Dosen :
Dr. Nanang Nurcholis, MA
Oleh
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2020
1. Konsepsi kaidah keshohihan hadits menurut ulama klasik dan ulama’ modern
kontemporer.
Metode pemahaman hadits shohih dibangun diatas paradigma positivis, dan metode
modern dibangun atas daar konstruktivis.
Hadis Nabi saw. sejak pertama kali diungkapkan kemudian dikutip, disampaikan
kepada orang lain, membentuk tradisi periwayatan, lalu dikodifikasikan dalam kitab-kitab
hadis dan kemudian kitab-kitab syarah hadis, merupakan rangkaian teks. Ia bahkan
menjadi teks primer yang mendorong produksi teks-teks sekunder dalam peradaban Islam.
Pada abad kedua hijriah, karena kondisi sosial yang berubah, masyarakat Muslim
mengembangkan cara-cara memahami hadis yang beragam. Misalnya, karena terjadi
perubahan komposisi masyarakat Muslim dari mayoritas Arab menjadi dominasi non-
Arab, dimana mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses serta menggunakan
bahasa Arab, muncul fenomena laḥn atau kesalahan berbahasa.
Masuknya tradisi berfikir rasional misalnya, yang digunakan untuk menjelaskan
peristiwa-peristiwa sosial dalam sejarah awal Muslim, telah melahirkan polarisasi
sektarian di tubuh umat Islam. Hasilnya, lahir sejumlah sekte keagamaan yang sebagian
di antaranya menolak penggunaan hadis (ahad) dalam rujukan keagamaan. Penolakan ini
didasarkan kepada fakta bahwa beberapa hadis hadis disinyalir bertentangan satu dengan
lainnya. Hal ini membuat sebagian Muslim saat itu berfikir bahwa hadis ahad menyimpan
sejumlah keraguan yang tidak bisa diterima. Pertentangan ini kemudian melahirkan
problem kontradiksi dalam proses pemahaman hadishadis Nabi saw. Sejumlah sarjana
bangkit menjawab problem ini dan melahirkan diskursus keilmuan mukhtalif al-ḥadīth.
Penjelasan
Dalam Sunan Ibnu Majah 1:343 lafazh hadits di atas adalah sebagai berikut:
Artinya: Ketahuilah janganlah sekali sekali perempuan meng imami laki-laki, dan
(janganlah) orang Arab desa mengimami kaum muhajir, dan janganlah orang jahat
mengimami orang Mu`min kecuali jika ia memaksanya dengan kekuasaan yang ditakuti
(yaitu) pedang dan cambuknya.
Maksud hadits ini melarang seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki; Arab
gunung tidak boleh menjadi imam bagi kaum muhajirin; dan orang jahat tidak boleh
menjadi imam bagi orang-orang Mu‟min
Setelah diperiksa ternyata hadits ini tidak shah karena pada sanadnya Abdullah bin
Muhammad al-`Asawi at-Tamimi dan dia sangat lemah (Dha`if jiddan) . Selain Abdullah
bin Muhammad juga terdapat rawi Ali bin Zaid al-Jad`an, dia termasuk rawi yang lemah,
ia dituduh berdusta dan suka membuat hadits palsu, salah satunya adalah hadits ini. (Baca
juga Khulashatul Kalam fi Takhriji Ahaditsi Bulughul Maram halaman 367)
Karena haditsnya lemah maka otomatis matan haditsnya tidak dapat dipakai kecuali
yang dikuatkan oleh keterangan lain seperti tentang larangan perempuan manjadi imam
bagi laki-laki.