Abstraksi :
Konsep batal demi hukum dapat ditinjau dari aspek teoritis maupun dalam praktek
penerapan di lapangan diantaranya dalam peradilan pidana, perdata, dan tata usaha
negara. Dalam pemahaman umum konsep batal demi hukum sering disalah pahami
penerapannya. Secara tinjauan teoritis, kebatalan suatu produk hukum dapat terjadi
karena kondisi batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Keduanya memiliki konsep
yang berbeda. Kondisi “dapat dibatalkan” terjadi terjadi dengan syarat
kebatalannya dilakukan dengan perbuatan hukum tertentu dan diajukan kepada
institusi tertentu yang oleh hukum memang diberikan kewenangan melakukan
pembatalan suatu produk hukum. Sedangkan kondisi “batal demi hukum” dipahami
seolah-olah tidak memerlukan perbuatan hukum tertentu oleh institusi tertentu karena
kebatalannya terjadi secara sendiri karena hukum. Padahal sesungguhnya dalam
konteks keadaan batal demi hukum suatu putusan badan peradilan, maka keadaan
batal demi hukum adalah suatu keadaan yang sesungguhnya masih membutuhkan
suatu perbuatan hukum berupa pengajuan pembatalan kepada suatu badan
peradilan.
1
Alamat Korespondensi : fajarkotamalang@gmail.com
Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata
Usaha Negara
61
baik di pusat maupun di daerah sebagai Konsep batal demi hukum dalam
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata peradilan pidana merujuk pada kitab
Usaha Negara berdasarkan peraturan Undang-undang Hukum Acara Pidana
perundang-undangan yang berlaku. (KUHP) pasal 153 ayat (4) dan pasal 197
Dalam konteks legalitas suatu ayat (2). Sebagaimana ketentuan hukum
produk hukum, suatu dokumen hukum acara peradilan pidana maka Hakim ketua
baik itu undang-undang atau peraturan sidang memimpin pemeriksaan di sidang
perundang-undangan, putusan pengadilan, pengadilan yang dilakukan secara lisan
perjanjian atau kontrak dan dokumen yang dalam bahasa Indonesia yang dimengerti
dibuat lembaga eksekutif, legislatif dan oleh terdakwa dan saksi; Hakim juga wajib
yudikatif dapat dibuat secara tidak sah menjaga supaya tidak dilakukan hal atau
sehingga dinyatalan batal demi hukum. diajukan pertanyaan yang mengakibatkan
Peradilan memiliki posisi yang strategis terdakwa atau saksi memberikan jawaban
dalam melakukan penilaian terhadap secara tidak bebas. Sementara Untuk
berbagai dokumen hukum tersebut. keperluan pemeriksaan, hakim ketua
Peradilan adalah segala sesuatu sidang membuka sidang dan menyatakan
proses yang dijalankan di Pengadilan yang terbuka untuk umum kecuali dalam
berhubungan dengan tugas memeriksa, perkara mengenai kesusilaan atau
memutus dan mengadili perkara dengan terdakwanya anak-anak. Berdasarkan pasal
menerapkan hukum dan/atau menemukan Pasal 153 ayat (4), tidak dipenuhinya
hukum “in concreto” (hakim menerapkan ketentuan tersebut dalam ayat (2) dan ayat
peraturan hukum kepada hal-hal yang (3) mengakibatkan batalnya putusan demi
nyata yang dihadapkan kepadanya untuk hukum.
diadili dan diputus) untuk Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga mengatur
mempertahankan dan menjamin ditaatinya bahwa putusan pengadilan harus memuat:
hukum materiil, dengan menggunakan cara a. kepala putusan yang dituliskan
prosedural yang ditetapkan oleh hukum berbunyi : "DEMI KEADILAN
formal. BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA";
B. Pembahasan b. nama lengkap, tempat lahir, umur
1. Batal Demi Hukum dalam Peradilan atau tanggal lahir, jenis kelamin,
Pidana kebangsaan,
Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata
Usaha Negara
63
143 ayat (3) KUHAP: “Surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan pasal 143 ayat
yang tidak memenuhi ketentuan ayat (2) (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3).5
huruf b batal demi hukum”. Pasal 143 ayat Meskipun undang-undang
(2) KUHAP memberi tegasan syarat-syarat merumuskan sesuatu batal demi hukum
yang harus dipenuhi didalam pembuatan namun keadaan batal demi hukum tidak
surat dakwaan, yaitu: dengan sendirinya terjadi. Dalam konteks
1. Syarat formal yaitu: surat dakwaan ini yang berhak menyatakan putusan batal
harus diberi tanggal dan demi hukum suatu putusan pengadilan
ditndatangani oleh Penuntut adalah instansi pengadilan yang lebih
Umum; berisi identitas terdakwa tinggi. Pendapat ini bertolak dari ajaran
yaitu nama lengkap, tempat lahir, yang berpendirian sifat batal demi hukum
umur atau tanggal lahir, jenis (van rechtsweenietig) atau null and void
kelamin, kebangsaan, tempat tidak murni dan tidak mutlak. Dengan
tinggal, agama, dan pekerjaan demikian agar suatu putusan yang batal
terdakwa. demi hukum resmi batal secara formal
2. Syarat material yaitu: surat maka harus ada tindakan dari pihak lain
dakwaan harus memuat secara yaitu instansi pengadilan yang lebih tinggi
cermat, jelas dan lengkap mengenai atau instansi yang berwenang berdasarkan
tindak pidana yang didakwakan undang-undang.
dengan menyebutkan waktu dan Dengan demikian menurut Yahya
tempat tindak pidana tersebut Harahap sifat putusan yang batal demi
dilakukan oleh terdakwa.4 hukum pada hakikatnya berubah menjadi
Surat dakwaan yang tidak memuat “dapat dibatalkan” (vernietig baar) atau
semua unsur yang ditentukan dalam pasal “dinyatakan batal” (nietig verklaard) atau
pidana yang didakwakan atau tidak voidable oleh instansi yang lebih tinggi
menyebut tempat dan waktu kejadian atau atau instansi yang berwenang. Tata cara
tidak memerinci secara jelas peran dan atau prosedur yang demikian pada
tindakan yang dilakukan terdakwa dalam umumnya dijumpai dalam praktek
surat dakwaan, sehingga surat dakwaan lingkungan hukum perdata dan
6
administrasi.
4
Hari Sasanko dan Tjuk Suharyanto, Penuntutan
5
dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 57.
6
Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm. 75. M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 387.
66 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 60-76
2. Batal Demi Hukum dalam Peradilan perikatan itu, tentu setelah ada pihak
Perdata tertentu yang mengajukan gugatan
Dalam ranah praktek perdata, terhadap keabsahan perjanjian dimaksud.
konsep batal demi hukum dikenal dalam Hal itu sesuai dengan asas hukum yang
konteks hukum perjanjian. Menurut pasal perlaku dalam hukum acara perdata yaitu
1320 Kitab Undang-undang Hukum “Hakim Bersifat Menunggu”. Berdasarkan
Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian pasal 118 HIR dan 142 Rbg, bahwa hakim
diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat bersifat menunggu datangnya tuntutan hak
mereka yang mengikatkan dirinya; cakap diajukan kepadanya, sehingga apakah akan
untuk membuat suatu perjanjian; mengenai ada gugatan atau tuntutan hak diajukan
suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada
Dua syarat yang pertama dinamakan para pihak yang berkepentingan.
syarat-syarat subjektif karena mengenai Sedangkan dalam hal terdapat
orang-orangnya atau subjek yang kekurangan mengenai syarat subjektif
melakukan perjanjian, sedangkan dua maka suatu perjanjian bukan batal demi
syarat yang terakhir dinamakan syarat- hukum tetapi “dapat dimintakan
syarat objektif karena mengenai pembatalan” oleh salah satu pihak. Subekti
perjanjiannya sendiri atau objek dari memberikan analisis terkait sebab
perbuatan hukum yang dilakukan itu.7 diadakannya pembedaan antara perjanjian-
Apabila syarat objektif untuk perjanjian yang batal demi hukum dan
sahnya untuk suatu perjanjian tidak perjanjian-perjanjian yang dapat
terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal dimintakan pembatalan. Perjanjian yang
demi hukum. Secara yuridis sejak semula tidak mengandung sesuatu hal yang
tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian
perikatan apapun diantara para pihak yang yang demikian tidak dapat dilaksanakan
bermaksud membuat perjanjian itu. karena tidak terang apa yang dijanjikan
Meskipun istilahnya adalah “batal demi oleh masing-masing pihak. Keadaaan
hukum” hal itu tidak berarti bahwa suatu tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.
perjanjian yang tidak memenuhi syarat Tentang perjanjian yang isinya tidak halal,
objektif itu batal dengan sendirinya. teranglah bahwa perjanjian yang demikian
Hakim diwajibkan menyatakan bahwa itu tidak boleh dilakukan karena
tidak pernah ada suatu perjanjian atau melanggar hukum atau kesusilaan. Hal
7
Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa
Cetakan XII tahyun 1990 hlm. 17
Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata
Usaha Negara
67
demikian juga seketika dapat diketahui hukum dengan batas waktu sampai 5
oleh hakim.8 tahun. Dalam hal ketidakcakapan suatu
Tentang perjanjian yang pihak dihitung sejak yang bersangkutan
kekurangan syarat-syarat subjektif yang menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal
menyangkut kepentingan seseorang, paksaan, sejak hari paksaan itu telah
misalnya seorang yang oleh undang- berhenti, sementara dalam hal kekhilafan
undang dipandang sebagai tidak cakap, atau penipuan, sejak diketahuinya
atau seorang yang telah memberikan kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan
persetujuannya karena khilaf atau tertipu. waktu tersebut tidak berlaku terhadap
Kekurangan syarat subjektif itu tidak pembatalan yang diajukan selaku
begitu saja dapat diketahui oleh hakim dan pembelaan atau tangkisan yang mana
mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan selalu dapat dikemukakan.
sehingga memerlukan pembuktian. Menurut Subekti terdapat dua cara
Mengacu pada pasal 1265 KUHPer untuk meminta pembatalan perjanjian.
bahwa suatu syarat batal adalah syarat Pertama, pihak yang berkepentingan
yang apabila dipenuhi menghentikan secara aktif sebagai penggugat meminta
perikatan, dan membawa segala sesuatu kepada hakim supaya perjanjian itu
kembali, pada keadaan semula, seolah- dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia
olah tidak pernah ada suatu perikatan. digugat di depan hakim untuk memenuhi
Berdasar pasal 1266 KUHPer, syarat batal perjanjian dimaksud. Di depan Pengadilan
dianggap selalu dicantumkan dalam Tergugat menyampaikan bahwa perjanjian
persetujuan-perseyujuan yang bertimbal tersebut telah disetujuinya ketika ia masih
balik manakala salah satu pihak tidak belum cakap, ataupun disetujui karena
memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang dalam ancaman atau karena khilaf
demikian persetujuan tidak batal demi mengenai objek perjanjian atau karena
hukum tetapi pembatalan harus Tergugat ditipu. Pembatalan secara pasif
dimintakan kepada hakim. ini tidak dibatasi jangka waktunya.9
Berdasarkan pasal 1454 KUHPer Dalam konteks hukum perkawinan
hak meminta pembatalan hanya ada pada juga dikenal istilah “batalnya perkawinan”
satu pihak saja yaitu pihak yang oleh yaitu pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974
undang-undang diberi perlindungan tentang Undang-undang Perkawinan:
8 9
Ibid, hlm. 22 Ibid, hlm. 25.
68 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 60-76
pengadilan tata usaha negara, peraturan Sementara itu pasal 116 ayat (3)
perundang-undangan memberi penegasan No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
bahwa batalnya suatu keputusan tata usaha 2004 memberi tegasan bahwa dalam hal
negara yang dinyatakan batal oleh Tergugat ditetapkan harus melaksanakan
pengadilan tata usaha negara tidak secara kewajiban berupa Pencabutan Keputusan
merta merta pada saat setelah Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
dibacakannya putusan pengadilan tata menerbitkan Keputusan Tata Usaha
usaha negara. Negara yang baru dan penerbitan
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
jo UU No. 9 Tahun 2004 memberi tegasan gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5
bahwa pencabutan atas kebatalan suatu Tahun 1986, dan setelah 3 (tiga) bulan
keputusan tata usaha negara pada tahapan ternyata kewajiban tersebut tidak
pertama tetap menjadi kewenangan dilaksanakan maka Penggugat mengajukan
instansi yang mengeluarkan suatu produk permohonan kepada Ketua Pengadilan
hukujm keputusan tata usaha negara yang agar pengadilan memerintahkan Tergugat
dibatalkan tersebut. Pasal 116 ayat (2) UU melaksanakan putusan Pengadilan
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun tersebut.
2004 baru kemudian memberikan Dengan demikian hukum
pemecahan hukum dalam hal instansi yang memberikan waktu bagi pejabat TUN yang
dimaksud ternyata tidak melakukan dinyatakan batal keputusannya untuk
tindakan sebagaimana diperintahkan oleh menindaklanjuti melakukan kewajiban
hakim pengadilan Tata Usaha Negara yaitu sesuai yang diperintahkan dalam putusan
melakukan pencabutan Keputusan Tata Pengadilan TUN berupa pencabutan
Usaha Negara yang bersangkutan. Keputusan Tata Usaha Negara yang
Ditegaskan bahwa dalam hal dalam waktu bersangkutan selambat-lambatnya 4 bulan.
4 (empat) bulan setelah putusan Timbul pertanyaan, sejak kapankah
Pengadilan yang telah memperoleh kebatalan suatu keputusan Tata Usaha
kekuatan hukum tetap pihak Tergugat Negara yang dinyatakan batal oleh
tidak melaksanakan kewajibannya maka peradilan? Jika mengikuti asas hukum
Keputusan tata Usaha Negara yang yang berlaku universal dalam peradilan
disengketakan itu tidak mempunyai maka lazimnya suatu putusan berlaku
kekuatan hukum lagi. sejak diucapkan, sehingga kebatalan suatu
putusan tata usaha negara yang dinyatakan
72 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 60-76
batal oleh putusan TUN adalah sejak saat Namun memang sulit ditepis bahwa
putusan itu diucapkan dan memiliki pengaturan di pasal 116 UU No. 5 Tahun
kekuatan hukum tetap. 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tersebut
Namun dengan ketentuan pasal jelas membuka pintu ketidakpastian
116 tersebut menjadi membuka pintu hukum.
ketidakpastian hukum karena ternyata Memang pasca perubahan UU No.
hukum masih memberikan kesempatan 5 tahun 1986 dengan UU No. 9 Tahun
selama 4 bulan bagi tergugat untuk 2004 terkait eksekusi putusan pengadilan
merespon putusan TUN dimaksud. Dalam TUN terdapat perbedaan alur yanglebih
hal putusan pengadilan dimaksud tidak sederhana dalam hal pelaksanaan eksekusi
dipatuhi oleh pejabat tata usaha negara putusan pengadilan TUN. Jika dalam UU
maka dinyatakan Keputusan TUN yang No. 5 Tahun 1986, dalam hal Tergugat
disengketakan tidak mempunyai kekuatan tidak melaksanakan kewajiban yang
hukum lagi. diputuskan oleh Pengadilan untuk
Untuk mendudukkan kompleksitas melakukan pencabutan Keputusan Tata
tafsir atas kebatalan suatu putusan TUN Usaha Negara yang bersangkutan dan
apakah sejak saat dibacakan oleh hakim menerbitkan Keputusan Tata Usaha
PTUN yang mengadili ataukah sejak Negara yang baru dan penerbitan
setelah lewat tenggang waktu 4 bulan bagi Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
Tergugat yang tidak mematuhi putusan gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5
PTUN, maka menurut hemat penulis Tahun 1986, maka Penggugat masih harus
kebatalan itu harus dihitung sejak putusan mengajukan permohonan agar Pengadilan
hakim PTUN dimaksud memiliki kekuatan memerintahkan Tergugat melaksanakan
hukum tetap, tidak menunggu 4 bulan putusan Pengadilan. Dalam hal Tergugat
setelah putusan memiliki kekuatan hukum masih tetap tidak mau melaksanakannya
dan tidak dipatugi seorang pejabat TUN maka Ketua Pengadilan mengajukan hal
baru kemudian demi hukum keputusan itu kepada instansi atasan Tergugat
TUN dimaksud dinyatakan tidak menurut jenjang jabatannya. Selanjutnya
mempunyai kekuatan hukum lagi. Terkait instansi atasan sebagaimana dimaksud
tenggang waktu 4 bulan itu harus dipahami dalam waktu dua bulan setelah menerima
hanya terkait faktor administrasi . hal itu pemberitahuan dari Ketua Pengadilan
untuk meneguhkan kewibaan Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat
dalam menegakkan kepastian hukum. Tergugat melaksanakan putusan
Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata
Usaha Negara
73
Pengadilan. Langkah terakhir jika instansi yang dinyatakan batal demi hukum harus
atasan tersebut tidak mengindahkan dinyatakan oleh instansi pengadilan yang
permintaan Ketua Pengadilan maka Ketua lebih tinggi sehingga hakikatnya sifat batal
Pengadilan mengajukan persoalan tersebut demi hukum berubah menjadi “dapat
kepada Presiden sebagai pemegang dibatalkan” atau “dinyatakan batal”. Baik
kekuasaaan pemerintah tertinggi untuk peradilan pidana, perdata maupun tata
memerintahkan pejabat tersebut untuk negara memiliki prosedur yang demikian.
melaksanakan putusan Pengadilan. Penggunaan istilah batal demi
Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 hukum diterapkan dalam dua konteks yang
maka alur pelaksanaan eksekusi putusan berbeda pada ketiga peradilan tersebut
Pengadilan TUN menjadi lebih sederhana. diatas. Yang pertama adalah terkait
Terhadap Tergugat yang tidakmenjalankan putusan peradilan dan yang kedua
kewajiban yang diperintahkan oleh penggunaan istilah batal demi hukum
putusan hakim maka terhadap pejabat yang bukan pada putusan peradilan yang
bersangkutan upaya paksa berupa dinyatakan batal demi hukum. Pada
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau kategori kedua penggunaannya berbeda
sanksi administrasi, tanpa dijelaskan pada setiap bentuk peradilan. Untuk
bagaimana mekanisme lebih jauh peradilan perdata terkait perjanjian yang
penjatuhan sanksi administrasi tersebut. dibuat oleh antar subjek hukum yang tidak
Hanya dalam penjelasan secara otentik memenuhi syarat objektif sebagaimana
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan dimaksud pasal 1320 KUHPerdata. Untuk
“pejabat yang bersangkutan dikenakan peradilan Tata Usaha Negara penggunaan
uang paksa” dalam ketentuan ini adalah istilah batal demi hukum ialah pada suatu
pembebanan berupa pembayaran sejumlah bentuk keputusan tata usaha negara yang
uang yang ditetapkan oleh hakim karena tidak memenuhi syarat dan kualifikasi
jabatannya yang dicantumkan dalam amar tertentu. Sedangkan pada peradilan pidana
putusan pada saat memutuskan penggunaan istilah batal demi hukum
mengabulkan gugatan Penggugat. dilekatkan pada suatu dakwaan jaksa
penuntut umum yang dapat dikualifikasi
4. Analisa Konsistensi penggunaaan batal demi hukum jika tidak memenuhi
Istilah Batal Demi Hukum syarat dan kualifikasi tertentu yang
Sebagaimana ditegaskan diatas ditetapkan oleh KUHAP.
bahwa tata cara atau prosedur putusan
74 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov.2015 Hal. 60-76
Dalam konteks hukum perdata perdata atau hukum tata usaha negara pada
misalnya, suatu perjanjian yang dibuat satu pihak dengan lingkungan hukum
tanpa kausa yang dibolehkan atau pidana. Pada hukum perdata maka yang
perjanjian yang memuat kausa yang terkait secara langsung ialah kepentingan
bertentangan dengan undang-undang maka hak keperdataan terutama yang berkenaan
menurut pasal 1335 KUH Perdata adalah dengan hak kebendaan atau perjanjian.
perjanjian yang batal demi hukum. Sedangkan pada hukum pidana terkait
Perjanjian yang demikian dianggap tidak sekaligus dua kepentingan yaitu
mempunyai kekuatan hukum. Namun kepentingan perlindungan hak asasi
demikian sekalipun sifat perjanjian batal terdakwa pada satu pihak dan kepentingan
demi hukum, namun pihak-pihak yang umum pada sisi yang lain.
bersangkutan harus meminta pembatalan Berbeda pada praktek peradilan
ke pengadilan sebagai instansi yang perdata yang telah digariskan tata cara
berwenang menyatakan perjanjian itu batal mengajukan pembatalan atas sesuatu
demi hukum. Atas permintaan para pihak tindakan hukum yang batal demi hukum
itulah kemudian pejabat yang berwenang maka hal tersebut tidak diatur dalam pasal
yaitu hakim perdata mengeluarkan putusan 197 KUHAP. Dengan demikian undang-
yang menyatakan perjanjian yang batal undang memberi keleluasaan bagi lembaga
demi hukum itu kemudian dibatalkan. peradilan untuk menjaga keseimbangan
Demikian juga praktek hukum tata antara perlindungan hak asasi terdakwa
usaha negara. Sesuatu yang batal demi pada satu pihak dengan kepentingan
hukum tidak dengan sendirinya batal. Agar masyarakat serta tehaknya hukum dan
sesuatu yang batal demi hukum dapat keadilan pada pihak yang lain.
dinyatakan batal dan tidak mempunyai Hal yang tidak boleh terjadi adalah
kekuatan hukum maka harus melalui jangan sampai seorang terdakwa
prosedur adanya pernyataan batal dari dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan
pejabat yang berwenang. Suatu putusan yang batal demi hukum, sebaliknya juga
tata usaha negara yang berkualifikasi batal tidak boleh terjadi seorang terdakwa tidak
demi hukum harus dinyatakan oleh hakim dapat dieksekusi disebabkan oleh kelalaian
yang mengadili dalam suatu peradilan tata hakim memenuhi salah satu ketentuan
usaha negara. dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP.
Terdapat perbedaan yang prinsipil Berdasarkan pertimbangan itulah maka
antara lingkungan peradilan hukum
Santosa, Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata
Usaha Negara
75
B. Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Perdata.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Tata Usaha Negara juncto
Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Tata Usaha Negara.