Anda di halaman 1dari 6

Terkait dengan kasus posisi antara Jerman, Belanda dan Denmark pada pokoknya

mahkamah ICJ mengeluarkan putusan yang pada intinya memuat bahwa penggunaan dari
asas equidistance tidaklah dapat diterapkan dalam kasus ini sehingga kewajiban delimitasi
terkait dengan batas landas kontinen dari wilayah laut utara tidaklah diwajibkan dan
mahkamah ICJ menyarankan untuk dilakukannya perundingan kembali antara 3 negara
tersebut.1 Terkait dengan hal ini Mahkamah ICJ mendasarkan keputusan tersebut didasarkan
pada beberapa alasan yakni;

Pertama, mengenai Metode delimitasi yang melekat dalam konsep hak landas
kontinen itu sendiri.Terkait dengan hal ini Negara Jerman menyatakan konsep dari hak landas
kontinen itu sendiri merpakan suatu hal yang integral dan tidak dapat dilakukan secara
pembagian yang menyeluruh antar negara melalui suatu Tindakan hukum dikarenakan landas
kontinen menyangkut dengan hak kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara yang
mempunyai wilayah atas pantai dan laut sehingga tidaklah diperlukan suatu prosedur yang
mengikat atas pembagiannya sebagaimana terdapat juga sebagai aturan dasar dari landas
kontinen yang terdapat dalam pasal 2 Konvensi Jenewa 1958.2 Mahkamah ICJ dalam hal ini
berpendapat bahwa delimitasi atas dasar kesetaraan menggabungkan landas kontinen tidaklah
menjadi suatu prinsip yang satu-satunya harus dilakukan terutama terhadap negara yang
mempunyai pantai yang berdekatan.

Adapun, kemudian Mahkamah ICJ melakukan penolakan terkait dengan Prinsip


Equidistance yang diajukan oleh Negara Belanda dan Denmark didasarkan dalam pasal 6
Konvensi Jenewa 1958 yang mengatur tentang Landas Kontinen yakni :3

“Where the same continental shelf is adjacent to the territories of two adjacent
States, the boundary of the continental shelf shall be determined by agreement between them.
In the absence of agreement, and unless another boundary line is justified by special
circumstances, the boundary shall be determined by application of the principle of
equidistance from the nearest points of the baselines from which the breadth of the territorial
sea of each State is measured”

1
International Court of Justice (ICJ), Analysis of North Sea Continental Shelf Cases (Federal Republic
of Germany v. Denmark; Federal Republic of Germany v. Netherlands) , 20 February 1969, available at:
https://www.refworld.org/docid/4023a4c04.html [accessed 4 December 2022]
2
Malcolm Evans, Relevant Circumstances and Maritime Delimitation (Oxford, Clarendon Press, 1989)
124; Prosper Weil, The Law of Maritime Delimitation Reflections (Maureen MacGlashan tr, Cambridge,
Grotius Publications, 1989) 246
3
International Court of Justice (ICJ), Analysis of North Sea Continental Shelf Cases…, Hlm 50
Yang pada intinya menyatakan bahwa untuk melaksanakan prinisip tersebut maka haruslah
ada perjanjian yang mengikat antara negara tersebut, dalam hal ini Mahkamah ICJ juga
menegaskan terdapat tiga hal yang dapat dilakukan agar dapat dilaksanakannya suatu
delimitasi yakni:4

1. Para pihak berkewajiban untuk mengadakan negosiasi dengan maksud untuk


mencapai kesepakatan dan tidak hanya melalui proses negosiasi formal sebagai
semacam kondisi sebelumnya untuk penerapan otomatis metode pembatasan tertentu
tanpa adanya kesepakatan; mereka berada di bawah kewajiban untuk melakukan
sendiri bahwa negosiasi itu bermakna, yang tidak akan terjadi ketika salah satu dari
mereka bersikeras pada posisinya sendiri tanpa merenungkan modifikasi apa pun
darinya;
2. Para pihak berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa sehingga, dalam kasus
tertentu, dan dengan mempertimbangkan semua keadaan, prinsip-prinsip yang adil
diterapkan - untuk tujuan ini metode equidistance dapat digunakan, tetapi metode lain
ada dan dapat digunakan, sendiri atau dalam kombinasi, sesuai dengan bidang yang
terlibat;
3. Landas kontinen dari Negara mana pun harus merupakan perpanjangan alami dari
wilayah tanahnya dan tidak boleh melanggar apa yang merupakan perpanjangan alami
dari wilayah Negara lain.

Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melaksanakan prinsip yang dianut
oleh konvensi Jenewa terkait dengan delimitasi yang ingin dilakukan tidaklah harus
didasarkan oleh suatu Special Circumstances yang menyebabkan mahkamah ICJ menyatakan
bahwa Negara Jerman haruslah terlebih dahulu meratifikasi dari Konvensi Jenewa tersebut,
sehingga hal ini menyebabkan ketidakterikatan Jerman terhadap ketentuan dari Konvensi
Jenewa. Lebih lanjut Mahkamah ICJ juga mempertimbangkan walaupun Jerman melakukan
ratifikasi, Jerman tetap mempunyai pilihan apakah ingin menjadi pihak yang tunduk pada
Pasal 6 konvensi Jenewa tersebut atau tidak hal ini juga dapat dilihat dari Pertimbangan
Mahkamah ICJ yang menyatakan bahwa:5

4
Mansur Armin Bin Al, “Legal Analysis Of The International Court Of Justice 1969 Decision
Concerning Continental Shelf Of The North Sea Between West Germany, Denmark, And The Netherlands,
International Journal of Global Community Volume II No.3 (November) 2019, hal 25
5
International Court of Justice (ICJ), Analysis of North Sea Continental Shelf Cases…, Hlm 62
“As regards these contentions, it is clear that only a very definite, very consistent
course of conduct on the part of a State in the situation of the Federal Republic could justify
the Court in upholding them; and,if this had existed”

Sehingga, Mahkamah ICJ berpendapat bahwa perjanjian yang diterapkan dalam


konvensi itu sendiri memungkinkan negara-negara untuk menyesuaikan kewajiban mereka
melalui reservasi terhadap ketentuan yang dimaksud, namun Jerman lebih memilih untuk
menahan diri dari meratifikasi perjanjian sama sekali.Maka dari itu, Mahkamah ICJ
berpendapat bahwa Negara Jerman tidak melakukan suatu pelanggaran terhadap kewajiban
yang terdapat dalam konvensi tersebut mengingat definisi dan kondisi terkait dengan
pengajuan Negara Belanda dan Negara Denmark berdasarkan doktrin Estoppel.6 Dalam hal
ini, Mahkamah ICJ juga berpendapat bahwa penerimaan yang jelas dan konsisten terhadap
aturan perjanjian oleh Jerman adalah elemen yang diperlukan tetapi tidak cukup. Negara
Denmark dan Belanda juga harus menunjukkan bahwa mereka dibujuk untuk mengubah
posisi mereka secara merugikan atau menderita prasangka, yang dalam hal ini mereka tidak
dapat membuktikannya.

Kemudian, terkait dengan pendapat Negara Belanda dan juga Negara Denmark yang
menetapkan bahwa prinsip Equidistance haruslah diakui sebagai hukum kebiasaan
Internasional, kedua negara tersebut menyatakan bahwa konvensi Jenewa sendiri telah secara
tidak langsung diterapkan secara kumulatif oleh badan-badan internasional sehingga
menciptakan suatu kebutuhan akan Opinio Juris.7Lebih lanjut, kedua negara tersebut juga
berpendapat bahwa bahwa prinsip equidistance juga melekat dalam konsep hukum landas
kontinen itu sendiri, karena konsep ini didasarkan pada kelengkapan eksklusif dari landas
kontinen ke Negara pantai terdekat yang mensyarakatkan dilakukannya "Closer Proximity"
yang hanya dapat dipenuhi dengan menggunakan metode equidistance. Sehingga, dalam hal
ini Mahkamah ICJ berpendapat bahwa apabila prinisip ini ingin diberlakukan sebagai suatu
Customary Law maka haruslah dilihat Kembali pada saat penetapan dari Konvensi Jenewa
1958 yang menurut mahkamah ICJ yakni:8

“for speaking generally, it is a characteristic of purely conventional rules and obligations


that, in regard to them, some faculty of making unilateral reservations may, within certain
limits, be admitted; whereas this cannot be so in the case of general or customary law rules
6
Ibid
7
Nikiforos Panagis dan Antonios Tzanakopoulos, The North Sea Continental Shelf Cases: Landmark
or High Watermark, International Journal of Marine and Coastal Law 36 (April) 2015, hal 22
8
International Court of Justice (ICJ), Analysis of North Sea Continental Shelf Cases…, Hlm 40
and obligations which, by their very nature, must have equal force for all members of the
international community, and cannot therefore be the subject of any right of unilateral
exclusion exercisable at will by any one of them”

Yang pada intinya memuat bahwa dalam setiap konvensi yang diadakan mempunyai
karakteristik murni yang menekankan adanya kepentingan sepihak dari masing-masing
negara sehingga hal ini menyebabkan ketimpangan terhadap negara-negara yang mempunyai
kekuatan yang lebih lemah dari negara lain. Sehingga, secara tidak langsung setiap aturan
dari konvensi tidaklah dapat diterapkan sebagai hukum kebiasaan international dan hal ini
juga berlaku bagi Konvensi Jenewa 1958. Adapun, untuk menguatkan hal ini Mahkamah ICJ
juga mempertimbangkan untuk suatu prinsip dapat dijadikan sebagai hukum kebiasaan
internasional haruslah mengacu pada tiga cara di mana ketentuan perjanjian itu bisa dijadikan
sebagai cerminan hukum kebiasaan. Pertama, aturan hukum internasional adat dengan konten
yang sama mungkin telah mendahului Konvensi 1958, dan negara-negara hanya menuliskan
aturan tersebut dalam Konvensi (kodifikasi). Kedua, aturan itu mungkin muncul oleh dan
melalui proses penyusunan Konvensi 1958. Dengan kata lain, proses penyusunan Konvensi
mungkin telah mengkristalisasi aturan adat (kristalisasi).Ketiga, aturan dan prinsip tersebut
telah muncul dalam terang praktik negara setelah Konvensi, yaitu aturan Konvensi mungkin
telah berfungsi sebagai dasar untuk pengembangan aturan adat baru dalam citra aturan
Konvensi (pengembangan).9 Sehingga, Opsi pertama (yang tidak didukung secara aktif oleh
Denmark dan Belanda) secara ringkas diberhentikan oleh Pengadilan.Adapun, Mahkamah
ICJ kemudian menemukan bahwa aturan adat tidak muncul melalui proses penyusunan
Konvensi Jenewa 1958, yang juga dikonsolidasikan melalui karya-karya Konferensi Jenewa
dan reaksi negara-negara terhadap proposal penyusunan Komisi Hukum
Internasional.Adapun, Metode delimitasi yang dimaksud juga dimasukkan secara
eksperimental dan tentu saja atas dasar opsional (Konvensi mengizinkan negara-negara untuk
memilih keluar dari metode itu melalui reservasi), yang menunjukkan bahwa tidak mungkin
ada aturan setara wajib dari hukum kebiasaan Internasional.10

Mahkamah ICJ juga menganalisis apakah ketentuan pasal 6 telah disahkan menjadi
hukum internasional adat sejak adopsi Konvensi Jenewa 1958. Adapun, aturan konvensional
yang dimaksud harus memiliki karakter yang menciptakan norma secara fundamental.Tetapi
prinsip kesetaraan seperti yang tercantum dalam pasal 6 tidak memiliki fakta bahwa
9
Foighel, Isi. "The North Sea Continental Shelf Case." Nordic Journal of International Law 39, no. 1-4
(1969): 109-127.
10
Ibid
penggunaannya disubordinasikan dengan opsi perjanjian yang berbeda oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, fakta bahwa itu ditambah dengan gagasan yang tidak jelas tentang Special
Circumstances, dan fakta bahwa itu dapat dihindari oleh negara melalui reservasi yang
mengutamakan pada kepentingan negara masing-masing. Lebih penting lagi, Mahkamah ICJ
juga tidak puas bahwa dua elemen untuk pembentukan adat hadir. Sehubungan dengan
praktik, Mahkamah menganggap bahwa itu tidak dapat menarik kesimpulan dari praktik
negara-negara yang atau segera menjadi pihak dalam Konvensi 1958, karena praktik mereka
dibenarkan oleh operasi aturan konvensional. Demikian pula, pembatasan landasan
kontinental antara negara-negara yang berlawanan (yaitu melalui penggunaan garis median)
dianggap tidak relevan untuk tujuan menetapkan status hukum garis kesetaraan (lateral)
antara negara-negara yang berdekatan.11 Mengenai unsur subjektif untuk penentuan aturan
hukum kebiasaan internasional, Mahkamah ICJ tidak berhasil mencari bukti yang
menyatakan, ketika setuju untuk menarik batas-batas atas dasar prinsip equidistance,
dikarenakan negara diasumsikan 'merasa' dipaksa untuk melakukannya sesuai dengan
beberapa kewajiban hukum, daripada dimotivasi oleh faktor-faktor lain.12

Mahkamah ICJ juga menilai bahwa metode delimitasi apapun yang diterapkan
hasilnya haruslah adil. Sehingga, hal ini tidak berarti bahwa kesetaraan menyiratkan
kesetaraan lebih dari itu berarti bahwa alam dapat sepenuhnya direfleksikan. Meskipun garis
pantai Laut Utara dari ketiga Negara memiliki panjang yang sama, fakta kemungkinan
cekung di pantai Jerman akan memberikan rasa ketidakadilan pada prinsip equidistance, dan
menghilangkan Republik Federal dari "kesetaraan semu" tersebut.13 Mahkamah ICJ
berpendapat bahwa unsur-unsur faktual seperti konfigurasi garis pantai, panjang garis pantai
dan kesatuan endapan mineral harus diperhitungkan. Lebih lanjut, Mahkamah ICJ juga
mengambil pertimbangan dari beberapa contoh delimitasi maritim oleh beberapa Negara
yang telah menggunakan prinsip equidistance, Mahkamah ICJ menyimpulkan bahwa Negara-
negara ini umumnya tidak menganggap bahwa mereka menerapkan aturan wajib hukum
kebiasaan internasional Mahkamah juga menolak setiap upaya untuk mendorong aturan
kesetaraan yang mengikat dari pembatasan danau dan sungai, dari pembatasan jarak yang
sama dari perairan teritorial yang berdekatan di mana efek distorsi dari aturan tersebut kurang
jelas, dan dari pembatasan garis median antara Negara-negara yang berlawanan. Mahkamah

11
Nelson, L. D. M. "The North Sea Continental Shelf Cases and Law-Making Conventions." The
Modern Law Review 35, no. 1 (1972): 52-56.
12
Ibid.
13
Ibid
mempertimbangkan bahwa, dalam beberapa keadaan, tumpang tindih wilayah landas
kontinen dimungkinkan yang dinyatakan dalam pernyataan sebagai berikut :14

“The Court considers that such a situation must be accepted as a given fact and
resolved either by an agreed, or failing that by an equal division of the overlapping areas, or
by agreements for joint exploitation, the latter solution appearing particularly appropriate
when it is a question of preserving the unity of a deposit.”

Mahkamah ICJ juga merujuk pada 'aturan' yang mensyaratkan penerapan prinsip-
prinsip yang adil, dan bahkan untuk 'opinio juris' negara-negara dalam hal itu, sehingga dapat
dianggap bahwa aturan ini, yang tidak jelas apa adanya, adalah salah satu hukum yang juga
diakui dalam hukum kebiasaan Internasional dan meskipun referensinya juga pada prinsip-
prinsip hukum yang dapat menyebabkan bertabarakan prinsip-prinsip umum berdasarkan
Pasal 38 (1) (c) Statuta ICJ.Maka dari itu juga, dengan pertimbangan yang diberikan oleh
Mahkamah ICJ merumuskan 3 hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menyelesaikan
konflik antar 3 negara tersebut yakni:15

1. Prinsip garis equidistance untuk delimitasi landas kontinen bukanlah kewajiban


untuk diterima oleh para pihak yang bersengketa.
2. Mahkamah ICJ berpendapat bahwa tidak ada prinsip yang diterima oleh negara-
negara dalam hal ini yaitu praktik mengenail Delimitasi Maritim Landas
Kontinen, sehingga Pengadilan tidak menerapkan prinsip apapun mengenai
Delimitasi Landas Kontinen
3. Metode delimitasi yang diterapkan dalam sengketa landas kontinen hanya
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dalam negosiasi antara negara-negara
yang bersengketa berdasarkan prinsip yang adil.

Mengenai negosiasi landas kontinen, Mahkamah ICJ juga menambahkan bahwa


negara-negara haruslah memperhatikan faktor bentuk pantai, komposisi geografis dan
geologis landas kontinen dan sumber daya alam di wilayah landas kontinen.

14
International Court of Justice (ICJ), Analysis of North Sea Continental Shelf Cases…, Hlm 50
15
Nikiforos Panagis dan Antonios Tzanakopoulos, The North Sea …, hal 22

Anda mungkin juga menyukai