Sosiologi Pengetahuan
Oleh:
WARDIAH (216910101016)
Dosen Pengampu
2020-2021
KERANGKA TEORI
BAB II
Berbicara tentang sosiologi pengetahuan tentunya sudah sering kita dengan dikalangan
masyarakat pada saat ini, yaitu membahas tentang kajian mengenai hubungan pemikiran manusia
dan kontek sosial yang mempengaruhinya serta kesan ide-ide besar terhadap manusia.
Contohnya:
Misalnya pada kasus maraknya anak jalanan, seseorang melihat mereka adalah anak
orang tidak mampu yang dipekerjakan oleh orangtua mereka untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Dengan pemahaman kita mencoba melihat dari sisi sosial yang terjadi di masyarkat
dimana dia dilahirkan, serta bagaimana keadaan keluarganya. Tidak semua anak jalanan tersebut
merupakan anak dari keluarga tidak mampu.
Contohnya:
Tokoh paling berpengaruh yang menjadi landasan pemikiran Mannheim adalah Karl
Marx. Keterlibatan awal Mannheim dengan kerangka analisis Marxian, menyatu dengan
pengaruh Weber, Scheler, Husserl, Lederer, Lukacs dan lain-lain, memuncak dalam sosiologi
pengetahuan-nya. Para penganut Mannheimis radikal menekankan bahwa semua aspek budaya
dipengaruhi oleh kondisi sosial. Pemikiran sosiologis Mannheim juga dipengaruhi oleh Simmel,
sebagaimana halnya para sosiolog Hungaria pada masa itu. Dengan demikian, sosiologi
pengetahuan mengkaji tentang hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan.
Tesis utama sosiologi pengetahuan, menurut Karl Mannheimm, adalah bahwa ada cara
berpikir yang tidak dapat dipahami secara memadai selama asal-usul sosialnya tidak jelas.
Artinya, sebuah pemikiran hanya dapat dipahami dengan baik jika faktor-faktor sosial yang
terletak di balik lahirnya pemikiran tersebut dipahami dengan baik. Sebuah pernyataan atau
konsep dapat saja memiliki redaksi yang sama tetapi dimaksudkan untuk makna yang berbeda
hanya karena lahir dari latar sosial yang berbeda.
Sosiologi pengetahuan biasa juga disebut dengan sosioanalisa, yang secara operasional
merupakan sebentuk studi dokumenter biografi maupun autobiografi tokoh dengan
memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai teori atau pemikiran yang dicetuskannya
kemudian. Dalam sosioanalisa, variabel-variabel seperti konteks sosial, ekonomi, politik, serta
budaya dimana dan dimasa seorang tokoh hidup sebagai pengalaman pribadi yang berpengaruh
besar dalam kehidupannya menjadi esensi dari sosioanalisa itu sendiri. Lebih jauh, sosiologi
pengetahuan dan sosioanalisa yang terdapat di dalamnya berupaya menghindarkan publik² publik
akademik awam terutama dari pemujaan buta atas seorang tokoh berikut pemikiran atau mahzab
yang dicetuskannya. Hal tersebut bukannya tanpa alasan urgen sama sekali, melainkan guna
menjaga konsistensi perkembangan berikut kontnyuitas ilmu pengetahuan yang bebas dari
berbagai bentuk pretense.
(c) penting bagi skema konseptual para agen (para agen tidak mudah menyerah)
(e) dan merupakan pertanyaan sentral metafisika dan kehidupan manusia secara umum.
Kedua, weltanschauung irrasional, bukan berarti tidak masuk akal, karena suatu konsep
pandangan dunia yang pada dasarnya tidak masuk akal akan membuat diskusi teoritis tidak
mungkin dari fenomena tersebut, dan dengan demikian akan menjadi tidak berguna secara
metodologis. Oleh karena itu, istilah yang lebih tepat adalah rasionalistik artinya bahwa
pandangan dunia bukanlah rasional dan tidak rasional, karena sifat kategori rasionalitas tidak
dapat diterapkan padanya.
Mannheim berpandangan bahwa, weltanschauung berada di luar pemikiran tetapi bukan
di luar nalar interpretatif, itu bukan produk pemikiran, tetapi dapat diakses secara rasional,
setidaknya sampai taraf tertentu. Tugas Interpretasi weltanschauung adalah untuk membuat
totalitas pandangan dunia yang tidak terstruktur yang dapat diakses dari dokumennya, yaitu
untuk membuat pandangan dunia secara rasional dan secara teoritis dapat diakses. Pertanyaan
krusialnya adalah bagaimana totalitas yang kita sebut roh²Weltanschauung²dari suatu zaman,
dapat disaring dari berbagai objek zaman itu, dan bagaimana kita dapat memberikan laporan
teoritis tentang hal tersebut.
Karakter dokumenter sebuah karya tidak diperlakukan sebagai fakta material atau fisik,
tetapi sebagai bukti interpretasi yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, interpretasi bagi
Mannheim adalah ilmu positif itu sendiri, tetapi tidak dalam arti analog dengan ilmu
pengetahuan alam. Interpretasi didasarkan pada pandangan fenomenologis bahwa karakter
dokumenter ini ada di mana-mana dalam setiap karya intelektual. Dengan menggunakan
pendekatan rasionalis tentang Weltanschauung, karya dapat dipahami sebagai dokumen yang
mengungkapkan totalitas perasaan dan pengalaman yang mendasar, dan karena pandangan dunia
seperti itu dapat diperlakukan sebagai prinsip dari konsep gaya umum, yaitu satu yang
validitasnya tidak terbatas pada beberapa bidang produksi intelektual tertentu. Mannheim
mengambil konsep pandangan dunia rasionalis ini.
Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi
Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas. Karena itu garapan Berger tak lagi
fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap menekuni
makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali lagi) menggunakan studi sosiologi
pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni
legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk
menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat
kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak hanya
menyangkut penjelasan tetapi juga nilainilai moral. Legitimasi, dalam pengertian fundamental,
memberitakan apa yang seharusnya ada/ terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan,
tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah
saudarimu, dan kamu adalah saudari X” Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka
legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu,
dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa
yang besar”.
Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi
pengetahuannya. Fokus kajian dari tulisan ini terdiri atas dasar-dasar pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas
subyektif.
Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Lukmann merupakan teori
sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung
pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan
merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak
tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-
fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990: 1)
Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus
menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat
setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus
menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat.
Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna.
Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana
yang dipersepsi manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern campur-aduk, itulah
kenyataannya yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat modern berarti masyarakat
yang mengalami modernitas. Modernitas merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial.
Sebagai fenomena sosial, modernitas memang tidak terelakkan. Bagi Berger, modernitas
dipengaruhi oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu yang lama.
Sebagai suatu yang berpengaruh bagi perubahan sosial, kapitalisme tidak hanya berkait
dengan masalah kapital, tetapi mengandung konsep yang luas. Perannya tidak hanya ada dalam
pengembangan kapital, tetapi juga sosial politik, budaya, dan nilai-nilai, kapitalisme selalu
dikombinasikan dengan industrialisme untuk menciptakan apa yang sekarang disebut dunia
modern. Berger (1990: 24) menyatakan, secara historis, perkembangan kapitalisme terjadi
bersamaan dengan fenomena industrialisme.
Modernitas berkait dengan pengalaman modern, seperti pengalaman kehidupan kota dan
pengalaman komunikasi massa modern. Kota, merupakan tempat pertemuan orang atau
kelompok yang sangat berbeda-beda. Kota mendorong para penghuninya menjadi “urban”
terhadap orang-orang asing. Modernitas (kemodernan), di masyarakat mana pun, telah berarti
perkembangan kota dalam kapasitas besar (Berger et al., 1992: 63). Kotalah yang telah
menciptakan gaya hidup (termasuk gaya pikir, gaya rasa, dan pada umumnya gaya mengalami
realitas), yang sekarang menjadi standard untuk masyarakat luas (Berger et al., 1992: 65).
Modernitas lebih dipahami sebagai “cara hidup yang lebih modern dan bercorak kekinian”.
Apa yang disebut modernitas adalah sebagai pengaruh kapitalisme. Kapitalisme, dari
paradigma Marxis, sebagai kekuatan yang penting dalam dunia modern. Paradigma modernisasi
memandang kapitalisme sebagai satu penyebab yang penting; kapitalismelah yang menyebabkan
terjadinya serangkaian proses besar (Berger, 1990b: 40–41). Implikasinya, modernitas itu sendiri
ditandai dengan cara hidup modern, yang digerakkan oleh industri dan teknologi modern.
Kehidupan modern, ditandai dengan kecepatan dan percepatan, produksi yang besar,
pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya (Berger, 1990b: 43–49). Modernitas dibentuk oleh
rasionalitas, birokrasi (institusi), industrialisasi (teknologi), kapitalisme, dan pluralitas.
Modernitas, lebih dipahami sebagai upaya manusia yang senantiasa mengusahakan kehidupan
terus-menerus agar sesuai dengan apa yang seharusnya dalam kehidupan kekinian sebagai dunia
kehidupan seharihari.
Posisi agama dalam masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahasan
sebelumnya, sesungguhnya menunjukkan arti penting keabsahan dasar bagi proses eksistensi
sosial manusia dalam dunia sosial. Tanpa adanya dasar yang absah tersebut, manusia akan selalu
mengalami proses marjinalisasi dari seluruh keterlibatan penuhnya dengan dunia sosial sebagai
mahluk sosial yang paling purna di muka bumi ini. Peran penting agama adalah memberikan
perangkat legitimasi bagi suatu keterliban sosial yang penuh. Inilah yang ditunjukkan oleh
agama dalam setiap strata sosial dan historis manapun. Ini artinya pula, manusia secara filosofis
sangatlah membutuhkan dasar bagi proyeksi dan transendensinya dalam menjalani proses-proses
sosial. Hal ini karena, eksistensi manusia bukanlah eksistensi tanpa batas-batas eksistensial.