Anda di halaman 1dari 29

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sengketa Internasional dalam Hukum Internasional

1. Pengertian Sengketa Internasional

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antara negara, negara

dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional, tidak selamanya terjalin

dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka.

Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi

sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan

lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum

internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya. 1

Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional telah menjadi perhatian

yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal ke-20. Upaya-upaya ini

ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan

prinsip perdamaian dan keamanan internasional.2 Peran yang dimainkan hukum

internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara

bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum

internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal 2 (dua)

cara penyelesaian : cara penyelesaian sengketa secara damai dan cara penyelesaian

sengketa melalui perang (militer).

1
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 1.
2
Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between States : History and Prospects, dalam Huala
Adolf, Ibid.
16

Cara perang untuk meyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui

dan dipraktikkan sejak lama. Bahkan perang telah dijadikan sebagai alat atau

instrument dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte

menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.3

Perang telah pula digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan

pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Perang bahkan

telah pula dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat.

Menteri luar negeri Amerika Serikat, Robert Lansing, pada tahun 19191 menyatakan

bahwa : “to declare war is one of the highest acts of sovereignty.” 4 Pada masa itu

perang merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa dan cara damai

belum dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam kehidupan atau hubungan

negara. Sarjana terkemuka Rumania, Ion Diaconu, antara lain menyatakan :”… in

many cases recourse to violence has been used and continues to be used in

international relations, and the use of peaceful way and means is not yet the rule in

international life…”.5

Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine

Consenssions (PreliminaryObjections) 1942 mendefinisikan pengertian sengketa

sebagai : “disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal reviews or

interest between two persons”.6 Mahkamah Internasional mengungkapkan pendapat

hukumnya (advosary opinions) dalam kasus Interpretation of Peace Treaties (1950,

3
Jose Cette-Camara, Methods of Obligatory Settlement of Diputes, dalam Huala Adolf, Ibid.
4
Lauterpacht, Recognation in International Law, dalam Huala Adolf, Op.Cit., hal. 2.
5
Ion Diaconu, dalam Huala Adolf., Op.Cit., hal. 2.
6
Huala Adolf, Ibid.
17

ICJ Rep.65) bahwa untuk menyatakan ada tidaknya suatu sengketa internasional

harus ditentukan secara objektif.

Menurut mahkamah, sengketa internasional adalah : “Suatu situasi ketika dua

negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau

tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian”. Dikemukakan pula

bahwa suatu sengketa bukanlah suatu sengketa menurut hukum internasional apabila

penyelesaiannya tidak mempunyai akibat praktis terhadap hubungan-hubungan

hukum para pihak yang bersengketa. Hal ini ditunjukan ketika mahkamah

internasional menolak untuk mengadili sengketa The Northern Cameroons. Pada

sengketa ini mahkamah internasional diminta menyelesaikan suatu sengketa

mengenai penafsiran suatu perjanjian perwalian (trusteeship) PBB yang sudah tidak

berlaku. Dalam sengketa ini pemohon tidak menuntut apa-apa dari pihak lainnya.

2. Jenis-Jenis Sengketa Internasional

Sengketa internasional yang dikenal dalam studi hukum internasional ada dua

(2) macam, yaitu:

1. Sengketa politik (political or nonjusticiable disputes) :7

Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan tuntutan tidak atas

pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau kepentingan lainnya.

Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya dilakukan secara politik.

Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang

tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan

7
Huala Adolf, Loc.Cit, hal. 4 – 6.
18

kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan

hukum yang diambil.

2. Sengketa hukum (legal or judicial dispute) :

Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa

atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau

yang telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang diambil dalam

penyelesaian sengketa secara hukum punya sifat yang memaksa terhadap kedaulatan

negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya

berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.8

Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum

dan sengketa politik, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai cara

membedakan antara sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut Friedmann,

meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya

terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal

berikut:

1. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan

pengadilan dengan menerapkan hukum yang telah ada dan pasti.

2. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya mempengaruhi kepentingan

vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari

suatu negara.

8
Ibid.
19

3. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerepan hukum internasional

yang ada cukup untuk menghasilkan keputusan yang sesuai dengan keadilan antar

negara dan perkembangan progresif hubungan internasional.

4. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-

hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas

suatu hukum yang telah ada.

Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu

sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang

bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum

maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut

menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum

internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah

sengketa politik.

Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah

serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa

politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan

hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat.

Oppenheim dan Hans Kelsen menguraikan pendapatnya tersebut sebagai berikut:

”All disputes have their political aspect by the very fact that they concern relations

between sovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to of

the legal nature might involve highly important political interests of the states

concerned; conversely, disputes reputed according to that distinction to be a political


20

character more often than not concern the application of a principle or a norm of

international law.”

Dari pendapat pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembedaan

jenis sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan dengan melihat

sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut diselesaikan, apabila sengketa

terjadi karena pelanggaran terhadap hukum internasional maka sengketa tersebut

menjadi sengketa hukum, selain pelanggaran terhadap hukum internasional sengketa

dapat terjadi akibat adanya benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu

negara, sengketa yang melibatkan kepentingan inilah yang dimaksud sengketa

politik.9

Di samping istilah sengketa hukum dan sengketa politik, ada pula istilah lain

yang sama-sama tunduk pada penyelesaian sengketa secara damai. Istilah tersebut

adalah situation atau situasi. Istilah ini khususnya dapat ditemui dalam Piagam PBB,

yaitu Pasal 1 Ayat (1) : “… adjustment or settlement of international diputes or

situations which might lead to a breach of the peace.” Pasal lainnya adalah Pasal 34

Piagam PBB : “The security council may investigates any disputes, or any situation

which might lead to international friction or give rise to dispute.”

B. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Menurut Hukum

Internasional

1. Penyelesaian Sengketa Internasional ( public)

Menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional sedini mungkin, dengan cara

yang seadil-adilnya bagi para pihak yang telibat, merupakan tujuan

9
http://weinarifin.wordpress.com/2010/02/04/metode-analisa-politik/, diakses pada 11 Maret 2018.
21

hukum internasional sejak lama. Kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang terkait

sebagian merupakan kebiasaan praktek dan sebagian lagi berupa sejumlah konvensi

yang membuat hukum yang sangat penting seperti.

Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai

Sengketa-sengketa Internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Salah satu tujuan pokok Charter tersebut

adalah membentuk Organisasi Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk

mempermudah penyelesaian secara damai perselisihan-perselisihan antara negara-

negara.

Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa internasional publik

digolongkan dalam dua (2) kategori, yaitu penyelesaian secara damai dan secara

paksa atau dengan kekerasan :

1. Cara penyelesaian damai sengketa internasional publik secara damai :

Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat

menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung

dari ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi:

“All Members shall refrain in their international relations from the


threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any state, or in anyother manner inconsistent with the
Purposes of the United Nations’.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini melarang negara anggota menggunakan

kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian


22

pelarangan penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara

damai telah merupakan norma-norma imperatif dalam hubungan antar

bangsa. Oleh karena itu hukum internasional telah menyediakan

berbagai cara penyelesaian sengketa internasional secara damai demi

terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya hubungan

antar bangsa yang serasi.

Metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai

atau bersahabat dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi.

Pengklasifikasian ini tidak berarti bahwa proses-proses ini secara kaku

terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk

memecahkan satu kelompok sengketa tertentu. Posisi ini tidak

demikian dalam praktek. Klasifikasi metode penyelesaian secara damai

dapat dibagi menjadi10:

1) Negosiasi

Negoisasi adalah cara penyelesaian yang biasanya pertama kali

ditempuh manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam

pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan

multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik

pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau

organisasi Internasional.11

2) Jasa-jasa baik

10
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 646.
11
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 19.
23

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau

dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga disini berupaya agar para

pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi, fungsi utama

jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa

sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi.12

3) Pencarian fakta

Penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara

konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu

penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat

suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan

mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal

dalam praktik kenegaraan. Di samping itu, organisasi-organisasi

internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian sengketa

melalui pencarian fakta ini. Negara-negara juga telah membentuk

badan- badan penyelidikan baik yang sifatnya ad hoc ataupun

terlembaga. Pasal 50 Statuta Mahkamah Internasional misalnya

mengatakan bahwa Mahkamah dapat ‘entrust anyindividual body,

bureau, commission or other organization that I may select, with the

task of carrying out an inquiry or giving an expert opinion.’The Hague

Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun

1907 Pasal 35, dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi

12
J.G. Starke, Op.Cit,hal. 671-672
24

(pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja

dan bukan merupakan suatu keputusan.

4) Mediasi

Mediasi merupakan suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.

Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat

merupakan negara, organisasi internasional atau individu. Mediator

ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya dengan

kapasitasnya sebagai pihak yang netral berusaha mendamaikan para

pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan

tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi

mediasinya dengan membuat usulan usulan baru. Karena itu, salah satu

fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian),

mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta

membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.13

5) Konsiliasi

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak

ketiga (konsiliator) yang tidak terpihak atau netral dan keterlibatannya

karena diminta oleh para pihak. Badan konsiliasi dapat merupakan

badan yang telah terlembag atau ad hoc (sementara). Konsiliasi

merupakan proses yang berupaya mendamaikan pandangan -

pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan

13
J.G. Starke, Op.Cit., hal. 671-673.
25

penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai

kekuatan hukum.

6) Arbitrase

Arbritase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa

yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian

sampai sekarang belum terdapat batasan atau definisi resmi mengenai

arbitrase. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional

(International Law Commisions) adalah a procedure for the settlemen

of disputes between states by binding award on the basis of lawand as

result of an undertaking voluntaruly accepted.14

7) Penyelesaian secara yudisial

Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dilakukan melalui

suatu pengadilan yudisial Internasional yang dibentuk sebagaimana

mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Satu-satunya

organ umum untuk penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia

dalam masyarakat Internasional adalah International Court of Justice

(ICJ) yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanen

Cour of International Justice. Pengukuhan kedudukan dilaksanakan

pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal tersebut pendahulunya

yaitu Permanent Court of International Justice, dibubarkan oleh

14
Huala Adolf, Op.Cit., hal. 202.
26

Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya. ICJ

terbuka bagi negara-negara(anggota-anggota atau bukan anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa) peserta statuta dan bagi negara-negara

lain, dengan syarat-syarat yang ditentukan Dewan Keamanan PBB

tunduk pada ketentuan khusus yang dimuat dalam traktat-traktat yang

berlaku dan syarat tersebut tidak untuk menenpatkan para pihak dalam

kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah (Pasal 35 statuta

ICJ). Yuridiksi ICJ dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:15

a) Memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case)

b) Memberikan opini-opini yang bersifat nasihat (advisory

opinion)

2. Cara penyelesaian sengketa internasional public secara kekerasan

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan

sengketa-sengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai (bersahabat),

maka salah satu cara yang dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian

sengketa adalah melalui jalur pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian

sengketa Internasional dengan menggunakan kekerasan secara garis besar

dibagi menjadi:

1. Perang :16

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara

lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di

15
J.G. Starke, Loc.Cit, hal. 655.
16
J.G. Starke, Loc.Cit., hal. 679.
27

mana negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain

selain mematuhinya. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa

merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan sejak lama.

Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan

kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman

mereka mengenaiaturan-aturan hukum internasional. Dalam

perkembangannya kemudian, seiring dengan berkembangnya teknologi

senjata pemusnah massal, masyarakat internasional menyadari

besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat

internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara

penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan

kekerasan bersenjata daalam penyelesaian sengketa internasional.

Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyebutkan

‘All members shall settle their international disputes by peaceful mean

s in such a manner that international peace and security are notendan

gered ’, Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB

diwajibkan untuk menempuh cara-cara penyelesian sengketa secara

damai. Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan

dalam Piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan

bahwa dalam hubungan internasional,semua negara harus menahan diri

dalam menggunakan cara-cara kekerasan, ‘Allmembers shall refrain in


28

their international relations from the threat or use of force gainst the

territorial integrity or political independence of any state or in

anymanner inconsistent with the purpose of the United Nations.

Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapat

dimungkinkan pada saat keadaan terdesak untuk melakukan

pembelaan diri apabila terlebih dahulu diserang oleh negara lain.

Tindakan ini didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan

“Nothing in the present Charter shall impair theinherent right of

individual or collective self-defence if an armed attack occursagainst a

Member of the United Nations… Measures taken by Members in

theexercise of this right of self-defence shall be immediately reported

to the SecurityCouncil…”.

Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu sengketa

internasional merupakan pilihan yang harus digunakan dalam situasi

tertentu. Penggunaan senjata sebagai media penyelesaian sengketa

harus dilakukan untuk alasan pertahanan diri dan bukan sebagai

tindakan untuk menekan pihak lain.

2. Retorsi

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu

negaraterhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas

dendam tersebutdilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang

tidak bersahabat, misalnya pemutusan hubungan diplomatik,


29

pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan ekonomi dan penarikan

konsesi pajak dan tarif. Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi

hingga kini belum dapat secara pasti ditentukan karena pelaksanaan

retorsi sangat beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf 3 Piagam PBB

ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus

menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sehingga

tidakmengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan

keadilan. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB

terikat oleh ketentuan piagam tersebut.

3. Tindakan-tindakan pembalasan (reprasial)

Reparsial adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi,

akantetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan

merupakan upaya yangdilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain

dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul oleh karena

negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan.

Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan adalah

mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai

tindakan ilegal,sedangkan retorsi meliputi tindakan balas dendam yang

dapat dibenarkan oleh hukum.

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang

terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan

terhadapseseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan


30

hanya dibenarkan apabila negara yang menjadi tujuan tindakan ini

bersalah karena melakukan tindakan yangsifatnya merupakan

pelanggaran internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran

reprisal merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional,

negara yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti

kerugian yang muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus

dilakukan dengan proporsional dan tidak berlebihan.

4. Blokade secara damai17

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada

waktu damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa

negara yang pelabuhannya diblokade untuk mengganti kerugian oleh

Negara yang melakukan blokade. Blokade secara damai dapat dipandang

sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk memperlancar

penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan blokade

disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh

diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian

dunia.

5. Intervensi18

Intervensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional

dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik

17
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 682-685
18
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional,136.
31

negara tertentu. Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa

suatu negara dilarang untuk turut campur dalam urusan negara lain. Hal

ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2ayat (4) dan ayat (7) Piagam

PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut campur dalam

urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian

terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana

berhubungan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara

dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke

beranggapan bahwa tindakan intervensi negara atas kedaulatan negara

lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia

berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan

intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Tindakan

tersebut adalah apabila:

a) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB;

b) Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga

negaranya di negara lain;

c) Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran

berat atas hukum Internasional.

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin

terlebihdahulu melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk

rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap


32

keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah tindakan

intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.

2. Penyelesaian Sengketa Internasional (private)

Dalam suatu kegiatan Internasional baik negara maupun individu mengacu

kepada kaidah-kaidah hukum yang bersifat Internasional, baik ketentuan hukum

publik Internasional ( public International law) maupun ketentuan hukum perdata

Internasional (private International law).19

Hukum Internasional privat adalah bagian hukum Internasional yang terkait

dengan hak dan kewajiban individu sebagai para pihak dan lembaga Internasional non

pemerintah dalam urusan Internasional yang mengacu pada kaidah prinsip-prinsip

hukum perjanjian atau kontrak Internasional dan konvensi Internasional.20 Perbedaan

acuan kaidah hukum tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam penyelesaian

sengketaInternasional publik dan privat. Di atas telah dijelaskan metode-metode

penyelesaian sengketa publik, sedangkan metode-metode penyelesaian sengketa

privat yakni terletak dalam kontrak kesepakatan yang telah dibuat sebelum

melakukan kesepakatan apakah ditempuh dengan menggunakan:

a. Pilihan hukum (choice of law)

Pada prinsipnya, para pihak diberikan kebebasan dalam menentukan hukummana

yang berlaku dalam perjanjian sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak.

19
Muhammad Sood,Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2011), 18.
20
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,22.
33

Kebebasan para pihak untuk menetukan hukum ini termasuk kebebasan untuk

memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Prinsip ini adalah sumber di

mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip –prinsip keadilan,

kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. Kebebasan memilih ini harus

dihormati oleh badan peradilan sebagai contoh yakni, Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration.21

Peran choice of law di sini adalah menentukan hukum yang akan digunakan

oleh badan peradilan (peradilan atau arbitrase) untuk:

1. Menentukan keabsahan suatu kontrak;

2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;

3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi;

4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.

b. Pilihan forum (choice of juridiction)

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak

dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang

bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar

pengadilan. Forum penyelesaian sengketa dalam hal ini pada prinsipnya juga sama

dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa Internasional pada

umumnya (negosiasi,penyelidikan fakta-fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrase) dan

penyelesaian melalui pengadilan atau cara-cara yang disepakati dan dipilih

21
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 198
34

para pihak. Penyelesaian sengketa publik Internasional dan perdata Internasional

tidak memiliki perbedaan jauh, dalam praktik penyelesaian sengketa perdagangan

internasional keduanya senantiasa berjalan bersama tanpa terpisah satu sama lain.

3. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982

Sebagai Dasar Hukum Laut Internasional

UNCLOS 1982 merupakan hukum laut yang dikembangkan dari perjuangan

antara negara-negara pantai, yang berusaha untuk memperluas kontrol mereka atas

wilayah laut yang berdekatan dengan garis pantai mereka. Pada akhir abad ke-18,

diketahui bahwa negara memiliki kedaulatan atas laut teritorial mereka. Setelah

Perang Dunia Kedua, masyarakat internasional meminta agar PBB

mempertimbangkan kodifikasi hukum yang ada yang berkaitan dengan lautan.

Komisi mulai bekerja ke arah ini pada tahun 1949 dan menyiapkan empat rancangan

konvensi, yang diadopsi pada Konferensi PBB pertama tentang Hukum Laut.

Konferensi PBB pertama tentang hukum laut dilaksanakan di Jenewa, 24

Februari - 29 April 1958 yang diikuti oleh 86 perwakilan negara-negara. Namun

konferensi PBB pertama tentang hukum laut ternyata tidak mampu menghimpun

kesepatan negara-negara peserta, khususnya kesepakatan tentang lebar laut

territorial. Hal yang sama juga terjadi pada konferensi PBB kedua tentang hukum laut

tahun 1960. Akhirnya pada UNCLOS III, yang berlangsung dari Desember 1973

sampai Desember 1982. Kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS I dirangkum

dalam empat konvensi sebagai berikut berikut:


35

1. Konvensi tentang High Seas

2. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan

3. Konvensi tentang Landas Kontinen

4. Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut

Tinggi.

Pada tahun 1960 digelar UNCLOS II dengan tujuan untuk penyempurnaan

hasil-hasil yang telah dicapai UNCLOS I, konvensi ini digelar dari tanggal 17 sampai

26 April 1960. Namun UNCLOS II tidak menghasilkan perjanjian internasional.

Konferensi ini sekali lagi gagal memperbaiki luasnya seragam untuk wilayah atau

membangun konsensus tentang hak-hak nelayan berdaulat. namun UNCLOS II gagal

dalam pencapaian tujuannya yaitu penyempurnaan UNCLOS I. Kegagalan ini sudah

barang tentu menimbulkan kekecewaan pada masyarakat internasional pada

umumnya karena sikap arogan negara-negara maritim yang besar dan maju dalam

bidang teknologi.

Sementara itu UNCLOS III dimulai dari tahun 1973 ke 1982. UNCLOS III

membahas isu-isu dibeli di konferensi sebelumnya. Lebih dari 160 negara

berpartisipasi dalam konvensi 9 tahun, yang akhirnya mulai berlaku pada tanggal 14

November 1994, 21 tahun setelah pertemuan pertama UNCLOS III dan satu tahun

setelah ratifikasi oleh negara keenam puluh. Pertama enam puluh ratifikasi hampir

semua negara-negara berkembang.

Hal utama dari konvensi ini adalah permasalahan maritim zones- laut teritorial, zona

tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut tinggi, wilayah laut-tidur
36

internasional dan perairan kepulauan. Konvensi juga membuat ketentuan untuk

lewatnya kapal, perlindungan lingkungan laut, kebebasan penelitian ilmiah, dan

eksploitasi sumber daya.

Setelah di sahkannya Konferensi ketiga (UNCLOS III) yang sekarang dikenal

sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on

the Law of the Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika

tanggal 10 Desember 1982. Bagi sebuah Negara UNCLOS 1982 membagi laut

menjadi tiga jenis atau zona maritime yaitu:

1. Laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan yaitu ( di laut teritorial, laut

pedalaman)

2. Laut yang bukan merupakan wilayah kedaaulatannya namun negara tersebut

memiliki hak-hak yurisdiksi terhadap aktifitas-altifitas tertentu yaitu ( di zona

tambahan dan zona ekonomi esklusif)

3. Laut yang berada di luar dua di atas ( artinya bukan termasuk wilayah

kedaulatannya dan bukan wilayah yurisdiksi) namun negara tersebut memiliki

kepentingan ( yaitu laut bebas).

Di dalam UNCLOS 1982 selain mengatur mengenai batas-batas maritim juga

mengatur hak-hak dan kewajiban negara pantai yang harus dipatuhi oleh negara-

negara di dunia, terhadap negara pantai dapat menegakkan peraturan perundang-

undangan. UNCLOS 1982 juga mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara

dalam penggunaan lautan di dunia, menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan,

dan pengelolaan sumber daya alam kelautan.


37

UNCLOS 1982 diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana

menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian itu. Hingga saat ini 160

negara dan Uni Eropa telah bergabung dalam konvensi tersebut. Sementara Sekretaris

Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan

PBB menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara pihak pada konvensi.

PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Peran

aktif yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim

Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otoritas Dasar Laut

Internasional, menjamin diimplementasikannya UNCLOS 1982 dengan baik.

C. Sejarah Kepulauan Senkaku atau Diaoyu

Kepulauan Senkaku atau Diaoyu (nama pemberian Cina) semula adalah pulau

tak bertuan sampai dengan akhir tahun 1894, tak ada penghuninya dan semua orang

tak ada yang melirik pulau, tak ada yang tertarik kepada pulau tersebut. Lalu Jepang

menganggap sebagai pulau miliknya. Pada jaman restorasi Meiji tahun 1885,

pemerintah Jepang melakukan survei yang hasilnya, pulau tersebut tidak ada

pemiliknya.22

Saat itu, Menteri Dalam Negeri Jepang, Aritomo Yamagata, mengajukan

permintaan resmi agar pulau dimasukkan ke Jepang. Tanggal 14 Januari 1895, Jepang

mengumumkan secara resmi memiliki pulau tersebut. pada saat perang Cina-Jepang

dan kemenangan pada tentara Jepang atas Cina.

22
http://gapurasejarah.blogspot.co.id/2016/11/persengketaan-Jepang-dan-Cina.html
38

Hal itu terjadi tiga bulan sebelum penandatanganan Pakta Shimonoseki, pakta

perdamaian penghentian perang dan pengakuan Cina kalah terhadap Jepang. Lalu

Jepang membuat tanda di Kubajima (pulau Kuba) dan Uotsurijima (pulau Uotsuri)

sebagai tanda pulau tersebut milik Jepang. Keputusan politik itu baru terungkap tahun

1950. Kepulauan Senkaku terdiri dari lima pulau dengan luas keseluruhan tujuh

kilometer persegi terdiri dari pulau Uotsuri (Diaoyu Dao), pulau Taisho (Chiwei Yu),

Kubajima (Huangwei Yu), pulau Kita Kojima (Bei Xiaodao) dan pulai Minami

Kojima (Nan Xiaodao). Pemerintah Jepang sejak tahun 1930 memperkenankan

swasta, keluarga Jepang bernama Tatsuhiro Koga, membeli dan mengelola pulau

tersebut dan membayar pajak kepada pemerintah Jepang setiap tahun.

Saat ini uang pajak dari pulau itu sekitar 24 juta yen setahun. Koga membuat

usaha (perikanan) Katsuobushi di pulau tersebut sehingga jumlah penduduk menjadi

sekitar 200 orang. Setelah perang dunia kedua berakhir, pulau itu yang menjadi

bagian dari Okinawa, diambil pihak Amerika Serikat. Lalu tahun 1971 Okinawa

termasuk pula pulau Senkaku dikembalikan kepada Jepang. Kepemilikan berganti

dari keluarga Koga tahun 1970-an dibeli keluarga Kurihara hingga kini. Perserikatan

Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1969 mengumumkan bahwa di kepulauan Senkaku

banyak sumber alam mineral dengan nilai sekitar satu triliun dolar AS kalau dikelola

dengan baik. Karena pengumuman PBB tersebutlah, pulau yang tak menarik ini,

akhirnya jadi perhatian dunia terutama Cina yang langsung ingin merebut balik

sampai detik ini kepulauan Senkaku.


39

Sidang Keamanan PBB tanggal 20 Mei 1972 memutuskan Amerika Serikat

mengembalikan Okinawa termasuk pulau Senkaku (Cina menyebut pulau Diaoyu)

kepada Jepang. Sejak lepas dari Amerika, hingga saat ini banyak kasus terjadi akibat

persengketaan antara Cina dan Jepang atas kepemilikan kepulauan tersebut. Cina tak

mengakui kepulauan Senkaku sebagai milik Jepang, Cina bersikukuh mengatakan

Diaoyu sebagai wilayahnya sejak masa purbakala, yang berada di bawah pengaturan

Taiwan namun klaim itu dibantah Jepang.23

Pada 1 Desember 2013 lalu, Cina memperingati peringatan 70 tahun

Deklarasi Kairo yang dideklarasikan oleh Cina, Amerika Serikat, dan Inggris.

Deklarasi ini menjadi dasar zona laut Cina yang baru dan klaim atas Kepulauan

Senkaku. Deklarasi Kairo dengan jelas menetapkan status wilayah di kawasan Asia

Timur serta orde baru pasca perang dan merupakan dokumen resmi yang membatasi

wilayah Jepang pasca Perang Dunia II. Deklarasi Kairo mengecam agresi Jepang

terhadap Cina dan Semenanjung Korea, dan menuntut Jepang mengembalikan

wilayah yang dirampasnya termasuk kepulauan Senkaku atau Diayou ini.

Kedua negara tersebut memang memiliki alasan yang mendasar untuk

mengklaim kepemilikan pulau Senkaku/Diaoyu , namun untuk sampai pada

penyelesaian atau resolusi banyak hal hal yang harus di analisa lebih jauh untuk

memastikan Negara mana yang lebih berhak untuk mengklaim kepemilikan atas

Kepulauan Senkaku/Diaoyu.

23
Indrajuara.wordpress.com paradigma-pendekatan-realisme-dan-liberalisme-terhadap-sengketa-
pulau-senkaku-Jepang-dan-cina(14 Maret 2018)
40

D. Cara-Cara Memperoleh Wilayah Menurut Hukum Internasional

Setiap negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau memperluas

wilayahnya. Dilihat dari praktik negara ada beberapa cara bagi suatu negara untuk

dapat memperluas wilayahnya, yaitu:

1. Akresi (accretion)

Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah.

Sebagai contoh adalah terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan

lumpur di muara sungai; atau mengeringnya bagian sungai. Penambahan

wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan

gunung api di laut. Dalam hal ini apabila pulau baru tersebut bereda di

perairan wilayah suatu negara maka otomatis akan menjadi bagian dari

wilayah negara tersebut.

2. Cessi (cession)

Dasar pemikiran yang melandasi cassi adalah bahwa penyerahan suatu

wilayah atau bagian wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan

suatu negara. Cessi merupakan cara penyerahan wilayah secara damai

yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian yang

mengakhiri perang.

Berbeda dengan akresi dalam cessi ada pemindahan kedaulatan atas

bagian wilayah tertentu dari suatu negara/penguasa kepada

negara/penguasa lain. Negara/penguasa yang menerima bagian wilayah


41

tersebut memiliki hak yang sama dengan negara/penguasa pemberi dan

tidak lebih dari itu. Dengan demikian, apabila negara pemberi pernah

memberikan hak kepada negara ketiga. Maka, hak negara ketiga tersebut

harus juga dihormati oleh negara penerima.

Meskipun cessi biasanya dilaksanakan setelah berakhirnya suatu suasana

permusuhan, cessi juga dapat dilaksanakan dengan cara dan dalam

keadaan berbeda. Contohnya adalah pembelian Alaska pada tahun 1816

oleh Amerika Serikat dari Rusia, atau ketika Denmark menjuan beberapa

daerahnya di West Indies kepada Amerika Serikaat.

3. Okupasi (occupation)

Okupasi menunjukan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang

tidak berada di bawah kedaulatan suatu negara maupun, yang berupa

suatu terra nullius yang baru ditemukan. Penguasaan tersubut harus

dilakukan oleh negara dan bukan oleh perorangan, secara efektif dan

harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut

sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara. Hal itu harus ditunjukan

misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukan adanya

penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan

bendera atau melalui suatu proklamasi. Penemuan saja tidak cukup kuat

untuk menunjukan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya

memiliki dampak sebagai suatu pemunguman. Agar penemuan tersebut


42

memiliki arti yuridis harus dilengkapi dengan penguasaan secara effektif

untuk suatu jangka waktu.

4. Preskripsi (prescription)

Berbeda dengan okupasi, preskripsi adalah pelaksanaan kedaulatan oleh

suatu negara secara de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan

terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya

berada dibawah kedaulatan negara lain.kesulitan untuk dapat menerima

preskripsi sebagai asas hukum internasional dalam peroleham wilayah

adalah bahwa tidak banyak praktik negara untuk itu. Dengan demikian,

tidak jelas preseden mana yang menunjukan berapa lama waktu yang

diperlikan untuk menujukan adanya pelaksanaan kedaulatan secara de

facto dan damai, dan apakah pelaksanaannya harus dilakukan tanpa

terputus. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa munculnya protes dari

negara yang memiliki kedaulatan terlebih dahulu akan menghilangkan

kalim preskripsi.

Dalam frontler land case antara Belgia dan Belanda Mahkamah

Internasional memutuskan bahwa pelaksanaan hanya sekedar tindakan

yang bersifat rutin dan administratif oleh pejabat-pejabat setempat

Belanda di daerah tertentu tidak dapat menghilangkan hak-hak secara

hukum yang dimiliki oleh Belgia terhadap daerah tersebut berdasarkan

suatu konvevsi.
43

Persamaannya dengan okupasi adalah bahwa pelaksanaan kedaulatan

tersebut harus dilakukan oleh negara bukan usaha dari orang-

perseorangan yang tidak ada kaitannya dengan klaim kedaulatan negara

dimaksud.

5. Aneksasi (annexation)

Anaksasi adalah salah satu cara bagi suatu negara untuk memperoleh

tambahan wilayah. Negara itu menundukan negara yang mempunyai

wilayah tersebut. Walaupun demikian, ia belum memiliki hak penguasaan

atas wilayah tersebut. Negara yang menguasai itu harus menganeksasinya

secara formal debgan menyampaikan nota kedapa negara pemilik. Jadi

kemenangan atas suatu wilayah belum menimbulkan kedaulatan, kecuali

bila negara negara tertentu sudah menganeksasinya. Masyarakat

internasional telah sepakat menolak perolehan wilayah dengan kekerasan.

Kesepakatan ini dituangkan dalam prinsip nonaneksasi, dalam piagam

PBB

Anda mungkin juga menyukai