Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM LAUT

Inventaris Hak dan Kewajiban Negara diseluruh Jalur Laut

Nama : Muhammad Nur Mufid


NPM : B1A019405
Dosen Pengampu : Tri Andika, S.H., M.H.
A. Latar Belakang

Batas dibedakan dalam dua hal utama, yaitu fungsi batas, dan bentuk batas
(fisik). Batas secara fungsional merupakan manifestasi daripada suatu sistem yang
berkaitan dengan adanya diferensiasi antara hak dan kewajiban dalam suatu tatanan
lingkungan. Diferensiasi hak dan kewajiban tersebut dapat bersumber dari adanya
berbagai pengelompokan sosial seperti kultur, demografi, bahasa, agama, hukum,
politik, adat, tradisi, administrasi, yurisdiksi, dan seterusnya. Pada dasarnya yang
menjadi objek dalam tatanan lingkungan yang menimbulkan perbedaan hak dan
kewajiban adalah wilayah. Secara fungsional, pada umumnya garis batas dimaksudkan
untuk memisahkan beberapa hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat
ataupun negara atas suatu wilayah. Garis batas merupakan identifikasi adanya hak dan
kewajiban itu.

Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan hukum


kelompok sosial masyarakat (adat) dengan wilayahnya, seperti misalnya lingkungan
masyarakat hukum adat. Di laut tidak dikenal batas berkaitan dengan hak-hak hukum
adat, meskipun hak-hak tradisional menangkap ikan itu ada. Hal tersebut disebabkan
karena selain batas konkrit tidak pernah jelas, juga tidak pernah sesuai dengan batas
yang di klaim masyarakat adat lainnya. Hak-hak tradisional diperairan negara lain yang
kemudian melibatkan hak dan kewajiban negara itu dapat diterima sebagai hak-hak
tradisional yang sah oleh negara tersebut, akan tetapi lingkungannya diberi batas-batas
serta ketentuan-ketentuan lainnya yang membatasi hak-hak tradisional tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat pada kedua perjanjian RI-Australia Tahun 1974 di laut Timor dan
RI-Malaysia Tahun 1983 di laut Natuna.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemberian batas dapat terjadi untuk hal-hal yang
elementer, seperti pemberian batas yang dapat dilakukan sendiri, tanpa bantuan subjek
hukum lain, sampai penetapan batas yang harus dilakukan bersama-sama dengan pihak
lain, melalui kesepakatan karena batas tersebut merupakan batas yang menimbulkan
akibat hukum bagi kedua belah pihak. Batas yang memerlukan kesepakatan dari pihak
lain, mempunyai fungsi sebagai milik bersama atau “res communis”. Negara merupakan
suatu entitas politik yang diakui keberadaannya oleh hukum internasional. Diluar
wilayah suatu negara, dapat berupa wilayah negara lain, ataupun wilayah entitas
lembaga masyarakat internasional.

Mengapa negara wajib memiliki wilayah yang jelas dan wajib memenuhi
kepentingan internasional. Pengertian “negara” secara umum, pada awalnya terdapat
dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak dan kewajiban negara, yang
menyebutkan beberapa unsur daripada suatu negara sebagai subjek hukum
Internasional (characteristic of State as a person of International Law) :

a. permanent population;
b. a defined territory;
c. a Government; and
d. a capacity to enter into relations with other States.

B. Penjelasan

1. Undang-Undang Dasar 1945


Ketentuan Pasal 25A UUD 1945 (Bab XIX A) tersebut tentunya merupakan
seluruh wilayah negara berupa daratan dan perairan diantara pulau-pulau. Akan
tetapi wilayah negara di perairan ternyata tunduk pada ketentuan konvensi
Hukum laut tahun 1982, sedangkan daratan dan perairan edalaman tidak tunduk
pada ketentuan Konvensi tersebut. Bagian wilayah negara yang tidak tunduk
pada ketentuan Konvensi merupakan wilayah negara yang orisinalnya
merupakan Wilayah Negara Proklamasi, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
UUD 1945 yang kini setelah diamandemen pada tahun 2002 sistematikanya
berada dalam struktur Bab XIX tentang Kehakiman. Kiranya menjadi persoalan
mengapa ketentuan UUD 1945 yang mengatur kewilayahan tidak diletakkan saja
dalam sistematika aslinya yaitu Bab VI tentang Pemerintahan Daerah.
2. Konvensi Hukum Laut
Konvensi hukum laut tahun 1982, yang selanjutnya disebut Konvensi
Hukla, merupakan konvensi internasional (multilateral) yang pesertanya terdiri
antara lain dari Negara, Entitas pemerintahan sendiri, dan Organisasi
Internasional sesuai ketentuan Art.1 Annex IX. Pasal 1 ayat (5) Undang-undang
No.37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menyebutkan : Organisasi
Internasional adalah organisasi antar pemerintah.
Konvensi Hukla tersebut mengikat Indonesia secara sah berdasarkan UU
No.17 tahun 1985, dan mulai berlaku sejak November tahun 1994 (Art.308
Unclos). Pada dasarnya peserta konvensi tersebut adalah Negara. Pengertian
“negara peserta” dalam konvensi multilateral ini terdapat dalam Art.1 paragraph
(2) Konvensi 1982, sebagaimana terlihat dalam uraian dibawah.
Definisi mengenai “negara peserta” juga terdapat dalam Konvensi tentang
Perjanjian Internasional tahun 1969 (Law of the Treaties, 1969), meskipun
konvensi tentang perjanjian internasional ini hanya dimaksudkan untuk
perjanjian yang dibuat antar negara. Pengertian “negara” secara umum, pada
awalnya terdapat dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak dan
kewajiban negara, yang menyebutkan beberapa unsur daripada suatu negara
sebagai subjek hukum Internasional (characteristic of State as a person of
International Law) : a) permanent population; b) a defined territory; c) a
Government; and d) a capacity to enter into relations with other States.
Pengertian mengenai negara sangatlah luas tergantung dari sudut mana
pengertian tersebut akan ditinjau.
Dari ke-empat unsur yang disebut oleh konvensi tersebut diatas, yang
banyak terkait dengan pelaksanaan konvensi adalah unsur ke-dua, yaitu “a
defined territory”, karena “defined territory” ini memerlukan kejelasan dan
kepastian hukum. Dalam Pasal 2 (1) Konvensi Hukla terlihat bahwa setiap negara
memiliki “land territory” dan “internal waters”. Konvensi Hukla 1982 ini telah
menjawab sebagian daripada unsur ke-dua, khususnya tentang bagaimana suatu
negara menetapkan “defined territory” di laut, yang berbatasan dengan laut
territorial. Penetapan “defined territory” serta status hukumnya yang terkait
dengan udara diatasnya, selain terdapat dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago
tentang Civil Aviation tahun 1944, juga diatur “kembali” tatanannya dalam
Konvensi Hukla 1982 ini.
Dapat dikatakan bahwa hak-hak dan kewajiban negara di laut, khususnya
yang berkaitan dengan kewilayahan negara, tumbuh secara stabil sejak
Konperensi Kodifikasi hukum laut di Den Haag tahun 1930, dimana Law
Commission mencatat bahwa prosedur tehnis mengenai penetapan laut teritorial
oleh banyak negara memiliki kesamaan pandangan. Kesamaan pandangan
mengenai prosedur tehnis penetapan laut teritorial masingmasing negara
tersebut, kemudian telah banyak dipakai oleh Mahkamah Internasional dalam
menyelesaikan sengketa “wilayah perikanan” antara Inggris dan Norwegia.
Bahkan Mahkamah telah membuat Putusan bersejarah yang kemudian
dikodifikasikan dalam Konvensi Genewa tahun 1958 mengenai “territorial sea and
contiguouse zone”.
3. Peraturan Perundangan Fungsional Dalam Penetapan Batas Wilayah.
a. Hukum Nasional
UU Nomor 32 Tahun 2004 : Peraturan kewilayahan dibidang hukum publik
misalnya adalah peraturan tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan
tentang pemerintahan daerah di Indonesia yang dimulai semenjak
pemerintahan ex Hindia Belanda adalah : Desentralisasi Wet 1903,
Bestuur Hervormings Wet 1922, UU 22/1948, UU 1/1957, UU 18/1965, UU
5/1974, UU 22/1999, dan UU 32/2004.

UU Nomor 5 Tahun 1960 : Peraturan lain yang juga mengatur prinsip-


prinsip penetapan batas wilayah adalah UU No.5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria serta pelaksanaannya oleh PP No.24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 4 ayat (1) UU 5/1960 tersebut
menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orangorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Untuk menjamin kepastian
hukum atas hak-hak tersebut selanjutnya dilakukan pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah tersebut dimaksudkan untuk menetapkan lokasi dan
batas-batas hak, melalui pengukuran pemetaan serta pembukuan.
Pengukuran dan pemetaan untuk hak-hak atas tanah tersebut merupakan
pekerjaanpekerjaan fungsional, artinya tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepada institusi lain.

UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan


Peraturan lain yang juga mengatur masalah penetapan batas wilayah
adalah UU 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan serta
peraturan pelaksanaannya oleh PP 32/1969. Pasal 15 ayat (2)
undangundang tersebut menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan
tentang isi, wewenang, luas wilayah dan syarat-syaratnya kuasa
pertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan
galian baik langsung oleh Pemerintah maupun dalam rangka pemberian
kuasa pertambangan, diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dalam
penetapan luas wilayah sebagai syarat untuk memperoleh Kuasa
Pertambangan harus dilakukan pengukuran dan pemetaan untuk
menentukan kawasan dengan karakteristik geologis tertentu, wewenang
serta hak dan kewajiban. Pengukuran, dan pemetaan yang terkait dengan
kualifikasi bahan galian, serta hak-hak dan kewajiban pemegang kuasa
pertambangan merupakan pekerjaan yang sifatnya fungsional, artinya
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada institusi lain.

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Peraturan lain yang juga


memuat masalah penetapan batas wilayah adalah UU 41/1999 tentang
Kehutanan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 14 tentang pengukuhan
kawasan hutan agar diperoleh kepastian hukum, kawasan hutan tersebut
memerlukan penataan batas, dan pemetaan. Tanggung jawab
pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang memiliki kriteria tehnis di
bidang kehutanan merupakan tugas fungsional Departemen Kehutanan.
UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Peraturan lain yang
berkaitan dengan masalah penetapan batas wilayah di laut, adalah UU
21/1992 tentang Pelayaran, serta peraturan pelaksanaannya oleh PP
81/2000 tentang Kenavigasian. Penetapan batasbatas wilayah dilaut
memiliki karakteristik yang berbeda dengan penetapan batas-batas
wilayah di darat. Pada dasarnya cara penetapan batas-batas didarat,
bentuknya dan pengorganisasiannya berbeda dengan penetapan batas di
laut. Batas didarat dapat dilihat secara visual, sehingga pengawasannya
terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban di perbatasan darat yang
mempergunakan fasilitas transportasi darat dapat dilakukan dengan
mudah. Cara penetapan batas-batas wilayah dilaut harus dipergunakan
peralatan, perlengkapan kapal dan pengorganisasian kelautan.

UU Nomer 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


Ketentuan dalam KUHPidana yang berkaitan dengan batas-batas wilayah
Negara hanyalah ketentuan tentang berlakunya hukum pidana Indonesia
bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang dapat dihukum di
dalam wilayah Indonesia (Pasal 2). Pelanggaran terhadap batas-batas
wilayah Negara pada umumnya diatur dalam berbagai undang-undang
sektoral, yang mengatur hak dan kewajiban yang wajib dilaksanakan
didalam wilayah-wilayah tersebut.

b. Hukum Internasional
Sumber hukum mengenai prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan
fungsi institusional dan berbagai bentuk persoalan tehnis garis batas yang
menimbulkan hak dan kewajiban dalam pemanfaatan, pengelolaan dan
pembinaan, wilayah, perairan atau udara diatasnya juga terdapat dalam
berbagai produk Hukum Internasional seperti :
 Putusan Mahkamah Internasional tentang sengketa perikanan
antara Inggris dan Norwegia Tahun 1951 : “International Court of
Justice, Norwegian Fisheries Case : Judgement of 18 December
1951”
 Konvensi Geneva Tahun 1958 : “Convention on the Territorial Sea
and the Contiguous Zone”.
 Konvensi PBB tentang Hukum laut Tahun 1982 : “United Nations
Convention on the law of the sea” serta Referensi mengenai
pelaksanaan ketentuan tentang Baselines yang disiapkan oleh PBB,
dalam pertemuan para experts on Baselines dari 20 Negara :
“Baselines : An Examination of The Relevant Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea”.
 Perjanjian-perjanjian perbatasan wilayah teritorial antara Indonesia
dengan Malaysia di Kalimantan, dan Selat Malaka, dengan
Singapura di Selat Singapura, dan dengan Papua New Guinea.

C. Kesimpulan

Ketentuan-ketentuan hukum yang memuat azas-azas mengenai penetapan batas


wilayah yang menimbulkan hak dan kewajiban kewilayahan bersumber dari hukum
nasional. Sedangkan ketentuan hukum yang memuat azas-azas mengenai penetapan
batas wilayah Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban kenegaraan pada
umumnya bersumber dari berbagai produk hukum Internasional.

Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah Negara di darat pada dasarnya


bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum Kemerdekaan, yang berlaku
bagi Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip peralihan kekuasaan atau “Succession of
State”.

Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah Negara di laut yang


berhadapan dengan wilayah entitas internasional, bersumber dari Konvensi Hukum Laut
Tahun 1982. Garis pangkal laut teritorial terbentuk berdasarkan kriteria objektif (low
water line) dan kriteria subjektif (straight Baseline ataupun Archipelagic Straight
Baseline). Bentuk-bentuk garis pangkal untuk menetapkan batas-batas wilayah teritorial
Negara dengan Laut Teritorial ataupun dengan Perairan Pedalaman atau Perairan
Kepulauan merupakan produk hukum internasional yang tumbuhnya rasional,
berdasarkan prinsip keadilan yang universal, dan evolusif, sejak konperensi kodifikasi
hukum laut tahun 1930 di Den Haag. Claim-claim wilayah di perairan yang mengundang
rasa ketidak adilan masyarakat Internasional, telah dieliminir oleh Konvensi.

Anda mungkin juga menyukai