IDG Palguna
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Disampaikan pada
Bimtek Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
bagi Peradi
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
03 Agustus 2022
Pengertian Penafsiran Konstitusi
Sumber: Encyclopedia.com
bukan sekadar mencocok-cocokkan
suatu peristiwa, hal, atau keadaan
Penafsiran konstitusi merupakan tertentu dengan pasal-pasal atau
salah satu cara mengelaborasi ketentuan dalam konstitusi melainkan
pengertian-pengertian yang pencarian jawaban atas pertanyaan
terkandung dalam konstitusi bagaimana kita memandang konstitusi
(Keith E. Whittington) itu dan tujuan-tujuan yang hendak
diwujudkan
(Sir Anthony Mason).
Sumber: J.A. Pointier, 2001, Penemuan Hukum (terjemahan B. Arief Sidharta), Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Univeristas Katolik Parahyangan: Bandung.
(1) Jika kata-kata dalam konstitusi
telah jelas, tidak ambigu maka (2) Konstitusi harus dibaca (3) Prinsip-prinsip konstruksi yang
harus diberlakukan penuh sebagai keseluruhan harmonis harus diterapkan
(If the words are clear and (the constitution must be read as (Principles of harmonious
unambiguous, they must be given a whole); construction must be applied);
the full effect);
(4) Konstitusi harus ditafsirkan (5) Pengadilan harus memahami (6) Bantuan internal maupun
secara luas dan literal jiwa Konstitusi dari bahasanya eksternal dapat digunakan tatkala
(the Constitution must be (The court has to infer the spirit menafsirkan
interpreted in a broad and literal of the Constitution from the (Internal and External aids may
sense); language); be used while interpreting);
Sumber: ibid..
(2) Penafsiran historis:
historis di sini bisa merujuk pada historis
(1) Penafsiran tekstual: kelahiran suatu ketentuan dalam konstitusi,
penafsiran yang memusatkan perhatiannya bisa juga (dan lebih banyak) dalam pengertian
pada makna biasa (sehari-hari) dari suatu teks; praktik-praktik yang terjadi di masa lalu
berkenaan dengan suatu norma atau substansi
konstitusi ;
Sumber: Brandon J. Murrill, “Modes of Constitutional Interpretation,” Congressional Research Service, March 15,
2018.
(5) Penafsiran doktrinal:
(6) Penafsiran prudensial:
penafsiran yang bertolak dari penerapan
penafsiran yang mempertimbangkan ongkos
preseden (putusan-putusan pengadilan
atau biaya dan kemanfaatan atau keuntungan
sebelumnya atau putusan pengadilan yang
dari suatu aturan atau ketentuan tertentu.
lebih tinggi)
Non- yang dapat terjadi sebagai akibat dari penafsiran yang tidak
fleksibel terhadap suatu ketentuan dalam konstitusi yang tak
lagi mampu memenuhi maksud asli dari ketentuan dimaksud;
Sumber: I D.G. Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Upaya Hukum terhadap Pelanggaran
Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika: Jakarta.
Terminologi Yunani ini merujuk pada tokoh Hermes yang
dalam mitologi Yunani disebutkan memiliki keahlian
Hermeneutik berasal dari terminologi Bahasa “menafsirkan” pesan-pesan para Dewa di Gunung Olympus
Yunani “hermeneuein” (kata kerja) yang berarti sehingga dapat dimengerti oleh manusia.
“menafsirkan.” Oleh karena itu, kata bendanya, Dengan demikian, Hermes (yang dalam Bahasa Latin
“hermeneia,” berarti “penafsiran” atau dikenal sebagai Mercurius) adalah “jembatan” yang
“interpretasi.” menghubungan para Dewa itu dengan manusia. Maka,
celakalah jika Hermes salah dalam menafsirkan pesan-
pesan para Dewa tersebut.
Sumber: E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius: Yogyakarta; Bernard Arief Sidharta,
2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju: Bandung.
“Setiap patah kata, sebagai sebuah
kejadian di suatu saat, membawa serta
apa yang tak dikatakan.”
CATATAN: Lebih jauh tentang Hermeneutika dalam Penafsiran Konstitusi serta Analisis terhadap
Putusan-putusan MK dilihat dalam konteks penafsiran yang digunakan, lihat:
• Jimmy Usfunan, Penafsiran Konstitusi, ppt yang disampaikan pd Bimbingan Teknis Hukum
Acara Pengujian Undang-undang, Kerjasama Mahkamah Konstitusi-APHTN/HAN, 16 Juni 2021;
Aharon Barak
menawarkan
Penafsiran Purposif
(Purposive
Interpretation)
Dengan pertimbangan
bertolak dari upaya Akibatnya, peran Salah satu aspek dari
demikian, Barak
agar hakim, khususnya mereka, khususnya perdebatan itu Melalui penafsiran
kemudian
hakim konstitusi, dalam hal berkenaan dengan purposif, Barak
mengembangkan teori
“terbebas” dari constitutional review, pertanyaan berargumen bahwa
yang diarahkan untuk
tuduhan yang yang memungkinkan bagaimana maksud dari setiap
mengembangkan
menyatakan bahwa penggunaan diskresi mengevaluasi tingkat penafsiran seharusnya
maksud-maksud
hakim, khususnya yang cukup tinggi, ketaatan para hakim ialah untuk
subjektif dan objektif
hakim konstitusi, tak menjadi perdebatan konstitusi kepada teks mengaktualisasikan
dalam menafsirkan
jarang seperti actor- panas baik dalam teori konstitusi, dan dengan tujuan yang didesain
konstitusi serta
actor politik, dan modern tentang demikian tingkat hendak dicapai oleh
penyelesaian dari
putusan-putusannya politik maupun keterlibatan konstitusi.
konflik-konflik yang
merupakan suatu hukum. politiknya.
potensial terjadi.
fungsi dari
pertimbangan-
pertimbangan
strategis dan ideologis
sekaligus hukum.
Tanpa mengabaikan atau Penafsiran ini Penafsiran ini kerap
menyepelekan maksud mempertimbangkan disebut integratif sebab
pembentuk konstitusi bahwa konstitusi tidak berusaha
(maksud subjektif), teori mudah diundangkan dan mengintegrasikan
ini memberi tekanan diubah serta senantiasa maksud-maksud subjektif
lebih kepada maksud- dirancang dengan dan maksud-maksud
maksud objektif dalam pandangan ke masa objektif suatu teks
penafsiran konstitusi. depan. konstitusi.
Sumber: Aharon Barak, 2005, Purposive Interpretation in Law (translated by Sari Bashi), Princeton University Press:
Princeton, USA; Tanasije Marincovic, “Barak’s Purposive Interpreation in Law as a Pattern of Constitutional
Interpretative Fidelity” dalam
https://www.researchgate.net/publication/314273739_Barak%27s_Purposive_Interpretation_in_Law_as_a_Pattern_of_
Constitutional_Interpretative_Fidelity, diunduh 20 Juli 2021, pukul 23.20 WITA.
• Chemerinsky, Erwin, “In Defense of Judicial Supremacy,” William and Mary Law Review, Volume 58, 2017;
• Dworkin, Ronald, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading of the American Constitution, Harvard University Press:
Cambridge-Massachusetts;
• Dworkin, Ronald, 1999, Taking Rights Seriously, Universal Law Publishing Co.Pvt.Ltd.: Delhi;
• Dworkin, Ronald, 2006, Justice in Robes, The Belknap Press of Harvard University Press: Cambridge and London;
• Fallon, Richard H., “Judicial Supremacy, Departementalism, and the Rule of Law in a Populist Age,” Texas Law
Review, Volume 96, 2018;
• Goldford, Dennis J., 2005, The American Constitution and the Debate over Originalism, Cambridge University Press:
Cambaridge-New York-Melbourne-Madrid-Cape Town-Singapore-Sao Paolo;
• Harkrisnowo, Harkristuti et.al. (Ed.), 2020, Meretas Khazanah Ilmu Hukum. Antologi 7 Dasawarsa Jufrina Rizal,
Rajawali Pers: Depok.
• Kramer, Larry D., “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint,” California Law Review, Volume 100, 2012;
• Palguna, I D.G., 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Upaya Hukum terhadap Pelanggaran
Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika: Jakarta;
• Palguna, I D.G., 2018, Mahkamah Konstitusi. Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara
Lain, KonPress: Jakarta;
• Rakove, Jack N. (Ed.), 1990, Interpreting the Constitution, the Debate over Original Intent, Northeatern Univdersity
Press: Boston;
• Wellington, Harry H., 2005, Interpreting the Constitution, Universal Law Publishing Co.Pvt.Ltd.: Delhi;