Anda di halaman 1dari 2

Dalam Bahasa konsep mengenai lembaga negara disebut dengan staatsorgan.

Dalam
Bahasa Indonesia disebut dengan lembaga negara, badan negara, atau organ negara. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “lembaga” diartikan sebagai asal mula atau bakal
(yang akan menjadi sesuatu), bentuk asli (rupa, wujud), acuan, ikatan, badan atau organisasi
yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha, dan pola perilaku
yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang terstruktur.12
Menurut Montesquieu, pembagian kekuasaan negara dibedakan menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.2 Esensinya adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan oleh penguasa atas dasar kekuasaan, dengan harapan hak-hak asasi warga negara
lebih terjamin. Hak-hak warga negara dapat terjamin jika fungsi-sungsi kekuasaan tidak
dipegang oleh satu orang atau badan, akan tetapi dibagi kepada beberapa badan terpisah menurut
tugas dan wewenangnya.
Pada perkembangannya, bentuk-bentuk lembaga negara berkembang pesat, sehingga
doktrin trias politica terkadang tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan, mengingat tidak
mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Ada pula lembaga yang disebut dengan lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan
nondepartemen, atau lembaga negara saja. Berdasarkan fungsinya, lembaga negara dibagi
menjadi lembaga ketatanegaraan (alat kelengkapan negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif), lembaga dengan fungsi administrasi (KPU), Ad Hoc (KPK), dan
pendukung/auxiliary untuk mendukung ketatanegaraan (KY). Ada yang dibentuk berdasarkan
atau diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, dan ada pula yang dibentuk dan dapat
kekuasannya dari Keputusan Presiden. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD
merupakan organ konstitusi. Sedangkan yang dibentuk oleh UU merupakan organ UU.
Menurut John Alder, beberapa lemaga disebut nationalized industries atau public
corporation yang disebut Quangos (quasi-autonomus non-government bodies). Namun secara
umum, Alder menyebut sebagai Non-departement bodies, public agencies, commissions, board,
dan authorities.3 Maka dari itu, lembaga-lembaga tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a
quasi governmental world of appointed bodies dan bersifat non departmental agencies, single
purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi dan semi pemerintahan,
dan diberi fungsi tunggal dan kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai

1
Jimly Asshidique, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2004), (Editor Refly Harun, dkk), hlm. 60-61.
2
Jimly Asshidique, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kemaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 34
3
John Adler, 1989, Constitutions and Administrative Law, London, The Macmillan Press LTD, hlm. 232
pengatur, tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif. 4 Maka dari
itu, lembaga-lembaga yang disebut selain auxiliary state’s organ juga disebut sebagai self
regulatory agencies, independent supervisory bodies atau lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi campuran (mix fungsion).5
Menurut Muchlis Hamdi, setiap negara akan memiliki lembaga-lembaga untuk
melaksanakan fungsinya, yaitu mewujudkan tujuan negara. 6 Sri Soemantri mengatakan bahwa
tujuan negara dewasa ini semakin kompleks. Untuk dapat mencapai tujuan utama tersebut, tidak
hanya dapat dicapai dengan lembaga negara utama (Main State’s Organ), tetapi diperlukan juga
lembaga-lembaga penunjang (Auxiliary State’s Organ).
Menurut Muchlis Hamdi, hampir seluruh negara di dunia memiliki lembaga negara yang
dapat disebut dengan “auxiliary state’s bodies”. Lembaga ini pada umumnya berfungsi
mendukung lembaga negara utama. Auxiliary state’s organ dapat dientuk dari fungsi lembaga
negara utama yang secara teori menjalankan tiga fungsi, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pembentukan organisasi pendukung adalah dalam rangka menjalankan efektivitas pelaksanaan
kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Menurut Andi Mallarangeng, keberadaan lembaga penunjang atau auxiliary organ adalah
jawaban alamiah dari proses ketatanegaraan modern terhadap struktur trias politica. Dalam
perkembangan bernegara tidak cukup hanya lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini
disebabkan karena minimnya mekanisme akuntabilitas horizontal antar lembaga tersebut.
Auxiliary state’s bodies merupakan bagian dari struktur ketatanegaraan. Lembaga negara
pembantu dapat berupa bagian dari fungsi-fungsi kekuasaan negara yang ada (legislatif,
eksekutif, yudikatif). Komisi Yudisial merupakan lembaga penunjang dalam fungsi yudikatif.
Sifat kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga pembantu dapat berbentuk quasi atau semi
pemerintahan, dan dapat diberi fungsi tunggal atau campuran, seperti di satu pihak mengatur,
tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif. Dan ciri yang terakhir
dari auxiliary state’s organ adalah sumber hukum pembentukannya dapat bersumber dari
konstitusi dan undang-undang.

4
Jimly Asshidique, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 314
5
Ibid
6
Muchlis Hamdi, “State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara,” Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum
“Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan” Departemen Hukum dan HAM RI, Badan
Pembinaan Hukum Nasional bekejasama dengan Fakultas Hukum

Anda mungkin juga menyukai