Anda di halaman 1dari 15

KASUS UTAMA

North Sea Continental Shelf Case 1968

Fakta Hukum
1. Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Jerman melawan Belanda dan
Jerman melawan Denmark (Jerman melawan Denmark dan Belanda).
2. Pada tanggal 1 Desember 1964 telah terjadi suatu perjanjian internasional antara
Jerman dengan Denmark dan pada tanggal 9 Juni 1965 terjadi juga suatu
perjanjian internasional antara Jerman dengan Belanda. Kedua perjanjian ini
mengatur tentang perbatasan wilayah dalam landas kontinen di North Sea (Laut
Utara) yang berada di dalam wilayah kekuasaan ketiga negara tersebut yang
ditentukan dari batas pantai ketiga negara tersebut.
3. Perairan di dalam North Sea tersebut ternyata dangkal, di mana kedalaman dasar
laut tersebut kurang dari 200 meter (tidak termasuk di wilayah Norwegia) dan ini
semua sudah diatur pembatasannya oleh negara-negara pantai di sekitar landas
kontinen North Sea tersebut.
4. Pada tanggal 20 Februari 1967, Belanda dan Denmark mengajuka pengaturan
ulang dalam mengatur luas perbatasan di landas kontinen di North Sea. Akan
tetapi antara Jerman dengan Denmark dan Belanda tersebut, masih belum terdapat
kesepakatan mengenai perluasan perbatasan wilayah di North Sea bagi Denmark
dan Belanda dengan Jerman dikarenakan perluasan wilayah ini dilakukan dengan
prinsip equidistance (Pasal 6, Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958).
Di mana prinsip ini telah dianggap sebagai Kebiasaan Internasional.
5. Berdasarkan pada isi dari Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 tersebut, prinsip ini
dapat berlaku dalam suatu perjanjian internasional apabila tidak ada “special
circumtances” (kondisi khusus) yang mengakibatkan adanya pengaturan lain
mengenai masalah ini dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu, Denmark dan
Belanda menyatakan dikarenakan tidak adanya “special circumtances” tersebut
dalam perjanjian tersebut, maka prinsip ini equidistance ini dapat diberlakukan
6. Jerman menyatakan prinsip ini dapat mengakibatkan ketimpangan dalam
pengaturan wilayah perbatasan di North Sea yang disesuaikan dengan proporsi
dari panjang garis pantai North Sea tersebut. Sehingga, pembagian wilayah di
landas kontinen tersebut harus disesuaikan dengan prinsip “just and equitable
share” (prinsip pembagian secara merata) yang pengaturannya ditentukan
berdasarkan jatah yang berhak dimiliki oleh setiap negara di landas kontinen
North Sea tersebut.
7. Apabila prinsip equidistance ini diterapkan, maka Jerman akan menyusun kondisi
khusus untuk diterapkan dalam pengaturan pembatasan wilayah untuk kasus ini.
8. Dikarenakan belum ditemukannya kesepakatan di dalam permasalahan penerapan
prinsip kebiasaan internasional dalam perjanjian antara Jerman dengan Denmark
dan Belanda, maka pihak-pihak tersebut mengajukan permasalahan ini kepada ICJ
pada tanggal 26 April 1968.

Permasalahan Hukum
1. Apakah ketentuan dalam Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen
mengikat bagi seluruh pihak dalam kasus tersebut?
2. Apakah prinsip equidistance yang merupakan kebiasaan internasional tersebut
dapat diterapkan di dalam kasus ini?

Putusan
ICJ mengeluarkan putusan dengan hasil voting 11 berbanding 6, bahwa :
1. Negara Jerman, yang belum meratifikasi Konvensi Jenewa tersebut, tidak terikat
secara hukum untuk mengikuti isi dari Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang Landas
Kontinen tersebut.
Ketentuan dari Pasal 6 tersebut tidak dapat diterapkan dalam situasi hukum dalam
kasus ini baik sebagai ketentuan dari Konvensi Jenewa maupun sebagai penetapan
kebiasaaan internasional.
2. Prisip equidistance tersebut ditolak dan tidak harus diterapkan sebagai konsep
umum mengenai hak dalam landas kontinen maupun sebagai ketentuan dari
kebiasaan internasional.

Pertimbangan Putusan
1. ICJ tidak dapat menerima pendapat mengenai teori “just and equitable” yang
diajukan oleh Jerman terutama dalam hal untuk membentuk “special
circumtances”, yang berfungsi untuk mengatur perbatasan tersebut. Doktrin ini
tidak perlu dilaksanakan sebab prinsip dari doktrin ini dapat dijalankan tanpa
diperlukannya suatu ketentuan khusus. Hak bagi negara pantai yang berhubungan
dengan wilayah landas kontinen dalam hal perluasan wilayah perbatasannya di
bawah laut telah berlaku secara ipso facto dan ab initio.
2. Dalam Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen pada tahun 1958, disebutkan
bahwa isi dari konvensi tersebut akan mengikat bagi negara yang telah
menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut, sehingga ketentuan dalam
konvensi ini mengikat bagi Denmark dan Belanda. Akan tetapi, Jerman hanya
telah menandatangani konvensi tersebut dan belum meratifikasinya, sehingga
Jerman tidak terikat dengan ketentuan di dalam Konvensi Jenewa tersebut. Ini
mengakibatkan isi dari Pasal 6 Konvensi Jenewa tersebut tidak dapat diterapkan
dalam kasus ini.
3. ICJ memutuskan untuk menolak prinsip equidistance yang diajukan oleh Denmark
dan Belanda, sebab prinsip tersebut tidak ada dalam doktrin dasar landas
kontinen. Sebab penerapan dari teori ini dapat mengakibatkan adanya
pencampuran antara wilayah yang diperluas dalam landas kontinen dengan
wilayah kekuasaan negara lainnya di dalam landas kontinen tersebut dan ini
berarti tidak sesuai dengan doktrin dasar dalam aturan mengenai landas kontinen.
4. ICJ menyatakan bahwa prinsip equidistance bukanlah suatu kebiasaan
internasional, sebab hal ini juga belum diajukan oleh International Law
Commission sebagai hal yang demikian. Hal ini dikarenakan isi dari Pasal 6
tersebut berkaitan langsung dengan hak-hak dalam landas kontinen yang
membutuhkan peraturan lebih di dalamnya, sehingga tidak dapat dianggap sebagai
suatu kebiasaan internasional.
5. ICJ menyatakan bahwa aturan dan norma hukum secara umum masih berlaku di
dalam kasus ini, walaupun pihak-pihak dalam sengketa ini tidak terikat dengan
Konvensi Jenewa 1958 atau suatu kebiasaan internasional. Sehingga untuk
menyelesaikan masalah ini ICJ menganjurkan supaya Jerman dengan Denmark
dan Belanda melakukan negosiasi untuk membahas permasalahan perbatasan
wilayah di landas kontinen ini.

Analisis Putusan
1. Dalam kasus North Sea Continental Shelf ini, dapat kita lihat bagaimana
penentuan suatu kebiasaan internasional dapat diterapkan dalam suatu perjanjian
internasional yang berkaitan dengan pengaturan perbatasan di landas kontinen.
2. Apabila suatu prinsip yang ditentukan dalam suatu konvensi ingin diberlakukan
sebagai suatu kebiasaan internasional, maka prinsip tersebut harus dapat
diterapkan secara umum sehingga dapat menjadi pedoman dalam penyelesaian
suatu permasalahan hukum yang berhubungan langsung dengan prinsip tersebut.
3. Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen memiliki isi sebagai berikut.
Article 6
1. Where the same continental shelf is adjacent to the territories of two or more
States whose coasts are opposite each other, the boundary of the continental
shelf appertaining to such States shall be determined by agreement between
them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is
justified by special circumstances, the boundary is the median line, every point
of which is equidistant from the nearest points of the baselines from which the
breadth of the territorial sea of each State is measured.
2. Where the same continental shelf is adjacent to the territories of two adjacent
States, the boundary of the continental shelf shall be determined by agreement
between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line
is justified by special circumstances, the boundary shall be determined by
application of the principle of equidistance from the nearest points of the
baselines from which the breadth of the territorial sea of each State is
measured.
3. In delimiting the boundaries of the continental shelf, any lines which are
drawn in accordance with the principles set out in paragraphs 1 and 2 of this
article should be defined with reference to charts and geographical features as
they exist at a particular date, and reference should be made to fixed
permanent identifiable points on the land.
4. Prinsip equidistance yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang
Landas Kontinen 1958, tidak dapat diterapkan sebagai suatu kebiasaan
internasional dikarenakan isi dari pasal tersebut berkaitan langsung dengan
pengaturan landas kontinen secara khusus. Hal ini dikarenakan prinsip tersebut
hanya dapat diterapkan tergantung pada kondisi yang ada yang dapat
memberlakukan ketentuan tersebut sehingga prinsip ini tidak dapat diterapkan
secara umum.
5. Selain itu, prinsip equidistance ini tidak dapat diterapkan dalam semua
permasalahan landas kontinen. Wilayah di dasar laut tidak dapat dianggap sebagai
bagian dari negara pantai dikarenakan wilayah tersebut berada di dekat negara
tersebut. Wilayah di dasar laut tersebut hanya kemungkinan merupakan bagian
dari wilayah negara pantai secara geografis. Apabila prinsip ini diterapkan begitu
saja, dapat mengakibatkan adanya permasalahan dalam pembagian wilayah landas
kontinen ini dengan negara lain, dimana wilayah yang seharusnya milik suatu
negara dapat menjadi bagian dari negara lain.

Sumber-Sumber
 International Court of Justice, North Sea Continental Shelf Case ICJ Reports
1969. http://www.uio.no/. Diakses tanggal 24 April 2009.
 North Sea Continental Shelf Case, Judgment of 20 February 1969. http://www.icj-
cij.org. Diakses tanggal 24 April 2009.

KASUS PEMBANDING
Asylum Case, Colombia v. Peru, ICJ Rep. 1950

Fakta Hukum
1. Para pihak dalam sengketa ini adalah Kolombia dan Peru.
2. Pada 3 Oktober 1948 sebuah pemberontakan militer terjadi di Peru. Sebuah partai
politik American People’s Revolutionary Party dituduh merancang dan memimpin
pemberontakan tersebut.
3. Victor Raul Haya de la Torre, pimpinan partai tersebut dinyatakan bertanggung
jawab atas terjadinya pemberontakan. Pada 16 November keluar perintah agar de
la Torre hadir ke hadapan Examining Magistrate.
4. Pada 3 Januari 1949 de la Torre diberikan suaka oleh Kedutaan Besar Kolombia
di Lima, Peru. Pada 4 Januari kedutaan besar Kolombia mengumumkan
pemberian suaka tersebut kepada pemerintah Peru dan pada saat yang sama
meminta diberikannya jaminan berupa safe-conduct agar pengungsi dapat
meninggalkan Peru. Kolombia menegaskan bahwa pengungsi tersebut merupakan
pengungsi politik.
5. Peru mempertanyakan penggolongan (kualifikasi) yang dilakukan oleh Kolombia
yang menggolongkan de la Torre sebagai pengungsi politik. Peru juga menolak
memberikan safe-conduct. Menurut Peru, de la Torre melakukan kejahatan umum
(common crime), bukan kejahatan politik sehingga tidak berhak mendapatkan
suaka.
6. Pada 31 Agustus 1949 para pihak sepakat mengajukan sengketa ke Mahkamah
Internasional.

Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum yang diajukan oleh Kolombia:
1. Bahwa Kolombia sebagai negara pemberi suaka berhak melakukan kualifikasi
secara sepihak mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh de la Torre;
2. Bahwa Peru sebagai negara tempat si pencari suaka berada (territorial state),
wajib memberikan jaminan yang diperlukan untuk memastikan si pencari suaka
dapat keluar dari Peru.
Permasalahan hukum yang diajukan oleh Peru:
1. Bahwa pemberian suaka oleh Kolombia kepada de la Torre telah dilakukan secara
melanggar ketentuan Konvensi Havana pasal 1 ayat 1 dan pasal 2 ayat 2.

Putusan
1. Dengan suara 14 berbanding 2, Mahkamah memutuskan bahwa Kolombia tidak
berhak menentukan secara sepihak mengenai sifat asal dari pelanggaran tersebut.
2. Dengan suara 15 berbanding 1, Mahkamah memutuskan bahwa Pemerintah Peru
tidak berkewajiban untuk memberikan jaminan kepada pengungsi.
3. Dengan suara 15 berbanding 1, Mahkamah memutuskan menolak keberatan
Pemerintah Peru sepanjang mengenai pasal 1 ayat 1 Konvensi Havana. Akan
tetapi dengan suara 10 berbanding 6, Mahkamah menerima keberatan Peru yang
berdasarkan pada pasal 2 ayat 2 Konvensi Havana.

Pertimbangan Putusan
1. Kolombia menyatakan bahwa de la Torre melakukan kejahatan politik (political
offense) dan karenanya memberikan suaka pada de la Torre. Kolombia
mendasarkan tindakannya ini pada tiga perjanjian internasional yaitu Persetujuan
Bolivarian 1911 tentang Ekstradisi, Konvensi Havana 1928 tentang Suaka, dan
Konvensi Montevideo 1933 tentang Suaka Politik, serta hukum internasional
Amerika. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut Kolombia menyatakan bahwa
ia berhak menentukan sifat dari kejahatan tersebut, apakah kejahatan politik atau
kejahatan biasa, sebagai dasar pemberian suaka. Mahkamah kemudian melihat
apakah ketentuan-ketentuan tersebut memang memberikan hak yang demikian
kepada Kolombia.
2. Mahkamah melihat bahwa Persetujuan Bolivarian 1911 memang mengakui
pemberian suaka sesuai prinsip-prinsip hukum internasional. Akan tetapi prinsip
ini tidak memberikan suatu hak untuk melakukan kualifikasi secara sepihak
(unilateral qualification).
3. Sedangkan dalam Konvensi Havana 1928, Mahkamah berpendapat bahwa
Konvensi tersebut baik secara eksplisit maupun implisit tidak mengakui
dimungkinkannya suatu kualifikasi secara sepihak. Sedangkan dalam Konvensi
Montevideo 1933, Konvensi ini tidak diratifikasi oleh Peru dan karenanya tidak
dapat diterapkan kepada Peru. Selain itu Konvensi 1933 ini hanya diratifikasi oleh
11 negara.
4. Kemudian berdasarkan hukum internasional Amerika, Kolombia tidak bisa
membuktikan adanya suatu praktek yang konstan dan seragam, secara lokal
maupun regional, mengenai kualifikasi unilateral sebagai hak negara penerima
pengungsi. Kalaupun Kolombia dapat membuktikan bahwa kebiasaan tersebut ada
di kalangan negara-negara Amerika Latin, maka kebiasaan tersebut tidak dapat
diterapkan kepada Peru. Karena tindakan-tindakan yang dilakukan Peru tidak
menunjukkan sikap penerimaannya terhadap kebiasaan tersebut. Sebaliknya, sikap
yang ditunjukkan Peru justru menandakan penolakan terhadap kebiasaan tersebut
dengan tidak meratifikasi Konvensi Montevideo 1933 sebagai instrumen hukum
yang memuat ketentuan tentang kualifikasi secara sepihak tersebut.
5. Menyangkut keberatan Peru yang pertama, yaitu bahwa kejahatan yang dilakukan
oleh de la Torre merupakan tindak kriminal sehingga tidak dapat diberikan suaka
sesuai pasal 1 ayat 1 Konvensi Havana. Mahkamah melihat bahwa kejahatan yang
dituduhkan dilakukan oleh de la Torre adalah pemberontakan militer. Akan tetapi
Peru tidak dapat menunjukkan bahwa pemberontakan militer merupakan suatu
common crime. Bahkan ketentuan hukum nasional Peru justru menunjukkan yang
sebaliknya. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa pemberontakan militer
bukan common crime dan menolak keberatan Peru tersebut.
6. Tetapi mengenai keberatan Peru yang didasarkan pada pasal 2 ayat 2 Konvensi
Havana, Mahkamah menerimanya. Mahkamah berpendapat bahwa pemberian
suaka oleh Kolombia kepada de la Torre tidak didasarkan pada suatu kebutuhan
yang urgen dan mendesak dalam jangka waktunya. Oleh karena itu pemberian
suaka tersebut tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 2 Konvensi.

Analisis Putusan
1. Salah satu prinsip penting yang terdapat dalam kasus ini adalah bahwa hukum
kebiasaan harus didasarkan pada suatu praktek yang konstan dan seragam di
antara negara-negara yang bersangkutan. Hukum kebiasaan internasional yang
dipermasalahkan dalam kasus ini bukanlah mengenai kebiasaan dalam pemberian
suaka, karena pemberian suaka sudah diakui oleh negara-negara. Yang
dipermasalahkan adalah mengenai kompetensi negara pemberi suaka untuk
menentukan apakah kejahatan yang dilakukan oleh pencari suaka merupakan
kejahatan kriminal atau kejahatan politik, yang mana hal ini menjadi dasar
pemberian suaka. Karena pemberian suaka hanya dapat dilakukan terhadap
seseorang yang dituduh melakukan kejahatan politik, bukan kejahatan kriminal.
Kolombia menyatakan bahwa kompetensi tersebut merupakan kebiasaan
internasional sementara Peru tidak mengakuinya.
2. Kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang
diakui dalam Statuta ICJ. Supaya suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan
sebagai sumber hukum internasional, ada dua unsur yang harus dipenuhi yaitu
unsur material dan unsur psikologis. Unsur material yaitu kenyataan adanya
kebiasaan yang bersifat umum. Ada dua hal yang menandakan suatu kebiasaan
internasional merupakan suatu kebiasaan umum. Pertama, perlu adanya suatu pola
tindak yang berlangsung lama yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa
mengenai hal dan kebiasaan yang serupa pula. Kedua, kebiasaan atau pola tindak
tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional.
3. Unsur psikologis yaitu diterimanya kebiasaan internasional itu sebagai hukum.
Unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan internasional dirasakan
memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum, atau dalam bahasa latin disebut
“opinio juris sive necessitatis”. Dilihat secara praktis suatu kebiasaan
internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara itu
tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Meski kebanyakan kebiasaan harus
berlangsung dalam waktu yang lama, terkadang ditemukan suatu hukum
kebiasaan yang bersifat instan. Kebiasaan semacam ini dapat menjadi hukum
tanpa harus melalui praktek dalam jangka waktu yang lama.
4. Pasal 1 ayat 1 Konvensi Havana “It is not permissible for States to grant asylum
… to persons accused or condemned for common crimes …”. Berdasarkan bunyi
pasal tersebut maka beban pembuktian bahwa de la Torre telah didakwa atau
dihukum atas kejahatan biasa berada pada Peru. Dalam hal ini maka ada dua hal
yang perlu dibuktikan yaitu adanya tuntutan atau putusan penghukuman, dan
kejahatan biasa (common crime). Tidak sulit untuk membuktikan adanya dakwaan
terhadap de la Torre, hal ini dapat ditunjukkan dari perintah yang dikeluarkan
pejabat setempat Peru untuk membawa de la Torre ke hadapan Examining
Magistrate. Akan tetapi yang masih perlu untuk dibuktikan adalah mengenai
apakah kejahatan yang dituduhkan itu merupakan common crime atau bukan.
Dalam kasus de la Torre, kejahatan yang dituduhkan kepadanya oleh pemerintah
Peru sebelum pemberian suaka adalah pemberontakan militer dan Peru tidak bisa
membuktikan bahwa pemberontakan militer merupakan common crime. Pasal 248
Peruvian Code of Military Justice tahun 1939 bahkan cenderung menunjukkan
yang sebaliknya. Ketentuan pasal tersebut memisahkan antara pemberontakan
militer dan common crimes lainnya. Ini menunjukkan bahwa pemberontakan
militer bukanlah suatu common crime, setidaknya menurut hukum Peru.
5. Pasal 2 ayat 2 Konvensi Havana “Asylum may not be granted except in urgent
cases and for the period of time strictly indispensable for the person who has
sought asylum to ensure in some other way his safety”. Berdasarkan pasal tersebut
maka pemberian suaka dapat dibenarkan atas adanya suatu bahaya yang bersifat
segera dan terus menerus (imminence and persistence) yang mengancam si
pencari suaka. Dalam hal ini maka beban pembuktian mengenai apakah keadaan
bahaya yang semacam itu memang ada, dibebankan kepada Kolombia sebagai
negara pemberi suaka. Mengenai bahaya yang mengancam de la Torre, tidak
diragukan lagi bahwa pasca pemberontakan militer tersebut banyak tindakan tak
terkendali oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab yang ditujukan
kepada de la Torre. Yang perlu dibuktikan sekarang adalah mengenai urgensi
dalam pemberian suaka tersebut. Berdasarkan fakta yang telah disebutkan, ada
jeda waktu yang cukup panjang antara tanggal terjadinya pemberontakan dengan
tanggal keluarnya perintah penangkapan dan tanggal diberikannya suaka kepada
de la Torre. Ini menghilangkan unsur urgensi yang diperlukan dalam pemberian
suaka.

Sumber Kepustakaan
 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung,
2003.
 Shaw, Malcolm N., International Law, Cambridge Univesity Press, Cambridge,
2003.

Sumber lainnya
 ICJ Report of Judgment 1950, “Asylum Case” Judgment of 20th November 1950

Nicaragua Case, 1986

Fakta Hukum
1. Pihak yang terlibat di dalam kasus ini adalah Nicaragua melawan Amerika
Serikat.
2. Pemerintah Republik Nicaragua pada saat itu tengah mengalami bentrokan senjata
dengan pemberontak gerilya di negaranya, yang berbatasan dengan El Salvador,
Honduras, dan Costa Rica. Selama bentrokan senjata tersebut berlangsung,
Amerika Serikat telah ikut campur dalam bentrokan senjata tersebut dan
mengganggu kedaulatan dari Nicaragua.
3. Pada tanggal 9 April 1984 Duta Besar dari Republik Nicaragua pergi menuju
Belanda untuk mengajukan gugatan di ICJ kepada Amerika Serikat atas adanya
aktivitas militer dan paramiliter terhadap Nicaragua. Nicaragua mengajukan
gugatan ini dengan berdasarkan pada Pasal 36 Piagam PBB.
4. Pada saat kasus ini diajukan, Nicaragua juga mengajukan adanya pertimbangan
dalam Pasal 41 Piagam PBB. Pada tanggal 10 Mei 1984, ICJ menolak permintaan
dari Amerika Serikat untuk penghapusan kasus ini dari daftar.
5. Pada tanggal 15 Agustus 1948, Republik El Salvador mengajukan intervensi
dengan berdasarkan pada Pasal 63 Piagam PBB., yang kemudian ditolak oleh ICJ.
6. Nicaragua mengajukan gugatan kepada Amerika Serikat dikarenakan adanya
tindakan perekrutan, pelatihan, mempersenjatai, dan memberikan persediaan dari
Amerika Serikat kepada kelompok militer dan paramiliter di Nicaragua. Tindakan
Amerika tersebut telah melanggar ketentuan dari Piagam PBB, Charter of the
Organization of American States, Convention on Rights and Duties of States, dan
Convention concerning the Duties and Rights of States dalam Peristiwa Civil
Strife.
7. Nicaragua menyatakan bahwa Amerika Serikat telah melanggar kedaulatan
Nicaragua, melanggar norma dan kebiasaan internasional dengan cara penggunaa
kekerasan, mengganggu permasalahan dalam negeri Nicaragua, melanggar
kebebasan di lautan dan menggangu perdagangan maritim Nicaragua, dan telah
menimbulkan korban dalam masyarakat Nicaragua.
8. Berdasarkan pada pelanggaran-pelanggaran tersebut, Nicaragua menuntut adanya
ganti rugi terhadap segala kerugian yang telah ditimbulkan oleh Amerika Serikat
terhadap Nicaragua.
9. Pada tanggal 21 Januari 1956, Nicaragua dan Amerika Serikat pernah
mengadakan perjanjian internasional yang bernama Treaty of Friendship,
Commerce and Navigation. Ketentuan dari perjanjian ini telah dilanggar oleh
Amerika Serikat menurut Nicaragua dan Nicaragua memohon penerapannya
dalam kasus ini.

Permasalahan Hukum
1. Apakah ICJ harus menerapkan “multilateral treaty reservation” berdasarkan pada
gugatan yang diajukan oleh Republik Nicaragua?
2. Apakah Amerika Serikat harus bertanggung jawab sepenuhnya atas segala
kerugian yang dialami oleh Republik Nicaragua yang berhubungan langsung
dengan aktivitas Amerika Serikat, yang telah melanggar prinsip kebiasaan
internasional dan Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara Amerika
Serikat dan Republik Nicaragua yang ditanda tangani pada tanggal 21 Januari
1956?

Putusan
Pada tanggal 27 Juni 1986, ICJ mengeluarkan putusannya.
1. Dengan hasil voting 11 berbanding 4, ICJ memutuskan untuk menerapkan
“multilateral treaty reservation” berdasarkan pada gugatan yang diajukan oleh
Republik Nicaragua
2. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa pembelaan diri
Amerika Serikat terhadap hubungannya dengan aktivitas militer dan paramiliter di
Nicaragua ditolak.
3. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar kebiasaan internasional terkait dengan tindakannya dalam
melatih, mempersenjatai, mendanai, dan memberikan persediaan kepada
kelompok militer dan paramiliter di Nicaragua.
4. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar kebiasaan internasional terkait dengan penyerangan di wilayah
Nicaragua pada tahun 1983-1984, yaitu penyerangan di wilayah Puerto Sandino
pada tanggal 13 September dan 14 Oktober 1983; penyerangan di Corinto pada
tanggal 10 Oktober 1983; penyerangan di Markas Angkatan Laut Potosi padang
tanggal 4/5 Januari 1984; penyerangan di San Juan del Sur pada tanggal 7 Maert
1984; penyerangan kapal patroli di Puerto Sandino pada tanggal 28 dan 30 Maret
1984; dan penyerangan di San Juan del Norte 9 April 1984.
5. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar kedaulatan Nicaragua terkait dengan penerbangan yang diatur
oleh Amerika Serikat yang melewati wilayah Nicaragua.
6. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar kebiasaan internasional terkait dengan pemasangan ranjau di
wilayah perairan teritorial Republik Nicaragua.
7. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar Pasal XIX dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation
antara Amerika Serikat dan Republik Nicaragua yang ditanda tangani pada
tanggal 21 Januari 1956 atas tindakannya terhadap penerbangan yang melintasi
wilayah Nicaragua.
8. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah gagal dalam memberitahukan keberadaan dari ranjau yang dipasangnya di
wilayah perairan Nicaragua.
9. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa pedoman yang
dipublikasikan Amerika Serikat pada tahun 1983 yang berjudul “Operaciones
sicologicas en guerra de guerrilas” yang diberikan kepada pasukan Contra,
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
10. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar objek dan tujuan dari Treaty of Friendship, Commerce and
Navigation antara kedua pihak tersebut yang ditandatangani di Managua pada
tanggal 21 January 1956 berkaitan dengan penyerangan di wilayah Nicaragua dan
embargo perdagangan dengan Nicaragua pada tanggal 1 Mei 1985.
11. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
telah melanggar Pasal XIX dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation
antara kedua pihak tersebut yang ditandatangani di Managua pada tanggal 21
January 1956 berkaitan dengan penyerangan di wilayah Nicaragua dan embargo
perdagangan di Nicaragua pada tanggal 1 Mei 1985.
12. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
harus bertanggung jawab untuk mencegah kerugian lebih lanjut atas pelanggaran-
pelanggarannya pada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi olehnya.
13. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
harus bertanggung jawab atas reparasi dari segala kerugian Republik Nicaragua
terkait dengan pelanggaran dari kebiasaan internasional yang berlaku.
14. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat
harus bertanggung jawab atas reparasi dari segala kerugian Republik Nicaragua
terkait dengan pelanggaran dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation
antara kedua pihak tersebut yang ditandatangani di Managua pada tahun 21
January 1956.
15. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan untuk menentukan bentuk
dan biaya reparasi yang dibutuhkan, apabila kedua pihak tersebut tidak mencapai
kesepakatan atas ganti rugi yang dilakukan.
16. ICJ menyarankan agar kedua belah pihak menyelesaikan permasalahan di antara
mereka dengan damai sesuai dengan hukum internasional.

Pertimbangan Putusan
1. Dalam pembelaan yang diberikan oleh Amerika Serikat, Amerika menyatakan
bahwa tindakannya dalam membantu aktivitas militer dan paramiliter ini semata-
mata demi kepentingan El Salvador, agar dapat terlindungi dari serangan
Nicaragua sehingga Amerika Serikat telah menerapkan hak untuk membela diri
dari serangan Nicaragua. Amerika Serikat juga menyatakan bahwa ICJ tidak
memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini.
2. ICJ menyatakan bahwa kasus ini tetap berada dalam yurisdiksi ICJ. Dikarenakan
ketentuan yang telah dilanggar oleh Amerika Serikat berjumlah lebih dari satu,
yaitu kebiasaan internasional dan Treaty of Friendship, Commerce and Navigation
antara kedua negara tersebut, maka prinsip “multilateral treaty reservation” dapat
diberlakukan.
3. ICJ juga menyatakan bahwa pendapat Amerika Serikat dalam memberikan batuan
terhadap aktivitas militer dan paramiliter di Nicaragua tidak berdasarkan pada
tindakan membela diri, sebab El Salvador tersebut tidak pernah memohon bantuan
dari Amerika Serikat.
4. Putusan yang dikeluarkan oleh ICJ ini semua berdasarkan pada pelanggaran dari
Amerika Serikat dalam menyediakan persenjataan dan pelatihan kepada pasukan
pemberontak di Nicaragua yang berkaitan dengan panduan peperangan yang
bernama Operaciones sicologicas en guerra de guerrillas. Ini merupakan bukti
adanya campur tangan dari Amerika Serikat dalam aktivitas militer dan
paramiliter di Nicaragua.
5. Adanya penyebaran Operaciones sicologicas en guerra de guerrillas dan
pemasangan ranjau di wilayah perairan di Nicaragua merupakan bukti bahwa
Amerikas Serikat telah melanggar kedaulatan dari Nicaragua dengan cara
mengganggu permasalahan dalam negeri dari negara yang bersangkutan.
Tindakan lainnya yang berupa penerbangan tanpa izin yang melintasi wilayah
Nicaragua, pemasangan ranjau di perairan Nicaragua, dan penambangan di
wilayah Nicaragua juga merupakan pelanggaran terhadap kebiasaan internasional
ini.
6. Adanya embargo perdagangan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap
Nicaragua juga merupakan bentuk pelanggan dari perjanjian yang telah mereka
bentuk sebelumnya, yaitu Treaty of Friendship, Commerce and Navigation yang
dibentuk pada tanggal 21 Januari 1956 di Managua.

Analisis Putusan
1. Dalam kasus ini dapat kita lihat bagaimana penerapan kebiasaan internasional dan
perjanjian imternasional dalam melindugi kepentingan dari suatu negara yang
telah dilanggar kepentingannya oleh negara lain yang merupakan anggota dari
perjanjian tersebut.
2. Pada dasarnya, dari seluruh putusan yang dikeluarkan oleh ICJ terhadap
pelanggaran Amerika Serikat yang berupa bantuan militer terhadap kelompok
pemberontak gerilya di Nicaragya, semuanya berdasarkan pada prinsip umum
yang berlaku dalam hukum internasional yang telah menjadi suatu kebiasaan
internsional, yaitu prinsip untuk tidak mengganggu kedaulatan dari negara lain.
3. Suatu negara tidak boleh turut campur dalam urusan dalam negeri dari negara
yang lain tanpa adanya dasar perbuatan yang jelas. Oleh karena itu, tindakan
Amerika Serikat ini merupakan pelanggaran dar prinsip tersebut terkait dengan
bantuannya terhadap aktivtitas militer dan paramiliter di Nicaragua, pemasangan
ranjau di perairan Nicaragua tanpa sepengetahuan Nicaragua itu sendiri,
pelanggaran perbatasan Nicaragua atas penerbangan yang diatur dan dilakukan
oleh Amerika Serikat, dan penambangan di wilayah Nicaragua.
4. Dikarenakan campur tangan Amerika Serikat tersebut Nicaragua telah mengalami
kerugia besar, sudah seharusnya bagi Amerika Serikat untuk bertanggung jawab
atas segala kerugian yang telah ditimbulkan diakibatkan adanya campur tangan
dari Amerika Serikat.
5. Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara Amerika Serikat dan
Republik Nicaragua yang ditanda tangani pada tanggal 21 Januari 1956 tersebut,
juga telah dilanggar oleh Amerika Serikat terkait dengan tindakannya di dalam
pemerintahan Nicaragua. Dikarenakan Amerika Serikat telah melanggar dua
ketentuan yang mengikat dirinya dengan Nicaragua, yaitu kebiasaaninternasional
dan Treaty of Friendship, Commerce and Navigation, maka kedua ketentuan
terssebut dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh
Nicaragua ini.

Sumber-Sumber
 Nicaragua v. United States of America, International Court of Justice, June 27,
1986, Merits. http://lawofwar.org/. Diakses pada tanggal 25 April 2009.
 Nicaragua v. United States. http://en.wikipedia.org/. Diakses pada tanggal 24
April 2009

Anda mungkin juga menyukai