Anda di halaman 1dari 5

ALAT BUKTI PERSANGKAAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Hukum Acara dan Administrasi Peradilan Agama

Yang diampu oleh Bapak Dr. H. Tamat Zaifudin, Drs., M.H.

Oleh

DHITA ISLAMI DHAMHUDI

(126102202118)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’ AH DAN ILMU HUKUM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG


NOVEMBER 2022

A. Pengertian Alat Bukti Persangkaan


Alat bukti persangkaan diatur didalam pasal 310 RBg / Pasal 173 HIR dan
Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pengertian alat bukti
persangkaan lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUHPerdata dibanding
dengan Pasal 310 RBg / Pasal 173 HIR, yang berbunyi: “ Persangkaan ialah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak diketahui
umum.” Alat bukti ini disebut vermoedem yang berarti dugaan atau presumtie,
berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim dari suatu
hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan yang belum
diketahui. 1 Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan alat bukti
pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan
bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi
alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu
persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti. 1
Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR dijelaskan bahwa, persangkaan
saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang
tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan keputusan,
jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.

B. Klasifikasi Persangkaan
Klasifikasi alat bukti persangkaan :
1. Persangkaan Menurut Hukum atau Undang-Undang (wettelijke
vermoeden)
Kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang dari peristiwa yang
jelas kearah peristiwa yang belum terang atau jelas, yang berdasarkan
suatu ketentuan khusus yang ada didalam Undang-Undang yang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu.2

1 2017. https://suduthukum.com/2017/10/alat-bukti-persangkaan.html
Diakses pada 5 November 2022
2 Novita Dyah K. S. dan Syafrudin Y,

, Vol. 4, Bagian Hukum Acara Universitas Sebelas Maret, 2016,


Hlm. 152.
Disebut juga persangkaan hukum (rechtvermoedem) atau persangkaan
Undang-undang (wettlijke vermoedem) Bentuk persangkaan
Undang-undang dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Persangkaan menurut Undang-undang yang tidak dapat
dibantah atau irrebuttable presumption of law;
b. Persangkaan menurut Undang-undang yang dapat dibantah
atau rebuttable presumption of law.
2. Persangkaan Hakim atau kenyataan (Rechtelijk vermoeden)
Pada suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus
terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu
perkara.1
Bentuk persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUHPerdata
berupa persangkaan berdasarkan kenyataan (fetelijke vermoedem).
Bentuk persangkaan ini tidak berdasarkan undang-undang, tetapi
diserahkan kepada pertimbangan hakim, dengan syarat asal bersumber
dari fakta-fakta yang penting. Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan
berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat
dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian.
Contohnya persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasari
alasan perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa
yang bukan suami istri yang sah tidur bersama dalam satu kamar yang
hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut
telah terjadi menurut persangkaan hakim.

C. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti


Dalam prakteknya alat bukti persangkaan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim menggunakan
persangkaan hakim atau kenyataan yang memiliki kekuatan pembuktian bukti
bebas, yaitu kekuatan pembuktian diserahkan kepada pertimbangan hakim,
sedangkan persangkaan hukum atau Undang-Undang memiliki kekuatan
pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan. Hakim dalam memberikan
keputusan tidak diperbolehkan hanya berdasarkan pada alat bukti persangkaan
saja, tetapi harus disertai dengan bukti-bukti lain yang berdasarkan
Undang-Undang yang ada. Suatu keputusan pengadilan hanya berdasarkan
satu persangkaan saja, maka alat bukti tersebut secara yuridis sangatlah lemah
atau tidak sempurna.
Pasal 1922 KUH Perdata, persangkaan-persangkaan yang tidak
berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan
kewaspadaan hakim yang hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang
penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. Persangkaan
yang demikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang
mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila diajukan
suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan
adanya iktikad buruk atau penipuan. 3 Hakim apabila dalam keputusannya
hanya berdasarkan pada satu persangkaan saja, maka bukti tersebut secara
yuridis belum sempurna. Apabila dalam suatu keputusan pengadilan yang
hanya berdasarkan satu persangkaan saja, maka alat bukti tersebut secara
yuridis sangatlah lemah atau tidak sempurna karena tidak adanya alat bukti
persangkaan lain.1

3 Novita Dyah K. S. dan Syafrudin Y,


, Vol. 4, Bagian Hukum Acara Universitas Sebelas Maret, 2016,
Hlm. 154.
Daftar Pustaka

2017.
https://suduthukum.com/2017/10/alat-bukti-persangkaan.html Diakses pada 5
November 2022

Eddy O.S. Hiariej, 2012. Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga.

Novita Dyah K. S. dan Syafrudin Y,


, 2016, Vol. 4, Bagian
Hukum Acara Universitas Sebelas Maret.

Sarwono.2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta : sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai