperhatikan bahwa
diinterpretasi oleh si peneliti. Apa yang
dalam arti adanya keterlibatan
belum terjamah dalam perspektif
“subyektivitas” demikian, wacana
seperti ini ialah dimensi kebudayaan
dibedakan dari “teks” yang
sebagai wacana. Pendekatan praksis
merupakan penuturan verbal yang
seperti yang diuraikan di atas
telah lepas dari posisi si penutur.
mengandung implikasi bahwa
Dengan pengertian wacana
kebudayaan selalu terwujud dalam
demikian, kita dapat melihat bahwa
praksis, dan salah satu praksis yang
setiap wacana tentang kebudayaan

6 ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998


juga tidak terlepas dari “kepentingan” praksis dan wacana, maka
3
dan “kekuasaan.” Kemudian dalam kebudayaan tampak sebagai, seperti
satu masyarakat pun dapat dijumpai apa yang dikatakan oleh Umar
berbagai macam wacana tentang Kayam, “sebuah proses, sosoknya
kebudayaan masyarakat bersangkutan bersifat sementara, cair, dan tanpa
4
yang bisa saja saling bertentangan, batas-batas yang jelas.” Dalam arti
namun dengan mendapat dukungan ini, perbedaan antara kebudayaan
dari kekuasaan, wacana tertentu dapat “modern” dan “tradisional,” “asing”
menjadi wacana yang dominan. dan “pribumi,” “barat” dan “timur,”
Walaupun wacana-wacana “asli” dan “campuran” hanyalah
Antropologis mengenai kebudayaan merupakan perbedaan-perbedaan
juga tidak terlepas dari kepentingan- yang semu dan sementara.
kepentingan tertentu seperti Kajian-kajian Antropologi
kepentingan akademis, karier, dan dewasa ini telah banyak sekali
lain-lain., wacana Antropologis dapat mengungkapkan contoh-contoh di
memberi kontribusi tersendiri dengan mana bentuk-bentuk kebudayaan yang
membeberkan adanaya kepentingan- dianggap sebagai sesuatu yang “asli”
kepentingan terntentu dalam setiap ternyata merupakan hasil konstruksi
wacana kebudayaan, dan dengan sosial yang terjadi dalam konteks
menggambarkan bagaimana sosial tertentu dengan mengacu
kepentingan-kepentingan tersebut ikut kepada kebudayaan “asing.” Tari
mewarnai isi dari setiap wacana. kecak yang kini kita kenal sebagai
bentuk tari “tradisional” Bali, menurut
Globalisasi dan perubahan budaya Vickers (1989) dan Yamashita (1992)
Pengertian kebudayaan dari merupakan hasil kreasi pelukis Barat
segi praksis dan wacana seperti ini Walter Spies yang mengkombinasikan
membawa implikasi cukup berarti bagi tari Sanghyang dengan motif certia
pemahaman suatu gejala sosial budaya Ramayana pada dasawarsa 1930an.
yang dewasa ini sering kita juluki Penelitian yang dilakukan oleh Laurie
proses “globalisasi.” Dengan J. Sears mengungkapkan bahwa
memahami kebudayaan sebagai wayang kulit Jawa baru dianggap
mengandung filsafat bertaraf tinggi
3
Yang dimaksud dengan “kekuasaan” setelah adanya kontak dengan
dalam presentasi ini bukanlah semata2 gerakan teosofi barat pada tahun
kekuasaan politik, namun kekuasaan 1910-20. 5 Konsep kewanitaan Jepang,
dalam arti power seperti yang dimaksud
4
oleh Foucalt, kekuasaan yang dapat Kompas, 2 Agustus 1995.
5
beredar. Komp as, 15 Agustus
1997.

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 7


yang secara umum dikenal dengan lalu, pasa zaman kerajaan Sriwijaya,
istilah “ryosai kenbo” (isteri baik, ibu Majapahit ataupun pada masa kolonial,
bijaksana), yang seringkali dianggap selalu merupakan masyarakat
sebagai konsep kewanitaan khas kosmopolitan di mana pengaruh
Jepang yang membentuk karakter kebudayaan mancanegara dari India,
wanita Jepang yang setia, penurut, dan Cina, Arab maupun Eropa
lain-lain., ternyata adalah konsep yang menemukan tempat persemaian yang
dibuat dan dipopulerkan oleh subur.
pemerintah Meiji dengan Sumbangsih yang dapat
mengkombinasikan ajaran diberikan oleh Antropologi dalam
Konfusianisme dan nilai-nilai rumah menghadapi era seperti ini adalah
tangga Eropa Barat abad ke-19 untuk dengan mengungkapkan kodrat setiap
memajukan proses industrialisasi kebudayaan yang bersifat dinamis,
(Tamanoi 1990:26). cair dan hibrid dengan menghindari
Semua contoh ini menunjukkan serta mengkritik representasi budaya
bahwa sesungguhnya proses yang bersifat esensialis dan statis.
globalisasi bukanlah suatu proses yang Dengan semakin sadar akan
baru dimulai akhir -akhir ini, setelah karakteristik dinamika kebudayaan
menyebarnya internet, TV parabola, yang demikian, kita pun akan menjadi
dan slogan pasar bebas yang berkaitan sadar bahwa proses globalisasi dan
dengan program APEC. Seperti perubahan budaya tak pernah absen
pernyataan Sahlins yang dikutip di dari kehidupan sosial manusia. Seperti
atas, setiap masyarakat di muka bumi dikatakan Lévi-Strauss, identitas atau
ini pada dasarnya merupakan suatu jati diri para pendukung suatu
“masyarakat global” (Sahlins 1994: kebudayaan menjadi kuat bukan
387). Keistimewaan kondisi sosial karena isolasi tetapi justeru karena
dewasa ini dengan segala macam adanya interaksi antara budaya. Maka
perangkat komunikasi dan informasi kewaspadaan akan hilangnya jati diri
mutakhir bukan terletak pada kadar dalam proses globalisasi tak perlu
maupun intensitas proses globalisasi, menjadi kekhawatiran berlebihan yang
tetapi pada kejelasan, keterbukaan, menjurus pada xenophob ia. Karena
dan sifat “kasat mata” pengaruh kontinuitas budaya, seperti
berbagai macam kebudayaan dunia. dikemukakan oleh Sahlins (1994:389),
Proses globalisasi sudah ada sejak justeru terwujud sebagai modus
dulu dan tak pernah absen dari perubahan budaya.
kehidupan kita. Indonesia pada masa

8 ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998


Daftar Kepustakaan

Alam, Bachtiar
1995a Diverging Spirituality: Religious Processes in A Northern Okinawan
Village. Ph.D. Dissertation, Department of Anthropology, Harvard
University, Cambridge, Massachusetts.

1995b Okinawa no Amercianization saikoosatsu [Rethinking the


"Americanization" of Okinawa]. Shisò no kagaku 33:19-32.

1997 Cultural and Religious Identities in Okinawa Today: A Case Study of


the Seventh-day Adventist Proselytization in A Northern Okinawan
Village. Nippon (2)5: 5-22.

Asad, Talal
1983 'Anthropological conceptions of religion: Reflections on Geertz.' Man
18(2):237-259.

Bourdieu, Pierre
1977 Outline of a Theory of Practice. Cambridge, England: Cambridge
University Press.

Clifford, James
1988 The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography,
Literature, and Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University
Press.

Crapanzano, Vincent
1986 'Hermes’ Dilemma', dalam James Clifford (ed.), The Predicament of
Culture: Twentieth -Century Ethnography, Literature, and
Art.Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Foucault, Michel

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 9


1972 Power/Knowledge . New York: Pantheon.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Koentjaraningrat
1985 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Keesing, Roger
1994 "Theories of Culture Revisited', dalam Borofsky, (ed.) Assessing
Cultural Anthropology R. Pp. 301-311. New York: McGraw-Hill, Inc.

Lee III, Orville


1986 'Observations on Anthropological Thinking about the Culture Concept:
Clifford Geertz and Pierre Bourdieu', Berkeley Journal of Sociology
33: 115.

Moore, Sally F.
1987 'Explaining the Present: Theoretical Dilemmas in Processual
Ethnography', American Ethnologist 14(4): 727-736.

Ohnuki-Tierney, Emiko
1994 'Structure, Event and Historical Metaphor: Rice and Identities in
Japanese history', The Journal of Royal Anthropological Institute
1(2).

Ortner, Sherry
1984 'Theory in Anthropology Since the Sixties', Comparative Studies in
Societies and History (26):126-166.

Peacock, James L.
1981 'The Third Stream; Weber, Parsons, Geertz', Journal of
Anthropological Society of Oxford 12: 122-129.

Picard, Michell

10 ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998


1990 'Cultural Tourism in Bali',. Indonesia 49:37-74.

Said, Edward
1977 Orientalism. New York: Pantheon.

Sahlins, Marshall
1994 'Goodbye to Tristes Tropique: Ethnography in the Context of Modern
World History', dalam R. Borofsky, (ed.) Assessing Cultural
Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc, hlm. 377-395.

Shankman, P.
1983 The Thick and the Thin: On the Interpretive Theoretical Program of
Clifford Geertz. Current Anthropology 25: 261-279.

Suparlan, Parsudi
1986 'Kebudayaan dan Pembangunan', Media IKA 14:2-19.

Tamanoi, Mariko A.
1986 'Women's Voices: Their Critique of the Anthropology of Japan',
Annual Review of Anthropology 19:17-37.

Yamashita, Shinji
1992 From 'Theatre State' to 'Tourist Paradise' [dalam Bahasa
Jepang], Bulletin of The National Museum of Ethnology (17)1: 1-34.

ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 11

Anda mungkin juga menyukai