Disusun oleh:
Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan bahwa selain melalui litigasi (pengadilan),
penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan),
yang biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di
Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut
APS). Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal dengan nama
APS) telah memiliki landasan hukum yang diatur dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase. Cara
penyelesaian tersebut adalah dengan musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan.
Pada Pasal 1 Angka (10) UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa APS sendiri
merupakan Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Kelompok 2
Arbitrase mempunyai sejarah yang panjang. Berawal mula dari sistem dalam kebiasaan
perdagangan di Mesir Kuno dan Babilonia, yang kemudian diadopsi di negara Yunani dan
dimasukkan ke dalam Roman Ius Gentium (yang merupakan hukum nasional, kemudian
dikodifikasi dalam Corpus Juris Civils). Pada awal penggunaan sistem ini, para pedagang yang
dihadapkan dengan berbagai sengketa dagang mereka diberikan kesempatan bebas untuk
menyelesaikannya, tanpa dipantau langsung oleh pemerintah. Pada awalnya, arbitrase hanya
dikenal dalam lingkup domestik saja, dan selanjutnya berkembang dalam menyelesaikan
sengketa-sengkata perdata yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya dalam batasan
sengketa dalam keluarga, hubungan industrial atau sengketa antara dua perusahaan dagang. Pada
awal tahun 1920an, negara-negara di Eropa sudah memperkenalkan arbitrase ke dalam dunia
internasional. Pada tahun 1923, The Geneva Protocol on Arbitration Clauses diambil alih oleh
Liga BangsaBangsa yang dengan efektif dapat menyelesaikan sengketa di luar lingkup domestik.
Dengan terdapat ketentuan dalam perjanjian arbitrase yang ditetapkan. Kemudian Konvensi New
York 1958 merupakan Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
yang dibentuk di New York, Amerika Serikat. Konvensi New York 1958 ini merupakan dasar
pelaksanaan arbitrase internasional. Di mana hingga saat ini terdapat 149 negara yang telah
menjadi anggota peserta konvensi tersebut. Selanjutnya BANI adalah suatu badan yang dibentuk
oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri, dan keuangan, melalui
arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, antara lain di bidang
korporasi, asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, waralaba,
konstruksi, pelayaran/maritim, lingkungan hidup, pengindraan jarak jauh, dan lain-lain dalam
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom
dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
Secara rinci dapat disebutkan beberapa macam sengketa yang berpotensi untuk diselesaikan
melalui ADR sebagai berikut :
b. Sengketa konstitusi, administratif dan fiskal, yang mencakup isu-isu yang berkaitan dengan
kewarganegaraan dan status personal.
c. Sengketa yang berkaitan dengan organisasi yang timbul didalam organisasi yang meliputi
manajemen, struktur dan prosedur dan sengketa antar organisasi.
e. Sengketa perusahaaan yang meliputi sengketa-sengketa antar pemegang saham dan masalah-
masalah yang timbul pada likuidasi dan penerimaan.
f. Sengketa komersial yang merupakan bidang yang sangat luas meliputi sengketa-sengketa
kontraktual, sengketa-sengketa yang timbul dalam hubungan komersial seperti persekutuan,
perusahaan patungan dan lain-lain.
k. Sengketa-sengketa keluarga lain, seperti klaim-klaim warisan, bisnis keluarga dan sengketa-
sengketa lain didalam lingkungan keluarga.
b. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-
perbedaan diantara para pihak.
c. Teori identitas Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa
identitasnya terancam oleh pihak lain
d. Teori kesalahpahaman antar budaya Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa
konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar
belakang budaya yang berbeda
e. Teori transformasi Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya
masalahmasalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik.
f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa
konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/
terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia
dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis.
Bahwa dalam menyelesaikan permasalah Sengketa Ekonomi Syari’ah Berdasarkan Tradisi Islam
Klasik dapat ditempuh dengan cara yaitu Al Sulh (Perdamaian),Tahkim (artbitrase) dan Wilayat
al Qadha (Kekuasaan Kehakiman) Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Berdasarkan Tradisi
Hukum Positif Indonesia dapat di tempuh dengan cara: Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR) dan Arbitrase (Tahkim).
Kelompok 3