Analisis Normatif Restoratif Justice Dal
Analisis Normatif Restoratif Justice Dal
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
Abstrak: Konsep Restorative Justice merupakan cara lain dalam peradilan pidana yang digunakan
untuk menangani perkara pidana. Konsep itu mengutamakan integrasi pelaku dan korban atau
masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada suatu pola hubungan
yang baik antara pelaku tindak pidana. KDRT merupakan salah satu tindak pidana yang diatur oleh
undang-undang khusus, yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Oleh karena itu, konsep Restorative Justice dapat digunakan untuk menangani
perkara KDRT. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam konsep tersebut adalah mediasi penal
(penal mediation). Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat diselesaikan dengan
menggunakan metode Restoratif Justice adalah Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis, Kekerasan
Seksual, dan Penelantaran Dalam Rumah Tangga.
Kata Kunci: Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Konsep Restoratif Justice
Abstract: The concept of Restorative Justice is another method in criminal justice that is used to
handle criminal cases. The concept prioritizes the integration of perpetrators and victims or the
community as a unit to find solutions and return to a pattern of good relations between perpetrators
of criminal acts. Domestic violence is one of the criminal acts regulated by a special law, namely
Law no. 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. Therefore, the concept of
Restorative Justice can be used to handle domestic violence cases. One way that can be used in
this concept is penal mediation. Domestic Violence that can be resolved using the Restorative
Justice method is Physical Violence, Psychological Violence, Sexual Violence, and Domestic
Abandonment.
Keywords: Domestic Violence, Restorative Justice Concept
LATAR BELAKANG
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk
kekerasan yang terjadi di kehidupan masyarakat. Kekerasan itu sering juga disebut
dengan istilah dosmetic violence karena terjadinya di ranah domestik.1 Masalah
KDRT merupakan salah satu hal penting yang menjadi perhatian serius oleh
pemerintah Indonesia pada era reformasi.2 Masalah KDRT pertama kali di bahas
dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar difokuskan pada
suatu wacana yaitu adanya kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat
maupun penegak hukum (law enforce), yaitu yang terjadi di dalam lingkup rumah
1
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 1.
2
Murniati Saloko, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Jurnal Ilmiah Islah Vol. 13 No. 02/ Mei-Agustus 2011, hlm. 261.
70
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
tangga.3
Dalam Pasal 1 ayat (1) UU NO 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala
perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan
melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana maupun
hukum perdata.
Secara spesifik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun
2004, penghapusan KDRT bertujuan untuk:
1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Adapun upaya yang dilakukan untuk menindak pelaku KDRT adalah
dengan memberikan sanksi berupa pidana. Sanksi bagi pelaku KDRT secara
berturut-turut telah dirumuskan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 UU No.
23 Tahun 2004. Apabila terjadi KDRT, maka terhadap pelaku yang terbukti secara
sah dan meyakinkan di sidang pengadilan dijatuhi sanksi pidana dimaksud.
Walaupun telah tegas ditentukan mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan oleh
hakim di sidang pengadilan kepada pelaku KDRT. Hanyasaja jikalau setiap
pelaku kekerasan dalam rumah tangga diharuskan untuk menerimasanksi penjara,
maka korban juga akan mengalami kerugian , terkhusus jikalau pelaku kekerasan
dalam rumah tangga tersebut adalah kepala rumah tangga, yang mencarinafkah
untuk keluarga, dan juga Imam bagi keluarganya.
Oleh karena itu, maka negara mencoba untuk menyelesaikan perkara
Kekerasan dalam rumah tangga dengan mengedepankan proses Restoratif Justice,
dimana proses perdamaian lebih diutamakan, karena hal-hal yang lebih penting.
3
Rika Diana, Kekerasan dalam Rumah Tangga, JIA/Juni 2010/Th. XI/Nomor 1/71-84,
hlm. 76.
71
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
Dalam Penelitian kali ini, penulis akan membahas mengenai : “Restoratif Justice
Dalam Proses Penyelesaiain Kekerasan Dalam Rumah Tangga” Dalam Penelitian
kali ini permasalahan yang diangkat oleh penulis, dan akan dicarikan jawabannya
adalah mengenai Bagaimana penenanganan perkara kekerasan dalam rumah
tangga dengan konsep Restorative Justice ?
METODE
Tipe penelitian dalam tulisan adalah penelitian hukum normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hal ini adalah norma perundang-undangan untuk mengetahui proses
Restoratif Justice dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga.4
Penulis mengkaji dengan mengkaitkan permasalahan yang menjadi pokok
bahasan dalam artikel ini.5bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan
hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan bahan hukum tersier.
4
Ibid., hlm. 51
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 30.
6
Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justice untuk Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 12, hal. 409.
7
Mudzakir, Perkembangan Viktimologi dan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada
“Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi: Kerjasama Faku;tas Hukum UGM dan Masyarakat
Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), di University Club UGM Yogyakarta:
72
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
secara objektif titik persoalan dalam hukum pidana bukan pada beratnya
pemidanaan sebagai bentuk pelampiasan balas dendam terhadap pelaku tindak
pidana. Namun, untuk memperbaiki atau merestorasi kerugian atau luka-luka yang
diderita korban sebagai akibat dari terjadinya tindak pidana.
Bentuk-bentuk tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 yaitu :
a. Kekerasan fisik;
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat (Pasal 6 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
b. Kekerasan psikis;
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga);
c. Kekerasan seksual;
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga).
d. Penelantaran rumah tangga;
Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan yaitu: 1) orang yang
mempunyai kewajiban hukum atau karena persetujuan atau perjanjian
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan
kewajiban tersebut. 2) setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam dan di luar rumah tangga sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Dari bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang telah dijabarkan
diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan tidak hanya disebabkan
oleh kontak fisik melainkan juga oleh hal lain yang tidak berhubungan dengan
fisik, misalnya cacian, makian, cemoohan yang dilakukan pelaku terhadap korban.
Kekerasan Dalam rumah tangga dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain :
a. Faktor internal
Faktor Internal menyangkut kepribadian diri pelaku kekerasan yang
menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila
menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi.
b. Faktor Eksternal;
Faktor Eksternal adalah faktor-faktor di luar diri si pelaku kekerasan.
Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat
melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang
menimbulkan frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan,
penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja
atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.
1. Masalah keluarga;
2. Cemburu;
3. Masalah Anak;
4. Masalah Orang Tua;
5. Masalah Saudara;
6. Masalah Sopan Santun;
7. Masalah Masa Lalu;
8. Masalah Salah Paham;
9. Masalah Tidak Memasak;
10. Suami mau menang sendiri;8
8
Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
prespektif yuridis-viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.77-80
74
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
9
Ibid
10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2011,
hlm. 107.
11
Muladi, Kapita Selekta......, Op.cit, hlm. 127-129.
75
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
12
Ibid
77
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
dan dalam istilah Perancis disebut “de mediation pẻnale”. Karena mediasi penal
terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka
sering juga dikenal dengan istilah “Victim Offender Mediation” (VOM), Tặtera-
Offer-Auģleich (TOA), atau Offender Victim Arrangement (VOA).13
Penggunaan mediasi penal oleh aparat penegak hukum berarti berasal dari
inisiatifnya sendiri. Walaupun secara teoritis perkara pidana dapat diselesaikan
melalui cara mediasi penal, namun tidak berlaku bagi seluruh perkara pidana.
Dalam hal ini, Mudzakir mengemukakan kategorisasi ruang lingkup perkara yang
dapat diselesaikan melalui mediasi penal, yaitu:15
a. kekerasan fisik,
b. kekerasan psikis,
c. kekerasan seksual, dan
d. penelantaran orang dalam rumah tangga.
Pengertian atau definisi dari keempat bentuk KDRT itu telah dicantumkan
16
Mudzakir dalam Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, dan Praktik, Yustitia Edisi 85 Januari-April, 2013,
hlm. 6
79
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
dalam pasal-pasal selanjuntnya yang dapat dilihat pada uraian tabel di bawah ini:
Tabel 1
Pengertian atau Definisi Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dalam UU No. 23 Tahun 200417
NO BENTUK KDRT PENGERTIAN
1. Kekerasan fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat
2. Kekerasan psikis Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang
3. Kekerasan seksual Kekerasan seksual meliputi:
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut;
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu
4. Penelantaran rumah 1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang
tangga dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan, kepada orang tersebut;
2. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
Dari beberapa bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
diuraikan di atas ada yang digolongkan sebagai tindak pidana aduan (klacht
delicten en niet). Menurut Sudarto, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang
penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena
(gelaedeerdepartij).18 Kemudian Andi Hamzah juga mengatakan, bahwa tindak
pidana aduan hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang (korban)
17
Pengertian atau definisi bentuk-bentuk KDRT yang diatur dalam Pasal 5 dicantumkan
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
18
Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang: Yayasan Sudarto, 2013, hlm. 98
80
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
1. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;
2. Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari;
3. Kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. “Kebijakan Hukum Pidana.” In Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, 326–327, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1996
———. “Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-Undangan Dalam
Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan (Disertasi).” Padjajaran, 1986
———. “Pola Pemidanaan Menurut KUHP Dan Konsep KUHP.” In Seminar
Hukum Nasional BPHN, 1. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta,
1992
Atmasasmita, Romli. “Pembangunan Di Bidang Hukum.” In Bunga Rampai
Kriminologi, 20–21. Rajawali Pers, 1984
Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2010
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System):
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung; Bina Cipta, 1996
-----------------, --------Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana,
2011,
Diana, Rika. Kekerasan dalam Rumah Tangga, JIA/Juni 2010/Th. XI/Nomor
1/71-84
Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008
Mudzakir, Perkembangan Viktimologi dan Hukum Pidana, Makalah disampaikan
pada “Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi: Kerjasama Faku;tas
Hukum UGM dan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia
(MAHUPIKI), di University Club UGM Yogyakarta: 23-27 Februari 2014
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997
82
Jurnal Tripantang ISSN : 2460-5646
E-ISSN : 2775-5983
Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang
83