Anda di halaman 1dari 7

Pengantar

Artikel karya Prof Heddy Shri Ahimsa Putra ini menjelaskan tentang pendekatan
fenomenologi dalam studi agama. Pendekatan yang dimaksudkan oleh penulis disini adalah
sebuah kerangka teori, dimana sebuah paradigma atau kerangka teori pasti mempunyai unsur-
unsur pokok, yakni (1) asumsi-asumsi dasar (2) nilai-nilai (3) masalah yang ingin diselesaikan
(4) model-model (5) konsep-konsep (6) motode-metode penelitian (7) motode-metode analisis
(8) hasil-hasil analisis atau nilai (9) etnografi atau representasi. Berikut akan dijelaskan secara
lebih rinci apa pendekatan fenomenologi serta bagaimana pendekatan ini jika digunakan dalam
meneliti fenomena keagamaan di Indonesia

Fenomenologi: dari aliran filsafat menuju Fenomenologi ilmu Sosial


Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof Heddy dalam artikelnya, fenomenologi pada
awalnya adalah sebuah arus pemikiran dalam filsafat dengan Edmund Husserl sebagai pelopor
aliran ini. Fenomenologi dibangun oleh Husserl sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang
kesadaran. Kesadaran ini merupakan kesadaran tentang sesuatu, dimana terdapat dua aspek
kesadaran yang saling mengisi (1) proses sadar itu sendiri yang terwujud dalam beberapa
macam (misalnya mengingat, melihat, menilai) dan (2) yang menjadi obyek dari kesadaran
tersebut. Kesadaran bukanlah hal yang imanen, tetapi bersifat intentional, punya maksud dan
tujuan. Kesadaran yang mengandung maksud tersebut selalu diarahkan kepada ‘dunia
kehidupan’ yang merupakan dunia antar subyek, dimana manusia yang berada di dunia
tersebut saling berhubungan dan kesadaran yang terbentuk di antara mereka bersifat sosial
atau dimiliki bersama..
Ide penting dari Husserl, yang menurut Prof Heddy sangat relevan dengan ilmu sosial-
budaya adalah tentang deskripsi fenomenologis sebagai deskripsi, penggambaran dari segala
sesuatu sebagaimana “adanya”, sebagaimana sesuatu itu tampil, hadir dihadapan manusia
dalam cara tampilnya. Hal ini berarti bahwa fenomenologi bebas untuk menggeluti, menelaah,
semua wilayah pengalaman manusia. Ini berbeda dengan psikologi naturalistik yang mengikuti
cara-cara dalam ilmu alam, sehingga psikologi seperti itu telah kehilangan “sense” dari gejala
yang telah dipelajarinya. Karenanya, menurut Husserl metode yang benar dari sebuah disiplin
ilmu pengetahuan seharusnya mengikuti hakekat, sifat, dari apa yang diteliti, dan tidak
berdasarkan atas prasangka atau konsepsi kita mengenainya.
Sumbangan Husserl yang lain bagi ilmu sosial adalah pandangannya tentang natural
attitude. Dari konsep ini Husserl mengemukakan bahwa seorang Ego yang berada dalam
situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari.

1
Natural attitude ini oleh Husserl dibedakan menjadi dua theoretical attitude dan mythical
religious. Pembedaan inilah yang menjadi titik dari fenomenologi yang merupakan aliran
pemikiran filosofis kemudian merasuk dalam disiplin sosiologi.
Alfred Schutz adalah seorang murid Husserl yang mencoba memasukkan ide-ide
Husserl kedalam sosiologi. Diantara konsep yang dikembangkan oleh Schutz adalah konsep
intersubyektifitas. Schutz berpendapat bahwa konsep subyektifitas pada dasarnya adalah
adanya timbal balik perspektif yang mencakup dua macam bentuk idealisasi yakni
interchangability of viewpoints dan congruence of system of relevance.1 Selain itu, konsep
Schutz tentang typification, dimana dalam proses interaksi sosial para pelaku harus
mendefinisikan situasi yang dihadapi, termasuk di dalamnya pelaku-pelaku lain. Disini para
pelaku sadar atau tidak melakukan typification atau pemberian tipe dan ciri. Konsep typification
inilah yang kemudian mempertemukan aliran etnosains dan antropologi kognitif dalam
antropologi bertemu dengan sosiologi yang fenomenologis. Sehingga etnosains dan antropologi
kognitif bisa dikatakan sebagai antropologi fenomenologis.

Pendekatan Fenomenologi: Asumsi dan Model


Ada dua unsur penting dalam fenomenologi menurut Prof Heddy, yakni asumsi dan
model. Meski Husserl dan Schutz tidak menyatakan asumsi dasar dari pendekatan
fenomenologi, tetapi prof Hedy mencoba untuk memaparkannya dalam beberapa pokok-pokok
pikiran yang menjadi landasan epistemologis pendekatan fenomenologi sosial-budaya, yakni:
pertama, Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran.
Kesadaran ini selalu mengenai sesuatu dan sesuatu itu bisa juga kesadaran itu sendiri. Kedua,
pengetahuan pada manusia ini berawal dari interaksi atau komunikasi antara individu satu
dengan individu yang lain, dan sarana komunikasi yang fundamental adalah bahasa lisan.
Dengan kata lain, kesadaran manusia hanya dapat diketahui melalui bahasa. Ketiga, karena
kesadaran terbangun lewat proses komunikasi dan interaksi sosial, maka kesadaran tersebut
dengan sendirinya bersifat intersubyektif. Keempat, perangkat pngetahuan atau kerangka
kesadaran ini menjadi pembimbing individu dalam mewujudkan perilaku-perilaku dan

1
Sebagaimana yang dikutip oleh Prof Hedy, bentuk idealisasi pertama seorang ego beranggapan bahwa
ego dan orang lain akan mendapatkan pengalaman yang sama atas “dunia bersama” bilamana mereka saling
bertukar posisi, yakni ego berada pada posisi dia, dan dia berada pada posisi ego. Ego berasumsi bahwa cara-cara
memahami, mengalami dunia atau situasi yang dihadapi akan sama dalam pergantian posisi semacam ini. Pada
idealisasi kedua, masalah yang perlu dipahami adalah bagaimana si pelaku mendefinisikan situasi yang dihadapi.
Dalam hal ini yang dimaksud oleh Schutz adalah keadaan dimana seorang ego dan Alter yang terlibat dalam suatu
interaksi berasumsi bahwa perbedaan yang ada dalam system relevansi masing-masing pihak dapat diabaikan
demi tujuan yang ingin dicapai bersama.

2
tindakannya. Dengan demikian, perilaku dan tindakan individu tidak ditentukan oleh kondisi
obyektif, tetapi oleh kesadarannya mengenai situasi dan kondisi tersebut. Kelima, salah satu
bagian dari perangkat kesadaran tersebut adalah typification, yang berupa kategori atau tipe
dari unsur-unsur yang ada dalam kehidupan manusia. Kategori ini digunakan manusia untuk
memandang, memahami lingkungan dan kehidupannya. Keenam adalah bahwa kehidupan
manusia adalah kehidupan yang bermakna, kehidupan yang diberi makna oleh mereka yang
terlibat di dalamya. Ketujuh, gejala sosial-budaya merupakan gejala yang berbeda dengan
gejala alam, karena dalam gejala sosial-budaya yang terlibat adalah manusia, dan manusia
memiliki kesadaran tentang apa yang mereka lakukan, tentang gejala di mana mereka terlibat;
mampu memberikan makna terhadap dunia mereka. Kedelapan, karena gejala sosial tidak
dapat dipelajari sebagaimana halnya kita mempelajari gejala alam, maka metode yang tepat
untuk mempelajari gejala harus sesuai dengan hakekat dari gejala yang dipelajari, yakni
dengan mengikuti hakekat, sifat, dari apa yang diteliti, dan tidak berdasarkan atas prasangka
atau konsepsi kita mengenainya.
Dalam persoalan model, menurut Prof Heddy sebagai sebuah pendekatan,
fenomenologi tidak mengajukan model-model sebagaimana pendekatan yang lain. Hal ini
terkait dengan tujuan fenomenologi sendiri, yang menurut Husserl adalah mendiskripsikan
dengan sebaik-baiknya gejala yang ada di luar diri manusia sebagaimana gejala tersebut
menampilkan dirinya di hadapan kesadaran manusia. Model fenomenologi sebagian besar
sudah terdapat di dalam asumsi dasarnya, terutama asumsi yang berkenaan dengan prilaku
dan perangkat kesadaran manusia. Model disini lebih tepat disebut sebagai “gambaran”, “imaji”
peneliti mengenai apa yang ditelitinya, tetapi imaji bukan dalam bentuk perumpamaan atau
analogi. Sehingga diskripsi merupakan wujud pemahaman fenomenologis atas gejala sosial
budaya yang diteliti, yang sekaligus juga akan dapat memberikan pemahaman fenomenologis
kepada mereka yang membacanya.

Memahami: Pengertian dan Asumsinya


Konsep penting yang perlu dijelaskan dalam fenomenologis adalah “memahami”.
Memahami dalam konteks penelitian fenomenologis adalah mengetahui pandangan-pandangan,
pengetahuan, nilai, norma, aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut oleh
individu, dan kemudian dapat menetapkan relasinya dengan perilaku warga masyarakat,
perilaku sebuah kolektifitas dan perilaku individu tertentu. Definisi ini berawal dari asumsi dasar
bahwa perilaku manusia itu atau suatu kolektivitas merupakan perilaku yang terpola, yang
berulang kembali. Pola-pola ini menunjukkan adanya hukum-hukum tertentu meski hukum-

3
hukum tersebut berbeda dengan dalam gejala alam. Hal ini karena gejala sosial budaya
diwujudkan oleh manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan kesadaran ini
digunakan untuk menghadapi lingkungannya. Selain itu, manusia adalah makhluk yang
mempunyai tujuan, dimana hal inilah yang kemudian melahirkan makna, baik terhadap prilaku
maupun terhadap obyeknya. Sehingga dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan makna.
Dengan demikian maka pengetahuan manusia pandangan, pendapat, makna, nilai,
pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau warga suatu masyarakat merupakan salah satu
syarat terpenting dalam upaya ilmu sosial-budaya untuk dapat “mengerti”, memahami gejala-
gejala sosial budaya berupa berbagai pola perilaku dan tindakan manusia.

Agama, Simbol dan Kebudayaan


Menurut Prof Heddy, paradigma fenomenologi ini sangat mungkin digunakan untuk
meneliti fenomena keagamaan di Indonesia. Disini prof Heddy berpandangan bahwa makna
agama lebih luas daripada system kepercayaan dan dalam rangka memahami gejala sosial-
budaya yang disebut dengan agama ini, terdapat beberapa konsep yang berkenaan dengan hal
ini.
(a) Manusia, simbol dan kebudayaan.
Manusia merupakan makhluk pengemban kebudayaan, dan agama adalah bagian dari
kebudayaan. Disini Prof Heddy mengutip definisi dari seorang ahli filsafat symbol yang bernama
Ernst Cassirer yang mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum. Manusia memiliki
kemampuan yang membedakannya dengan binatang, yakni dalam hal menggunakan symbol.
Simbol yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang dimaknai dan symbol yang paling
dasar dan penting dalam kehidupan manusia adalah bahasa.. Dengan bahasa manusia dapat
menyampaikan pikiran dan perasaannya, sehingga apa yang semula bersifat pribadi menjadi
bersifat sosial dna kolektif. Dari sini kemudian, kebudayaan didefinisikan sebagai perangkat
symbol yang diperoleh manusia dari kehidupannya dan digunakan untuk beradaptasi serta
melestarikan keberadaannya sebagai makhluk hidup.
Sebagai perangkat symbol, kebudayaan juga memiliki tiga wujud, yakni ((1) berupa
budaya material atau symbol yang bersifat fisik seperti pakaian, rumah, (2) budaya prilaku dan
(3) budaya gagasan.
(b) Kebudayaan, kepercayaan dan agama
Terkait dengan kebudayaan, menurut prof Heddy, kepercayaan merupakan salah satu
bagian atau unsur kebudayaan. Kepercayaan didefinisikan sebagai pandangan, pendapat yang
diyakini kebenarannya baik secara eksistensial maupun substansial, mengenai hal-hal yang

4
empiris maupun tidak empiris, yang mendasari proses adaptasi manusia terhadap dua dunia itu
(empiris dan tidak empiris).Kepercayaan juga seringkali disebut sebagai system kepercayaan.
Unsur yang penting dalam system kepercayaan adalah keyakinan akan kebenaran pandangan.
Jika unsure pandangan ada dalam pemikiran, maka unsur keyakinan ada di dalam perasaan.
Adanya keterkaitan antara yang ada di dalam pikiran dan perasaan inilah yang membuat
pandangan atau kepercayaan tidak mudah untuk berubah. Perubahan akan dapat menimbulkan
kegelisahan. Kepercayaan juga selalu berhubungan dengan hal yang tidak empiris, dimana
keyakinan akan kebenaran suatu pandangan memainkan peran yang lebih besar.
Di Indonesia, agama memiliki pengertian yang lebih luas daripada kepercayaan, karena
kata agama dapat mencakup simbol yang material seperti masjid, air untuk berwudhu, pakaian
untuk menutup aurat, simbol behavioral seperti adzan, bersedekah, puasa dan simbol ideational
seperti konsep iman, tauhid, akidah dan lain sebagainya. Agama merupakan unsur kebudayaan.
Karena kebudayaan merupakan perangkat simbol, maka agama dari sudut pandang tertentu
dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol mengenai dunia empiris, dan tidak empiris yang
diyakini kebenaran eksistensial dan substansialnya dan menjadi sarana manusia dalam
menghadapi lingkungannya atau mempertahankan hidupnya. Simbol yang telah tersebut diatas
dikatakan sebagai symbol karena unsur-unsur itu semua dapat dimaknai oleh siapapun.
Pemaknaan ini bisa berbeda-beda dan perbedaan makna yang diberikan tidak hanya pada
tataran kelompok atau golongan, tetapi bahkan juga pada tataran individual.
(c) Agama dan Kepercayaan: Individual dan Kolektif.
Agama mempunyai dua dimensi, yakni: dimensi kolektif dan individual. Pada awalnya
agama ini bersifat individual apalagi jika mengenai hal-hal yang tidak empiris. Tetapi melalui
proses komunikasi, pandangan yang semula hanya diyakini oleh satu orang ini kemudian
diterima oleh banyak orang dan menjadi milik suatu kolektivitas. Ketika sebuah kepercayaan
atau agama telah berada pada tataran kolektif, telah diikuti oleh banyak orang, maka
perubahannya akan menjadi lebih sulit, karena perubahan tersebut akan menuntut persetujuan
atau kesepakatan kolektif juga. Kenyataan semacam ini menyiratkan bahwa agama suatu
masyarakat dapat menjadi wahana yang penting dalam proses perubahan, karena disitu sistem
kepercayaan dapat menjadi semacam penyaring, pengontrol, proses perubahan yang tengah
atau akan berjalan.
Agama: Perspektif Fenomenologi
Agama dalam perspektif fenomenologi didefinisikan sejajar dengan pandangan Husserl
mengenai phenomenon, yakni suatu bentuk kesadaran (conscionusness). Disini agama
didefinisikan sebagai sebuah kesadaran mengenai (a) adanya dunia yang berlawanan-ghaib

5
dan empiris (b) bagaimana manusia sebagai bagian dunia empiris (c) dapat menjalin hubungan
simbolik dengan dunia ghaib tersebut.
Sebagai suatu kesadaran, agama bisa bersifat individual, bisa pula sosial atau kolektif.
Dengan kesadaran individual, maka agama merupakan suatu kesadaran yang sangat pribadi
dan tidak dimiliki oleh individu yang lain. Sebaliknya sebagai sebuah kesadaran kolektif, agama
merupakan kesadaran yang dimiliki bersama, yang unsur-unsurnya juga dimiliki oleh banyak
individu. Disini deskripsi fenomenologis agama yang bersifat individual akan menekankan pada
kesadaran, pengetahuan, pandangan individual yang khas sifatnya yang mendorong munculnya
perilaku khas individual. Sedangkan deskripsi fenomenologis agama pada domensi kolektifnya
ini akan menekankan pada kesadaran, pengetahuan, pandanngan yang bersifat kolektif,
intersubyektif, yang mendorong prilaku kolektif pula, yang menunjukkan adanya suatu umat,
jama’ah dari agama tersebut.
Sementara itu, kesadaran mengenai dunia yang ghaib dan dunia yang empiris adalah
kesadaran mengenai ciri-ciri dua dunia tersebut, sifat-sifat dunia tersebut dengan berbagai
subyek atau makhluk yang mendiaminya. Deskripsi fenomenologis mengenai hal ini juga bisa
difokuskan pada deskripsi kesadaran yang individual atau yang kolektif. Disini deskripsi bisa
memusatkan perhatian pada unsur-unsur, sifat-sifat dan keadaan dunia ghaib sebagaimana
diketahui, disadari, dan diyakini oleh seorang individu atau jama’ah. Selain itu, deskripsi juga
bisa memusatkan pada subyek yang ada dalam dunia ghaib tersebut, atau juga deskripsi pada
kesadaran perilaku keagamaan mengenai simbol-simbol di dunia empiris yang berhubungan
dekat dengan dunia ghaib.
Terkait dengan kesadaran tentang komunikasi dunia ghaib dan dunia nyata, manusia
memerlukan perangkat komunikasi yang semuanya merupakan simbol baik material, behavioral
maupun ideational. Simbol untuk melakukan komunikasi dengan dunia ghaib inilah disebut
dengan simbol-simbol keagamaan. Disini kajian fenomenologis akan berupaya mengungkap
dan mendeskripsikan kesadaran pemeluk agama mengenai simbol keagamaan tersebut.

Prinsip Etis-Metodologis Penelitian Fenomenologi Agama


Beberapa prinsip etis metodologis yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
pendekatan fenomenologis untuk penelitian agama, menurut Prof Heddy, antara lain adalah:
a. Tidak menggunakan kerangka pemikiran tertentu untuk menentukan atau menilai kebenaran
pandangan subyek yang diteliti, karena tugas peneliti disini bukanlah untuk menilai atau
menemukan kebenaran tetapi mendiskripsikan dengan sebaik-baiknya pandangan tersebut.

6
b. Pandangan keagamaan yang berhasil diperoleh juga tidak perlu ditentukan mana yang paling
benar, akrena dari sudut pandang fenomenologi setiap kesadaran adalah benar, sehingga
setiap pandangan keagamaan sama posisi dan kedudukannya untuk ditampilkan dalam subuah
etnografi.
c. Dalam berhadapan dengan subyek yang diteliti, posisi peneliti adalah sebagai murid yang
ingin memahami pandangan keagamaan seorang individu atau suatu komunitas yang kemudian
bermaksud mendeskripsikan pandangan tersebut sebaik-baiknya atau secocok mungkin
dengan apa yang dimaksud oleh tineliti (subyek yang diteliti).
d. Peneliti harus berusaha untuk tidak mengungkapkan pendapatnya, yang mungkin akan
berlawanan dengan pandangan tineliti, karena itu akan mengganggu hubungan antara peneliti
dengan tineliti, yang kemudian akan berpengaruh terhadap kulitas data yang berhasil
dikumpulkan.

Kesimpulan
Dalam artikelnya, Prof Heddy mencoba menjelaskan secara singkap pendekatan
fenomenologi yang berkembang dalam ilmu sosial budaya. Penelitian fenomenologi agama ini
berbeda dengan penelitian ilmu sosial budaya lainnya. Dalam hal ini penelitian fenomenologis
ditujukan terutama untuk mendeskripsikan dengan sebagaik-baiknya gejala sosial-budaya
menurut sudut pandang subyek yang diteliti. Dengan demikian maka, bukan pada tempatnya
jika peneliti menentukan kebenaran atau kekeliruan yang dimiliki oleh tineliti atau dengan kata
lain relativisme agama merupakan sebuah prinsip penelitian yang perlu diikuti dalam penelitian
atau gejala keagamaan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.

Komentar
Pendekatan fenomenologis terhadap fenomena keagamaan ini memang sangat
mungkin untuk dilakukan. Hanya saja menurut saya, pendekatan fenomenologi yang berusaha
untuk mendeskripsikan secara apa adanya dengan menyingkirkan subyektifitas seorang peneliti
adalah hal yang mustahil. Karena bagaimanapun juga seorang peneliti pasti mempunyai
prejudice atau pra konsepsi yang sedikit banyak ikut berpengaruh dalam proses penelitian
fenomenologis. Namun demikian, hal ini memang sangat mungkin untuk diminamilisir, untuk
tidak mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang betul-betul obyektif dalam sebuah penelitian.
Meminimalisir subyektifitas peneliti dalam hal ini adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip
etis metodologis yang dikemukakan oleh prof Hedy diatas.

Anda mungkin juga menyukai