Anda di halaman 1dari 11

ANTROPOLOGI KONTEMPORER

“INTERPRETIVISME SIMBOLIK”
PENGANTAR ANTROPOLOGI
DOSEN PENGAMPU : Drs. Payerli Pasaribu, M.Si

DISUSUN OLEH:

NAMA NIM KELAS


NABILAH SAHADA 3213122029 D REGULER 2021
PUSPITA LARA SIREGAR 3211122013 D REGULER 2021
RUTH YOHANA JESSICA 3212422005 D REGULER 2021
YOHANA M HUTASOIT 3212422007 D REGULER 2021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021

BAB VIII

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

8.1 Interpretasi dan Krisis dalam Ilmu-ilmu Sosial


Menurut Thomas Kuhn,kekuatan ilmu- ilmu alamiah, terletak pada kemampuannya untuk keluar
dari perdebatan metodologis yang tak habis- habisnya dan mengembangkan paradigma-
paradigma yang dimiliki bersama, yang digunakan untuk mendefenisikan dan prosedur
(1978:21).

Bagi Khun, Kesepakatan adalah persyaratan yang harus dicapai suatu ilmu bilamana ingin
desebut telah mencapai suatu tingkat ‘’paradikmatik’’,suatu masa perkembangan di mana
kapasitas eksplanatoris suatu “ paradigma’’ yang disepakati itu meningkat.Paradigma adalah
hasil dari suatu tahap kekacauan (chaos) yang oleh Khun disebut “pra-paradigmatik’’,dimana
pandangan dan mode wacana tertentu lambat laun kemudian diterima secara universal,dan harus
berjuang untuk berhadapan dengan eksplanasi- eksplanasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu
pengetahuan, di sepanjang sejarah,mengalami situasi ini ( Khun 1978: 26).

Evolusionisme,struktural-fungsionalisme,berbagai aliran materialisme,strukturalisme,dan


sebagainya pada suatu masa berhasil menempatkan diri sebagai paradigma.Filsuf krisis
Immanuel Kant menekankan pentingnya hubungan- hubungan antara objek pengamatan dan
subjek pengetahuan.Bagi Kant dan pengikutnya validitas universal dan objektif dari hipotetis
yang dinyatakan terbukti dijamin tepat karena subek menggambarkan pengetahuan obek dengan
menggunakan metodologi universal dan formal.

Kekuatan eksplanatoris dari suatu ilmu pengetahuan adalah konsekuensi dari basisnya yang
terrlapat dalam epistemologi dan logika yang kegiatan-kegiatannya dapat digeneralisasi dan
dipahami bebas dari konteks (lihat Rabinow dan Sullivan, 1991). Gregory Bateson (1972),
mencoba menerapkan model-model teori sistem untuk menganalisis masalah-masalah hubungan
antara pikiran dan masyarakat, Fokus kunci pendekatan adalah holisme yang berdasarkan
metafora-metafora ekologi. Bateson Piaget (1970) mengembangkan pendekatan strukturalisme
yang Jean lami kemajuan-kemajuan yang signifikan yang disebutnya menga empirisme atomistik
dari eksplanasi kausal dałam ilmu sosial.

Eksplanasi holistik ini berupaya mengorganisasi suatu variasi luas fenomena manusia yang tidak
dapat dipahami melalui model-model Yang berdasarkan pada hubungan-hubungan linear di
antara unsur-unsur. Tindakan dałam konteks kebudayaan dan historis sekali lagi direduksi
menjadi operasional dari subjek yang murni epistemik (Rabinow dan Sullivan, 1991).
Konsepsi ilmu-ilmu mengenai manusia yang tampaknya di-takdirkan harus mengikuti jalan
pemikiran penelitian ilmu alamiah modern adalah akar terjadinya krisis inie Kegagalan ilmu
sosial untuk mencapai kemampuan eksplanasi seperti ilmu alamiah adalah karena sejak awal
pembentukan ilmu sosial telah demikian kuat berkeinginan untuk mencapai sifat kepastian'
seperti ilmu-ilmu alamiah iłu.

Pendekatan interpretif memusatkan kembali perhatian pada berbagai wujud konkret dari makna
kebudayaan, dałam teksturnya yang usus dan kompleks, namun tanpa terjerumus ke dałam
perangkap historisisme atau relativisme kebudayaan dałam bentuknya yang klasik.

pendekatan interptvtif dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial bergerak dalam yang bedwda.
Pendekatan interpretif secara halus menolak klaim bahwa kita bisa mercduksi dunia makna yang
kompleks menjadi produk-pmduk kesadaran diri sendiri (products of self consciousness) dalam
pemikiran filsafat tradisional. Dalam hal inilah dikatakan bahwa ilmu sosial interpretif dapat
discbut sebagai titik balik ke dunia objcktif, yang memandang dunia sebagai lingkaran makna
ng di dalamnya kita menemukan diri sendiri dan yang tak pernah kita melampauinya (Taylor,
1991; Gadamer, 1991).

Kebudayaan selalu multivokal, dan baik pengamat maupun orang yang diamati selalu bersama-
satna berada di dalamnya, dan demikianlah posisi pandangan interprctif mengenai kebudayaan
(Taylor, 1991). Berarti, "tidak ada posisi yang diistimewakan, tidak ada perspektif yang absolut,
tidak ada pembahasan yang final" (Gadamer, 1991: 115).

Sebagian penganut pandangan interpretif keberatan dengan pandangan Taylor di atas. Cliff01Tl
Geertz (1972), misalnya, meski tidak secara eksplisit menentang pandangan tersebut, jelas
mengembangkan konsep interpretivisme dalam ilmu sosial yang telah dirnodifikasi di mana
terjadi penerimaan dan penolakan terlebih dahulu terhadap suatu pendapat dalam komunitas
peneliti. Paul Ricoeur (1971), secara lebih eksplisit, mengarahkan perhatiannya pada pokok yang
penting ini.

Pertakma pendekatan interpretasi loenekankan arti penting partikularitas berbagai kebudayaan,


dan berpendirian bahwa sasaran sentral dari kajian sosial adalah intsqpretasi Clari praktik-praktik
manusia yang bermakna. Pendekatan ini uvembedakan antara eksplanasi dan pemaharnan:
Eksplanasr berarti mengidentifikasi sebab musabab umum dari suatu kejadian, sedangkan
pemahaman adalah menemukan makna suatu kejadian atau praktik sosial dalam konteks sosial
tertentu. Tujuan dari suatu tujuan penelitian sosial adalah melakukan rekonstruksi makna atau
signifikansi kejadian atau praktik sosial. Pendekatan ini dikatakan bersifat hermeneutik, yakni
memandang fenomena sosial sebagai teks Yang akan di dekode (decoded) melalui rekonstruksi
imajinatif Clari Signifikansi berbagai unsur tindakan sosial atau kejadian. Pendekatan
interpretasi berpenclirian bahwa ilmu-ilmu sosial itu berbeda radikal dari ilmu-ilmu alamiah
karena ilnyu-ilmu sosial tak bisa ticlak tergantung Padainteapetasi perilaku manusia yang
bermakna dan praktik-praktik sos@lnya (Little, 1991: 68-69).

Kedua, ilmu-ilmu sosial harus interpretif dan hermeneutik bahwasanya pengkajian sosial yang
tergantung secara eksklusif objektif kausal, struktur sosial, abstrak) Akan mengalami kegagalan.
'Iiljuan ilmu sosial yang mata pola kejadian sosial atau akan tnetnadai (Taylor. 1991: 66).

Ketiga, pmgram intenretif dalam ilmu-ilmu sosial bisa direpresen. tasikan sebagai beberapa
pokok yang saling berkaitan satu sama lai (I) Ihndakan dan keyakinan individu hanya (lapat
dipahami rnelalui interpmtasi, yang dengan interpretasi tersebut peneliti berupaya nemukan
makna atau signifikansi tindakan atau keyakinan tersebut pelaku; (2) ada keanekaragaman
kebudayaan yang luas berkenaan dengan cara kehidupan sosial dikonseptualisasi, dan perbedaan-
per. bedaan tersebut dengan sendirinya meningkatkan diversitas dunia sosial; (3) praktik-praktik
sosial (tawar-menawar, perjanjian, pergi bekerja, mengasuh anak) dimanifestasikan oleh makna
yang diberikan oleh para pelaku kepada praktik tersebut; dan (4) tidak ada • fakta kasar' dalam
ilmu sosial—yakni fakta yang tidak berkaitan dengan makna spesifik dalam kebudayaan (Little,
1991: 68-69).

8.2 Interpretasi dan Simbol

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai:

(I) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol
tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mercka, mengekspresikan perasaan-perasaan
mereka, dan metode buat penilaian mereka;
(2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-
bentuk simbolik, png melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,
mantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai bersikap terhadap kehidupan;

(3) suatu peralatan simbolik bagi ngontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari
informasi;

(4) oleh karena kebudayaan adalali suatu sistem simbol, rnaka proses kebudayaan harus
dipahami, diterjemalikan, dan (liinterpretasi).

Kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di sepanjang kode genetik itu
sendiri (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti berkebudayaan. Akan tetapi, tidak ada
argumentasi yang menggambarkan untuk menernukan prinsip-prinsip universal (bersama dengan
upaya strukturalis atau formalis) yang melandasi semua kognisi, karena fakta kunci adalah
bahwa semua kebudayaan berbeda-beda (lihat Kuper, 1999: 98).

Simbol-simbol yang menunjukkan suatu kebudayaan adalah wahana dari konsepsi, dan adalah
kebudayaan yang memberikan unsur intelek dalam proses sosial. Atas dasar alasan ini maka
perlu dibedakan secara analitis antara aspek kebudayaan dan xspek sosial dalam kehidupan
manusia, dan memperlakukan setiap aspek tersebut sebagai variabel bebas namun sebagai faktor
keduanya saling tergantung satu sama lain (lihat, Kuper 1999: 99). Analis kebudayaan gampang
terjebak ke dalam kualitas estetika, dan cenderung gamang terhadap isu survival, atau isu
kekuasaan yang mendunia akhir-akhir ini, atau tak berdaya terhadap konstrain biologi yang
kerap hadir meski tersembunyi (Kuper, 1999: 104).

8.3 Bermula dari Antropologi Simbolik

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi
makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa.
Tetapi, manusĩa juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan,
tarian., musik. arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian ritus,
agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang. pemilikan barang dan banyak lagi lainnya. Manusia
dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan
pikiran gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri
signifikan manusia menjadi sasaran kajian yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin
lain. Susanne Langer (1951), misalnya. melihatnya sebagai tren yang berubah dalam aktivitas
intelektual manusia modern. Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama di.
nyatakan baik secara eksplisit maupun implisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19,
misalnya, menulis: "Kekuatan penggunaan kata- kata sebagai tanda untuk mengekspresikan
pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya,
sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang
tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan
mental yang substansial" (1975: 118).

Victor Turner (1975) mengelompokkan antropologi menjadi dua: (1) kelompok yang
memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli linguistik, strukturalis, dan
antropologi kognitif (mereka memusatkan perhatian pada analisis formal dan kurang
memerhatikan Isi ketimbang metode dan logika), dan (2) kelompok yang memusatkan perhatian
pada simbol dan kelompok dinamika sosial, yang meliputi antropologi semiotik dan simbolik,
sosiolinguistik, folkloris, dan kritikus stra (mereka memperpadukan analisis formal dengan isi,
dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial).

Secara ringkas, antropologi simbolik didasarkan pada konsep bahwa para anggota
masyarakat memeiliki bersama sistem symbol dan makna yang disebut kebudayaan. Sistem
tersebut meerepresentasi realitas di mana manusia hidup. Antropologi simbolik menekankan
sistem, apakah sistem itu terintegrasi secara ketat atau longgar, karena para anggota tỉngkatan
tertentu. Manusia harus memiliki konsep tertentu mengenai suatu masyarakat harus
mengartikulasikan dan memiliki bersama hingga ara ringkas, antropologi simbolik didasarkan
pada konsep bahwa e anggota masyarakat memiliki bersama sistem simbol dan makna yang
disebut kebudayaan. Sistem tersebut merepresentasi realitas a. mana manusia hidup. Antropologi
simbolik menekankan sistem a apa yang diyakini oleh orang lain dalam komunitas mereka,
pengharan tertentu terhadap apa barangkali respons orang lain, dan orang lain ter hadap mereka,
sehingga mereka mampu berinteraksi dan berkomuni kasi. Tika komunikasi adalah sine qua non
dari masyarakat manusia. simbolisasi (istilah Leslie White), penandaan dan pembawa makna
bagi pikiran dan tindakan, adalah apa yang disebut kebudayaan. Antropologi simbolik bertujuan
mempelajari dan meneliti proses, yang dengan proses itu manusia memberikan makna kepada
dunia mereka dan tindakan mereka.

8.4 Interpretivisme Simbolik sebagai paradigma

Pemahaman mengenai simbolisme dan interpretivisme, dan Greetz sebagai tokoh yang paling
sering diasosiasikan dengan pemahaman ini, membangun suatu kesatuan pemahaman teori yang
kerap kali disebut interpretivisme simbolik. Paradigma ini secara esensial terkait dengan
signifikan makna kehidupan manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa antropologi simbolik
melontarkan dua pertanyaan mendasari. Pertama, apa signifikan makna bagi identitas manusia;
kedua, apa signifikan makna bagi bekerjanya sistem sosial manusia? Dalam konteks ini, istilah
makna mengacu kepada pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang
mengejawantah dalam simbol-simbol, yang dengan simbol-simbol itu manusia mengembangkan
dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.

Interpretivisme simbolik adalah kajian mengenai istilah-istilah dasar yang dengannya kita
memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan mengenai
bagaimana istilah-istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun suatu mode
kehidupan bagi diri mereka sendiri (Dolgin, Kemnitzer, dan Schneider, 1977:3).

Interpretivisme simbolik memandang penting pengumpulan data emik demi kepentingan data
itu sendiri. Menurut Dolgin, Kemnitzer dan Schneider (1977:34), yang mendasar bagi kajian
antropologi simbolik adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.
Membandingkan “realitas” emik dan etik bukanlah misi antropologi simbolik. “Yang kita
perhatikan bukanlah apakah pandangan yang dimiliki orang-orang yang kita teliti akurat atau
tidak akurat dalam pengertian ilmiah”.

Sasaran pokok dari interpretivisme simbolik adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai
masalah-masalah mendasar dari keberadaan manusia termasuk hakikat dan makna kehidupan
selain cara-cara bagaimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara dan kemudian
menerjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi konsep-konsep yang dapat dipahami bagi peneliti.
Prinsip-prinsip epistemologi dari antropologi simbolik sangat berbeda dari strukturalisme.
Baik strukturalis maupun antropologi simbolik menawarkan interpretasi ranah makna, akan
tetapi seperti dikatakan Honigmann (1976:330), “makna” struktural adalah artefak dari metode
yang digunakan, sedangkan “makna” antropologi simbolik adalah artefak dari kebudayaan yang
dikaji.

Prinsip-prinsip epistemologi dari antropologi simbolik secara alamiah tergantung pada premis-
premis ontologis. Menurut Geertz (1973:12), makna adalah publik karena kebudayaan itu publik.
Jadi pengamatan dan penelitian mendalam adalah prosedur epistemologi yang mendasar dalam
antropologi simbolik.

Antropologi simbolik mengemukakan bahwa semua deskripsi etik mengenai makna harus
dapat ditunjukkan secara nyata dalam realitas empiris dan dapat diungkapkan atau diidentifikasi
sebagai bagian dari ranah emik. Kegiatan pengumpulan data dari antropologi simbolik
melakukan wawancara informan, mengamati ritual, mengungkapkan istilah-istilah kekerabatan,
menelusuri garis pemilikan, melakukan sensus rumah tangga, dan seterusnya.

Antropologi simbolik berasumsi bahwa simbol memainkan peranan penting dalam proses
sosial budaya. Turner berpendapat bahwa bahkan pada masyarakat yang paling sederhana,
perbedaan antara struktur (keteraturan hierarki dari status dan peranan sosial, politik, dan
ekonomi) dan communitas (komunion orang-orang individual yang langsung tanpa perantara dan
tidak berstruktur) ada dan memperoleh ekspresi simbolik dalam atribut-atribut kebudayaan dari
liminalitas, marginalitas, dan inferioritas. Dan bahwa, jika dilihat bersama-sama struktur dan
communitas menunjukkan kondisi manusia yang memandang hubungan manusia dengan
manusia lainnya.

Penulis ingin mengemukakan bahwa paradigma-paradigma tersebur sependapat mengenai


suatu masalah bersama dan membangun secara spesifik cara-cara pemecahan yang sama. Dengan
ukuran tersebut, materialisme kebudayaan jelaslah tidak setara dengan strukturalisme dan
antropologi simbolik. Jelas bahwa strukturalisme dan antropologi simbolik berkaitan erat satu
sama lain. Meskipun strukturalisme lebih terkait dengan struktur pikiran manusia dan
antropologi simbolik dengan signifikansi psikologis dan sosiobudaya dari makna, kedua
paradigma akhirnya menyentuh masalah hakikat manusia yang sama. Dari sudut pandangan
ilmiah, interpretasi antropologi simbolik lebih disukai daripada interpretasi strukturalis karena
antropologi simbolik membutuhkan faktor-faktor eksternal untuk verifikasi.

Gelombang Kritik

Banyak kritik bahkan banyak di antaranya dari kalangan antropologi simbolik sendiri
dilontarkan terhadap keyakinan bahwa pendekatan ilmiah dan interpretif secara mutual eksklusif.
Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak berhasil
memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti yang dilakukan
materialisme dan kebudayaan. Melainkan kurangnya pedoman teoretis dan metodologis yang
eksplisit. Ada tiga masalah kelemahan teoretis dan metodologis antropologi simbolik. Pertama,
ada masalah replikabilitas. Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog
simbolik. Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoretis ini adalah kecenderungan
archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali keliru dalam
berasumsi bahwa akumulasi semata-mata data emik akan menunjukkan prinsip-prinsip teoretis
yang signifikan yang mengeksplanasi kesamaan lintas budaya.

Kekuatan besar antropologi simbolik terletak pada kemampuan generalisasi an eksplanasi etik
dari paradigma itu. Antropologi simbolik menyumbang pandangan yang bernilai mengenai
hakikat dan makna nuansa realisme simbolik. Di antara konsep-konsep yang penting yang
penting yang lahir dari antropologi simbolik adalah pembedaan antara "pandangan dunia" dan
"etos". Geertz mendefinisikan "pandangan dunia" sebagai struktur realitas yang diasumsikan atau
seperangkat asumsi eksistensial yang spesifik secara budaya , dan "etos" sebagai gaya hidup
yang telah diabsahkan atau perangkat persepsi normatif dari premis-premis faktual dan
sebaliknya.

Analisis Geertz tentang hubungan antara pandangan dunia dan etos menggambarkan janji
antropologi simbolik, suatu analisis yang menunjukkan sesuaru yang penting dan mendasar
mengenai hakikat manusia sedangkan pada saat yang sama menunjukkan aspek yang signifikan
dan tidak terduga dalam protes sosial budaya (yakni bahwa meskipun komponen suprastruktural
menjelaskan, merasionalkan, dan bekerja sama dengan kondisi-kondisi infrastruktur,
kesemuanya ini tidak akan bekerja sedemikian dengan cara rasional atau secara konsisten logis).
Pada tahap ini dalam perkembangan antropologi simbolik, mungkin terlalu cepat untuk
menarik kesimpulan akhir mengenai jasa-jasa paradigma ini. Shankman (1984) tidak merasa
yakin mengenaj prospek paradigma ini "tidak tergambar masa depan yang cerah bagi teori
interpretif", sedangkan analisis lainnya, seperti Rice, mengatakan bahwa batas-batas strategi
penelitian tetap harus ditemukan "perdebatan mengenai hal-hal yang bernilai dari pendekatan
Geertz tetap merupakan akhir yang terbuka".

8.5 Implikasi Interpretivisme Simbolik

Diantara konstelasi berbagai metodelogi yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial,


pandangan Geertz tak urung merupakan salah satu yang paling banyak dirujuk dalam tiga dekade
terakhir. Sangat banyak tanggapan terhadap pemikiran Geertz, yanng pro dan kontra, datang dari
berbagai ahli dan disiplin. Hal ini menunjukkan bahwa pemikirannya diakui dan berdampak luas
tak hanya terhadap teori-teori antropologi tapi juga terhadap disiplin-disiplin lain seperti ekologi,
sejarah,ekonomi, ilmu politik dll.

Beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun 1980-an sering
kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut ini:

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.


2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang palling mampu menggunakan dan
memaknai simbol
3. Mengajukan dua pertanyaaan mendasar: (a) apa makna (signifikansi) identitas manusia;
(b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial manusia? Makna berarti pola-
pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbol-
simbol dengan hal tersebut manusia mengembangkan dan mengomunikasikan
pengetahuan mereka mengenai, dan bersikap terhadap kehidupan
4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral: masalah universal yang konkret,
paradigma(berupaya)mencerminkan yang universal seolah-olah keluar daari yang
spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-
mata menjadi ilustrasi dari yang universal
5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang
diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
6. Mengacu pada konteks perseptual dari pengalaman yakni cara-cara manusia membangun
orientasi kognitif mereka bagi kehidupan atau cara-cara yang digunakan manusia, sebagai
makhluk sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri
dan dunia mereka.
7. Menekankan pengumpulan data etnik, tentang bagaimana manusia memformulasikan
realitas mereka.
8. Membandingkan realitas emik dan realitas etik, paradigma ini tidaklah menjawab
pertanyaan mendalam yanng kita ajukan dalam penelitian, melaikan mempersiapkan diri
kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh
warga masyarakat.
9. Tugas paradigma ini ialah untuk memahami bagaimana kita memahami pemahaman yang
bukan pemahaman kita.
10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-
masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat dan makna kehidupan
manusia.

8.6 Refleksi: Mencari Budaya Keluarga Indonesia

Di Indonesia terdapat suatu budaya kekeluargaan, yaitu sebuah arisan keluarga yang
merefleksikan pada karyawan sebuah perusahaan dijakarta, yang berceritakan tentang kaum
lelaki (para suami) duduk di depan garasi, sementara sekitar selusin istri mereka duduk di ruang
tamu beserta para anaknya yang di ruang tamu, anak-anak tersebut diberikan permen namun
salah satu anak ada memilih permen sesuai dengan apa yang ia inginkan namun ibunya menolak
serta membuang permen pilihan anaknya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai