Anda di halaman 1dari 6

d) Teori Sengketa

Terjadinya sebuah sengketa karena adanya perselisihan atau pertentangan.

Perselisihan sendiri tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sengketa

bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain

yang dialami oleh perorangan atau kelompok.

Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik.

Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-

kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Pertentangan

atau konflik yang terjadi antara individu- individu atau kelompok-kelompok yang

mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang

menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain1. Konflik atau sengketa

merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan

yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka

saja2.

Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan yang terjadi

antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. Sedangkan menurut Takdir Rahmadi,

sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan

yang bersifat factual maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja3.


1
Winardi, Managemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Mandar Maju, Bandung,
2007, hal. 1.
2
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Rajawali Pers,
Jakarta, 2011), hal.1.
3
Takdir Rahmadi. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta.Penerbit
: PT. Raja Grafindo Persada. 2017). Hal. 1.
Suyud Margono, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2000), hal. 34.
Menurut Suyud Margono, Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana

ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali oleh perasaan tidak puas

yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun

kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi konflik

kepentingan. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-

pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau

pendapat yang berbeda berpotensi beranjak ke situasi sengketa4

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat Macam-macam penyelesaian

sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan

selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh kemenangan (seperti

peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan

yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau

lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak

milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Dari kedua pendapat di

atas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua

orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat

diberi sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya5.

Adapun bentuk sengketa pemilihan kepala daerah dapat di bagi menjadi

beberapa jenis antara lain:6

5
Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan
Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003),
hal 14.
6
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
a. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan, yaitu pelanggaran terhadap etika

penyelenggara Pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum

menjalankan tugas sebagai

penyelenggara pemilihan.

b. Pelanggaran administrasi pilkada adalah meliputi pelanggaran terhadap tata cara

yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan

pemilihan.

c. Sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta

dengan penyelenggara pemilihan

d. Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan

terhadap ketentuan pemilihan sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu.

e. Sengketa tata usaha negara pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang

tata usaha negara Pemilihan antara calon gubernur, calon bupati, dan calon

walikota dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

f. Perselisihan Hasil Pemilihan, adalah perselisihan antara KPU provinsi dan/atau

KPU kabupaten/kota dan peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara

hasil pemilihan.7

Sengketa yang timbul antara para pihak harus diselesaikan agar tidak

7
Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang
menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dan agar memberikan keadilan dan

kepastian hukum bagi para pihak. Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa

dapat dilakukan melalui dua cara yaitu jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.

Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya sengketa, antara lain :

a) Teori hubungan masyarakat

Teori hubungan masyarakat menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan

rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-

solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi

dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta

pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima

keberagaman dalam masyaraka.

b) Teori Negosiasi Prinsip

Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya

perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat

bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu

memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu

melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah

tetap.

c) Teori Identitas

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa

identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan

penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi


lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan

tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka

rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah

pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.

d) Teori Kesalahpahaman Budaya

Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena

ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang

budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang

mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya,

mengurangi stereotipe yang mereka miliki terhadap pihak lain.

e) Teori Transformasi

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-

masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam

berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik.

Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui

beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan

ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang

mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk

mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan

masing-masing.

f) Teori Kebutuhan atau Kepentingan Manusia

Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena
kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa

dihalangi oleh orang/ pihak lain.

Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis

yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan substantif (substantive)

berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan

kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan.

Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan

masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan

dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati8.

8
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Rajawali Pers,
Jakarta, 2011), hal.8 - 10.

Anda mungkin juga menyukai