Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Amat Zuhri, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Imanda Artik Rizky Aulia (30123041)
2. M. Roghdi Khasbiya (30123063)
3. Maftukhatur Rizqoh (30123061)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI K.H ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN
2023
A. Pendahuluan

Dalam pembahasan keagamaan dan keilmuan, terminologi sunni digunakan untuk


menyebut kelompok Ahlusunnah, yakni suatu mazhab dalam Islam yang mendasarkan
struktur keagamaan, sistem nilai afektif dan ritual-ritual praksisnya diatasnash-nash Al-
Qur’an, sunnah Nabi SAW, sunnah para sahabat dan generasi para tabiin-tabiin. Dengan
sendirinya dalam pembahasan ini kita menggunakan istilah Sunni untuk menyebut sebuah
kelompok sebagaimana defenisidiatas. Dalam pengertian yang kita singgung diatas,
penggunaan dan interpretasi nash-nash agama haruslah dimaknai secara umum, karena
ketiadaan pembatasan jalur periwayatan nash (utamanya sunnah Nabi saw) yang disepakati
secara ijma’(consensus) dan dianggab baku oleh ulama-ulama mazhab Ahlussunah. Mereka
umumnya memiliki metode verifikasi tertentu yang melaluinya mereka mendefenisiskan nas-
nas yang mereka anggap otoritatif.

B. Pembahasan

1. Pengertian Ahlussunnah wal jama’ah

Jika dilihat dari segi bahasa (etimologi), Ahlussunnah wal jama’ah terdiri dari kata :
ahlun artinya golongan atau keluarga, assunnah secara bahasa artinya thoriqoh (jalan), secara
istilah yaitu apa saja yang datang dari Rasulullah SAW, baik perkataan (qouliyah), perbuatan
(fi’liyah), dan ketetapan (taqririyah), dan yang terakhir yaitu al-jamaah yang artinya
kumpulan atau kelompok. Yang dimaksud jamaah disini yaitu para shohabat nabi, terutama
khulafaurrosydin, assawadul a’adham (golongan mayoritas islam) atau jama’atul mujtahidin
(golongan mujtahid). Sedangkan menurut istilah (terminologi), ahlussunnah wal jamaah
berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran islam yang murni yang
sesuai diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah dan Para Shohabatnya.1

2. Sejarah munculnya Ahlussunnah wal Jamaah

Pada masa pemerintahan Abbasiyah, khususnya masa pemerintahan Al-Makmun


(tahun 198-218 H/813-833M), Al-Muktashim (tahun 218-228H/833-842M), dan Al-Watsiq
(tahun 228-233H/842-847M) menjadikan paham muktazilah sebagai paham resmi yang
dilindungi oleh pemerintah pada saat itu.

1
M. Nurdin Syafi’i, M. Si. dan Supriyanto, S.Sos.I, Buku Mata Pelajaran Ke-NU-an Ahlussunnah wal Jamaah
MTs/SMP kelas VII (Surakarta:CV.SinarAbadi,2015),hal.76-77.
Dalam menyebarkan paham muktazilah, Khalifah Al-Makmun melakukan pemaksaan
terhadap seluruh jajaran pemerintah dan seluruh masyarakat islam. Ulama yang tidak mau
mengikuti paham muktazilah menjadi korban penganiayaan dan dipenjarakan, seperti Imam
Hambali, Muhaimin bin Nuh, dll. Oleh karena tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an itu
adalah makhluk seperti yang diyakini muktazilah.

Para ulama dan masyarakat islam yang menentang paham muktazilah bersatu dan
bersikap tegas mempertahankan keyakinan atau akidah ahlussunnah wal jamaah. Mereka
meyakini bahwa akidah ahlussunnah wal jamaah adalah paham yang benar. Dukungan
tersebut semakin lama semakin banyak terutama setelah terjadinya peristiwa mihnatul
qur’an, yaitu fitnah yang mengatakan bahwa al-qur’an adalah makhluk. Peristia mihnatul
qur’an semakin menimbulkan keresahan dalam masyarakat pada saat itu, sehingga semakin
banyak masyarakat yang beci dan menentang pemerintah, termasuk muktazilah.

Banyaknya keresahan dan penentangan masyarakat terhadap pemerintah abbasiyah,


maka pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil ia menyadari bahwa dukungan terhadap
pemerintahannya semakin berkurang sebagai akibat dari peristiwa mihnatul qur’an. Maka
pada tahun 856M pemerintahan Al-Mutawakkil membatalkan aliran atau paham muktazilah
sebagai paham resmi negara dan pemerintah.

Dari penentangan atau perlawanan inilah kemudian muncul ulama islam Syeikh Abu
Hasan Al-Asy’ari yang membawa ajaran-ajaran yang mudah diterima masyarakat sebab
bersifat sederhana dan sejalan sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad,
324 H / 935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya.
Menurut catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh
Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah). Pada
mulanya Syeikh Abu Hasan al-Asy’ari adalah pengikut paham muktazilah, kemudian setelah
Abu Hasan al-Asy’ari mengetahui lewat mimpi bahwa ajaran-ajaran muktazilah disebut oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai paham yang tidak benar, maka beliau meninggalkan paham
tersebut, kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah.

Di Samarkand, timbul pula usaha untuk menentang aliran muktazilah yang didirikan
oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Beliau adalah ulama yang sepaham dengan Abu Hasan al-
Asy’ari, yang ajarannya kemudian dikenal dengan paham maturidiyah. Di bukhara aliran
maturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al-Bazdawi. Ajaran ahlussunnah wal
jamaah yang dikembangkan oleh kedua ulama tersebut ternyata mampu diterima oleh
sebagian besar masyarakat masyarakat sesuai dengan tingkat pemikiran dengan tetap
menjaga kemurnian ajaran islam sesuai sunnah nabi serta para shohabatnya, dan berkembang
sampai saat ini.

Paham ahlussunnah wal jamaah dikembangkan terus menerus oleh murid dan ulama
pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti Abu Hasan Al-Bahili, Muhammad Al-Baqillani,
Abdul Maali Al-Juwaini (Imam Haromain), Abu Hamid Al-Ghazali, Muhammad bin Yusuf
As-Sanusi, dll. Penyebaran paham ahlussunnah wal jamaah semakin lama semakin tersebar
hampir di seluruh penjuru dunia.2

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah,
karena dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai paham
Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya disebut sunniyun.

Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari
dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab : Al-Ibanah fi Ushuliddiniyyah,
Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.

munculnya Aswaja merupakan respons atas kelompok-kelompok ekstrem dalam


memahami dalil-dalil agama Islam. Kelompok-kelompok ekstrem ini lahir akibat
perpecaham umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632.3

3. Tokoh tokoh Ahlussunnah wal Jamaah

Pada akhir abad ke III Hijriyah timbullah golongan yang bernama Kaum
AhlussunnahwalJama’ah, yang dikepalai oleh dua orang Ulama besar dalam Ushuluddin
yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali alAsy’ari dan Syeikh Abu Mansur alMaturidi.

4. Tentang Sifat-Sifat Allah SWT

Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi,
bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat
seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain.
Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat
makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini,

2
Ibid, hal 77-82
3
Tim Humas, Ahlussunnah wal Jama’ah:pengertian, sejarah, dan doktrin, An-nur.ac.id. diakses pada 16 oktober
2023 dari https://an-nur.ac.id/ahlussunnah-wal-jamaah-pengertian-sejarah-dan-doktrin/
bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik
dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat
Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan
berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam
segenap hakikatnya.4

Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan
Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan.
Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan,
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-
Jubba’i ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui.5

Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan
untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi
tidak pula lain dari Tuhan.6

Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit
apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya
kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk
mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas
dan kuantitas amal sholehnya.7

5. Tentang Kemampuan Manusia dalam Melakukan Perbuatan

Pendapat Asy’ari yang paling menyita perhatian adalah pandangannya tentang


perbuatan manusia. Beliau meluncurkan teori Al-Kasb sebagai jalan tengah di antara
pandangan Jabariyah dan Qodariyah. Pandangan ini dapat diurai sebagi berikut:

4
M.M. Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Nuansa Cendekia, Bandung, 2004, hlm.63
5
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 2002, hlm. 135
6
Ibid, hal 136
7
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Perlamadani, Jakarta, 2003, hlm. 182
1. Perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, melainkan
diciptkan oleh Tuhan. Seperti dalam kasus kufur adalah perbuatan yang buruk, tetapi orang
kafir ingin menghendaki supaya kufur bersifat baik. Apa yang diinginkan orang kafir tidak
terwujud. Demikian pula dengan iman. Orang mukmin menginginkan bahwa iman itu tidak
sulit dan berat, maka semua itu tidak dapat terwujudkan. Dengan demikian maka yang
mewujudkan kafir dan iman seseorang bukanlah dari dirinya sendiri, melainkan dari Tuhan.
2. Dalam mewujudkan perbuatannya, manusia mempunyai usaha (Kasb), hanya
saja daya yang ada dalam diri manusia tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kegiatannya.
Jadi berada di tengah-tengah antara Jabariyah dan Qodariyah.

Konsep atau teori Al-Kasb ini bahkan menjadi sasaran kritik tajam para ulama.
Karena menurut Imam Ibnu Taimiyah bahwa dalam konsep ini sebenarnya Asy’ari lebih
condong ke Jabariyah, bukan di tengah seperti yang beliau kehendaki.8

6. Tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Dalam menjelaskan kemutlakan dan kekuasaan tuhan, al-Asy’ari menulis dalam al


Ibanah bahwa tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas tuhan tidak ada suatu zat apapun
yang bisa membuat hukum mengenai apa yang harus diperbuat tuhan dan apa yang tidak
boleh diperbuat tuhan. Al-Asy’ari mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan. Tuhan berbuat sesuatu
semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlakNya, bukan karena kepentingan manusia
atau tujuan lainnya.

Ayat-ayat yang digunakan sebagai sandaran pendapat kaum Asy'ariyah adalah:

QS. al-Buruj (85) ayat 16:

‫َفَّعاٌل ِّلَم ا ُيِريُد‬

Artinya : "Maha kuasa berbuat apa yang dikehendakiNya." (QS. al-Buruj : 16);

QS. Yunus (10) ayat 99:

‫َو َلْو َش ٓاَء َر ُّبَك َل َء اَم َن َم ن ِفى ٱَأْلْر ِض ُك ُّلُهْم َجِم يًعاۚ َأَفَأنَت ُتْك ِر ُه ٱلَّناَس َح َّتٰى َيُك وُنو۟ا ُم ْؤ ِمِنيَن‬

8
Nurcholish Majdid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm.283-284
Artinya : “Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus : 99).

QS. al-Sajadah (32) ayat 13:

‫َو َلْو ِش ْئَنا َل َء اَتْيَنا ُك َّل َنْفٍس ُهَد ٰى َها َو َٰل ِكْن َح َّق ٱْلَقْو ُل ِم ِّنى َأَلْم َأَلَّن َجَهَّنَم ِم َن ٱْلِج َّنِة َو ٱلَّناِس َأْج َم ِع يَن‬

Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap
jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: «Sesungguhnya akan aku pe
nuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. al-Sajadah: 13)

QS. al-An’am (6) ayat 112:

‫َو َك َٰذ ِلَك َجَع ْلَنا ِلُك ِّل َنِبٍّى َع ُدًّو ا َش َٰي ِط يَن ٱِإْل نِس َو ٱْلِج ِّن ُيوِح ى َبْعُضُهْم ِإَلٰى َبْع ٍض ُزْخ ُرَف ٱْلَقْو ِل ُغ ُروًراۚ َو َلْو َش ٓاَء َر ُّبَك‬
‫َم ا َفَع ُلوُهۖ َفَذ ْر ُهْم َو َم ا َيْفَتُروَن‬

Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-
setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau
tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka
dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am :112)

QS. al-Baqarah (2) ayat 253:

‫ِتْلَك ٱلُّر ُسُل َفَّض ْلَنا َبْع َض ُهْم َع َلٰى َبْع ٍضۘ ِّم ْنُهم َّم ن َك َّلَم ٱُهَّللۖ َو َر َفَع َبْع َض ُهْم َد َر َٰج ٍتۚ َو َء اَتْيَنا ِع يَس ى ٱْبَن َم ْر َيَم ٱْلَبِّيَٰن ِت‬
‫َو َأَّيْد َٰن ُه ِبُروِح ٱْلُقُد ِسۗ َو َلْو َش ٓاَء ٱُهَّلل َم ا ٱْقَتَتَل ٱَّلِذ يَن ِم ۢن َبْع ِدِهم ِّم ۢن َبْع ِد َم ا َج ٓاَء ْتُهُم ٱْلَبِّيَٰن ُت َو َٰل ِكِن ٱْخ َتَلُفو۟ا َفِم ْنُهم َّم ْن َء اَم َن َوِم ْنُهم َّم ن‬
‫َكَفَر ۚ َو َلْو َش ٓاَء ٱُهَّلل َم ا ٱْقَتَتُلو۟ا َو َٰل ِكَّن ٱَهَّلل َيْفَع ُل َم ا ُيِريُد‬

Artinya : “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang
lain, di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan kami berikan kepada Isa putera Maryam
beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-
rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka
berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang
kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah
berbuat apa yang dikehendakiNya.” (QS. alBaqarah :253)
Ayat-ayat tersebut dipahami Asy'ariyah sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan. Kehendak tuhan pasti berlaku, apabila kehendak tuhan tidak berlaku,
berarti tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendakNya. Padahal sifat lalai,
lupa dan lemah adalah sifat yang mustahil (tidak mungkin) bagi tuhan. Tanpa dikehendaki
tuhan manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Asy'ariyah memahami bahwa tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhlukNya dan dapat berbuat sekehendak hatiNya.
Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti tuhan tidak dapat berbuat
sekehendakNya terhadap makhluk. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil apabila di
pahami tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.9

7. Tentang Fungsi Akal dan Wahyu

Adapun Asy’ariyah pada sisi lain menyatakan akal tidak akan pernah dapat
mengetahui segala macam bentuk kewajiban serta bentuk kebaikan dan keburukan sebelum
wahyu berada, sebab semua kewajiban hanya dapat diketahui dengan keberadaan wahyu.
Akal hanya dapat mengetahui keberadaan Tuhan, tetapi wahyu yang mewajibkan manusia
mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Ibn Abi Hasym, salah satu tokoh
Asy’ariyah, mengatakan bahwa akal hanya mengetahui perbuatan yang membawa kepada
kemudharatan, akan tetapi tidak akan pernah tahu perbuatan yang masuk pada kategori
perbuatan baik dan buruk. Dengan demikian, hanya wahyu yang akan menentukan baik dan
buruk suatu perbuatan. Selain memberikan penjelasan terperinci, kedatangan wahyu dapat
berfungsi sebagai pendukung terhadap akal.

Asy’ariyah mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam semua gagasan


teologis, dengan membuat penalaran yang tunduk terhadap wahyu dan menolak kehendak
bebas manusia yang kreatif dan lebih menekankan kekuasaan Tuhan dalam setiap kejadian
dan perilaku manusia. Hal ini menunjukan bahwa pandangan Asy’ariyah sangat kuat
berpegang pada wahyu dan kehendak mutlak Tuhan, sebab semua berawal dana berakhir
pada-Nya. Dalam hal inipun terlihat bahwa dalam teologi Asy’ariyah akal banyak dipakai
dalam masalah-masalah keagamaan serta pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dalam
artian akal tidak diberikan peran luas untuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban-
kewajibannhya. Dalam kata lain akal masih membutuhkan peran wahyu sebagai media
konfirmasi terhadap akal.10
9
Ilmu Kalam kelas XII MA Kementrian Agama RI, tahun 2016
10
Ibid, hal. 120
8. Tentang keadilan Allah SWT

Mengenai konsep keadilan Allah SWT, pendapat Ahlussunah bahwa Allah SWT
pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan
makhluk-Nya baik atau buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu,
maka Allah menentukan apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, atas perbuatannya itu si
hamba mempunyai kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT. 11 Allah
menciptakan kemampuan dan kemauan si hamba yang keduanya berperan dalam
berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk Allah itu
ada yang tercipta tanpa perantara seperti batu. Ada yang memakai perantara yaitu segala
makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena sihamba merupakan perantara itulah maka
dia bertanggung jawab dan mendapat balasan baik atau buruk. Dengan demikian maka Allah
itu bersifat adil, yaitu memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang
diusahakannya.

Imam Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatu
pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendakNya, sehingga Tuhan bisa memasukkan
seluruh manusia ke surga dan ini tidak dikatakan tidak adil. Begitu juga Tuhan bisa
memasukkan manusia ke neraka dan Dia tidak dhalim.

Konsep keadilan Tuhan menurut Asy’ariyah ini juga ditegaskan oleh para
pengikunya, diantaranya di tulis pengarang kitab jawharat al-Tauhid, bahwa “Jika Dia (Allah)
memberi pahala kita, maka semata karena kemurahanNya. Dan jika Dia menyiksa kita maka
semata karena adilNya”.

Maka, berdasarkan pandangan ini Keadilan Tuhan dapat dipahami dengan


memberi pahala (seperti masuk surga atau pahala berlipat ganda) atas amal dan
perbuatan baik manusia berdasarkan kemurahan Allah (fadl al-Allah) dan bukan karena
amal itu sendiri. Sebaliknya, Allah dapat memberi siksaan atau azab (seperti masuk
neraka) atas amal dan perbuatan buruk manusia berdasarkan keadilan Allah (‘adl Allah)
bukan semata karena perbuatan manusia itu.12

9. Tentang janji dan ancaman

11
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 62
12
Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc., M.A., buku ilmu kalam dari tauhid menuju keadilan, prenadamedia group,
2016, hlm.122-123
Al-maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal
didalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal
didalam neraka neraka adalah balasan kepada manusia yang berbuat syirik. Berbuat dosa
besar selain syirik tidak akan kekal didalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar
(selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu
cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu,
amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau
mengurangi pada sifatnya.13

Menurut ahlussunah, tidak ada yang kekal dalam neraka kecuali orang yang
meninggal dalam keadaan kufur. Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang
dikehendakiNya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafaat (pembelaan) dari
Nabi, Rasul, serta para Sholihin di hari kiamat14

C. Kesimpulan

Ahlussunnah wal jamaah berarti kaum atau golongan yang menganut serta
mengamalkan ajaran islam yang murni yang sesuai diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah
dan Para Shohabatnya.

Pada akhir abad ke III Hijriyah timbullah golongan yang bernama Kaum
AhlussunnahwalJama’ah, yang dikepalai oleh dua orang Ulama besar dalam Ushuluddin
yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali alAsy’ari dan Syeikh Abu Mansur alMaturidi.

Pandangan Ahlussunnah wal Jama-ah yang paling menyita pandangan baik di


kalangan umum maupun di kalangan Ulama pada masanya serta masa kini adalah tentang
perbuatan manusia. Beliau, Syeikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dengan teori Al-Kasb-nya
mengemukakan bahwa manusia mengambil jalan tengah di antara paham Jabariyah dan
Qadariyah.

Dalam menjelaskan kemutlakan dan kekuasaan tuhan, al-Asy’ari menulis dalam al


Ibanah bahwa tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas tuhan tidak ada suatu zat apapun
yang bisa membuat hukum mengenai apa yang harus diperbuat tuhan dan apa yang tidak
boleh diperbuat tuhan.
13
Prof. Dr. H. Abdul Razak, M.Ag. Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., buku ilmu kalam edisi revisi, CV. Pustaka
setia, 2016
14
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 2002, hlm. 71
Daftar Pustaka

M. Nurdin Syafi’i, M. Si. dan Supriyanto, S.Sos.I, 2015, Buku Mata Pelajaran Ke-NU-an Ah
lussunnah wal Jamaah MTs/SMP kelas VII, penerbit CV.SinarAbadi, Surakarta.

Tim Humas, Ahlussunnah wal Jama’ah:pengertian, sejarah, dan doktrin, An-nur.ac.id. diakse
s pada 16 oktober 2023 dari https://an-nur.ac.id/ahlussunnah-wal-jamaah-pengertian-sejarah-
dan-doktrin/

M.M. Sharif, 2004, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Nuansa Cendekia, Bandung.

Yusuf, Yunan, 2003, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Perlamadani, Jakarta.

Majdid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban

Ilmu Kalam kelas XII MA Kementrian Agama RI, tahun 2016

Zainuddin, 1992, Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta.

Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc., M.A., 2016, buku ilmu kalam dari tauhid menuju keadilan,
prenadamedia group.

Prof. Dr. H. Abdul Razak, M.Ag. Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., 2016, buku ilmu kalam ed
isi revisi, CV. Pustaka setia.

Nasution, Harun, 2002, Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Penerb
it Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai