Anda di halaman 1dari 6

JAWABAN UAS

Guna untuk memenuhi Tugas Akhir Semester


Matakuliah Metodologi Studi Islam
Dosen :
Dr. H. Aminudin Sanwar, MM
Dr. Bahrul Fawaid, M.S.I
Oleh
Nama : ABDUL HAMID
NIM : 19200011102
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2020

1. Prinsip-prinsip Mu’tazilah

a. Al-Tauhid
Prinsip pertama dari al-Usul al-Khamsah adalah al-tauhid (keesaan Allah). Dan ini merupakan
prinsip dasar dan utama agama Islam. Faham keesaan Tuhan (al-tauhid) menurut Mu'tazilah ini
mengandung makna bahwa Allah betul-betul maha Esa, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Oleh karena itu, mereka menolak faham anthropomorphisme yang menggambarkan Tuhan
dekat dan menyerupai makhluknya, dan juga menolak beatific vicion yang mengatakan Tuhan
dapat dilihat manusia dengan mata kepala. Tuhan dalam pandangan Mu'tazilah adalah sosok
yang berbeda dengan manusia. Oleh karena itu, kaum Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat
tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Bagi mereka Tuhan Tahu, Maha
Hidup, Maha Kuasa, Maha mendengar, Maha melihat yang tak dapat dipisahkan dengan zat-
Nya sendiri.

b. Al-'Adlu
Ajaran dasar Mu'tazilah yang kedua adalah al-'Adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil adalah
suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha
Sempurna, sudah pasti dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
 Perbuatan Manusia

Manusia Mu'tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak
dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Manusia benar-benar bebas untuk
menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Tuha
hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh tuhan
pastilah baik dan yang dilarang-Nya tentulah buruk.
 Berbuat baik dan terbaik

Kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat
dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu
yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan

c. Al-Wa'd wa Al-Wa'id

Ajaran ini erat hubungannya dengan kedua ajaran diatas. Al-Wa'd wa Al-Wa'id berarti janji dan
ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, demikian kata Mu'tazilah, tidak akan
melanggar janji-Nya. Perbuaatan Tuhan terikat dan dibatasioleh janji-Nya. Janji Tuhan untuk
meemberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka
atas orang yang durhaka pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan
pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi oraang yang durhaka tidak
dapat ditawar-tawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai dengan prinsip
keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, siapapun berbuat jahat
akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi
pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah
bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali yang telah taubat. Kejahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adlah kejahatan yang termasuk dosa
besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuni-Nya. Ajaran ini tampaknya bertujuan
mendorong manusia nernuat baik dan tidak main-main dengan perbuatan dosa.

d. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain

Ajaran dasar Mu'tazilah yang keempat adalah paham al-manzilat bain al-manzilatain. Secara
kronologis historis, pemikirann ini adalah yang pertama muncul dikalangan Mu'tazilah. Paham
ini seperti telah di singgung, berkenaan dengan status pelaku dosa besar. Menurut sang tokoh
Mu'tazilah, Washil, pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi diantara
keduanya, yang mereka sebut fasik pelaku dosa besar ini, demikian Washil, apabila bertobat
sebelum mati ia akan masuk surga, tetapi apabila tidak, maka ia, akan masuk neraka, hanya
saja siksanya tidak seberat siksa terhadap orang kafir tule. Dikatakan bukan mukmin, karena
imannya sudah tidak sempurna lagi, dan dikatakan bukan kafir karena ia masih mengakui
syahadatain. Ini sangat erat kaitannya dengan konsep iman yang menurut Mu'tazilah tidak
hanya meliputi
unsur tashdiq dan taqrir, melainkan harus pula meliputi unsur al-'aml. Dengan ajaran ini,
Mu'tazilah ingin mengambil jalan tengah antara khawarij dan murji'ah.
Ajaran pokok al-manzilat bain al-manzilatain ini mempunyai keterkaitan dengan ajaran pokok
al-'adl dan al-wa'ad wa al-wa'id sebelumnya. Tentu tidak adil menvonis pelaku dosa besar
sebagai kafir, karena ia masih beriman kepada Allah. Sebaliknya, tidak adil pula
menetapstatuskannya sebagai mukmin, karena imannya sudah tidak utuh akibat dosa besar.
Namun apapun argumennya, Washil gagal memberikan penjelasan memuaskan, ia gagal
menunjukkan tempat antara surga dan neraka diakhirat kelak, sehingga hasil akhirnya sama
dengan pendapat Khawarij, yakni neraka. Ketika Washil mengatakan orang yang bertobat
sebelum kematian akan masuk surga, sebenarnya ini tidak berbeda dengan pendapat Murji'ah.
Jalan tengah yang diambil oleh Washil tetap tidak melahirkan hasil di tengah-tengah,
melainkan cenderung kepada khawarij.

e. Al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy'an al-Munkar


Ajaran pokok mu'tazilah yang terakhir adalah kewajiban menyuruh yang baik dan mencegah
yang keji, al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy'an al-munkar. Ajaran pokok yang kelima ini
mempunyai keterkaitan dengan semua ajaran pokok yang lainnya. Ini merupakan media untuk
menyebarkan dan mengaplikasikan empat ajaran pokok sebelumnya.
Seluruh muslimin, tidak hanya kaum Mu'tazilah, memandang al-amr bi al-ma'ruf dan al-
nahhy'an al-munkar ini sebagai kewajiban, tidak saja bagi suatu aliran melainkan setiap
individu. Hanya saja mereka berbeda dalam hal mereslisasikan dan melaksanakan kewajiban
tersebut. Apakah kewajiban ini cukup dilaksanakan dengan seruan atau ajakan saja, atau harus
pula dengan ketegasan bahkan paksaan? Kalau kaum Khawarij, seperti telah dilukiskan,
memulai dari cara yang keras, maka Mu'tazilah tampaknya memandang kewajiban ini harus
dilakukan melalui tahapan dari cara lunak sampai kalau diperlukan, yang keras. Dengan kata
lain, kalau dapat, seyogianya cukup dilakukan dengan seruan tetapi kalau perlu, harus dengan
kekerasan.
Semua ajaran pokok mu'tazilah ini, selain al-manzilat bain al-manzilatain, adalah juga ajaran
bagi seemua alirran kalam dalam islam. Perbedaannya terletak pada pola pemahaman dan gaya
penafsiran.
Dengan demikian, Mu'tazilah berjasa melahirkan dan membangun ilmu kalam yang lengkap
dengan sistem, materi, dan metodenya sendiri. Dengan kata lain, ilmu kalam lahir dan
sempurna sebagai ilmu mandiri oleh aliran kalam rasional ini. Aliran yang lahir kemudian,
Asy'Ariah dan Maturidiah, tidak lebih dari sekedar bertujuan menandingi paham Mu'tazilah
bukan untuk membangun sistem, metode, dan materi yang sama sekali berbeda dengan
Mu'tazilah.

2. Ulama Syafi’iyah, berpendapat bahwa wali merupakan syarat syahnya pernikahan bahkan
wali merupakan rukun pernikahan. Alasannya, dalam surat An-Nur ayat 32 dijelaskan dan
dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang kemudian yang kemudian kedua ayat tersebut
ditunjukkan kepada wali, mereka diminta untuk menikahkan orang yang tidak bersuami dan
orang yang tidak beristri disatu pihak, dan melarang wali itu untuk menikahkan laki-laki
muslim dengan wanita non muslim.
Ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa seseorang bertindak menjadi wali apabila memenuhi
syarat yang telah ditentukan yaitu beragama Islam, Baligh, Berakal sehat, merdeka. Disini
tidak harus laki-laki yang menjadi wali tetapi seorang perempuan dewasa dan berakal boleh
menjadi wali. Alasannya dalam hadits Ibn Abbas ra, dan pada Q.S Al-Baqarah ayat 230 dan
232.

3. Tarekat adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju tuhan. Tarekat
digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariah. Sebab jalan utama disebu syar’i
sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata thariq yang diantara maknanya
adlah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq albab yang berarti mengetuk pintu. Oleh
karena itu cara beribadah seorang sufi disebut tareqat karena ia selalu mengetuk pintu hatinya
dengan dzikrullah/mengingat Allah.
Cara beribadah semacam ini oleh nabi Muhammad saw disebut dengan tareqat hasanah (cara
yang baik). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad ibn hanbal dalam
musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya) nabi berkata:
“ sesungguhnya seorang hamba bila berpiak pada tareqat yang baik dalam beribadah,
kemudian ia sakit, maka dikatakan oleh Allah SWT kepada malaikat yang mengurusinya,
“tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai aku
menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-ku (musnad ahmad bin hanbal, juz 2, hlm
203)”
Didalam al-Qur’an pun kata thareqat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi
tauhid yang sempurna setelah ibadah (misalnya sholat) yang dilakukandengan hati yang lalai
oleh Nabi disebut sebagai shalat munafiq (shalatnya orang munafiq), yaitu yang didalamnya ia
tidak berdzikir kepada Allah swt kecuali sedikit (laayadzkurullaha illa qaalilun). Shahih
muslim, 1:434, dan pelakunya oleh tuhan diancam al wail.
“maka celakalah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
Al-maun :4-5
Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf adalah bersumber dari al-Qur’an dan as-sunah sebagai
disiplin keilmuan islam lainnya.

4. Pada teks pidati yang dibacakan oleh Ir. Soekarno didepan BPUPKI, ini menempatkan sila
ketuhanan yang maha esa sebagai sila terakhir dan menempatkan sila kebangsaan sebagi sila
pertama, menempatkan urutan ini banyak menyimpan teka-teki bagi seluruh warga dari dulu
hingga sekarang. Bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa Ir. Soekarno adalah pemikir
sekuler bagi kalangan normatif-tekstualis, penempatan sila ketuhanan pada urutan terakhir
kurang tepat, sila ketuhanan merupakan prima kuasa dari sila lainnya.
Bila melihat dari sisi kacamata filsafat, Bung Karno memandang bahwa ketuhanan merupakan
final cause/ ultimate cause yang menjadikan tuhan merupakan tujuan terakhir dari pengalaman
dan pengabdian manusia didunia. Mengagungkan tuhan tidaklah harus meneempatkan atau
menyebutnya diawal kalimat. Dalam ideologi Islam, menyebut nama Tuhan, baik diawal
ataupun diakhir tidaklah menjadi masalah baginya. Karena, semua arah dan tempat adalah
miliknya. Sebaimana firman Allah swt.
“dialah yang awal dan yang akhir yang zhahir dan yang batin, dan dia maha mengetahui
sesuatu.” QS. Al-Hadid, :3
Keselarsan sila pertama pancasila dengan syariat islam terlihat dalam al-Qur’an yang
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menggerakkan tuhan, seperti dalam surat al-
Baqarah :163.

5. Islam Nusantara merupakan suatu istilah yang sedang ramai di perdebatkan oleh kalangan
pemikir Islam. Ada sebagian pemikir islam yang menerima namun sebagian yang lain ada pula
yang menolak. Penolakan-penolakan yang di lakukan oleh sebagian pemikir Islam di sebabkan
karena istilah Islam Nusantara seolah
bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Islam itu satu dan bersumber pada ajaran yang
satu yakni Al-Qur'an dan Hadist.
a. Dasar Teologis
Islam Nusantara adalah islam yang menganut Akhlussunnah waljamaah yang di bawa oleh para
wali songo. Islam yang damai dan menghargai keberagaman yang ada di Indonesia. Islam
Nusantara di harapkan mampu menjadi Islam yang tegas tidak ekstrimis namun juga tidak
liberal.
b. Dasar Sosiologis

Islam Nusantara dengan segala keberagaman yng ada di harapkan mampu untuk saling
menghargai, menghormati, dan berpandangan bineka.
c. Dasar Antropologis
Dasar antropologis Islam Nusantara memiliki pendekatan adaptasi, nanuralisasi, minimalisasi,
dan eliminasi. Selain ketiga dasar dalam Islam Nusantara di kenal pula tiga pilar di antaranya
yaitu Fiqrah, haraqah, dan amaliyah.

Anda mungkin juga menyukai