Anda di halaman 1dari 105

i

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI


ROHINGYA DI ACEH DITINJAU DARI HUKUM
PENGUNGSI INTERNASIONAL

OLEH
NI KADEK AYU SURYANI
NIM 1514101005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2019
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI
ROHINGYA DI ACEH DITINJAU DARI HUKUM
PENGUNGSI INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada
Universitas Pendidikan Ganesha
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Program Sarjana Hukum

Oleh
Ni Kadek Ayu Suryani
NIM 1514101005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2019
SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS


DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK
MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M. Ratna Artha Windari, S.H., M.H.
NIP. 19841227 200912 1 007 NIP. 19831215 200812 2 003
Skripsi oleh Ni Kadek Ayu Suryani ini
telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada tanggal 12 Februari 2018

Dewan Penguji 1,

Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M. (Ketua)


NIP. 19841227 200912 1 007

Dewan Penguji 2,

Ratna Artha Windari, S.H., M.H. (Anggota)


NIP. 19831215 200812 2 003

Dewan Penguji 3,

Drs. Ketut Sudiatmaka, M.Si (Anggota)


NIP. 19581231 198203 1 045
Diterima oleh panitia Ujian Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha
guna memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum

Pada:
Hari :...............
Tanggal :...............

Mengetahui,

Ketua Ujian, Sekretaris Ujian,

Dr. Luh Putu Sendratari, M. Hum Ratna Artha Windari, S.H., M.H
NIP. 19611208 198603 2 001 NIP. 19831215 200812 2 003

Mengesahkan
Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Prof. Dr. Sukadi, M.Pd., M.Ed


NIP. 19630310 198803 1 003
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Nama : Ni Kadek Ayu Suryani

Tempat, dan Tanggal Lahir : Bila, 14 Juli 1997

NIM : 1514101005

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Menyatakan bahwa skripsi berjudul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH DITINJAU DARI HUKUM

PENGUNGSI INTERNASIONAL adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang

lain, baik sebagian atau keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah

disebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan apabila

dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan

sanksi sesuai ketentuan yang berlaku

Singaraja, 12 Januari 2019


Yang Membuat Pernyataan

Materai
6000

Ni Kadek Ayu Suryani


NIM. 1514101005
i
i

PRAKATA

Puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya-lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi Rohingya di Aceh Ditinjau Dari
Hukum Pengungsi Internasional”. Skripsi ini disusun guna memenuhi
persyaratan mencapai gelar sarjana hukum pada Universitas Pendidikan Ganesha.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik
berupa moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Teruntuk orang tua yang paling saya cintai, Bapak I Ketut Dipa Wirya dan
Ibu Ni Luh Rediani, terimakasih untuk segala rasa cinta dan kasih sayang
yang tak terhingga sehingga mampu mengantarkan penulis untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum. Rasa bersyukur yang tiada habisnya, penulis telah
dilahirkan dan dibesarkan dari orang tua yang selalu melakukan dan
memberikan hal yang terbaik semaksimal kemampuan yang beliau punya
bahkan lebih untuk penulis. Untuk adikku sayang, Anya, this is also for you
my sweetie pie;
2. Ninik, salah satu saksi perjalanan hidup penulis. Terimakasih atas segala
nasihat dan wejangan-wejangan kehidupan yang sangat filosofis. Ninik ini
1 gelas ES sudah Ayu berikan untuk ninik. Nik panjang umur inggih;
3. Rektor Universitas Pendidikan Ganesha, Bapak Dr. Nyoman Jampel, M.Pd;
4. Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Bapak Prof. Dr. Sukadi, M.Pd.,
M.Ed;
5. Ketua Jurusan Hukum dan Kewaganegaraan, Bapak Dr. I Nengah Suastika,
M.Pd;
6. Ketua Prodi Ilmu Hukum sekaligus Pembimbing 2, Ibu Ratna Artha
Windari, S.H., M.H yang telah membantu banyak sekali dalam penulisan
skripsi ini sehingga penulis dapat mencapai gelar S.H sesuai target yang
telah direncanakan. Selain itu, terimakasih pula atas segala ilmu yang telah
diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan;
ii

7. Bapak Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M selaku Pembimbing 1
yang telah memberikan banyak literatur dan masukan-masukan selama
penyelesaian penulisan skripsi ini dan ilmu-ilmu Hukum Internasional
selama di kelas;
8. Ibu Gusti Ayu Apsari Hadi, S.H., M.H selaku Penguji yang sangat kritis
terhadap isi dan kesempurnaan skripsi yang penulis buat. Terimakasih bu
Aps atas segala kritik dan sarannya serta ilmu-ilmu yang telah diberikan di
kelas;
9. Staf Dosen di lingkungan Ilmu Hukum, Alm. Bapak Pursika, Bapak
Sudiatmaka, Ibu Rai, Pak Aldo, Bu tessa. Terimakasih penulis ucapkan atas
segala ilmu yang telah diberikan pada saat perkuliahan;
10. Bunda dan Ajik terimakasih atas segala kebaikan, perhatian dan nasihat-
nasihat kehidupan yang positif kepada penulis, semoga Bunda dan Ajik
selalu diberi kesehatan, dikelilingi oleh orang-orang baik dan semoga Bunda
dan Ajik selalu dilindungi Ida Sang Hyang Widhi Wasa;
11. Keluarga Teratai dengan segala kenangan indah didalamnya. Tante Man
terimakasih untuk semuanya; Kak Win, sosok kakak yang sering menjadi
tempat curhat, nonton drakor dan yang selalu bilang “Ayo yuk dikit lagi”
pada masa-masa penyelesaian skripsi ini (Makasi banyak Kak Win kekasih
hati Ji Chang Wook, hehe); Kak Am, sosok kakak yang selalu bilang “Selow
aja yang penting selesai”, terimakasih kak Am ya; Mbk Luh, terimakasih
mbk untuk wejangan-wejangannya yang selalu mengingatkan penulis untuk
mengejar cita-cita dan meningkatkan taraf hidup dan yang selalu bilang
“Gimana yuk? Kapan ujian?”; Inaaa, ponakan rasa sibling yang menjadi
teman cerita segala genre selama masa perkuliahan, teman berfoto ria dan
editing, pecinta mie pedas, kulineran, main instagram, lucu-lucuan dan
konyol bareng dan banyak lagi hal-hal dan aktivitas seru yang penulis
habiskan bersamanya. Ina kekasih hati Yoo Seung Hoo terimakasih ya
selalu support tante dan bilang “Tante udah selesai? Tar kita nonton” hehe;
Turah Rendra si kecil kesayangan nan lucu;
12. Sepupu Srikandi, Dian dan Nuri yang sering penulis hubungi di kala stress
melanda. Lavya sis;
iii

13. Keluarga besar Ibu di Bontihing terimakasih untuk semuanya, tanpa kalian
terasa mustahil bagi penulis bisa sampai pada tahap ini;
14. Keluarga besar Bapak di Bila, penulis ucapkan banyak terimakasih;
15. Sahabat REAL, Damaria, Omik dan Dekya. Terimakasih telah hadir menjadi
sosok sahabat yang always be there, selalu mengingatkan, menegur dan
mensupport penulis dalam dunia perkuliahan dan lain-lain. Y’all guys are
amazing to me;
16. Rekan-rekan Ilmu Hukum Kelas A TA 2015 (dengan pengecualian) yang
amat sangat beraneka ragam. Semangat ya, see you on top guys;
17. Rekan-rekan konsentrasi Hukum Internasional yang semangat dan solid
membara. Radit, Ucin, Rino, Nopik, Kalingga, Dayat. You’re the best guys;
18. Terimakasih untuk kamu;
19. Untuk semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
membenci, menyayangi, mensupport, mencela, menyakiti dan mendoakan.
Terimakasih tanpa kalian hidup penulis kurang bermakna dan berwarna .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang tersaji dalam skripsi ini
masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan
yang penulis miliki. Untuk itu demi kesempurnaan skripsi ini, penulis
mengharapkan segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai
pihak. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua
khususnya bagi pengembangan dalam dunia pendidikan, khususnya Ilmu Hukum.

Singaraja, 12 Januari 2019

Penulis
iv

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH

DITINJAU DARI HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

Oleh

Ni Kadek Ayu Suryani, NIM 1514101105

Program Studi Ilmu Hukum

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami status


kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan bentuk perlindungan hukum
terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari hukum pengungsi
internasional. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode
penelitian hukum normatif dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan komparatif. Bahan hukum
primer, sekunder dan tersier yang telah diperoleh kemudian dinalisis untuk
memperoleh konklusi yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa etnis Rohingya tidak memperoleh status
kewarganegaraan di Myanmar berdasarkan Burma Citizenship Law 1982 yang
menganut asas ius sanguinis. Sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi
tentang Pengungsi, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah
Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh berdasarkan pada prinsip non
refoulement dan melalui 3 komponen yakni perlindungan secara substansi,
struktural dan praktikal.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pengungsi Rohingya, Prinsip Non Refoulement


v

THE LEGAL PROTECTION OF ROHINGYA REFUGEES IN ACEH

REVIEWED FROM THE INTERNATIONAL LAW OF REFUGEES

By

Ni Kadek Ayu Suryani, NIM 1514101005

LAW DEPARTMENT

ABSTRACT

This research aims to determine and understand the Rohingya ethnic


citizenship status in Myanmar and the legal protection for Rohingya refugees in
Aceh reviewed from the international law of refugees. This research uses normative
legal research methods that using the statute approach, conceptual approach and
comparative approach. The primary, secondary and tertiary legal materials that
have been obtained then analyzed to get conclusions that relevant to the problems
in this research. The results of this research indicate that the Rohingya ethnic group
does not obtain the citizenship status in Myanmar based on 1982 Burma Citizenship
Law which adheres to the principle of ius sanguinis. Indonesian Government does
not ratify the Convention of Refugees, the legal protection that provided by the
Indonesian government for Rohingya refugees in Aceh is based on the non
refoulement principle and 3 components such as, substance protection, structural
and practical.

Keywords: Legal Protection, Rohingya Refugees, Non Refoulement Principle

.
vi

DAFTAR ISI

HALAMAN

PRAKATA ................................................................................................ i

ABSTRAK ................................................................................................ iv

DAFTAR ISI ............................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................. 1


1.2 Identifikasi Masalah ................................................................... 8
1.3 Pembatasan Masalah .................................................................. 9
1.4 Perumusan Masalah ................................................................... 9
1.5 Tujuan Penelitian ....................................................................... 9
1.6 Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewarganegaraan


2.1.1 Pengertian Kewarganegaraan ......................................... 12
2.1.2 Asas Kewarganegaraan .................................................. 12
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
2.2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ......................... 14
2.2.2 Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional...................... 16
2.2.3 Hak Asasi Manusia (HAM) Nasional ............................ 19
2.3 Tinjauan Umum Tentang Pengungsi
2.3.1 Pengertian Pengungsi ..................................................... 23
2.3.2 Perbedaan Pengungsi dengan Pencari Suaka ................. 28
2.4 Hukum Pengungsi Internasional
2.4.1 Pengertian Hukum Pengungsi Internasional .................. 29
2.4.2 Konvensi Terkait Hukum Pengungsi Internasional ....... 31
2.5 United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR)...... 35
vii

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 38


3.2 Jenis Pendekatan ........................................................................ 39
3.3 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 40
3.4 Sumber Bahan Hukum ............................................................... 41
3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 42
3.6 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................................. 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar


4.1.1 Sejarah Etnis Rohingya di Myanmar ............................. 44
4.1.2 Kedudukan Etnis Rohingya di Myanmar ....................... 48
4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Pengungsi Rohingya di Aceh
4.2.2 Perlindungan Hukum yang Dilakukan Oleh
UNHCR Kepada Rohingya ............................................ 59
4.2.2 Perlindungan Hukum Etnis Rohingya di Indonesia
yang Belum Meratifikasi Konvensi Tahun 1951
Tentang Status Pengungsi Dan Protokol Tahun 1967
Tentang Status Pengungsi .............................................. 69
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................... 84
5.2 Saran ........................................................................................... 85
DAFTAR RUJUKAN

RIWAYAT HIDUP
1
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberitaan media tentang muslim Rohingya timbul menyusul konflik

sektarian yang terjadi antara etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim

dan etnis Rakhine yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Penyebab

konflik itu sendiri tak begitu jelas. Namun, beberapa sumber menyebutkan

bahwa kerusuhan itu merupakan buntut salah satu peristiwa perampokan dan

pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28

Mei 2012 (Waluyo, 2013:838). Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan

dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya

adalah etnis Rohingya. Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah

terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat

Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi penyerangan terhadap bus yang

diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 (sepuluh)

orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan rasial di Rakhine pun

meluas (http://maxtroman.wordpress.com).

Perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama

merupakan masalah yang sangat peka dan mudah menyulut konflik-konflik

terbuka bahkan dapat mencapai tingkat intensitas kekerasan yang tinggi, dan

menelan banyak korban jiwa (Alfi, 2013:1-2). Konflik etnis Rohingya pun

semakin tidak terkendali sebagai akibat dari adanya tindakan diskriminatif yang

dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Pemerintah

Myanmar tidak mengakui dan tidak memberi status kewarganegaraan kepada


2

etnis Rohingya. Dampak dari tidak dimilikinya status kewarganegaraan, etnis

Rohingya tidak dapat mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan

pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan di

Myanmar. Adapun, etnis Birma yang menjadi mayoritas di Myanmar menyebut

etnis Rohingya sebagai suku Bengali yang secara langsung menunjukan bahwa

mereka tidak menerima etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar.

Kondisi ini pun memicu menyerahnya para etnis Rohingya dan

memutuskan untuk meninggalkan wilayah Myanmar. Adapun tindakan

meninggalkan wilayah Myanmar dilakukan dengan perjalanan darat maupun

laut menuju ke wilayah negara-negara yang sekiranya dapat memberikan

tempat untuk tinggal dan perlindungan atas dirinya. Keadaan ini menyebabkan

etnis Rohingya menjadi seorang pengungsi yang harus meninggalkan

negaranya untuk memperoleh bantuan dari negara lain.

Berdasarkan Pasal 1 A (2) The 1951 Convention Relating to the Status

of Refugees yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Konvensi Tahun 1951

tentang Status Pengungsi apabila dibahasakan secara sederhana maka

Pengungsi (refugees) adalah sekelompok orang yang meninggalkan tempat

tinggalnya atau negaranya dengan alasan adanya ketakutan yang terbukti dapat

mengancam kehidupan dan keselamatan sebagai akibat dari adanya perlakuan

diskriminatif terkait dengan faktor kesukuan, keagamaan, kewarganegaraan,

karakteristik gender, keanggotaan kelompok, dan pendapat politik yang

dianutnya. Keputusan mereka meninggalkan tempat tinggal atau negaranya

untuk menyelamatkan diri karena negara seharusnya berkewajiban penuh untuk


3

memberikan perlindungan kepada warga negaranya, namun kewajiban tersebut

tidak dilaksanakan.

Pengungsi (refugees) adalah mereka yang sangat rentan untuk

memperoleh kembali perlakuan-perlakuan seperti penindasan, human

trafficking, kekerasan ataupun perbudakan pada saat mereka dalam proses

mencari tempat tujuan ataupun pada saat telah mendapatkan tempat tujuan.

Keadaan psikologis yang takut, di bawah tekanan, kebingungan dan merasa

memerlukan tempat tinggal baru untuk hidup dengan aman secepatnya

menjadikan mereka sebagai sasaran para oknum yang tidak bertanggung jawab

(UNHCR, 2005: 26).

Keadaan seperti ini telah diantisipasi oleh dunia internasional dengan

dibentuknya United Nation High Commissioner For Refugees atau yang sering

disingkat UNHCR dan juga aturan-aturan yang bersifat internasional yakni

Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi dan The 1967 Protocol

Relating to the Status of Refugees yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan

Protokol Tahun 1967 Tentang Status Pengungsi. Adanya lembaga khusus dan

juga aturan hukum berupa konvensi internasional diartikan bahwa mereka

(pengungsi) mendapatkan perlindungan hukum yang kuat. Perlindungan

terhadap pengungsi tidak hanya diberikan atau dilakukan oleh UNHCR saja

namun negara tempat dimana mereka memutuskan untuk tinggalpun tidak dapat

lepas tangan.

Melaksanakan tugasnya, UNHCR berpedoman kepada mandat yang

diberikan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Economic and

Social Council (ECOSOC). Dalam statuta UNHCR tahun 1951 menyebutkan


4

tentang fungsi utama UNHCR adalah “providing internasional protection and

seeking permanet solutin to the problem of refugees by assisting govermments

to facillitale the voluntary repatriation of such refugees, or their assimilation

within the new national communities”. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi

tersebut UNHCR membuat koordinasi dengan pemerintah, badan khusus

perserikatan bangsa-bangsa, LSM (Lembaga Sosial Masyarakat), dan

organisasi-organisasi antar pemerintah untuk UNHCR mencari solusi terhadap

beragam masalah yang dihadapi oleh para pengungsi (Tilaar, 2017:32).

Negara Republik Indonesia yang secara geografis terletak pada posisi

yang strategis dalam peta dunia dan telah menjadi salah satu tempat tujuan bagi

para pengungsi/pencari suaka/imigran untuk masuk dengan berbagai macam

motif. Pada tanggal 7 Januari 2009, sebanyak 193 manusia perahu yang beretnis

Rohingya dan berasal dari Bangladesh dan Myanmar di temukan terdampar di

Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada tanggal 3 Februari 2009,

198 manusia perahu yang juga berasal dari etnis Rohingya Bangladesh dan

Myanmar ditemukan terdampar di kecamatan di Rayeuk, Kabupaten Aceh

Timur (Kadarudin, 2012: 132). Menurut data UNHCR pada Januari 2012,

terdapat tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima (3275) pencari suaka dan seribu

lima puluh dua (1052) pengungsi yang terdaftar di UNHCR Jakarta. Selanjutnya

sampai akhir tahun 2014, terdapat empat ribu seratus tiga puluh satu (4131)

pengungsi yang sebagian besar berasal dari Afghanistan (37%), Myanmar

(21%), Sri Lanka (8%), dan Somalia (8%) yang terdaftar di UNHCR Jakarta

(http://unhcr.or.id).
5

Kedatangan pengungsi Rohingya ke wilayah Aceh salah satunya

disebabkan karena Indonesia merupakan negara maritim yang memilki batas

laut yang mencakup lima (5) negara yakni Malaysia, Singapura, Filipina,

Thailand dan Vietnam. Kepala Sub Lalu Lintas Keimigrasian, Bayu Prawira

Sukarno mengatakan bahwa pengungsi Rohingya tersebut berangkat dari

Myanmar dengan menggunakan satu kapal dan hendak menuju Malaysia,

karena mesin kapal kehabisan bahan bakar, mereka terombang-ambing di

lautan. Mereka menumpang kapal-kapal yang diduga dikendalikan oleh

jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia. Selain itu,

menurut pengakuan para pengungsi Rohingya yang menyatakan bahwa

kedatangan mereka ditolak di beberapa wilayah seperti Thailand dan Malaysia

maka dari itu pengungsi Rohingya memutuskan untuk menuju wilayah

Indonesia melalui perjalanan laut (https://www.boombastis.com).

Fenomena kedatangan para pengungsi ini menjadi dilematika besar bagi

negara-negara yang menjadi tujuan mereka khususnya Indonesia terkait dengan

sikap menerima atau menolak kedatangan mereka. Jika melihat aspek hukum

internasional dalam hal ini, merupakan hak dan kewajiban Indonesia sebagai

negara merdeka untuk menerapkan kedaulatannya dan menentukan apakah

Indonesia mau atau tidak menerima seseorang atau sekelompok pengungsi yang

masuk ke wilayah teritori Indonesia. Tindakan tersebut merupakan langkah

preventif atau sebagai bentuk pertahanan negara dari gangguan asing, demi

melindungi dan menjaga stabilitas ekonomi juga politik negara, terutama bagi

Indonesia sebagai negara berkembang (Rosmawati, 2015:459).


6

Namun dalam aspek lain, bagi pengungsi hal ini merupakan hak setiap

orang untuk mendapatkan perlindungan kemanusiaan dimanapun ia berada.

Atas dasar prinsip-prinsip kemanusiaan, setiap negara manapun wajib

memberikan perlindungan bagi setiap orang yang terancam jiwanya. Sekalipun

orang tersebut bukan warga negaranya (Rosmawati, 2015:459-460).

Berdasarkan prinsip inilah maka Indonesia sebagai negara tujuan dari para

pengungsi Rohingya memiliki kewajiban untuk menerima kedatangan mereka.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada alinea ke-4

menyatakan “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”, kalimat ini turut

mejadi dasar bagi bangsa Indonesia untuk mengambil langkah berupa

penerimaan para pengungsi Rohingya.

Indonesia merupakan negara yang sampai saat ini belum meratifikasi

Konvensi tentang pengungsi tahun 1951 tentang Status Pengungsi maupun

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga Indonesia tidak

dikenakan sanksi atas tindakan penolakan dan pengusiran terhadap pengungsi

rohingya. Namun demikian, ketentuan non refoulement tidak hanya diatur

didalam konvensi 1951, salah satunya yaitu International Convention Against

Torture And Other Cruel In Human Degrading Treatment Or Punishment 1987

atau biasa disebut dengan Konvensi Anti Penyiksaan 1987. Pasal 3 Konvensi

ini menyatakan bahwa negara peserta dari konvensi ini dilarang untuk mengusir

atau mengembalikan, atau pun mengekstradisikan (refouler) ke negara lain

seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada

dalam ancaman penyiksaan dan kekerasan.


7

Saat ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan 1987

ini dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1998 pada tanggal

28 September 1998. Didalam konsideran undang-undang ini dinyatakan bahwa

Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan alasan kemanusiaan dan pengakuan

terhadap hak asasi manusia yang di pandang tidak bertentangan dengan

pancasila, undang undang dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan

lainnya. Selain itu indonesia tidak melakukan reservasi (keberatan) terhadap

ketentuan pasal 3 atau yang berkaitan dengan non refoulement. Adanya

indikator-indikator dilematika dan diimbangi dengan adanya produk hukum

yang mengisyaratkan Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi

pengungsi Rohingya menjadi topik menarik untuk diperbincangkan.

Persoalan pengungsi merupakan persoalan yang kompleks. Dibutuhkan

kerjasama antar negara terutama negara-negara besar, beserta seluruh

masyarakat dunia untuk menggerakkan kesadaran dan kepedulian akan

pentingnya permasalahan pengungsi. Meningkatnya jumlah pengungsi

menunjukkan bahwa kemampuan dan kerjasama masyarakat internasional

dalam menangani persoalan-persoalan antar elemen masyarakat internasional,

khususnya terkait dalam permasalahan kemanusiaan masih terbatas, sehingga

kedepannya mutlak diperlukan peranan yang signifikan dari masyarakat

internasional terhadap permasalahan pengungsi tersebut (Putranto, tanpa tahun

:10).

Terkait dengan kedatangan pengungsi Rohingya ke wilayah Aceh,

Indonesia. Penulis tertarik untuk membuat sebuah tulisan hukum yang berjudul
8

“Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi Rohingya di Aceh Ditinjau dari Hukum

Pengungsi Internasional”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis paparkan, adapun

identifikasi masalah yang dapat penulis ajukan sebagai berikut:

1. Adanya konflik yang berkepanjangan antara etnis Rohingya dengan etnis-

etnis mayoritas di Myanmar.

2. Adanya tindakan kekerasan bahkan menelan korban jiwa yang dialami oleh

etnis Rohingya di Myanmar.

3. Adanya tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar

dengan meyatakan bahwa etnis Rohingya tidak diakui dan diberikan status

kewarganegaraan.

4. Etnis Rohingya meninggalkan wilayah Myanmar menuju negara-negara

yang sekiranya dapat memberikan perlindungan.

5. Kedatangan para pengungsi Rohingya ke wilayah Aceh, Indonesia

menimbulkan dilematika dan kesigapan Indonesia untuk mengambil sikap

dan memberikan perlindungan hukum terhadap para pengungsi mengingat

terdapat instrumen hukum internasional yang mengatur tentang pengungsi.

6. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status

Pengungsi dan Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi namun

terdapat produk hukum Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip non

refoulment sesuai dengan apa yang termuat didalam pasal 3 UU Nomor 5

Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other

Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment.


9

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah atau dikenal pula dengan istilah ruang lingkup

masalah merupakan suatu batasan dalam mengkaji permasalahan dalam

penelitian ini agar tidak keluar dari batasan-batasan materi yang akan dikaji.

Pembatasan-pembatasan ini secara tidak langsung bertujuan untuk menghindari

menyimpangnya bahasan dari pokok-pokok permasalahan yang telah tersusun

secara sistematis.

Adapun pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini

terkait dengan status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan bentuk

perlindungan hukum terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari

hukum pengungsi internasional dalam kapasitas Indonesia sebagai negara yang

tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis

paparkan, adapun rumusan masalah yang dapat penulis angkat sebagai berikut:

1. Bagaimana status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap para pengungsi Rohingya

di Aceh, Indonesia ditinjau dari hukum pengungsi internasional?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirumusakan secara deklaratif, dan merupakan

pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penelitian

tersebut (Soekanto, 2015: 119). Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh

penulis dalam penulisan penelitian ini yaitu:


10

1. Untuk mengetahui dan memahami status kewarganegaraan etnis Rohingya

di Myanmar.

2. Untuk mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum terhadap

para pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari hukum pengungsi

internasional.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian menggambarkan manfaat yang bisa diperoleh bagi

kebutuhan teoritikal dan praktikal (Diantha, 2017:179). Adapun manfaat yang

dapat diperoleh dari penulisan penelitian ini yaitu:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan

pemahaman yang dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu

pengetahuan mengenai status kewarganegaraan etnis Rohingya di

Myanmar termasuk sejarah munculnya konflik Rohingya sehingga

menimbulkan tragedi yang berkepanjangan dan menjadi sorotan dunia

dan juga penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu

pengetahuan terkait dengan bentuk perlindungan hukum bagi para

pengungsi Rohingya khususnya yang berada di wilayah Aceh dan di

wilayah Indonesia pada umumnya ditinjau dari konvensi pengungsi

internasional.

Manfaat lain yang penulis harapkan dari penulisan penelitian ini

agar penelitian ini dapat menjadi bahan referensi tambahan untuk

pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya dibidang hukum

internasional.
11

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan agar dapat bermanfaat bagi

masyarakat internasional sebagai sarana pengembangan pemikiran

tentang status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan bentuk

perlindungan hukum para pengungsi Rohingya khususnya yang berada di

wilayah Aceh dan di wilayah Indonesia pada umumnya ditinjau dari

konvensi pengungsi internasional.


12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewarganegaraan

2.1.1 Pengertian Kewarganegaraan

Pengertian kewarganegaraan dapat dilihat dari dua segi, yaitu:

a) Yuridis

Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan

hukum antara orang-orang dengan negara.

b) Sosiologis

Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan

hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan

keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah air.

c) Formal

Kewarganegraan dalam arti formal menunjukkan pada tempat

kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum, masalah

kewarganegaraan berada pada hukum publik.

d) Material

Kewarganegaraan dalam arti material menunjukkan pada akibat

hukum dari status kewarganegraan, yaitu adanya hak dan kewajiban

(Wijayanti, 2011: 57-58).

2.1.2 Asas Kewarganegaraan

Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara

untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Artinya

negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan


13

yang hendak dipergunakan (Wijayanti, 2011: 58). Asas kewarganegaraan

dibagi dalam 2 dari dua segi, yaitu:

a) Segi Kelahiran

1) Ius Soli

Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang

ditentukan berdasarkan pada tempat kelahirannya. Orang yang

lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara

X tersebut (Wijayanti, 2011: 58).

2) Ius Sanguins

Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang

ditentukan berdasarkan pada keturunannya atau orang tuanya.

Orang yang lahir dari orang tua yang memiliki status

kewarganegaraan di negara Y akan memperoleh status

kewarganegaraan di negara Y tersebut (Wijayanti, 2011: 58).

3) Asas Campuran

Asas ini muncul ketika terdapat penerapan asas yang berbeda

pada masing-masing negara yang sering menimbulkan

permasalahan apatride (tanpa kewarganegaraan) dan bipatride

(kewarganegaraan ganda). Penerapan asas ini menitikberatkan

untuk menghindari permasalahan tersebut (Wijayanti, 2011: 59-

60).
14

b) Segi Perkawinan

1) Asas Kesatuan Hukum

Asas ini bertujuan untuk mendukung terciptanya kesatuan

dalam keluarga, para anggota keluarga harus tunduk pada hukum

yang sama. Ada banyak aspek positif yang akan menguntungkan

penyelenggaraan kehidupan keluarga tersebut, apabila para

anggota keluarga itu tunduk pada hukum yang sama (Wijayanti,

2011: 60).

2) Asas Persamaan Derajat

Asas ini menyatakan bahwa suatu perkawinan tidak

menyebabkan berubahnya status kewarganegaraan masing-

masing pihak, baik pihak suami maupun pihak istri tetap

berkewarganegaraan asal. Artinya kewarganegaraan mereka tetap

sama seperti sebelum terjadi perkawinan (Wijayanti, 2011: 60).

2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

2.2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia

semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena

diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan martabatnya

sebagai manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti ras, jenis

kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegasikan eksistensi HAM

pada diri manusia(Sujatmoko, 2015: 2).


15

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai anugerah dari Tuhan

terhadap makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan

dari eksistensi pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak bisa

dilepas dengan kekuasaan atau dengan hal-hal lainnya. Apabila hal itu

sampai terjadi akan memberikan dampak kepada manusia yakni manusia

akan kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai

kemanusiaan. Walapun demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak

asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar

hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sembari mengabaikan

hak orang lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib

menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak

asasi orang lain, karena itulah ketaatan terhadap aturan menjadi penting.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39

tahun 1999 tersebut telah dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia

merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak

dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap hak asasi

manusia negara sebagai pelindung warganya diharapkan dapat

mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut. Hak

Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai

universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini

yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional

diberbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai

kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam instrumen

internasional, termasuk perjanjian internasional dibidang HAM. Namun


16

kenyataan menunjukan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata

dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan yang seragam. Hak dalam

hak asasi manusia mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama

dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah

dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat

kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban manusia lain untuk

menghormatinya (Effendi, 2005: 8).

2.2.2 Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional

Pengakuan tentang hak asasi manusia secara meluas oleh bangsa-

bangsa sedunia adalah adanya Piagam PBB, yaitu Universal Declaration

of Human Rights. Para pendirinya, seperti negara Amerika Serikat,

Prancis, Uni Soviet, dan Inggris, pada tanggal 10 Desember 1948 telah

menyatakan berlakunya hak asasi manusia. Hal ini berarti bahwa negara

anggota PBB berkewajiban memasukkan hak asasi manusia ke dalam

undang-undang dasar negaranya masing-masing.

Sejarah dan latar belakang lahirnya hak asasi manusia adalah karena

adanya kesadaran manusia terhadap harga diri, harkat, dan martabat

kemanusiaannya. Walaupun HAM sudah melekat pada diri manusia sejak

lahir dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tetapi dalam

kenyataannya sering kali kita masih melihat adanya suatu perbuatan yang

tidak menghormati hak asasi manusia. Tindakan yang sewenang-wenang

oleh seorang penguasa atau pihak-pihak yang kuat dikarenakan adanya

anggapan bahwa dirinya berhak untuk menindas orang lain.


17

Dengan berbagai bentuk penindasan tersebut membawa akibat

kesengsaraan dan ketidakadilan terhadap umat manusia. Untuk

memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia telah

ada sejak zaman dahulu. Bahkan pengakuan terhadap hak asasi manusia

telah muncul dalam kitab-kitab suci dari berbagai agama dan dokumen-

dokumen yang lain. Timbulnya kesadaran untuk menegakkan dan

meningkatkan hak asasi manusia disebabkan adanya ketidakadilan,

penjajahan, perbudakan, dan kezaiiman para penguasa. Dalam

menuntaskan hal ini, banyak negara membuat pernyataan tentang HAM

dalam deklarasi internasional yang meliputi berikut.

1) Piagam Magna Charta (1215)

Piagam Magna Charta dicetuskan oleh para bangsawan Inggris pada

tanggal 15 Juni 1215, yang mengakui hak kemerdekaan diri. Naskah

ini memberikan batasan terhadap kekuasaan raja untuk tidak berbuat

sewenang-wenang terhadap rakyat

2) Petition of Rights (1628)

Pada dasarnya, Petition of Rights berisi pernyataan-pernyataan

mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Suatu dokumen yang

lahir karena tuntutan rakyat yang duduk di parlemen kepada Raja

Charles III. Isinya secara garis besar adalah berikut.

a. Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan;

b. Warga Negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di

rumahnya;
18

c. Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan

damai.

3) Hobeas Corpus Act (1679)

Piagam Hobeas Corpus Act memuat jaminan seseorang tidak boleh

ditangkap dan ditahan dengan semena-mena, kecuali menurut

peraturan perundangan yang berlaku. Piagam ini lahir pada masa

pemerintahan Charles II di Inggris.

4) Bill of Rights (1689)

Bill of Rights berisi negara mengatur tentang kebebasan berbicara

dan mengeluarkan pendapat, hak warga negara untuk memeluk

agama, dan hak parlemen untuk mengubah keputusan raja.

5) Declaration of Independence (1776)

Declaration of Independence adalah pernyataan kemerdekaan

Amerika Serikat. Dalam dokumen ini tertulis pernyataan bahwa

sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama sederajat oleh Maha

Pencipta-Nya, bahwa semua manusia dianugerahi oleh Pencipta-

Nya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati

kebahagiaan.

6) Declaration des Drouts de L’homme et Du Citoyen (1789)

Declaration des Drouts de L’homme et Du Citoyen berisi pernyataan

hak-hak asasi manusia dan warga negara. Pernyataan ini

mencanangkan hak atas kebebasan (liberte), kekuasaan (egalite),

dan persaudaraan (fraternite).

7) The Four Freedom (1941)


19

The Four Freedom dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat,

Franklin D. Roosevelt, yang mengemukakan adanya empat

kebebasan, yaitu berikut.

a. Kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat;

b. Kebebasasn untuk beragama;

c. Kebebasan dari rasa takut;

d. Kebebasan dari kekurangan.

8) Universal Declaration of Human Rights (1948)

Piagam Universal Declaration of Human Rights memuat hak asasi

manusia yang diterima dan diproklamirkan oleh majelis umum

PBB, yang setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari hak

asasi manusia sedunia (http://klikbelajar.com).

2.2.3 Hak Asasi Manusia (HAM) Nasional

Hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan

pandangan filosofis tentang hakikat manusia yang melatarbelakanginya.

Menurut pandangan filsafat bangsa Indonesia yang terkandung dalam

Pancasila, hakikat manusia adalah “monopluralis”. Susunan kodrat

manusia adalah jasmani-rokhani, atau raga dan jiwa, sifat kodrat manusia

adalah makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat

manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan dan Zubaidi, 2010: 101-102).

Pengakuan hak asasi manusia di Indonesia telah tercantum dalam

UUD 1945 yang sebenarnya lebih dahulu ada dibanding dengan Deklarasi

Universal PBB yang lahir pada 10 Desember 1948. Pengakuan hak asasi
20

manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-

undangan lainnya adalah sebagai berikut.

a. Sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan

landasan idiil akan pengakuan dan jaminan hak asasi manusia di

Indonesia.

b. Pembukaan Undang-Undang Dasar Alinea Pertama

Hak asasi manusia sebenarnya sudah tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa negara

Indonesia sendiri sejak masa berdirinya, tidak bisa lepas dari Hak

Asasi Manusia itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama

yang berbunyi “ …Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak

segala bangsa ….” Berdasarkan hal ini, bangsa Indonesia mengakui

adanya hak untuk merdeka atau bebas.

c. Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 Alinea Keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Empat yang

menyatakan bahwa “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu

pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan

kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia

yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang


21

Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia,

dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwkilan, serta dengan mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

d. Batang Tubuh Undang-Undang dasar 1945

Rumusan hal tersebut mencakup hak dalam bidang politik,

ekonomi,sosial, dan budaya yang tersebar dar pasal 27 sampai dengan

pasal 34 UUD 1945. Namun, rumusan-rumusan dalam konstitusi itu

amat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat dan dalam

garis besarnya saja. Sampai pada berakhirnya era orde baru tahun

1998, pengakuan akan hak asasi manusia di indonesia tidak banyak

mengalami perkembangan dan tetap berlandaskan pada rumusan yang

ada dalam UUD 1945, yaitu tertuang pada hak dan kewajiban warga

negara. Rumusan baru tentang hak asasi manusia tertuang dalam pasal

28-A-J UUD 1945 hasil amandemen pertama tahun 1999.

e. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR mengenai hak asasi manusia tertuang dalam

ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan hal itu maka keluarlah Undang-Undang Nomor 19 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai undang-undang yang sangat

penting kaitannya dalam proses jalannya Hak Asasi Manusia di

Indonesia. Selain itu juga undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

f. Peraturan Perundang-Undangan
22

Undang-undang tentang HAM di Indonesia adalah Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999. Adapun hak-hak yang ada dalam

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1939 tersebut antara lain: Hak untuk

hidup (Pasal 4) ; Hak untuk berkeluarga (Pasal 10) ; Hak untuk

mengembangkan diri (Pasal 11,12,13,14,15,16) ; Hak untuk

memperoleh keadilan (Pasal 20-27 ) ; Hak atas kebebasan pribadi

(Pasal 20-27) ; Hak atas rasa aman (Pasal 36-42) ; Hak atas

kesejahteraan (Pasal 36-42) ; Hak turut serta dalam pemerintahan

(Pasal 43-44) ; Hak wanita (Pasal 45-51) ; Hak anak (Pasal 52-66).

Dalam UUD 1945 BAB 20A Pasal 28A sampai J, tercantum

rumusan hak asasi manusia. Rumusan tersebut pada dasarnya sama

dengan rumusan yang ada dalam ketetapan MPR No.

XVII/MPR/1998. Perlu diketahui bahwa Tap MPR No.

XVII/MPR/1998 sekarang ini telah dicabut berdasarkan ketetapan

MPR No. I/MPR/2003. hal ini disebabkan isi dalam ketetapan tersebut

sudah termuat dalam UUD 1945 (https://www.academia.edu).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Pengungsi

2.3.1 Pengertian Pengungsi

Sebagaimana yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata

kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri

dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa

aman) (Romsan dkk, 2003: 35). Pengungsi adalah kata benda yang berarti
23

orang yang mengungsi. Pengungsi politik adalah penduduk suatu negara

yang pindah ke negara lain karena alasan politik, biasanya mereka

menganut aliran politik yang bertentangan dengan politik penguasa

negara asalnya (KBBI, 1995).

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pengungsi

terjadi karena adanya bahaya. Misalnya, bencana alam (natural disaster)

seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir dan lain- lain. Aktivitas

mengungsi juga dapat terjadi akibat perbuatan manusia (non natural

disaster) atau sering disebut bencana buatan manusia (man made

disaster), seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan

kebebasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia dan sebagainya

(Soeprapto, 1998: 15). Mengungsi dapat dilakukan baik dalam lingkup

satu wilayah negara atupun ke negara lain karena adanya perbedaan

haluan politik (Romsan dkk, 2003:35).

Selain pengertian diatas, adapun pengertian yang diberikan oleh

beberapa ahli, antara lain :

a) Malcom Proudfoot

“These forced movements, … were the result of the persecution,


forcible deportation, or flight of Jews and the political opponents of
the authoritarians governments; the transference of ethnic
populations back to their homeland or to newly created provinces
acquired by war of treaty; the arbitrary rearrangement of prewar
boundaries of sovereign states; the mass flight of civilians under the
terror of bombardment from the air and under the threat of pressure
of the advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the
forced removal of populations from coastal or defence areal under
military dictation; and the deportations for forced labour to bolster
the German war effort”.
Jadi berdasarkan komentar diatas, bahwa pada Perang Dunia II,

Dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang yang


24

terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi

secara paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan

politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke

negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau

perjanjian, penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang

terjadi; perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat

adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para

militer di beberapa wilayah di Eropa; pindahan secara paksa penduduk

dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah

militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang

Jerman (Romsan dkk, 20013:35-36).

b) Pietro Verri

Sarjana ini mengutip bunyi Pasal 1 UN Convention on The Status

of Refugees tahun 1951 adalah “[it] applies to any person who has

fied the country of his nationality to avoid persecution or the threat of

persecution” (Verri, 1992:96).

Pengertian ini memperlihatkan bahwa pengungsi adalah orang-

orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan

akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Jadi terhadap mereka yang

mengungsi dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut

sebagai pengungsi menurut Konvensi Tahun 1951 (Romsan dkk,

2013:36-37).

Pengertian pengungsi juga dapat ditemukan dalam beberapa

instrumen yang bersifat internasional. Instrumen internasional dalam


25

kaitanya dengan pengertian disini yaitu instrumen yang pemberlakuannya

secara global atau mendunia. Adapun instrumen yang dimaksud yaitu:

a) Statute of the Office of the United Nations High Commisioner for

Refugees (Statuta UNHCR)

“… of providing international protection, under the auspices of the


United Nations, to refugees who fall within the scope of the present
Statute and of seeking permanent solutions for the problem of refugees
by assisting Governments concerned, private organizations to
facilitate the voluntary repatriation of such refugees, or their
assimilation within new national communities”
Terlihat ada dua tugas umum yang diemban oleh UNHCR yaitu

memberikan perlindungan secara internasional dan mencarikan

penyelesaian yang permanen terhadap para pengungsi. Disebutkan

pula dalam ketentuan itu bahwa misi UNHCR adalah “kemanusiaan

dan sosial” dan “tidak bersifat politik”. Dalam melaksanakan tugasnya

UNHCR berpedoman kepada kebijakan yang telah diberikan oleh

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Badan Ekonomi

dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (Ecosoc) (Romsan dkk,

2003:38).

Selanjutnya dalam fungsi UNHCR sebagaimana disebutkan

dalam Statuta tercermin di definisi yang diberikan kepada pengungsi

dan juga tugas-tugas yang diemban oleh badan ini, yaitu memberikan

bantuan serta perlindungan secara internasional terhadap orang-orang

yang terpaksa pergi meninggalkan negara asalnya, karena adanya rasa

ketakutan yang sangat akan persekusi. Ketakutan itu bisa didasarkan

kepada ras, agama, kebangsaan, juga mungkin karena keanggotaan

pada salah satu kelompok sosial ataupun karena pendapat politik.


26

Mereka tidak dapat atau tidak bermaksud untuk melindungi diri dari

perlindungan negara tersebut, atau untuk kembali, karena adanya rasa

ketakutan akan persekusi (Romsan dkk, 2003:39).

b) The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi

Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi)

Secara umum pengertian pengungsi dapat dillihat dalam

ketentuan Pasal I A (2) sebagai berikut:

“As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to

well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion,

nationality, membership of a particular social group or political

opinion, is outside the country of his nationality and is unable or,

owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of

that country; or who, not having nationality and being outside the

country of his former habitual residence as a result of such events, is

unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”

Jadi berdasarkan Konvensi tahun 1951, bahwa pengungsi adalah

orang-orang yang berada diluar negaranya dan terpaksa meninggalkan

negara mereka karena adanya peristiwa yang terjadi sebelum tanggal

1 Januari 1951 dan adanya rasa takut yang sangat akan persekusi

karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok

sosial tertentu ataupun karena pendapat politik yang dianut mereka.

Bagi yang tidak memilki kewarganegaraan, mereka berada diluar

negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya, sebagai akibat

dari suatu peristiwa, dan tidak dapat, atau karena adanya rasa takut
27

yang sedemikian rupa dan tidak bermaksud untuk kembali ke negara

tersebut (Romsan dkk, 2003:40-41).

c) Protocol Relating to The Status of Refugees of 31 january 1967

(Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi).

Dalam protokol 1967 ini pengertian pengungsi sudah diperluas,

terlihat dalam Pasal 1 ayat 2 pengungsi diartikan sebagai berikut:

“For the purpose of the present Protocol, the term “refugee” shall,

except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean

any person within the definition of Article 1 of the Convention as if the

words “As a result of events occurring before 1 January 1951 and …”

and the words”… a result of such events: in Article 1 A (2) were

commited”.

Adanya perluasan mengenai definisi pengungsi seperti yang

dimuat dalam Konvensi 1951 sebagai akibat adanya kelompok

pengungsi baru yang terjadi disepanjang tahun 1950-1960an,

khususnya di Afrika. Karena itu negara-negara yang ikut dalam

protokol ini menerapkan definisi pengungsi menurut Konvensi 1951,

namun tanpa adanya batasan waktu. Jika negara-negara hanya terikat

kepada protokol saja, maka tidak mungkin untuk memasukkan batasan

geografis untuk masalah pengungsi (Romsan dkk, 2003:41-43).

2.3.2 Perbedaan Pengungsi dan Pencari Suaka

Dibawah mandat UNHCR, pengungsi adalah seseorang yang berada

diluar negara asalnya atau tempatnya menetap dan tidak bisa atau tidak

mau kembali kesana dikarenakan:


28

a. Ketakutan yang beralasan akan penganiayaan terhadap salah satu dari

alasan yang tercantum dalam Konvensi Tahun 1951;

b. Ancaman yang serius dan tanpa pandang bulu terhadap hidupnya,

keselamatan fisik atau kebebasannya yang diakibatkan kekerasan

yang meluas atau kejadian-kejadian yang sangat mengganggu

ketertiban umum.

Pencari suaka adalah seseorang yang mencari perlindungan

internasional sebagai individu atau secara berkelompok. Di negara dengan

prosedur individu, pencari suaka adalah seseorang yang permohonannya

belum diputuskan oleh negara dimana orang tersebut mengajukan

permohonannya. Setiap permohonan suaka belum tentu dikabulkan

sebagai pengungsi, tetapi setiap pengungsi awalnya adalah seorang

pencari suaka. (Departemen Perlindungan Internasional UNHCR, 2005).

2.4 Hukum Pengungsi Internasional

2.4.1 Pengertian Hukum Pengungsi Internasional

Hukum Pengungsi Internasional (HPI) sering disingkat dengan

sebutan Hukum Pengungsi merupakan cabang dari Hukum Hak Asasi

Manusia (KumHAM) sama seperti Hukum Humantiter Internasional

(HHI). Kedua bidang ilmu hukum yang terakhir ini sama-sama

menekankan kepada perlindungan manusia dalam situasi-situasi yang

khusus, seperti pertikaian bersenjata baik yang bersifat internasional

ataupun non internasional, kerusuhan, ataupun adanya rasa ketakutan


29

yang sangat di negara asal mereka. Dengan demikian antara perlindungan

internasional pengungsi dan hukum pengungsi internasional memiliki

keterkaitan yang erat dengan hak asasi manusia (Romsan dkk, 2003:83).

Sebagai sebuah cabang dari ilmu hukum yang baru lahir dan masih

berusia sangat muda, tentu saja definisi yang dikemukakan dibawah ini

belum dapat memberikan kepuasan kepada setiap orang. Walaupun

demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Hukum Pengungsi

Internasional itu adalah sekumpulan peraturan yang diwujudkan dalam

beberapa instrumen-instrumen internasional dan regional yang mengatur

tentang standar baku perlakuan terhadap para pengungsi (Training

Module, 1992: 17). Instrumen-instrumen internasional dan instrumen

regional yang dimaksud dalam definisi diatas adalah:

a. Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi;

b. Protokol Tahun 1967 Tentang Status Pengungsi;

c. Instrumen lain yang memilki daya laku internasional seperti:

1) The 1954 Convention Relating to the Status of Stateless Persons;

2) The 1961 Convention on the Reduction of Stateless Persons;

3) The Geneva Convention of 1949 Relating to the Protection of

Civilian Persins in Time of War;

4) The 1977 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12

August 1949;

5) The 1967 United Nations Declaration on the Territorial Asylum;

dan
30

6) Instrumen regional tentang Pengungsi seperti Afrika, Eropa, dan

Amerika Latin (Romsan dkk, 2003:85-86).

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dari instrumen-

instrumen diatas paling tidak terdapat lima prinsip umum yang berkaitan

dengan Hukum Pengungsi Internasional yang perlu diketahui, seperti

prinsip suaka (asylum), non ekstradisi, non refoulement, hak dan

kewajiban negara terhadap para pengungsi, kemudahan-kemudahan

(facilities) yang diberikan oleh negara-negara yang bersangkutan terhadap

pengungsi (Romsan dkk, 2003:86).

2.4.2 Konvensi Terkait Hukum Pengungsi Internasional

2.4.2.1 The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees

(Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi Tahun)

Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi disahkan

tanggal 28 Juli 1951 oleh United Nations Conference of

Plenipotentiaries on the Status of Refugees and Stateless Persons

yang dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa No. 429 (V) tanggal 14 Desember 1950. Konvensi

tahun 1951 ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 1954 sesuai

dengan ketentuan Pasal 43 Konvensi (Romsan dkk, 2003:87).

Secara garis besar Konvensi tahun 1951, terdiri dari 46 pasal

dan 7 bab, merupakan perjanjian internasional bersifat multilateral

yang memuat tentang prinsip-prinsip hukum internasional penting.

Misalnya Pasal 33 tentang prinsip non refoulement. Konvensi juga

menjelaskan mengenai beberapa kelompok orang atau golongan


31

yang tidak berhak memperoleh perlindungan Konvensi. Beberapa

hak dasar yang harus dimilki oleh seorang pengungsi dirinci secara

jelas. Ditekankan disini bahwa seorang pengungsi berkewajiban

untuk patuh dan taat kepada peraturan di negara mana ia

ditempatkan (Romsan dkk, 2003:87-88).

Konvensi tahun 1951 ini lebih maju dibandingkan dengan

instrumen-instrumen pengungsi lainnya, misalnya:

a. Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini

dirumuskan sangat umum sekali.

b. Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur

dalam Pasal 33.

c. Konvensi ini menetapkan standar minimum tentang

perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak-hak dasar yang

harus dimilki oleh pengungsi serta kewajiban-kewajiban yang

harus dipatuhi oleh seorang pengungsi.

d. Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak

untuk mendapat pekerjaan dan kesejahteraan lainnya.

e. Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Pengenal (KTP),

dokumen perjalanan, tentang naturalisasi serta hal-hal yang

berkaitan dengan masalah administrasi lainnya.

f. Konvensi menghendaki agar negara bekerjasama dengan

UNHCR dalam melaksanakan fungsinya, serta memfasilitasi

tugas supervise dalam penerapan Konvensi (Romsan dkk,

2003:88).
32

2.4.2.2 The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol

Tahun 1967 Tentang Status Pengungsi)

Protokol tentang Status Pengungsi tahun 1967 ini

dimaksudkan untuk mengatasi persoalan pengungsi yang terjadi

setelah Perang dunia II, terutama pengungsi yang timbul karena

konflik politik di Afrika di tahun 1950-an dan tahun 1960-an.

Kelompok pengungsi baru ini jelas tidak termasuk dalam

pengertian pengungsi menurut Konvensi tahun 1951 yang lebih

menekankan pada kejadian sebelum tahun 1951. Karena itu,

dirasakan perlu untuk membuat Konvensi tahun 1951 dapat

diterapkan untuk semua situasi pengungsi. Untuk itulah maka

Konvensi tahun 1951 yang memberikan batasan waktu (dateline)

dan wilayah (geographical limitation) untuk pengungsi yang

terjadi di Eropa sebelum 1 Januari 1951 atau kejadian yang terjadi

di Eropa atau dimana saja sebelum 1 Januari 1951 diganti.

Protokol tahun 1967 lebih memiliki karakter universal (Romsan

dkk, 2003:89).

Protokol tahun 1967 merupakan independent instrument.

Artinya negara boleh ikut serta pada Protokol tanpa harus menjadi

peserta pada Konvensi tahun 1951. Walaupu demikian bagi

negara-negara yang telah menjadi peserta pada Konvensi atau

Protokol tidak dapat mereservasi beberapa pasal yang terdapat

dalam:

a. Pasal 1 (definisi pengungsi).


33

b. Pasal 3 (non diskriminasi terhadap ras, agama ataupun negara

asal).

c. Pasal 4 (kebebasan untuk menjalankan ajaran agama).

d. Pasal 33 (non refoulement).

e. Pasal 36-44 (tentang informasi perundangan nasional;

ketentuan penutup) (Romsan dkk, 2003:89).

Dengan adanya Protokol tahun 1967 jumlah negara yang ikut

serta pada Protokol menjadi meningkat lebih dari 100 negara

(Training module, 1992:20) dibandingkan dengan Konvensi tahun

1951 yang hanya enam negara saja yang ikut serta meratifikasi

sampai dengan tahun 1954. Situasi ini dilihat pada tugas yang

disebabkan oleh Statuta UNHCR yaitu mengajak negara-negara

untuk ikut serta pada instrumen internasional perlindungan

pengungsi dan juga mengawasi jalannya Konvensi (Romsan dkk,

2003:89-90).

2.5 United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR)

United Nations High Commisioner For Refugees (UNHCR) adalah

lembaga internasional yang diberi mandat untuk memberikan perlindungan

internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi yang permanen

terhadap para pengungsi dengan jalan membantu pemerintah-pemerintah,

pelaku-pelaku lainnya ataupun organisasi-organisasi kemanusiaan yang terkait


34

untuk memberikan fasilitas pemulangan (repatriation) bagi para pengungsi

(Romsan dkk, 2003:165).

Berdasarkan mandat yang diberikan kepada UNHCR diketahui bahwa

tugas yang diemban oleh organisasi ini merupakan tugas kemanusiaan yang

mulia, yaitu memberikan perlindungan internasional dan mencari solusi

terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh pengungsi. Dalam melaksanakan

fungsi kedua ini UNHCR berupaya memudahkan pemulangan (repatriation)

secara sukarela para pengungsi dan reintegrasi ke dalam negara asal mereka

atau jika hal itu tidak memungkinkan, membantu mempermudah integrasi

mereka ke negara pemberi suaka atau di negara tempat mereka dimukimkan

kembali (resettlement). Sambil berupaya menemukan solusi, UNHCR bila perlu

juga memberikan bantuan material jangka pendek. Kecuali dalam situasi

khusus, kegiatan pemberian bantuan material UNHCR dilaksanakan melalui

otoritas lokal atau nasional negara yang bersangkutan, badan Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang lain, Lembaga Swadaya Masyrakat (NGO), atau badan

teknis swasta lainnya (Romsan dkk, 2003:166-167).

Selain perlindungan internasional, UNHCR juga diberikan kewenangan

untuk:

1) Mempromosikan pembuatan dan peratifikasian konvensi-konvensi

internasional tentang perlindungan dan mengawasi aplikasinya serta

mengusulkan amandemennnya;

2) Mempromosikan melalui perjanjian-perjanjian khusus dengan pemerintah

setiap ketentuan yang diperkirakan dapat memperbaiki keadaan pengungsi

dan mengurangi jumlah pengungsi yang membutuhkan perlindungan;


35

3) Membantu usaha-usaha pemerintah dan swasta untuk mempromosikan

repatriasi sukarela atau pengasimilasian di komunitas di negara baru;

4) Mempromosikan penerimaan pengungsi, dengan tidak mengenyampingkan

orang-orang yang benar-benar dalam keadaan sangat miskin;

5) Mempercepat memperoleh izin bagi pengungsi untuk mentransfer aset

mereka terutama untuk kebutuhan pemukiman kembali (resettlement);

6) Memperoleh informasi dari pemerintah-pemerintah tentang jumlah dan

keadaaan pengungsi di wilayah mereka dan hukum serta peraturan-

peraturan yang mengatur tentang pengungsi;

7) Menjalin hubungan dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-

organisasi swasta untuk mengatasi pengungsi;

8) Mengadakan hubungan baik dengan organisasi-organisasi swasta untuk

mengatasi pengungsi;

9) Memberikan fasilitas koordinasi terhadap usaha-usaha koordinasi swasta

yang terkait dalam meningkatkan kesejahteraan pengungsi (romsan dkk,

2003:169-170).
36

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam sebuah penelitian ilmiah, metode penelitian merupakan satuan

sistem yang harus dicantumkan dan dilaksanakan selama proses penelitian tersebut

dilakukan. Hal ini sangat penting karena menentukan proses sebuah penelitian

untuk mencapai tujuan. Selain itu, metode penelitian merupakan sebuah cara untuk

melakukan penyelidikan dengan menggunakan cara-cara tertentu yang telah

ditentukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah, sehingga nantinya penelitian

tersebut dapat dipertanggung jawabkan (https://www.academia.edu)

Adapun perangkat penelitian yang digunakan oleh penulis dalam karya

tulis ini sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian dapat menggunakan salah satu dari 3 (tiga) bagian

grand methode yaitu library research, ialah karya ilmiah yang didasarkan pada

literatur atau pustaka; field research, ialah penelitian yang didasarkan pada

penelitian lapangan; dan bibliographic research, ialah penelitian yang

memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori.

Berdasarkan pada subyek studi dan jenis masalah yang ada, maka dari 3

(tiga) jenis grand methode yang telah disebutkan, dalam penelitian ini akan

digunakan metode penelitian library research atau penelitian kepustakaan.

Mengenai penelitian semacam ini lazimnya juga disebut “Legal Research” atau

“Legal Research Instruction” (Soekanto dan Mamudji, 2006: 23). Penelitian

semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang

diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library


37

based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials

(Ibrahim, 2006: 46).

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif. Dasar

dipilihnya jenis penelitian ini karena penulis akan mengkaji mengenai status

kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar yang ditinjau dari konsep-konsep

kewarganegaraan dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

Selain itu, dalam penelitian ini juga mengkaji tentang bentuk perlindungan

hukum terhadap pengungsi yang ditinjau dari hukum positif yang bersifat

internasional yakni Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi dalam kapasitas Indonesia

sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi tersebut.

3.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain

pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif, dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Soekanto dan

Mamudji, 2003:14). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis

pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

konseptual (conceptual approach) dan pendekatan komparatif.

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dengan menelaah dan menganalisis Konvensi Tahun 1951

tentang Status Pengungsi dan Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi

yang memiliki relevansi dengan rumusan masalah kedua terkait dengan bentuk
38

perlindungan hukum terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh, Indonesia

ditinjau dari hukum pengungsi internasional sehingga akan dapat ditemukan

substansi dari permasalahan yang dibahas.

Selain menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual

approach) yakni dengan mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang

berkaitan dengan status kewarganegaraan sesuai dengan rumusan masalah

pertama perihal status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan yang

berkaitan dengan prinsip non refoulement yang memiliki keterkaitan dengan

rumusan masalah kedua yang berbicara tentang perlindungan hukum yang

diberikan oleh Pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh

ditinjau dari hukum pengungsi internasional.

Adapun pendekatan ketiga yang digunakan adalah pendekatan

komparatif dengan tujuan untuk melakukan perbandingan antara instrumen

hukum internasional dengan instrumen hukum nasional yang berlaku di

Indonesia. Jenis pendekatan ini penulis gunakan untuk menjawab rumusan

masalah kedua terkait dengan perlindungan hukum yang diberikan oleh

Pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari

hukum pengungsi internasional

3.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang

menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan dan membatasi

area penelitian. Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti faktor-faktor


39

mana yang akan diteliti dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah

semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti atau akan

dieliminasi sebagian (Sunggono, 2006: 114).

Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada analisis terhadap status

kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar termasuk di dalamnya terkait

dengan sejarah munculnya konflik Rohingya di Myanmar dan bentuk

perlindungan hukum terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari

hukum pengungsi internasional dalam kapasitas dan status Indonesia sebagai

negara yang tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi

dan Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi.

3.4 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan

dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut data hukum sekunder

(Marzuki, 2005: 41). Adapun data sekunder yang diperoleh penulis dari sumber

kepustakaan terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

yang artinya memiliki otoritas. Adapun bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1) The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees yang

selanjutnya dikenal dengan Konvensi Tahun 1951 tentang Status

Pengungsi.

2) The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees yang selajutnya

dikenal dengan Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi.


40

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

International Convention Against Torture and Other Cruel in Human

Degrading Treatment or Punishment 1987.

4) Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan

Pengungsi dari Luar Negeri.

b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang bersifat membantu

atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang memperkuat

penjelasan didalamnya. Bahan hukum sekunder juga dapat diartikan sebagai

segala bentuk publikasi yang berkaitan dengan hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Adapun bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1) Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan mengenai konsep-

konsep kewarganegaraan, status kewarganegaraan, hukum pengungsi

internasional dan perlindungan pengungsi internasional;

2) Hasil-hasil penelitian tentang ataupun yang berkaitan dengan status

kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan bentuk perlindungan

hukum terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh ditinjau dari hukum

pengungsi internasional;

3) Pendapat para ahli yang berkaitan dengan status kewarganegaraan etnis

Rohingya di Myanmar dan bentuk perlindungan hukum terhadap para

pengungsi Rohingya di Indonesia ditinjau dari hukum pengungsi

internasional;

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder


41

(Ibrahim, 2006: 296). Adapun bahan hukum tersier yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia

3) Kamus Bahasa Inggris

3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi

dokumen. Teknik studi dokumen adalah pengumpulan bahan hukum melalui

sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas yakni

terkait dengan status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar dan bentuk

perlindungan hukum terhadap pengungsi Rohingya di Aceh, Indonesia ditinjau

dari hukum pengungsi internasional. Setelah seluruh bahan hukum terkumpul

dan terpenuhi kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan

dengan masalah dalam penelitian ini.

3.6 Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul, maka bahan

hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknik

analisis bahan hukum adalah content analysis. Content Analysis menunjukan

pada metode analisis yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan

untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan

hukum untuk memenuhi makna, signifikansi, dan relevansinya (Bungin, 2007:

13).
42

Teknik content analysis dalam penelitian ini yakni dengan menganalisis

bahan-bahan hukum yang relevan terkait dengan permasalahan dalam

penelitian ini yang berkaitan dengan status kewarganegaraan dan bentuk

perlindungan hukum terhadap pengungsi. Setelah bahan hukum terkumpul

kemudian diidentifikasi yang disesuaikan dengan permalasahan yang dibahas.

Kemudian hasil identifikasi tersebut diolah dan dianalisis sehingga membentuk

makna dan jawaban yang terkait dengan rumusan masalah dalam penelitian ini
43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar

4.1.1 Sejarah Etnis Rohingya di Myanmar

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, sejarah dapat diartikan

sebagai silsilah, asal-usul (keturunan), atau kejadian yang terjadi pada

masa lampau. Sedangkan para ahli mengemukakan definisi sejarah antara

lain sebagai berikut:

a. Sejarah adalah suatu studi yang telah dialami manusia di waktu

lampau dan telah meninggalkan jejak di waktu sekarang, di mana

tekanan perhatian diletakkan, terutama dalam pada aspek peristiwa

sendiri. Dalam hal ini terutama pada hal yang bersifat khusus dan segi-

segi urutan perkembangannya yang disusun dalam cerita sejarah

(Widja, 1989: 9).

b. Sejarah adalah gambaran tentang masa lalu manusia dan sekitarnya

sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap.

Meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan

yang memberikan pengertian pemahaman tentang apa yang telah

berlalu (Kartodirdjo, 1982: 12).

c. Sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya

sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap,

meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan,

yang memberi pengertian tentang apa yang telah berlalu (Gazalba,

1981: 13).
44

Dari beberapa pengertian sejarah di atas maka dapat disimpulkan

bahwa sejarah adalah ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian atau

peristiwa pada masa lalu manusia serta merekontruksi apa yang terjadi

pada masa lalu dan meninggalkan jejak-jejak dimasa sekarang sehingga

dapat memberikan tafsiran terhadap kejadian dan fakta-fakta yang ada di

masa lalu.

Asal mula penyebutan etnis Rohingya dan bagaimana mereka bisa

sampai ke Myanmar masih menjadi sejarah yang diperdebatkan hingga

saat ini. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa kata “Rohingya” berawal

dari bahasa Arab “Rahma” yang berarti pengampunan

(http://news.okezone.com). Kata ini merujuk pada cerita pedagang Arab

yang terancam hukuman mati oleh Raja Arakan pada abad ke-18

(Radhani, 2014). Namun, karena penduduk Arakan kesulitan untuk

mengucapkan kata “Rahma” mereka justru menyebut “Raham”.

Kemudian kata itu berubah menjadi “Rohang” dan akhirnya berubah

menjadi “Rohingya”.

Sejarah keberadaan etnis Rohingya diawali pada abad ke-15 hingga

ke-16 dimana penguasa Rakhine Utara dan Bangladesh melakukan

beberapa aktivitas kerjasama, mulai dari perdagangan, militer serta

penyebaran agama. Pada abad inilah terjadi arus imigrasi umat Islam dari

Bangladesh ke Arakan (Arakan merupakan salah satu wilayah di

Myanmar yang berbatasan langsung dengan Bangladesh dan saat ini

dikenal dengan nama Rakhine). Terjadinya kerjasama antara penguasa

Rakhine Utara dan Bangladesh dikarenakan Rakhine Utara yang


45

merupakan bagian dari wilayah Myanmar berdekatan dengan

Bangladesh. Hal ini diketahui dari letak geografis Myanmar yang

berbatasan dengan India dan Bangladesh di sebelah barat, kemudian pada

bagian timur berbatasan dengan Thailand dan Laos, sedangkan pada

bagian utara dan timur laut berbatasan dengan China

(https://id.wikipedia.org).

Pada tahun 1784 Arakan diserang oleh Kerajaan Bamar raja Budha

dari suku Birma yang bernama Bodawpaya (masa pemerintahan 1782-

1819 M) yang merupakan kerajaan yang menganut agama Budha.

Kemudian ia mengambil alih kerajaan Rakhine Utara dan

menggabungkannya untuk menjadi Myanmar Pusat. Peristiwa tersebut

mengakibatkan etnis Rohingya melarikan diri ke daerah Cox Bazar di

Bangladesh. Para etnis Rohingya yang kabur ke Bangladesh dan sebagian

dari mereka tidak kembali ke Myanmar atau menetap di Bangladesh dan

menjadi terintegrasi dengan masyarakat setempat.

Pada tahun 1984, Inggris menjajah Myanmar untuk menggelar

otonomi daerah. Wilayah Arakan tak luput dari serangan penjajah Inggris

dan pada saat pejajahan Inggris, wilayah Arakan digabungkan dengan

India. Diawal penjajahannya, Inggris mencatat penduduk yang mendiami

wilayah ini merupakan setengah Bengali dan setengah Magh, bahasa yang

digunakan adalah Maghi yang merupakan campuran bahasa Arakan,

Bengali dan Urdu.

Kemudian sampai pada perang dunia II ada beberapa peristiwa

pemberontakan yang terjadi. Pada masa pemerintahan Inggris, terdapat


46

migrasi Bangladesh ke Myanmar dan pemerintah Inggris

mempertimbangkan hal tersebut dengan dengan tujuan dari pemerintah

Inggris untuk memperkerjakan mereka sebagai buruh tani. Namun,

migrasi yang terjadi selama periode tersebut dianggap ilegal oleh

pemerintah Myanmar, dan itu adalah salah satu alasan mengapa mereka

menolak kewarganegaraan Rohingya (Rizki, 2015: 3).

Berdasarkan sejarah keberadaan etnis Rohingya di Myanmar maka

sebenarnya etnis Rohingya merupakan salah satu etnis yang kerapkali

melakukan perpindahan wilayah dengan berbagai faktor seperti adanya

pengaruh kerjasama antar kerajaan, penyerangan hingga faktor

penjajahan. Perpindahan ini mengakibatkan etnis Rohingya memiliki ciri

yang berbeda dibandingkan dengan etnis mayoritas di Myanmar maupun

di Bangladesh, maka dari itu sulit untuk menentukan siapa sebenarnya

etnis Rohingya ini. Namun berdasarkan jejak dan rekam sejarah, etnis

Rohingya merupakan etnis yang berasal dari Bangladesh dan telah

mendiami wilayah Myanmar berabad-abad tahun yang lalu.

4.1.2 Kedudukan Etnis Rohingya di Myanmar

Rakyat (people) yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam

hubungannya dengan negara disebut dengan istilah warga negara (citizen).

Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum

yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan

terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak diakui

(recognized) oleh negara dan wajib dihormarti (respected), dilindungi

(protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh


47

negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-

kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga

wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau

ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara (Rokilah, 2017: 54).

Gagasan tentang kewarganegaraan (citizenship) sesungguhnya

dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan kewarganegaraan yang

bersumber dari peradaban Yunani Kuno, republik Romawi sampai pada

modernitas Barat. Pemikiran yang tumbuh di masa Yunani Kuno telah

memberi pijakan kuat bagi teorisasi kewarganegaraan khususnya pada

kewarganegaraan modern. Salah satunya dari Aristoteles (384 -322 SM)

seorang pemikir, ilmuwan, ahli logika dan sekaligus filosof terkenal saat

itu. Karyanya yang berjudul Politics telah memberikan inforrmasi penting

mengenai Athena sebagai suatu negara kota (polis) di masa Yunani Kuno

yang demokratis beserta keberadaan warganya di polis tersebut

(polites/politai) (Winarno, 2015: 56).

Istilah polis, polites dan politeia yang merupakan bahasa Yunani

menjadi kata-kata kunci atau dikenal sebagai bagian dari Aristotle’s term,

yang nantinya diterjemahkan sebagai state, citizen dan constitution dalam

bahasa Inggris. Ketiga istilah tersebut tidak bisa dipisahkan dan untuk

memahami satu hal, maka yang lain juga harus dipahami pula. Dikatakan

bahwa “to understand what a constitution (politeia) is, we must inquire

into the nature of the city (polis); and to understand that since the city is

a body of citizens (politai) we must examine the nature of citizenship”

(Winarno, 2015: 56).


48

Kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu bentuk dari identitas

sosial politik (a form of social political identity) seseorang yang

keberadaannya berkaitan dengan waktu yang berkembang. Di sisi lain,

kewarganegaraan ternyata tidak hanya sebuah identitas, tetapi mencakup

pula atribut rights, obligations, active in public affairs, dan an acceptance

of societal values. Oleh karena itu pula definisi kewarganegaraan

termasuk pula definisi warga tidaklah sama, mencakup banyak dimensi.

Menurut Aristoteles, definisi tentang warga ditentukan oleh bentuk

pemerintahan atau ia sebut bentuk konstitusinya. Salah satu ungkapannya

adalah “… it may be that someone who is a citizen in a democracy is not

one in an oligarchy” (Winarno, 2015: 56-57).

Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan

kadang-kadang hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu

negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewaajiban-kewajiban

individu itu pada hukum internasional. Kewarganegaraan dapat sebagai

etudes keanggotaan kolektivitas individu-individu dimana tindakan,

keputusan dan kebijakan mereka diakui melalui konsep hukum negara

yang mewakili individu-individu itu (Starke, 1989: 125).

Kewarganegaraan adalah faktor yang penting bagi individu, karena

dengan kewarganegaraan dia dapat mempunyai identitas, sebagai dasar

untuk mendapatkan perlindungan negaranya, dan sebagai dasar untuk

memperoleh hak-hak sipil dan politiknya. Seorang warga negara secara

otomatis mendapatkan hak untuk menentukan tempat tinggal di wilayah

negaranya, memperoleh paspor dan perlindungan dari negaranya jika


49

bepergian ke luar negeri. Selain itu, seseorang yang berkewarganegaraan

juga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh fasilitas

publik, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan mempunyai

akses untuk berperkara di pengadilan. Hak-hak tersebut tidak dimiliki oleh

orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (Krustiyanti, 2010:

36).

Beberapa cara yang umum untuk mendapatkan kewarganegaraan

sebagai berikut:

1. Melalui kelahiran. Beberapa negara memberikan kewarganegaraan

pada anak berdasarkan kelahiran di wilayah teritorialnya (Asas Ius

Soli), sedangkan negara-negara yang lain memberikan

kewarganegaraan pada seorang anak berdasarkan kewarganegaraan

orang tuanya (Asas Ius Sanguinis), dan di beberapa negara lainnya

pemberian kewarganegaraan didasarkan pada hal lain;

2. Melalui perkawinan;

3. Melalui adopsi atau legitimasi;

4. Melalui naturalisasi. Secara teknis, hal ini merujuk pada suatu situasi

dimana orang asing diberikan kewarganegaraan oleh negara lain

berdasarkan permintaannya sendiri, akan tetapi terkadang

terminologi naturalisasi digunakan dalam arti yang lebih luas untuk

menjangkau perubahan-perubahan kewarganegaraan setelah

kelahiran (Malanczuk, 1997: 263).

Berbicara tentang kewarganegaraan tidak dapat terlepas dari asas-

asas dari kewarganegaraan itu sendiri. Asas kewarganegaraan merupakan


50

pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang

menjadi warga negaranya. Adapun beberapa asas yang dikenal saat ini,

antara lain asas kewarganegaraan yang dilihat dari segi kelahiran yaitu

asas ius soli dan ius sanguinis sedangkan asas kewarganegaraan dari segi

perkawinan yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat

(Soetoprawiro, 1996:3-4).

Asas ius soli yaitu prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian

hukum mengenai tanah kelahiran, dan asas ius sanguinis yakni prinsip

yang mendasarkan diri pada hubungan darah (Azed, 1995: 4). Kedua

istilah ini berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil, atau pedoman.

Sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau

daerah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman yang berdasarkan

tempat atau daerah. Dalam kaitan dengan asas kewarganegaraan ini, ius

soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat

kelahirannya (Soetoprawiro, 1996: 10).

Asas ius soli lazim diberlakukan oleh negara-negara yang memiliki

jumlah warga negara yang sedikit, yang kebanyakan penduduk di negara

itu merupakan warga pendatang yang diterima untuk melaksanakan

berbagai pekerjaan bagi perkembangan perekonomiannya, atau para

imigran yang diterima dengan baik di negara yang bersangkutan. Menurut

Sudargo Gautama, kepentingan negara-negara yang termasuk negeri-

negeri imigran adalah bagaimana kepentingan warga-warga asing yang

masuk dalam negeri mereka secepat mungkin diasimilasi untuk menjadi

warga negera bersangkutan. Terutama dalam negeri-negeri yang masih


51

kekurangan warga, hubungan pertalian dengan negara asal secepat

mungkin harus dilepaskan. Para imigran ini secepat mungkin harus

dijadikan warganegara dari negara baru yang telah dipilih oleh mereka

sebagai tempat mencari kehidupan. Untuk negeri-negeri semacam ini

sudah tentu penerapan asas ius soli adalah yang paling tepat (Charity,

2016: 815).

Berbeda dengan asas ius soli, asas ius sanguinis mendasarkan diri

pada faktor pertalian hubungan darah seseorang dengan status

orangtuanya. Jika orang tuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka

otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan

kewarganegaraan yang disemat orang tuanya. Namun demikian, dalam

dinamika pergaulan antar bangsa yang kian terbuka, kita tidak dapat lagi

membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status

kewarganegaraannya. Karena, faktanya seringkali terjadi perkawinan

campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda

antara pasangan suami dan istri. Terlepas dari perbedaan sistem

kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan

suami-istri itu, hubungan hukum antara suami-istri yang melangsungkan

perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan

berkenaan dengan status kewarganegaraan dari anak-anak mereka.

Penentuan apakah seseorang menjadi warganegara suatu negara ataukah

tidak, dengan asas ius sanguinis maupun ius soli tidak dapat dilepaskan

dari keadaan-keadaan yang menjadi latar belakang penentuan tersebut,

yakni tergantung pada keinginan pembentuk negara atau pemerintah


52

masing-masing negara untuk menjadikan warga negaranya sebagaimana

yang mereka kehendaki dan dicita-citakan (Charity, 2016: 816-817).

Selain ius soli dan ius sanguinis yang dikategorikan sebagai dasar

kewarganegaraan dari segi kelahiran, adapun asas kewarganegaraan lain

yang ditinjau dari segi perkawinan yaitu asas kesatuan hukum dan asas

persamaan derajat. Asas kesatuan hukum bertujuan untuk mendukung

terciptanya kesatuan dalam keluarga, para anggota keluarga harus tunduk

pada hukum yang sama. Ada banyak aspek positif yang akan

menguntungkan penyelenggaraan kehidupan keluarga tersebut, apabila

para anggota keluarga tunduk pada hukum yang sama. Asas persamaan

derajat menyatakan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan

berubahnya status kewarganegaraan masing-masing pihak, baik pihak

suami maupun pihak istri tetap berkewarganegaraan asal. Artinya

kewarganegaraan mereka tetap sama seperti sebelum terjadi perkawinan

(Wijayanti, 2011: 60).

Kedudukan warga negara penting bagi seseorang karena hal ini

berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban yang akan mereka peroleh.

Memiliki kedudukan sebagai seorang warga negara berpengaruh terhadap

perlindungan hukum yang akan diberikan oleh negara yang bersangkutan.

Kedudukan warga negara tidak terbatas hanya terkait dengan hak dan

kewajiban namun kedudukan warga negara dapat berarti kedudukan yang

berkaitan dengan status kewarganegaraan, kedudukan dalam arti sosial,

hukum maupun politik.


53

Dalam penelitian ini, kedudukan etnis Rohingya di Myanmar

ditekankan dan difokuskan hanya pada status kewarganegaraan etnis

Rohingya di Myanmar.Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya

status kewarganegaraan etnis Rohingya itu sendiri diawali dari sejarah

keberadaan etnis Rohinya di Myanmar.

Berdasarkan fakta sejarah, dapat dikatakan bahwa Etnis Rohingya

adalah kelompok etnis yang berasal dari Bangladesh, namun telah

bermukim di negara bagian Rakhine di Myanmar sejak abad ke-15

Masehi. Meskipun telah berabad-abad tinggal di Myanmar, pemerintah

Myanmar menganggap bahwa Rohingya termasuk dalam etnis Bengali

sehingga tidak dapat diakui sebagai salah satu etnis Myanmar. Tidak

diberikannya pengakuan kewarganegaraan membuat etnis Rohingya

tidak mendapat perlindungan nasional. Etnis Rohingya mengalami

berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa rekam jejak

pelanggaran HAM yang diterima oleh etnis Rohingya di Myanmar antara

lain tidak diberikan izin usaha; pengenaan pajak yang tinggi bagi etnis

Rohingya; jika tidak dapat membayar pajak tersebut maka sebagian besar

lahan pertanian, tambak dan properti milik etnis Rohingya akan disita;

untuk keluar dari desa diperlukan izin dari otoritas lokal; etnis Rohingya

yang berada di Rakhine Utara dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi dan

dijadikan sebagai pekerja paksa; tidak diizinkan untuk meneruskan

pendidikan ke universitas yang ada di Myanmar maupun keluar Myanmar;

sulitnya mendapatkan izin nikah; pemerkosaan terhadap wanita yang

beretnis Rohinya yang dilakukan oleh tentara, pemerkosaan biasanya


54

terjadi pada tengah malam dan dilakukan di depan suami dan anak-anak

korban pemerkosaan tersebut, pengaduan tindakan ini hanya berujung

pada penahanan si pelapor, bahkan dalam beberapa kasus pelapor disiksa

dan dibunuh; pembunuhan; penyiksaan; dan penahanan secara ilegal yang

terjadi hampir setiap hari (Faniati, 2012: 95).

Selain pelanggaran tersebut, etnis Rohingya juga mengalami

pelanggaran HAM dalam hal beragama, diantaranya Junta memprovokasi

kerusuhan diantara warga dengan menginjinkan untuk membagikan buku-

buku dan catatan yang menghina Islam; masjid dan madrasah dihancurkan

dan ditutup; pelanggaran untuk membangun masjid dan madrasah yang

baru; tidak diizinkan untuk merenovasi masjid dan madrasah (Faniati,

2012: 95).

Tindakan-tindakan tersebut merupakan mekanisme yang dijalankan

Junta militer Myanmar dalam operasi-operasi militernya dengan tujuan

memusnahkan etnis Rohingya dari Myanmar. Operasi militer tersebut

antara lain:

1. Operasi Militer (resimen ke-5) pada November 1948;

2. Operasi Burma Terrritorial Force pada 1949-1950;

3. Operasi Militer (Second Emergency Chin Regimen) pada 1951-1952;

4. Operasi Mayu pada Oktober 1951-1953;

5. Operasi Mone-thone pada Oktober 1954;

6. Operasi Tentara dan Imigrasi pada Januari 1955;

7. Operasi UMP pada 1955-1958;\

8. Operasi Keptan Htin Kyaw pada 1959;


55

9. Operasi Shwe Kyi pada Oktober 1966;

10. Operasi Kyi Gan pada Oktober-Desember 1966;\

11. Operasi Ngazinka pada 1967-1969;

12. Operasi Myat Mon pada Februari 1969-1971;

13. Operasi Major Aung Than pada 1973;

14. Operasi Sabe pada Februari 1974-1978;

15. Operasi Nagamin pada Februari 1978-1980;

16. Operasi Shwe Hintha Ogos pada 1978-1980;

17. Operasi Galone pada 1979;

18. Operasi Pyi Thaya pada 1991-1992;

19. Operasi Na-Sa-Ka sejak 1992 hingga kini (Faniati, 2012: 96).

Banyaknya pelanggaran HAM dan dialami secara terus menerus

oleh etnis Rohingya inilah yang mendorong etnis Rohingya untuk

meninggalkan Myanmar dan mencari perlindungan di negara lain,

beberapa dari mereka pun sampai di wilayah Aceh, Indonesia

(Liliansa:2013).

Status kewarganegaraan etnis Rohingya tidak diakui di Myanmar

dan hal ini sesuai dengan apa yang dimuat dalam regulasi hukum

Myanmar dengan dikeluarkannya Burma Citizenship Law 1982. Dalam

Pasal 3 dinyatakan bahwa:

“Nationals such as the Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burman, Mon,


Rakhine or Shan and ethnic groups as have settled in any of the territories
included within the State as their permanent home from a period anterior
to 1185 B.C., 1823 A.D. are Burma citizens.”

Berdasarkan pasal ini seharusnya etnis Rohingya memiliki

kewarganegaraan Myanmar, tetapi dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa: “the


56

Council of State may decide whether any ethnic group is national or not”,

sehingga berdasarkan ketentuan tersebut etnis Rohingya tidak diakui

sebagai warga negara Myanmar, tetapi pemerintah Myanmar menganggap

bahwa etnis Rohingya berkebangsaan Bangladesh (Mangku, 2013: 66).

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang terdapat beberapa

asas yang lazim dijadikan pedoman bagi suatu negara. Sesuai dengan apa

yang telah penulis jabarkan sebelumnya bahwa asas tersebut adalah asas

ius soli dan ius sanguinis; dan asas kewarganegaraan dari segi

perkawinan, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Ius

soli dan ius sanguinis adalah dua teori kewarganegaraan yang

melandaskan pada kelahiran seseorang. Ius soli berarti pedoman yang

berdasarkan tempat atau daerah. Sedangkan ius sanguinis berarti

pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan.

Dalam hal ini etnis Rohingya tidak diakui status

kewarganegaraannya karena Myanmar sebagai tempat kelahiran mereka

menganut asas ius sanguinis sesuai dengan Pasal 5 Burma Citizenship

Law 1982 yang menyatakan bahwa: “Every national and every person

born of parents, both of whom are nationals are citizens by birth”,

sedangkan Bangladesh sebagai tempat dimana etnis mereka berasal

menganut asas ius soli sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2

Bangladesh Citizenship Act No. II of 1951 yang menyatakan bahwa :

“Notwithstanding anything contained in any other law, on the


commencement of this Order, every person shall be deemed to be a citizen
of Bangladesh, (i) who or whose father or grandfather was born in the
territories now comprised in Bangladesh and who was a permanent
resident of such territories on the 25th day of March, 1971 and continues
to be so resident; or (ii) who was permanent resident of the territories now
57

comprised in Bangladesh on the 25th day of March, 1971, and continues


to be so resident and is not otherwise disqualified for being a citizen by
or under any law for the time being in force.” (Mangku, 2013: 67).
Perbedaan asas kewarganegaraan yang dianut di Myanmar dan

Bangladesh mengakibatkan etnis Rohingya dikategorikan sebagai

kelompok Apatride atau Stateless. Apatride atau Stateless merupakan

salah satu implikasi dari penerapan asas Ius Soli dan Ius Sanguinis

sehingga etnis Rohingya tidak memperoleh status kewarganegaraan baik

dari pemerintah Myanmar maupun dari pemerintah Bangladesh.

4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Pengungsi Rohingya di Aceh

4.2.1 Perlindungan Hukum yang Dilakukan Oleh UNHCR Kepada

Rohingya

United Nations High Commisioner for Refugees atau dikenal dengan

istilah UNHCR adalah salah satu specialized agency dari PBB yang

merupakan organisasi internasional universal dan Sui Generis.

Kedudukan organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional

sekarang tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dilihat dalam Advisory

Opinion Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation of Injuries

(Krustiyanti, 2010: 73). UNHCR memiliki kewenangan yang mencakup

pengungsi yang ada sebelumnya sebagai akibat dari Perang Dunia II dan

juga pengungsi yang baru muncul kemudian setelah pendirian UNHCR.

Selain itu, UNHCR merupakan lembaga internasioal yang diberi mandat

untuk memberikan perlindungan internasional terhadap pengungsi dan

memberikan solusi yang permanen terhadap para pengungsi dengan jalan

membantu pemerintah-pemerintah, pelaku-pelaku lainnya ataupun


58

organisasi-organisasi kemanusiaan yang terkait untuk memberikan

fasilitas pemulangan (repatriation) (Romsan dkk, 2003:164-165).

Kewenangan UNHCR tersebut tidak pernah berubah sampai dengan

tahun 1950, namun demikian kewenangan ini telah mengalami perubahan

secara signifikan selama dekade terakhir, yaitu:

1. Peningkatan skala operasi UNHCR;

2. Semakin luasnya ruang lingkup aktivitas UNHCR; Jumlah persoalan-

persoalan yang ada sebelum keberadaan organisasi inipun terus

menerus meningkat;

3. Peningkatan jumlah pelaku-pelaku internasional yang memberikan

bantuan bagi perlindungan dan bantuan bagi pengungsi dan orang-

orang terlantar;

4. Di daerah-daerah yang tidak stabil dan di daerah-daerah yang

situasinya mudah berubah, misalnya daerah-daerah yang mengalami

situasi konflik bersenjata secara terus menerus juga mendapatkan

perhatian dari UNHCR (Romsan dkk, 2003: 165-166).

Berdasarkan mandat yang diberikan kepada UNHCR diketahui

bahwa tugas yang diemban oleh organisasi ini merupakan tugas

kemanusiaan yang mulia, yaitu memberikan perlindungan internasional

dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh

pengungsi. Dalam melaksanakan fungsi kedua ini, UNHCR berupaya

memudahkan pemulangan (repatriasi) secara sukarela para pengungsi dan

reintegrasi ke dalam negara asal mereka atau jika hal itu tidak

memungkinkan, membantu mempermudah integrasi mereka di negara


59

pemberi suaka atau negara tempat mereka dimukimkan kembali

(resettlement). Sembari berupaya menemukan solusi, UNHCR turut

memberikan bantuan material untuk jangka pendek apabila memang

diperlukan. Kecuali dalam situasi khusus, kegiatan pemberian bantuan

material UNHCR dilaksanakan melalui otoritas lokal atau nasional negara

yang bersangkutan, Badan Perserikatan Bamgsa-Bangsa yang lain,

Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), atau badan teknis swasta lainnya

(Romsan dkk, 2003: 166-167).

Kedua aspek mandat UNHCR diatas terkait satu sama lain dan tidak

dapat dipisahkan. Upaya mendapatan pemecahan masalah yang permanen

menjadi tujuan pokok perlindungan internasional. Dalam solusi permanen

paling tidak terdapat tiga pemecahan yang diberikan, yaitu:

1. Dikembalikan ke negara asal.

2. Dimukimkan di negara pemberi suaka pertama.

3. Dimukimkan di negara ketiga

Negara-negara anggota mengakui bahwa tugas badan ini bersifat

non politis. Tugas yang berupa tanggung jawab sosial dan bersifat

kemanusiaan itu dibebankan kepada UNHCR agar dapat dilaksanakan

dalam kerangka hukum yang disetujui oleh semua negara, yaitu hukum

internasional untuk pengungsi, dan pedoman (atau perundnag-undangan

nasional) yang dirancang oleh negara-negara itu untuk membantu

UNHCR mengidentifikasikan apa yang harus mereka lakukan untuk

melindungi dan membantu pengungsi (Romsan dkk, 2003: 168).


60

Selain perlindungan internasional, UNHCR juga diberikan

kewenangan untuk:

1. Mempromosikan pembuatan dan peratifikasian konvensi-konvensi

internasional tentang perlindungan dan mengawasi aplikasinya serta

mengusulkan amandemennya;

2. Mempromosikan melalui perjanjian-perjanjian khusus dengan

pemerintah setiap ketentuan yang diperkirakan dapat memperbaiki

keadaan pengungsi dan mengurangi jumlah pengungsi yang

membutuhkan perlindungan;

3. Membantu usaha-usaha pemerintah dan swasta untuk

mempromosikan repatriasi sukarela dan pengasimiliasian di

komunitas di negara baru;

4. Mempromosikan penerimaan pengungsi dengan tidak

mengenyampingkan orang-orang yang benar-benar dalam keadaan

yang sangat miskin;

5. Mempercepat memperoleh ijin bagi pengungsi untuk mentransfer aset

mereka terutama untuk kebutuhan pemukiman kembali (resettlement);

6. Memperoleh infomasi dari pemerintah-pemerintah tentang jumlah

dam keadaan pengungsi di wilayah mereka dan hukum serta

peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengungsi;

7. Menjalin hubungan dengan pemerintah-pemerintah dan organisasi-

organisasi swasta untuk mengatasi pengungsi;

8. Mengadakan hubungan baik dengan organisasi-organisasi swasta

untuk mengatasi pengungsi;


61

9. Memberikan fasilitas koordinasi terhadap usaha-usaha koordinasi

swasta yang terkait dalam meningkatkan kesejahteraan pengungsi

(Romsan dkk, 2003: 169-179).

Untuk itu berbagai aktivitas perlindungan yang diberikan baik di

lapangan maupun di markas besar UNHCR, seperti disebutkan dalam

UNHCR’s Protection Mandate adalah menjamin pemberian suaka,

menaksir kebutuhan dan memonitor perlakuan terhadap pengungsi dan

pencari suaka, bersama dengan negara tuan rumah menjamin keamanan

fisik pengungsi, mengidentifikasi kelompok-kelompok pengungsi yang

rentan dengan cara memastikan kebutuhan-kebutuhan mereka terhadap

perlindungan-perlindungan tertentu dan memprioritaskan bantuan dengan

jalan memastikan kesejahteraannya, menyokong sejumlah negara untuk

memantapkan sistem registrasi dan dokumentasi, mempromosikan

pengurangan orang yang tidak bernegara, berusaha aktif merevitalisasi

rezim perlindungan dengan jalan menjalin kerjasama dengan NGOs dan

organisasi internasional untuk meyakinkan dukungan yang luas bagi

rezim ini, mempromosikan hukum pengungsi termasuk advokasi bagi

penerimaan Konvensi dan Protokol-Protokol pengungsi dan

mengembangkan institusi nasional dan legislasinya, melindungi orang-

orang terlantar (IDPs), mengembangkan kapasitas perlindungan UNHCR

itu sendiri, mempromosikan dan mengimplementasikan solusi jangka

panjang bagi pemulangan sukarela, reintegrasi dan pemukiman serta

mengidentifikasikan kebutuhan untuk pemukiman dan memproses


62

kepatuhan untuk melaksanakan kewajiban untuk dimukimkan di negara

ketiga (Romsan dkk, 2003: 170-171).

UNHCR melindungi orang-orang maupun kelompok yang sesuai

dengan mandatnya, antara lain:

1. Orang-orang yang kembali pulang

Orang-orang yang kembali pulang adalah bekas pengungsi yang

secara sukarela kembali pulang ke negara asalnya, baik secara spontan

atau terorganisasi. Walaupun kebanyakan pengungsi lebih memilih

pulang ke negara asalnya, banyak kendala yang menghambat

pencapaian penyelesaian ini, termasuk keadaan di negara asal yang

masih rawan. Tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan di negara

asal seluruhnya tergantung aparat yang berwenang di negara itu, yang

mungkin meminta bantuan dari masyarakat internasional juga

(UNHCR, 2005: 81)

2. Warga tanpa negara

Warga tanpa negara adalah seseorang yang tidak dianggap

sebagai bagian dari kebangsaan atau warga dari negara manapun.

Kebangsaan atau kewarganegaraan merupakan hubungan sah antara

seseorang dengan negaranya yang menyatakan hak seseorang untuk

dilindungi oleh negara yang bersangkutan. Seseorang tanpa

kebangsaan dapat ditolak hak politiknya maupun tidak memperoleh

akses untuk mendapat perumahan atau pendidikan, walau orang

tersebut lahir dan dibesarkan di negara yang bersangkutan (UNHCR,

2005: 82)
63

Warga tanpa negara dapat terjadi karena berbagai alasan,

diantaranya:

(a) Negara terpecah menjadi negara-negara yang lebih kecil;

(b) Pemerintah secara semena-mena mengurangi hak warga negara

dari kewaganegaraannya;

(c) Seseorang secara sukarela melepaskan kewarganegaraannya tanpa

memperoleh kewarganegaraan lain terlebih dahulu;

(d) Perkawinan atau perceraian yang secara langsung mempengaruhi

status kewarganegaraannya;

(e) Kelalaian atau ketidakmampuan untuk mendaftarkan anaknya

pada saat lahir sehingga anak tersebut tidak dapat membuktikan

hak kewarganegaraannya;

(f) Menjadi anak dari seorang tanpa warga negara;

(g) Diskriminasi berdasarkan etnik/suku, agama atau ras dalam

penentuan status kewarganegaraan seseorang.

Warga tanpa negara tidak selalu merupakan dampak dari

kebijakan suatu pemerintahan. Keadaan tersebut juga dapat

diakibatkan oleh hukum yang berlaku (de jure) atau karena warga

negara tidak diakui dalam prakteknya (de facto) (UNHCR, 2005: 82).

3. Pengungsi di dalam negeri sendiri (Internally Displaced Persons)

Pengungsi di dalam negeri sendiri adalah orang-orang yang telah

mengungsi dari rumahnya dan pergi ke bagian lain dari negara tersebut

sebagai akibat dari adanya konflik bersenjata, kekerasan yang meluas,


64

pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, atau karena bencana

alam dan bencana akibat ulah manusia (UNHCR, 2005: 87).

UNHCR sebagai organisasi internasional yang menangani

perihal pengungsi secara internasional turut membantu Indonesia

dalam menghadapi masalah pengungsi, salah satunya yaitu pengungsi

Rohingya yang berada di wilayah Indonesia khususnya di wilayah

Aceh. Berkaitan dengan keberadaan pengungsi Rohingya, pada

dasarnya sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya maka

etnis Rohingya merupakan pengungsi yang termasuk warga tanpa

negara. Hal ini sesuai dengan latar belakang utama terjadinya konflik

yang berkepanjangan di Myanmar sehingga mengakibatkan etnis

Rohingya meninggalkan wilayah Myanmar yaitu tidak diakuinya

status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar. Dengan tidak

diakuinya status kewarganegaraan ini maka etnis Rohingya

mendapatkan perlakuan diskriminasi seperti sulitnya memperoleh

pekerjaan, layanan pendidikan maupun kesehatan. Selain itu, etnis

Rohingya memperoleh perlakuan kekerasan hingga menimbulkan

korban jiwa. Secara garis besar pada dasarnya etnis Rohingya telah

mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

UNHCR merupakan lembaga internasional satu-satunya yang

mempunyai mandat umum yang diperoleh dari resolusi-resolusi

Sidang Umum PBB, untuk membantu warga tanpa negara.

Berdasarkan perangkat perjanjian diatas, UNHCR bekerja untuk:

1. Memastikan agar hak warga tanpa negara dihormati;


65

2. Mencegah terciptanya status warga tanpa negara, misalnya dengan

mendorong negara agar menganugerahkan kewarganegaraan bagi

orang-orang yang mempunyai hubungan nyata dengan wilayahnya

yang jika tidak diberikan akan mengakibatkannya menjadi warga

tanpa negara (Paramitha, 2016:).

Mencari solusi jangka panjang bagi mereka yang membutuhkan

perlindungan internasional di Indonesia adalah salah satu tugas

terpenting UNHCR. Pemerintah Indonesia memberikan dukungan

besar dalam pemberian suaka dengan pemberian ijin bagi pencari

suaka untuk berada di Indonesia, memperoleh layanan UNHCR dan

ijin tinggal sementara di Indonesia selama mereka menunggu solusi

jangka panjang yang sesuai bagi mereka. Upaya yang diberikan oleh

UNHCR merupakan solusi jangka panjang yang terdiri dari integrasi

lokal, pemulangan secara sukarela, atau penempatan di negara ketiga,

yaitu:

1. Integrasi lokal saat ini belum menjadi pilihan yang memungkinkan

untuk kebanyakan kasus di Indonesia mengingat Indonesia belum

memiliki Undang-undang lokal untuk mengatur hak-hak dan cara

pengintegrasian pengungsi. Pengungsi dan pencari suaka hanya

memperoleh ijin untuk tinggal di Indonesia secara sementara.

2. Pemulangan sukarela menjadi pilihan bagi sebagian kecil pencari

suaka dan pengungsi dari Afghanistan, Irak, Iran, Rohingya dan

Sri Lanka di Indonesia. Peran UNHCR adalah untuk melakukan

konseling dengan masing-masing individu untuk memastikan


66

bahwa mereka memang secara sukarela tidak keberatan untuk

kembali ke negara asalnya. Segala kebutuhan perjalanan seperti

dokumen, penerbangan, uang tunai dan penerimaan di negara asal

ditangani oleh mitra operasional UNHCR, International

Organization for Migration (IOM).

3. Penempatan di negara ketiga bukanlah hak bagi pengungsi dan

negara tidak memiliki kewajiban internasional untuk menerima

pengungsi yang secara sementara tinggal di negara suaka yang

pertama. Dengan demikian, penempatan di negara ketiga adalah

solusi jangka panjang yang bergantung pada kesediaan negara

penerima. Di Indonesia, penempatan dinegara ketiga menjadi

pilihan yang paling memungkinkan bagi mayoritas pengungsi. Di

Indonesia, sepanjang satu dekade terakhir (2004-2014), sebanyak

3,108 orang telah menerima penempatan di negara ketiga,

terutama di Australia. Dalam konteks yang berlaku di Indonesia,

penempatan di negara ketiga menjalankan fungsi strategis

khususnya dalam hal relevansi terkait “ruang perlindungan” yang

diberikan pemerintah bagi pencari suaka dan pengungsi yang baru

datang (Paramitha, 2016)

4.3.2 Perlindungan Hukum Etnis Rohingya di Indonesia yang Belum

Meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi

Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi disahkan pada

tanggal 28 Juli 1951 oleh United Nations Conference of Plenipotentiaries


67

on the Status of Refugees and Stateless Persons yang dikuatkan dengan

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 429 (V) tanggal

14 Desember 1950. Konvensi tahun 1951 ini mulai berlaku pada tanggal

22 April 1954 sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Konvensi (Romsan dkk,

2003: 87).

Secara garis besar, Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi

terdiri dari 46 pasal dan 7 Bab yang merupakan perjanjian internasional

yang bersifat multilateral. Dimana konvensi ini memuat tentang prinsip-

prinsip hukum internasional, misalnya Pasal 33 tentang prinsip non

refoulement. Konvensi ini juga menjelaskan mengenai beberapa

kelompok orang atau golongan yang tidak berhak memperoleh

perlindungan dari Konvensi. Beberapa hak dasar yang harus dimiliki oleh

seorang pengungsi dirinci secara jelas. Misalnya seperti pada Pasal 4

tentang kebebasan untuk menjalankan agama mereka masing-masing,

Pasal 3 terkait dengan hak untuk mendapat perlakuan yang sama, Pasal 10

hak tentang kelangsungan tempat tinggal, Pasal 13 hak untuk memiliki

benda bergerak dan tidak bergerak, Pasal 14 hak atas karya seni dan hak

industri, Pasal 15 hak untuk berserikat dan Pasal 16 hak untuk

mendapatkan keadilan. Ditekankan disini bahwa seorang pengungsi

berkewajiban untuk patuh dan taat kepada peraturan di negara dimana ia

ditempatkan sesuai dengan apa yang tertuang pada Pasal 2 Konvensi

Tahun 1951 tentang Status Pengungsi (Romsan dkk, 2003: 87-88)


68

Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi lebih maju

dibandingkan dengan instrumen-instrumen pengungsi lainnya, sebagai

berikut:

1. Pasal 1 yang memuat tentang definisi pengungsi. Definisi ini

diumumkan sangat umum sekali.

2. Konvensi ini memuat prinsip non refoulement yang diatur dalam

Pasal 33.

3. Konvensi ini menetapkan standar minimum tentang perlakuan

terhadap pengungsi, termasuk hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh

pengungsi serta kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh

seorang pengungsi.

4. Konvensi mengatur tentang status yuridis pengungsi, hak untuk

mendapat pekerjaan dan kesejahteraan lainnya.

5. Konvensi ini mengatur tentang Kartu Tanda Penduduk (KTP),

dokumen perjalanan, tentang naturalisasi serta hal-hal yang berkaitan

dengan masalah administrasi lainnya.

6. Konvensi menghendaki agar negara bekerja sama dengan UNHCR

dalam melaksanakan fungsinya, serta memfasilitasi tugas supervise

dalam penerapan Konvensi (Romsan dkk, 2003: 88)

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi ini dimaksudkan

untuk mengatasi persoalan pengungsi yang terjadi setelah Perang Dunia

II, terutama pengungsi yang timbul karena konflik politik di Afrika pada

tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Kelompok pengungsi baru ini jelas

tidak termasuk dalam pengertian pengungsi menurut Konvensi Tahun


69

1951 tentang Status Pengungsi yang lebih menekankan pada kejadian

sebelum 1 Januari 1951. Karena itu, dirasakan perlu untuk membuat

Konvensi tahun 1951 dapat diterapkan untuk semua situasi pengungsi.

Untuk itulah maka Konvensi Tahun 1951 yang memberikan batasan

waktu (dateline) dan wilayah (geographical limitation) untuk pengungsi

yang terjadi di Eropa sebelum 1 Januari 1951 atau kejadian yang terjadi

di Eropa atau dimana saja sebelum 1 Januari 1951 diganti. Protokol Tahun

1967 tentang Status Pengungsi lebih memiliki karakter universal (Romsan

dkk, 2003: 89).

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi merupakan

independent instrument. Artinya negara boleh ikut serta pada Protokol

tanpa harus menjadi peserta pada Konvensi Tahun 1951 tentang Status

Pengungsi. Walaupun demikian bagi negara-negara yang telah menjadi

peserta pada Konvensi dan Protokol tidak dapat mereservasi beberapa

pasal yang terdapat dalam:

1. Pasal 1 (definisi pengungsi);

2. Pasal 3 (non diskriminasi terhadap ras, agama ataupun negara asal);

3. Pasal 4 (kebebasan untuk menjalankan ajaran agama);

4. Pasal 33 (non refoulement);

5. Pasal 36-44 (tentang informasi perundangan nasional; ketentuan

penutup) (Romsan dkk, 2003: 89).

Kedatangan pengungsi Rohingya ke wilayah Indonesia tepatnya di

wilayah Aceh bukanlah kali pertama Indonesia menghadapi kedatangan

pengungsi. Indonesia sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi


70

Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol Tahun 1967 tentang

Status Pengungsi secara teoritikal tidak harus menerima kedatangan

pengungsi Rohingya kerena dengan tidak meratifikasi sebuah konvensi

internasional maka Indonesia tidak tunduk terhadap aturan yang dimuat

dalam konvensi tersebut.

Pada praktiknya ternyata Indonesia tetap memberikan tempat dan

ruang untuk menampung dan menerima kedatangan pengungsi Rohingya.

Hal ini didasari karena Indonesia merupakan negara hukum seperti apa

yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Republik Indonesia Tahun

1945. Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum dan

kepastian hukum maka secara langsung Indonesia merupakan negara

yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Keterkaitan prinsip-prinsip HAM dengan Pengungsi dapat dilihat

mulai dari pengertian pengungsi itu sendiri. Pengungsi merupakan

segolongan manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan sewenang-

wenang oleh para penguasa baik di negara mereka sendiri ataupun di

negara dimana mereka mengungsi. Sebagai individu, kelompok

masyarakat dan sebagai “manusia” mereka berhak mendapat perlakuan

yang manusiawi, karena mereka adalah manusia. Setiap pengungsi berhak

mendapatkan perlindungan baik dalam hukum nasional maupun hukum

internasional. Hak-hak yang dimiliki oleh para pengungsi sama dengan

hak-hak yang dimiliki oleh warga negara di tempat mereka mencari

perlindungan, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat

penyiksaan, hak untuk mendapatkan status kewarganegaraan, hak untuk


71

bergerak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan, hak

untuk mendapatkan pengupahan yang wajar, hak dalam bidang kesehatan,

hak untuk menjalankan perintah agama dan pendidikan agama untuk

anak-anak mereka, hak untuk tidak dipulangkan secara paksa. Masih

banyak hak-hak lain yang tidak dapat disebutkan secara satu persatu,

sejauh hak itu melekat kepada diri mereka sebagai individu manusia,

maka berlaku juga bagi seorang pengungsi (Romsan dkk, 2003: 138-139).

Secara garis besar hak-hak yang melekat kepada diri seorang

pengungsi adalah hak-hak yang menyangkut hak-hak sipil, politik,

ekonomi, sosial dan budaya, yang berlaku utnuk semua orang, warga

negara dan juga yang bukan warga negara. Hak-hak yang disebutkan

diatas dirangkum dalam The International Bill of Human Rights yang

terdiri dari The Universal Declaration of Human Rights, The

International Covenant on Civil and Political Rights, dan The

International Covenant on Economics, social and Cultural Rights. Dari

ketiga instrument HAM internasional diatas. Adapun pasal-pasal yang

berkaitan dengan pengungsi adalah:

1. UDHRs (DUHAM) 1948:

a. Article 9: No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention


or exile;
b. Article 14 (1): Everyone has the right to seek and to enjoy in other
countries asylum from prosecution;
c. Article 13:
(1) Everyone has the right to freedom of movement and residence
within the borders of each State;
(2) Everyone has the right to leave any country, including his own,
and to return to his country;
d. Article 15 (1): Everyone has the right to nationality.
72

2. ICCPR

a. Article 12:

(1) Everyone lawfully within the territory of a State shall, within


that territory, have the right to liberty of movement and
freedom to choose his resi`dence;
(2) Everyone shall be free to leave any country, including his own;
(3) The above-mentioned rights shall not be subject to any
restrictions except those which are provided by law, are
necessary to protect national security, public order, public
health or morals or the rights are freedoms of others, and are
consistent with other rights rocognized in the oresent
Convenant;
(4) No one shall be arbitrarily deprived of the right to enter his
own country (Romsan dkk, 2003: 139-140).

Tidak semua hak-hak pengungsi itu dimuat dalam instrument HAM

diatas. Namun unsur utama dari perlindungan internasional terhadap diri

seorang pengungsi adalah mereka tidak untuk dipulangkan secara paksa

ke negara dimana kehidupan dan kebebasan mereka akan terancam.

Prinsip inilah dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi yang

disebut dengan prinsip non refoulement yang diatur dalam Pasal 33

(Romsan dkk, 2003: 140). Pasal 33 mengenai larangan pengusiran dan

pengembalian (refoulement) sebagai berikut:

(1) Tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan

(refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-

wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras,

agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau

opini politiknya.

(2) Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi

dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya


73

sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau

karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final

atau tindak pidana sangat berat, ia merupakan bahaya bagi masyarakat

negara itu.

Fenomena kedatangan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh

menjadi suatu problematika yang cukup mengundang perhatian

pemerintah Indonesia mengingat jumlah pengungsi Rohingya yang tidak

sedikit dan fakta yang menyatakan bahwa Indonesia belum meratifikasi

Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967

tentang Status Pengungsi. Kondisi dimana Pemerintah Indonesia belum

meratifikasi konvensi yang menjadi payung hukum keberadaan seorang

pengungsi menjadi sebuah dilematika bagi bangsa Indonesia untuk

mengambil sikap terhadap pengungsi Rohingya. Dalam hal ini Pemerintah

Indonesia harus secara tegas dan sigap dalam mengambil tindakan apakah

Indonesia akan menerima atau menolak kedatangan pengungsi Rohingya.

Seperti apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa berbicara

mengenai pengungsi akan merujuk dan berkaitan erat dengan HAM.

Sebagai seorang dan atau kelompok yang telah menyandang status

sebagai pengungsi maka segala bentuk HAM masih melekat di dalam

dirinya. Memiliki status sebagai seorang pengungsi bukanlah status mulia

dan diharapkan oleh manusia dimanapun karena seorang pengungsi telah

mendapatkan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan berujung kepada

kekerasan fisik yang menimbulkan korban jiwa sehingga meninggalkan

perasaan traumatis dan ketakutan yang mendalam.


74

Keadaan yang sedang dihadapi Pemerintah Indonesia tidak serta

merta membuat Pemerintah Indonesia mengambil sikap untuk menolak

kedatangan pengungsi Rohingya. Hal ini dikarenakan Indonesia

menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan juga prinsip-prinsip hukum

internasional yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Sikap

seperti ini merupakan kewajiban internasional yang melekat kepada setiap

negara yang menganggap mereka adalah bagian dari masyarakat

internasional, terlepas apakah negara itu menjadi anggota dari organisasi

internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau anggota

organisasi internasional lainnya, ataupun peserta atau bukan peserta dari

sebuah konvensi internasional untuk memperlakukan seorang pengungsi

secara manusiawi.

Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang

Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi,

adapun dasar lain yang menjadi pendukung dari sikap Indonesia untuk

mengulurkan tangan terhadap para pengungsi Rohingya di Aceh yaitu

Indonesia telah meratifikasi sebuah konvensi melalui UU Nomor 5 Tahun

1998 Tentang Pengesahan International Convention Against Torture And

Other Cruel In Human Degrading Treatment Or Punishment 1987

(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain

yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)

atau biasa disebut dengan Konvensi Anti Penyiksaan 1987.

Konvensi ini menganut prinsip non refoulement, dimana prinsip ini

juga dapat ditemukan dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status


75

Pengungsi dan merupakan unsur utama dari perlindungan internasional

terhadap seorang pengungsi. Prinsip non refoulement ini terdapat dalam

Pasal 3 pada Konvensi Anti Penyiksaan 1987 sebagai berikut:

(1) No State Party shall expel, return (refouler) or extradite a person to


another State where there are substantially grounds for believing that
he would be in danger of being subjected to torture;
(2) For the purpose of determining whether there are such grounds, the
competent authorities shall take into account all relevant
consideration including, where applicable, the existence in the State
concerned of a consistent pattern of gross, flagrant or mass violation
of human rights.
Berdasarkan pernyataan diatas, adapun prinsip non refoulement

adalah suatu konsep tentang larangan atau tidak diperbolehkannya suatu

negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi atau pencari

suaka ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau

penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang

berhubungan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada

kelompok sosial tertentu atau keyakinan politiknya. Prinsip ini pada

dasarnya berkaitan dengan prinsip perlindungan hukum khususnya dalam

kaitannya dengan larangan tindakan penyiksaan dan atau penghukuman

yang kasar dan merendahan martabat kemanusiaan (Riyanto, 2010: 436).

Dalam perkembangannya, prinsip non refoulement ini juga

tercermin dalam praktik negara-negara (states practice) dalam kerangka

hubungan internasional modern. Adanya pendapat para ahli hukum

internasional sebagaimana dirumuskan dalam kesimpulan Expert

Roundtable UNHCR dan Deklarasi yang dihasilkan oleh Ministerial

Meeting of States Parties di Jenewa, Swiss pada 12-13 Desember 2001

merupakan bukti yang kuat bahwa prinsip non refoulement didukung oleh
76

pendapat hukum (opinio juris) dan tercermin dalam praktik negara-negara

dalam hubungan internasional modern. Adanya opinion juris dan praktik

negara-negara tentang penerimaan prinsip non refoulement ini

menegaskan bahwa prinsip non refoulement telah diterima sebagai hukum

kebiasaan internasional (customary international law) (Riyanto, 2010:

438).

Selain penerapan prinsip non refoulement, Indonesia sendiri

memiliki sebuah prinsip yang menjadi tujuan negara Indonesia dimana hal

ini dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4 yang menyatakan “…dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial …”. Menurut Undang-Undang

Dasar 1945 pasal 28 G Ayat 2 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang

berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan

derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari

negara lain”. Hal inilah yang turut menjadi dasar hukum Indonesia untuk

melindungi para pengungsi lintas batas negara di Indonesia. Kata setiap

orang dalam kalimat tersebut berarti tidak ada batasan setiap siapapun

untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Indonesia tanpa melihat

status kewarganegaraannya (Alunaza dan Juani, 2017: 2).

Pesatnya kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia dan urgensi

adanya aturan atau produk hukum dari pemerintah Indonesia yang

memuat tentang pengungsi melahirkan Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari


77

Luar Negeri. Adanya sebuah aturan hukum tentang pengungsi di

Indonesia memberikan sebuah petunjuk terkait bagaimana sikap

pemerintah Indonesia untuk menghadapi kedatangan pengungsi ke

wilayah Indonesia. Meskipun substansi dari produk hukum ini tidak

memiliki cakupan yang luas terkait pengungsi namun sudah cukup untuk

dijadikan dasar bagaimana secara teknis Indonesia menangani kedatangan

para pengungsi dari luar negeri.

Adapun bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah

Indonesia berupa perlindungan secara hukum secara substansi yakni

dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

International Convention Against Torture And Other Cruel In Human

Degrading Treatment Or Punishment 1987 (Konvensi Menentang

Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak

Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) yang didalamnya

terdapat prinsip non refoulement dan dibentuknya Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan

Pengungsi Dari Luar Negeri yang mengatur secara teknis bagaimana

pemerintah Indonesia menangani pengungsi yang datang ke Indonesia.

Selain perlindungan hukum secara substansi, pemerintah Indonesia

pun memberikan perlindungan hukum ssecara struktural melalui

dibentuknya Rumah Detensi Imigrasi. Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan

Pengungsi Dari Luar Negeri menyatakan bahwa Rumah Detensi Imigrasi

adalah unit kerja di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan


78

urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia yang

melaksanakan urusan pendentensian. Rumah Detensi Imigrasi terdapat di

13 kota di Indonesia yakni Tanjung Pinang, Balikpapan, Denpasar, DKI

Jakarta, Kupang, Makasar dan Manado.

Sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari

Luar Negeri sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa penanganan pengungsi

dilakukan berdasarkan kerjasama antara pemerintah pusat dengan

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan

Pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional. Salah satu

bentuk kerjasama yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan

lembaga internasional dibawah naungan PBB yakni UNHCR;

2. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa penanganan pengungsi

dikoordinasikan oleh Menteri, dan ayat (2) menyatakan bahwa

koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam

rangka perumusan kebijakan meliputi penemuan, penampungan,

pengawasan dan pengawasan keimigrasian;

Pemerintah Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Tahun

1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol Tahun 1967 tentang Status

Pengungsi serta belum dimilikinya payung hukum nasional yang

mengatur secara spesifik dan kompleks terkait pengungsi dari luar negeri

memberikan dampak belum maksimalnya perlindungan hukum yang

dapat diberikan oleh Indonesia terhadap pengungsi Rohingya. Indonesia


79

tidak memiliki wewenang dan tanggung jawab secara penuh untuk

memberikan perlindungan hukum dan hak-hak seorang pengungsi

sebagaimana yang tercantum pada regulasi internasional yang berkaitan

dengan pengungsi.
80

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan pemaparan dalam Bab IV, adapun simpulan dari

penelitian ini, sebagai berikut:

1. Etnis Rohingya tidak memperoleh status kewarganegaraan di Myanmar

berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Myamnar yakni

Burma Citizenship Law 1982 yang didalamnya menyatakan bahwa

pemerintah Myanmar menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis,

dimana asas ini mendasarkan diri pada hubungan darah. Selain itu, etnis

Rohingya yang dinyatakan oleh Pemerintah Myanmar berasal dari

Bangladesh tidak diberikan status kewarganegaraan pula oleh Pemerintah

Bangladesh. Hal ini sesuai dengan apa yang dimuat dalam Pasal 2

Bangladesh Citizenship Act No. II of 1951 yang menyatakan bahwa

Pemerintah Bangladesh menganut asas ius soli yang mendasarkan status

kewarganegaraannya berdasarkan tanah kelahiran.

2. Perlindungan hukum yang dilakukan oleh UNHCR kepada pengungsi

Rohingya di Aceh yaitu integrasi lokal sebatas memperoleh ijin untuk

tinggal di Indonesia selama pihak Pemerintah Daerah setempat mampu

untuk menampumg, Pemulangan sukarela dan Penempatan di negara

ketiga. Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh

pemerintah Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951

tentang Status Pengungsi dan Protokol Tahun 1967 tentang Status

Pengungsi didasarkan pada prinsip non refoulement yang terdapat pada UU


81

Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan International Convention

Against Torture And Other Cruel In Human Degrading Treatment Or

Punishment 1987 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Martabat Manusia) dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125

Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri yang

didalamnya memuat tentang teknis penanganan pengungsi dari luar negeri

berupa penemuan, penampungan, pengamanan, pengawasan keimigrasian

dan melakukan kerjasama dengan organisasi dibawah naungan PBB yakni

UNHCR.

5.2 Saran

1. Belum diratifikasinya Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan

Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi serta produk hukum yang

dimiliki Indonesia hanya berupa Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun

2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri yang dimana aturan

ini hanya memuat tentang teknis penanganan terhadap pengungsi dari luar

negeri, maka dari itu diperlukan regulasi hukum yang memiliki kedudukan

lebih tinggi seperti Undang-Undang yang secara spesifik mengatur perihal

pengungsi dimana didalamnya dimuat substansi yang lebih jelas dan tegas

terkait hak dan kewajiban Indonesia dan juga pengungsi.

2. Perlunya pengawasan terhadap unit kerja yang bertugas melakukan

penanganan terhadap pengungsi dari luar negeri sehingga kinerja unit kerja

ini dapat lebih terarah, optimal dan tepat sasaran;


82

3. Meningkatkan jumlah Rumah Detensi Imigrasi di berbagai kota di seluruh

wilayah Indonesia untuk mengantisipasi kedatangan pengungsi dari luar

negeri di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia


DAFTAR RUJUKAN

BUKU

Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Azed, Abdul Bari, 1995. Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan. Jakarta:
Indo Hill Co.
Bungin, Burhan, 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Departemen Perlindungan Internasional UNHCR, 2005. Pengenalan tentang
Perlindungan Internasional. Switzerland: Komisariat Tinggi PBB
untuk Urusan Pengungsi.
Diantha, Pasek I Made, 2017. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Prenada Media Group.
Effendi, A. Masyhur, 2005. Perkembangan Dimensi Hak asasi Manusia (HAM) &
Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM).
Bogor: Ghalia Utama.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta. Bharata
Ibrahim, Jhonny, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing.
Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo,Sartono, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia.
Krustiyanti, Atik, 2010. Penanganan Pengungsi Di Indonesia, Tinjauan Aspek
hukum Internasional & Nasional. Surabaya: Brilian Internasional.
Malanczuk, Peter, 1997. Akehurst's Modern Introduction to International Law.
United States: Taylor & Francis.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Romsan, Achmad dkk, 2003. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional.

Bandung: Sanic Offset


Soekanto, Soerjono, 2015. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:Penerbit
Universitas Indonesia (UI- Press).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006. Penelitian Hukum Normatif Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Pers.
Soetoprawiro, Koerniatmanto, 1996. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sujatmoko, Andrey, 2015. Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sunggono, Bambang, 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Starke, J.G, 1989. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Aksara Persada.
Training Module RLD, 1992. An Introduction to The International Protection of
Refugess. UNHCR.
Verri, Pietro, 1992. Dictionary of the International Law of Armed Conflict. Geneva:
International Committee of the Red Cross.
Widja, I Gde, 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif
Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
Wijayanti, Herlin, 2011. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian. Malang:
Bayumedia Publishing

INTERNET
Academia, “HAM Internasional”. Tersedia pada https://www.academia.edu
(diakses pada 20 November 2018 pukul 10.30).
Academia, Muh. Aspar, “Metode Penelitian Hukum”. Tersedia pada
https://www.academia.edu (diakses pada 22 September 2018 pukul
15.00).
Bombastis, “4 Alasan Mengapa Etnis Rohingya Merasa Betah Mengungsi di
Indonesia Ketimbang Negara Lain”. Tersedia pada
https://www.boombastis.com (diakses pada 10 September 2018 pukul
14.00).
Klik Belajar, “Pengakuan dana Jaminan HAM dalam Deklarasi Internasional”.
Tersedia pada http://klikbelajar.com (diakses pada 20 November 2018
pukul 19.00).
Maxtroman, “Rohingya: Warga Negara Tanpa Negara”. Tersedia pada
https://maxtroman.wordpress.com (diakses pada 14 November 2018
pukul 20.00).
Okezone, “Sejarah Masyarakat Rohingya”. Tersedia pada dalam
http://news.okezone.com (diakses pada 6 Januari 2019 pukul 20.21
WIB).
UNHCR, “Who We Help”. Tersedia pada http://unhcr.or.id/refugees (diakses
tanggal 27 September 2018 pukul 11.30).

JURNAL/ARTIKEL ILMIAH
Alfi revolusi et al, 2013. Faktor-faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan
Rohingya di Myanmar Tahun 2012 (Causative Factors Rakhine and
Rohingya Ethnic Conflict in Myanmar in 2012).
Alunaza dan M. Kholit Juani, 2017. Kebijakan Pemerintah Indonesia Melalui
Sekuritisasi Mirasi Pengungsi Rohingya di Aceh Tahun 2012-2015.
Indonesian Perspective, Vol. 2, No.1.
Charity, May Lim, Desember 2016. Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda
Bagi Diaspora Indonesia (The Urgency of The Dual Citizenship
Regulation for The Indonesian Diaspora). Jurnal Konstitusi, Vol 13,
No 4.
Mangku, Dewa Gede Sudika, 2013. Kasus Pelanggaran HAM Etnis Rohingya:
Dalam perspektif ASEAN. Media Komunikasi FIS, Vol. 12, No. 2.
Paramitha, Ni Made Maha Putri, April 2016. Peranan UNHCR Terhadap
Perlindungan Pengungsi Rohingya di Aceh Indonesia. UAJY’s
Library.
Riyanto, Sigit, 2010. Prinsip Non Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem
Hukum Internasional. Mimbar Hukum, Vol. 22, No.3.
Rizki, Rika, 2015. Peran Office of The High Commisioner for Human Rights
(OHCHR) Menyelamatkan Kekerasan Etnis Muslim Rohingya di
Myanmar (2012-2014). Jom FISIP, Vol. 2, No. 1.
Rokilah, Desember 2017. Implikasi Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara
Indonesia. Jurnal Ajudikasi, Vol. 1, No.2.
Rosmawati, Desember 2015. Perlindungan terhadap Pengungsi/Pencari Suaka di
Indonesia menurut Konvensi 1951. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No.
67, Th. XVII.
Tilaar, Gracia Valencia, Maret-April 2017. Kajian Hukum Pelaksanaan Konvensi
Jenewa Tentang Pengungsi 1951 (Geneva Convention of Refugees)
dan Implementasi di Indonesia. Lex et Societatis, Vol. V,No. 2.
Tri Joko Waluyo, 2013. Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine
di Myanmar. Jurnal transnasional Vol.4, No.2.
Winarno, 2015. Pemikiran Aristoteles Tentang Kewarganegaraan dan Konstitusi.
Humanika, Vol.21, No. 1.a
Zulkarnain, Desember 2017. Pengungsi dalam Perspektif Hubungan
Internasional. Jurnal Populis Vol.2, No.4.

KAMUS
Kamus Bahasa Inggris
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kamus Hukum

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN/INSTRUMEN HUKUM


INTERNASIONAL
Bangladesh, The Citizenship Act No. II of 1951. Adopted on 13th April 1951.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) is a
multilateral treaty adopted by the United Nations General Assembly through
GA. Resolution 2200A (XXI) on 16th December 1966
Myanmar, Burma Citizenship 1982. Adopted on 15th October 1982.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 Tentang
Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. LN Tahun 2018 Nomor
368.
Statute of the Office of the United High Commissioner of Refugees. Adopted by
the General Assembly Resolution 428 (V) on 14th December 1950.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against
Torture And Other Cruel, Inhuman, Or Degrading Treatment Or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau
Merendahkan Martabat Manusia). LN Tahun 1998 Nomor 164.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. LN Tahun
1999 Nomor 165.
The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi Tentang Status
Pengungsi Tahun 1951). Adopted by the General Assembly Resolution
429 (V) on 14th December 1950.
The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol Tahun 1967
Tentang Status Pengungsi). Adopted by the General Assembly
Resolution 2198 (XXI) on 16th December 1966.

SKRIPSI
Faniati, Tamia Dian Ayu. 2012. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Etnis
Yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan: Studi Kasus Etnis Rohingya,
Myanmar. Skripsi Program Ilmu Hukum, Fakultas Hukum. Universitas
Indonesia.
RIWAYAT HIDUP

Ni Kadek Ayu Suryani, lahir di Bila pada tanggal 14 Juli

1997. Penulis lahir dari pasangan suami istri Bapak I Ketut

Dipa Wirya dan Ibu Ni Luh Rediani. Penulis

berkebangsaan Indonesia dan beragama Hindu. Kini

penulis beralamat di Jalan Teratai No. 29, Banyuasri,

Singaraja-Bali. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman

Kanak-Kanak di TK Tunas Maja Desa Bila dan lulus pada tahun 2004, kemudian

melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Bila dan lulus pada tahun

2009, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Kubutambahan

dan lulus pada tahun 2012, lalu penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan

selanjutnya yakni di SMA Negeri 1 Kubutambahan dan lulus pada tahun 2015.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Tahap SMA, kemudian penulis melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada tahun 2015 di Universitas Pendidikan

Ganesha dengan mengambil Program Studi Ilmu Hukum dan pada tahun 2019

penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi

Pengungsi Rohingya di Aceh Ditinjau Dari Hukum Pengungsi Internasional.

Anda mungkin juga menyukai