Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SUMBER DALIL DAN HUKUM ISLAM


Diajukan guna memuhi tugas mata kuliah Filsafat islam
Dosen Pengampu:

DISUSUN OLEH :

 SABRINA M.A JINGGA PUTRI NIM : ES-221124

PRODI EKONIMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARIAH AL-MUJADDID
TANJUNG JABUNG TIMUR
2023-2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia –NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ” SUMBER SUMBER
HUKUM ISLAM” ini dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak,
kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun
didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbasan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Hamim Ilyas selaku dosen pembimbing Filsafat Hukum Islam . Dan juga kepada teman –
teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan,oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat
menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi teman –teman dan pihak yang berkepentingan.

Tanjung jabung timur , November 2023

Penyusun Sabrina m.a jingga putri


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
A. Alquran................................................................................................................6
B. Sunnah...............................................................................................................11
C. Urf.....................................................................................................................15
BAB III PENUTUP
A. kesimpulan........................................................................................................21
B. Daftar isi............................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat Hukum islam merupakan kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam,
sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat
hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.
Untuk memahami lebih lenjut mengenai hukum islam perlu pengkajian yang lebih
dalam hingga ke akarnya supaya dapat terealisasi dengan baik dalam kehidupan
bermasyarkat guna mencapai kemaslahatan umat Islam. Dengan demikian dalam kajian
ini sangat di perlukan memahami sumber-sumber hukum yang di gunakan dalam
menentukan suatu hukum Islam.
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala
masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin
diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan
hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang
pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan
Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu
memaham dalam berbagai persoalan.
Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan sebagai
Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman Rasulullah SAW, bertanya “ Dengan
dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz?” Mu'adz r.a. menjawab, "Aku akan
berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku."
Rasulullah saw. pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala puji hanya
bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya."

B. Rumusan Masalah
1. Apa sumber utama dalam menentukan hukum Islam?
2. Mengapa Al Qur’an, As Sunnah dan ‘Urf di gunakan sebagai sumber hukum
Islam?
3. Bagaimana sumber-sumber hukum tersebut bisa dijadikan hujjah dalam
menentukan suatu hukum Islam?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui sumber-sumber hukum islam
2. Dapat mengetahui mengapa sumber hukum islam tersebut di jadikan hujjah
dalam menentukan suatu hukum
3. Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Al-Quran berasal dari bahasa Arab,kata al-quran di gunakan untuk maksud nama
kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran secara erminologis
juga dapat diartikan sebagai “Lafaz yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang dinukilkan secara mutawatir”. Ta’rif ini mengandung beberapa
unsure pokok yang menjelaskan hakikat daripada Al-Quran.
Pertama,bahwa Al-Quran itu berbrntuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan
dilafazkan oleh Nabi dan ibaratnya sendii tidaklah disebut Al-Quran. Umpamanya hadis
qudsi atau hadis qauli lainnya. Karenanya tidak perlu berwudhu waktu membacanya.
Kedua, bahwa Al-Quran itu adalah berbahasa arab, yang mengandung arti bahwa Al-
Quran yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang di ibaratkan dengan bahasa
asing bukanlah Al-Quran.
Ketiga,Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mengandung arti bahwa
wahyu Allah yang disampaikan epada Nabi-nabi terdahulu bukanah Al-Quran.
Keempat, bahwa Al-Quran itu dinuklikan secara mutawatir, mengandung arti bahwa
ayat-ayat yang tidak dinuklikan secara mutawatir bukanah disebut Al-Quran.

2. Turunnya Al-Quran
Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nab Muhammad pada tanggal 17
Ramadhan tahhun ke-40 dari kelahiran Nabi. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah
ayat 185
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur..
Al-Quran diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-Quran diturunkan secara
bengangsur angsur dalam waktu itu. Al-Quran turun dalam dua periode. Pertama, periode
sebelum hijrah dalam jangka waktu 15 tahun, ayat-ayat Al-Quran dalam periode itu
disebut ayat-ayat makiyah. Kegiatan pokok bagi risalah Nabi dalam periode ini adalah
pembinaan kaidah islam. Kedua, periode sesudah hijrah dalam jangka waktu 10 tahun.
Ayat-ayat dalam dalam periode ini disebut ayat madaniyah. Kegiatan pokok dari risalah
Nabi adalah pembinaan masyarakat islam, maka kebanyakan ayat-ayat yang turun dalam
periode ini berbentuk aturan-aturan atau ayat-ayat hukum.

3. Tujuan turunnya Al-Quran

Dengan menganalisis ayat-ayat Al-Quran terutama dari segi fungsinya bagi


kehidupan manusia maka terlihat bahwa Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan dua
tujuan utama. Pertama bagi kepentingan Nabi dan kedua bagi kepentingan umat manusia
termauk Nabi.

Tujuan turunnya Al-Quran bagi kepentingan Nabi adalah sebagai bukti yang paling
kuat akibat kenabannya atau sebagai mu’jizat Nabi Muhamad. Di tengah umat arab yang
sedang mengagungkan kemampuan bersyair dan keindahan bahasa munculah Nabi
Muhammad dengan Al-Quran , baik dai segi materi dan bahasa tidak dapat ditandingi
oleh ahli bahasa manapun, bahkan mereka tidak mampu berbuat sama meskipun mereka
berhimpun untuk itu (Al-Isra’:88).

Tujuan turun Al-Quran bagi kepentingan umat adalah sebagai sumber hidayah atau
petunjuk yang akan membimbing umat untu mencapai kehidupan yang baik di dunia dan
kehidupan yang baik di akhirat. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber hidayat
disampaikan Allah dalam Al-Quran secara jelas dan dalam frekuensi yang banyak sekali.
Ada dua bentuk sumber hidayah yang penting dalam Al-Quran:
Pertama ,sumber ilmu pengethuan yang tersimpan di dalamnya yang melingkupi
segala bidang. Kandungan ilmu pengetahuan itu akan dapat membawa manusia yang
berhasil menggalinya untuk menguasai rahasia alam, dapat hidup di dalamnya dan
bahkan dapat menguasai alam itu sendiri. Ilmu pengetahuan itu akan menunjiki-nya
dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kedua,dalam bentuk tata aturan dalam kehidupan manusia baik dalam hubungannya
dengan Allah Pencipta, maupun dalam hubungannya dengan sesame manusia, yang akan
menjamin kemaslahatan kehidupan umat baik di dunia maupun untuk akhirat.

4. Penjelasan Al-Quran Terhadap Hukum

a. Ayat Al-Quran dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduannya dijelakan
sendiri oleh Allah dalam Al-Quran yaitu secara muhkam dan secara mutasyabih ( Ali
Imran:7).
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-
ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat-ayat yang muhkam ialah ayat yang jelas maknanya tersingkap secara terang
yang menghindarkan keraguan arti dan menghilangkan kemngkinan-kemungkinan
pemahaman. Adapun yang mutasyabih adalah kebalikannya yaitu lafaz yang tidak pasti
artinya hingga dapat dipahami daripadanya dengan beberapa kemungkinan.
Adanya kemungkinan berbagai pemahaman ini data dikarnakan oleh dua hal. Pertama
lafaz itu dapat di gunakan untuk dua maksud secara pemahaman yang sama. Umpamanya
lafaz quru dalam firman Allah(Al-Baqarah 228) yang dapat berarti suci atau juga haid.
Kedua, lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan
keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang terdapat pada manusia untuk
Allah padahal diyakini bahwa Allah tidak akan sama dengan makhluk. Umpamanya
penggunaannya kata muka untuk Allah (Ar-Rahman:27) dan penggunaan kata
bersemayam untuk Allah (Yunus:3). Ulama yang tidak menginginkan bentuk penyamaan
Tuhan ini berusaha menakwilkan atau mengalihkan arti dari lahir kepada arti lain, seperti
kata muka Allah diartikan zat Allah dan Allah bersemayam diartikan Allah berkuasa.

b. Dari segi penjelasannya terhadap hokum terlihat ada beerapa cara. Pertama,
secara terperinci dengan arti Al-Quran memberikan penjelasan secara sempurna sehingga
dapat silaksanakan menurut apa adanya walaupun tidk dijelaskan oleh Nabi dengan
sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat kewarisan yang terdapat dalam surat An-NIsa ayat 11
dan 12, sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat An-Nur ayat 4. Penjelasan yang
tererinci ini sudah terang maksudnya dan tidak memberikan kemungkinan-kemungkinan
pemahaman, yang dari segi kejelasn artinya termasuk ke dalam ayat-ayat yang muhkm.
Kedua, penjelasan Al-Quran terhadap hukm berlaku secara garis besar yang masih
memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan
penjelasan terhadap maksud ayat yang garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan
sunnahnya. Penjelasan Nabi ada yang berbentuk pasti hingga tidak memberikan
kemungkinan pemahaman lain. Di samping itu ada pula yang menjelaskan dalam bentuk
yang maih memerlukan perincian dan memberikan kemungkinan pemahaman.
Ketiga, memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di
dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat. Di sampan itu memberikan pengertian
secara isyarat kepada maksud lain. Dengan dmikia satu ayat dapat memberikan beberapa
maksud. Upamanya firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233.
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman.
Ayat –ayat Al-Quraan yang disampaikan dalm bentuk yang muhkam secara
penjelasan yang sempurna, penunjukannya terhadap hokum adalah pasti (qath’I dilalah).
Tidak mungkin dipahami daripadanya maksud lain dan tidak pula ditanggapi dengan
tanggapan yang berbeda-beda. Hokum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku universal
dan tidak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempat sudah beruah.
Penunjukan yang pasti ini berlaku dalam bidang akidah seperti ibadah-ibadah pokok
seperti keharusan salat,serta dalam hal-hal yang norma baik dan buruk tidak akan
mengalami perubahan seperti keharusan beruat baik kepada orang tua.
Ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan secara mutasyabih dalam bentuk penjelasan
yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya
terhadap hokum bersifat zanni, dengan arti tidak meyakinkan. Karenanya dapat diahami
dalam beberapa kemungkinan pemahaman . perbedaan pemahaman itu akan
menghasilkan versi hukumyang berbea-beda.
Penjelasan yan bersifat zanni ini pada umumnya berlaku dalam bidang muamallat
dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamannya dalam kehidupan
masyarakat. Karrena kehidupan masyarakat itu selalu berkembang maka penerapan
hukumpun akan mengalami perubahan.
Namun Al-Quran itu sendiri bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan
format dan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Quran itu adalah sumber
hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan
dalam bentuk undang-undang. Dalam menjelaskan hukum, Al-Quran menggunakan
beberapa cara dan ibarat yang perama dalam bentuk tuntunan

5. Al-Quran sebagai sumber hukum

Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tenteng tindak tanduk
manusia, maka dapat ditetapkan bahwa pembaruan hukum (law-giver) adalah Allah
SWT. Kehendaknya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi ukum islam
dan sekaligus juga berarti sebagai dalil utama hukum islam, dengan arti Al-Quran dengan
seluruh ayatnya membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-
hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pertama berarti bila seseorang ingin


menemukan hukum suatu kejadian, maka tindakan pertama ia harus mencari jawab
penyelesaiannya dari Al Quran dan selama hukumnya dapat diselesaikan dengan A
Quran, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar sekolah. kemudian sebagai
sumber utama atau pokok berarti bahwa ia menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Kekuatan hujjah Al Quran sebagai sumber dan dalil hukum dapat dikaji dari Al Quran itu
sendiri dan menyuruh umat manusia mematuhi Allah SWT. Dan Al Quran diinjau dari
segi lafaznya, keseluruhannya adalah qat’i dengan arti diyakini kebenarannya dating dari
Allah SWT.

B. Sunnah

1. Pengertian Sunnah

Sunnah Nabi ialah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Sunnah
dilihat dari segi materi di bagi menjadi tiga yaitu : Sunnah qauliyah (ucapan), Sunnah
fi’liyah (perbuatan), Sunnah taqririyah (ketetapan)1.

Sedangkan Hadits menurut bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu: Jadid berarti
baru; Qarib berarti dekat; Khabar berarti berita atau warta, dari ketiga arti tersebut yang
sesuai dengan pembahasan disini adalah hadits dalam arti kabar 2, Allah memakai hadits
dalam arti khabar dalam firmannya “maka hendaklah mereka mendatangkan suatu
khabar yang sepertinya (al-quran) jika mereka itu orang-orang yang benar”(qs. Ath-thur
: 34)

2. Derajat Dalil (Hujjiyyah)


Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah dan ketentuan
ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar dengan al-quran sunnah nabi
adalah dalil (hujjah) bagi al-quran, member kesaksian terhadap otoritasnya dan menyuruh
umat islam untuk mengikutinya, kata-kata nabi sebagaiman diungkapkan al-quran kepada
1
Prof. Muhannad Abu Zahrah,1994, Ushul Fiqih, PT. Pustaka Firdaus,Jakarta :149
2
Drs. Syarmin Syukur. 1993. Sumber-sumber hokum islam, Al-Ikhlas. Surabaya : 59
kita, merupakan wahyu Allah . perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber
ketentuan syariah merupakandalil yang menikat. Sementara menafsirkan ayat al-quran
yang menegaskan bahwa nabi tidak berbicara menurut kemauannya sendiri, tidak satupun
selain wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa
wahyu Allah yang diterima oleh Nabi memang menjadi bagian Al-Qur’an tetapi sisanya
adalah sunnah.
Kata-kata Nabi adalah hujjah bagi orang yang mendengar Nabi mengatakannya. Bagi
kita dan umumnya bagi umat Islam yang menerimanya melalui riwayat-riwayat lisan dan
tertulis dari para perawi, mengembalikan putusan yang diperselisihkan kepada Allah
berarti merujuk kepada Al-Qur’an dan mengembalikannya kepada Rasul berarti
menggunakan sunnah.3
3. Pembagian Sunnah Dari Segi Periwayatannya
Sejak abad pertama kaum muslimin telah menaruh perhatian yang besar terhadap
sunnah dengan cara menukil segala ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi
SAW. Dilihat dari segi periwayatannya hadits-hadits tersebut dibagi menjadi dua yaitu :
 Hadits yang bersambung mata rantai perawinya (muttashil as-sanad), dibagi
menjadi :
a) Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang
tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin bersepakat bebohong,
dengan perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya bersambung sampai
kepada Nabi SAW. Jumhul ulama berpendapat bahwa hadits mutawatir itu
menghasilkan ilmu yang yakin dan pasti (al’-ilm al-yaqiny al-dharury) seperti
ilmu dihasilkan dari hasil penglihatan mata kepala (pandangan langsung),
mereka mengemukakan alasan bahwa semua orang sesuai dengan fitrahnya
telah sepakat tentang hal tersebut.
b) Hadits Masyhur, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi, oleh seorang, dua
orang atau lebih sedikit dari kalangan sahabat atau diriwayatkan dari sahabat,
oleh seorang atau dua orang perawi, kemudian setelah itu tersebar luas hingga
diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersepakat berbohong.
Kemasyhuran di sini berada pada tingkatana generasi setelah masa sahabat

3
Dr. Muhammad Hasyim Kamali. 1996. Prinsip dan teori-teori hokum Islam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta :60-61
atau masa tabi’in. maka tidak bisa dianggap Hadits Masyhur apabila
penyebarannya setelah generasi itu, karena setelah masa pembukuan (tadwin)
hadits semua hadits telah masyhur.
c) Hadits Ahad (Khabar Khasshah), menurut istilah imam Syafi’I ialah setiap
hadits yang diriwayatkan diriwayatkan Rasulullah SAW oleh seorang, dua
oramg, atau sedikit lebih banyak, dan belum mencapai syarat hadits masyhur.
Ketiga imam madzhab yaitu, Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad, menerima
hadits-hadits ahad apabila telah memenuhi syarat-syarat periwayatan yang
shahih. Untuk menerima hadits ahad, imam malik mensyaratkan hadits itu
harus tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat madinah. Karena ia
berpandangan, bahwa tradisi masyarakat madinah yang menyangkut soal
agama merupakan riwayat yang masyhur dan menyebar luas.
 Hadits Yang Tidak Bersambung Sanadnya
Hadits Ghair Muttashil, ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
kepada Nabi SAW. Sebagian ulama menamakannya Hadits Mursal, sebagian
yang lainnya menganggap Hadits Mursal adalah hadits dimana seorang perawi
tabi’i tidak menyebutkan nama sahabat yang menyebutkan nama sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut.
Imam Syafi’I tidak memakainya kecuali apabila tabi’I yang meriwayatkan
hadits itu telah terkenal dan banyak bertemu dengan kalangan sahabat, seperti
Said bin Musayyab di Madinah dan Hasan Basri di Irak. Di samping itu, hadits
Mursal tidak bisa diterima dari mereka (para tabi’I tersebut) kecuali apabila
diperkuat dengan salah satu dari empat hal sebagai berikut :
a) Hadits Mursal itu diperkuat dengan adanya Hadits Musnad yang bersambung
sanadnya dari segi maknanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, yang
diambil dan dapat berfungsi sebagai hujjah adalah hadits Musnadnya, bukan
Hadits Mursalnya.
b) Hadits Mursal itu diperkuat dengan Hadits Mursal lain yang telah diterima
dan dipakai oleh kalangan ulama. Dengan demikian keduanya berfungsi saling
menguatkan.
c) Hadits Mursal itu bersesuaian dengan perkataan sebagian sahabat. Maka hal
itu sama artinya dengan mengangkat status hadits Mursal menjadi Marfu’
kepada Nabi SAW.
d) Apabila kalangan ulama telah menerima hadits mursal itu, dan segolongan
dari mereka mengeluarkan fatwa seperti apa yang terkandung pada hadits itu.4

4. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Quran


Sunnah berfungsi menopang Al-Qur’an dalam menjelaskan hokum-hukum Islam.
Bentuk penopang dimaksud dapat dapat dirumuskan kedalam tiga hal sebagai berikut :
Pertama. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham; merinci ayat yang
mujmal; mentakhsis ayat yang umum, meski kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat Al-
Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama; dan menjelaskan antara ayat yang
nasikh dan yang mansukh.
Kedua, Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya
telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an. Misalnya : Sunnah dating dengan membawa
hokum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut.
Ketiga, Sunnah membawa hokum yang tidak ada ketentuan-ketentuannya di dalam
Al-Qur’an; tidak pula merupakan tambahan terhadap nash Al-Qur’an.
Perbuatan Rasul
Tidak diragukan lagi bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabi termasuk ajaran
dan hujjah dalam Agama. Para ulama telah membagi perbuatan-perbuatan Nabi kepada
tiga macam yaitu :
a. Perbuatan yang menyangkut penjelasan Syariat, seperti Shalat, puasa, haji yang
dilakukan Nabi. Perbuatan Nabi semacam Nabi semacam itu merupakat syariat
yang harus diikuti. Misalnya : praktek jual-beli yang dilakukan Nabi bearti
menunjukan bahwa jual-beli tersebut hukumnya mubah, dan setiap perbuatan-
perbuatan keagamaan (a’mal diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lainmerupakan
rincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global).

4
Prof. Muhammad Abu Zahrah. 1994. Ushul Fiqih. PT> Pustaka Firdaus. Jakarta: 154-160
b. Perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasarkan dalil dinyatakan bahwa
perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinan yang lebih dari
empat isteri.
c. Perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi yang merupakan tuntutan tabiyat
kemanusiaan atau adat kebiasaan yang berlaku di Negeri Arab, seperti memakai
pakaian , makan, dan barang-barang halah yang diperoleh serta cara-cara
memperolehnya dan sebagainya. Itu semua merupakan perbuatn-perbuatan Nabi
yang dilakukan sesuai dengan tabiyat kemanusiaanya dan adat kebiasaan
kaumnya.5

C. ‘URF

1. Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang
diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.6
Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf memberikan definisi
sebagai berikut :
‫َم اَتَعاَر َفُه الَّناُس َو َس اُرواَع َليِه ِم ْن َقوٍل َأْو ِفْع ِل َأْو َتْر ٍك َو ُيسَّى اْلَعا َد َة‬
Sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik
berupa perkataan atau perbuatan atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat.
Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat. Sebab perkara yang sudah
dikenal itu telah dilakukan berulang kali oleh manusia. Tetapi dalam pemahamannya ada
sebagian para ulama yang membedakannya, yaitu :
a. Dilihat dari aspek materi, sebagian ulama menilai bahwa ‘urf lebih umum
daripada adat, karena ‘urf mencakup perbuatan sekaligus perkataan. Sedangkan jika
dilihat dari aspek pelaku, sebagian ulama menilai bahwa adat lebih umum daripada
‘urf, karena keberlakuannya mencakup perorangan dan kelompok masyarakat,
sedangkan ‘urf berlaku hanya untuk kelompok atau komunitas saja,
b. ‘urf terdiri dari ‘urf sahih dan fasid, sedangkan adat tidak memperhatikan
pembagian adat baik dan adat buruk.

5
Ibid :164-165
6
Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Ushul Fiqh I, hlm.118
Dari perbedaan diatas, maka dapat disimpulkan definisi ‘urf, sesuai dengan
pernyataan Muhammad Zakariya al-Bardisiy bahwa ‘urf adalah apa yang sudah menjadi
kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk
praktik ataupun perkataan yang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadis. Disini
‘urf berperan sebagai penentu masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf terbentuk dari saling mengetahui dan menerima dintara manusia walaupun
berbeda-beda tingkatan mereka, rakyat umum dan golongan khusus. Berbeda dengan
ijma’ yang terbentuk karena kesepakatan ulama, sedangkan rakyat umum tidak campur
tangan dalam pembentukannya. Pembagian ‘urf yaitu dapat dilihat dari berbagai segi,
dintaranya :
a. Ditinjau dari bentuknya, ada dua macam :
1) Al ‘Urf al-Qauliy atau Lafzhy, adalah kebiasaan yang berupa perkataan. Seperti
penggunaan kata walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya
anak laki-laki dan perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa
diartikan dengan anak laki-laki saja. Kata Lahmun, menurut bahasa berarti
daging, seperti daging binatang darat dan air. Tetapi dalam praktiknya kata
daging tidak termasuk daging ikan.
2) Al ‘Urf al-Fi’liy atau Amali, adalah kebiasaan yang berupa perbuatan. Seperti
kebiasaan jual beli tanpa mengucapkan ijab-qabul, kebiasaan jual beli dengan
pesanan, dan memasuki pemandian umum tanpa dibatasi oleh waktu tertentu.
b. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
1) Al ‘Urf as-Sahih, adalah kebiasaan yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan nash syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan akad nikah, kebiasaan memberi hadiah (perhiasan atau pakaian)
dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada wanita yang dipinangnya tidak
dihitung sebagai mas kawin, dan kebiasaan indent atau pemesanan barang dengan
pembayaran di muka sebagian harganya dan dibayar lunas kemudian bila
barangnya sudah diterima.
2) Al ‘Urf al-Fasid, adalah kebiasaan yang tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan nash syara’. Seperti kebiasaan membuat sesajian untuk tempat-tempat
atau benda yang dianggap keramat, praktik riba yang telah mewabah, meminum
minuman keras dan berjudi, termasuk praktik suap menyuap dan korupsi.
c. Ditinjau dari segi luas berlakunya, ada dua macam :
1) Al ‘Urf al-‘Am, adalah kebiasaan yang berlaku untuk seluruh tempat sejak
dahulu hingga sekarang. Seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang
telah membantu kita, menganggukan kepala jika setuju dan menggeleng jika
tidak setuju dan sebagainya.
2) Al ‘Urf al-Khas, adalah kebiasaan yang berlaku atau hanya dikenal di suatu
tempat saja. Seperti di kalangan pedagang jika terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu
konsumen tidak dapat mengembalikannya, kebiasaan mengenai penentuan masa
garansi terhadap barang tertentu.

3. Kehujjahan ‘Urf
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum
atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil syara’. Adapun
ulama yang berhujjah dengan ‘urf dalam membina hukum Islam mengambil dalil dari
beberapa dalil berikut :
‫ُخ ِذ اْلَعْفَوَو اُم ْر ِباْلُعْر ِف‬
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang bodoh” (Q.S Al- A’raf :199).
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan
yang ma’ruf. Ma’ruf sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan,
dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud berkata :


‫َفَم اَر َاُه اْلُم ْسِلُم ْو َن َح َس َّنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َح َس ٌّن َو َم اَر اُه اْلُم ْسِلُم ْو َن َسْيئًا َفُهَو ِع ْنِدِهللا َس ْي ٌء‬
Artinya : “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan
sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah dinilai buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-
kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan
umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu,
kebiasaan semacam ini patut untuk dijaga dan dipelihara.
Syari’at Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan
urusan manusia serta menghilangkan kesempitan. Sebagaimana dalam Firman Allah
SWT dalam surat Al- Hajj ayat 78 :
Artinya : “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”. Pada dasarnya, syari’at Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat yang baik dalam masyarakat selama adat tersebut tidak bertentangan
dengan dalil. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali adat yang telah
menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
ada pula yang dihapuskan.
Jumhur fuqaha’ telah banyak berhujjah dengan ‘urf. Dan yang cukup terkenal adalah
golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan kebiasaan penduduk Madinah. Karena dilihat dari segi kontinuitas
historisnya bahwa penduduk Madinah pada masa Malik dengan masa sebelumnya telah
memberikan cirikhas tradisinya yang belum jauh menyimpang dari tradisi Nabi dan
Sahabat. Oleh karena itu Malik menganggap tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl al-
Madinah) sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad. Demikian pula ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Imam Syafi'i pun terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Melihat praktik yang
berlaku di masyarakat Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid) adalah berlainan, maka penetapan hukumnya pun bisa jadi berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak
mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Dan telah biasa terdengar perkataan para Ulama’ yang menyatakan bahwa :7

7
Sarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, hlm.207
 ‘Urf adalah syari’at yang muhkamat
 Hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf adalah seperti hukum yang ditetapkan
berdasarkan nash
 Apa saja yang bisa dimengerti berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang disyari’atkan
menurut syara’
 Hakekat itu bisa ditinggalkan berdasarkan dillah isti’mal (perbuatan adat)

4. Syarat-syarat ‘Urf
1) ‘Urf harus tidak bertentangan dengan nash yang qath’i. maka tidak dibenarkan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, seperti makan harta riba. Sebab ia merupakan
‘urf fasid dan bertentangan dengan Alqur’an, dalam surat Al-Baqarah ayat 275.
Apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan dalil yang bersifat umum, maka dalam hal
ini ‘urf berfungsi sebagai takhsis daripada dalil yang dzani. Para ahli hukum Islam telah
menetapkan tentang sahnya berjual beli dnegan cara pesanan karena disandarkan kepada
‘urf yang mereka anggap sebagai takhsis terhadap hadis yang melarang berjual beli
sesuatu yang tidak dimiliki si penjualnya.
2). ‘Urf itu berlaku umum. Artinya ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat ,
baik di semua daerah maupun daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya
merupakan ‘urf orang-orang tertentu saja maka tidak bisa dijadikan sebagai sebuah
sandaran. Contohnya, jika seorang bapak memberikan perkakas kepada anakanya dari
hartanya sendiri, kemudian anaknya membawa perkakas tersebut kepada suaminya,
lalu terjadilah persengketaan antara anak dan bapak tentang kepemilikan perkakas
tersebut. Bapaknya mengakui bahwa perkakas tersebut dipinjamkan, sedangkan anak
tersebut mengakui bahwa perkakas tadi merupakan pemberian bukan pinjaman. Tapi
keduanya tidak memiliki bukti atas pengakuannya itu. Dalam hal ini, pengakuan yang
diterima adalah pengakuan yang selaras dengan ‘urf yang berlaku umunya dan
dikuatkan dengan sumpahnya. Jika ‘urf yang berlaku memberi petunjuk bahwa
perkakas tadi berarti pinjaman saja, maka dimenangkan oleh bapaknya, begitu
sebaliknya. Namun jika ‘urf diantara manusai sama, artinya menurut sebagian ‘urf
perkakas itu dianggap pinjaman dan sebagian ‘urf yang lain dianggap sebagai
pemberian, maka dalam ha ini hukum tidak ditetapkan berdasarkan ‘urf. Oleh karena
itu, dalam keadaan demikian yang dimenangkan adalah pengakuan bapaknya,
berdasarkan sumpahnya. Sebab dialah yang memberikan, maka dialah yang lebih
mengetahui sifat dari pemberian tersebut, apakah ia benar-benar meminjamkan atau
tidak.
3. ‘Urf harus berlaku selamanya, maka tidak dibenarkan ‘urf yang datang kemudian.
Misalkan seseorang yang bersumpah untuk tidak memakan daging selamanya, dan
saat ia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging
kambing dan sapi. Lalu 5 tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa yang
dimaksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut
makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya
karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah).
Misalkan seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi
pemilik kantor mengatakan bahwa gaji ini berlaku untuk bekerja setiap hari termasuk
hari Ahad dan hari libur. Maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari
meski ‘urf masyarakat memberlakukan kerja 5 hari.
5. ‘Urf tidak berlaku untuk sesuatu yang telah disepakati. Hal ini sangatlah penting
karena bila ‘urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati ulama (dalam hal
ini ijma’) maka ‘urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ‘urf bertentangan dengan
dalil syara’.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang menjadi sumber utama dalam menentukan hukum islam yaitu : Pertama Al
Qur’an. Al- Quran merupakan Wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt langsung
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.Kebenaran dalam Al Quran
sudah menjadi kebenaran yang mutlak. Namun Al – Quran dari segi bahasanya masih
sulit dipahami, maka Allah menyuruh utusannya yakni baginda Rosulullah Nabi
Muhammad saw. membawa sumber hukum yang kedua yaitu di sebut dengan As
Sunnah.
Sunnah Merupakan suatu perkataan, perbuatan serta ketetapan – ketetapan
Rosulullah saw. Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah
dan ketentuan ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar dengan al-
quran sunnah nabi adalah dalil (hujjah) bagi al-quran, member kesaksian terhadap
otoritasnya dan menyuruh umat islam untuk mengikutinya, kata-kata nabi sebagaiman
diungkapkan al-quran kepada kita, merupakan wahyu Allah . perbuatan dan ajaran-
ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syariah merupakandalil yang menikat.
Sementara menafsirkan ayat al-quran yang menegaskan bahwa nabi tidak berbicara
menurut kemauannya sendiri, tidak satupun selain wahyu yang diturunkan
kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa wahyu Allah yang diterima
oleh Nabi memang menjadi bagian Al-Qur’an tetapi sisanya adalah sunnah.
Manusia merupakan makhluk social dimana harus berkehidupan dengan
masyarakat sekitar dan lingkungan. Setiap daerah memiliki leingkungan yang
berbeda-beda. Maka Islam juga mengarahkan dalam menentukan suatu hukum atau
peraturan dengan menggunakan ‘Urf sebagai sumberr hukum Yang ketiga. ‘Urf
merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui
dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktik ataupun perkataan yang tidak
bertentangan dengan Alqur’an dan Hadis.
Daftar Pustaka
Wahhab, Khallaf Abdul. 1999. Ilmu Ushul Fiqh (terjemahan Moh Zuhri Ahmad
Qorib). Semarang : Dina Utama
Salam, Abdul. Zarkasji dan Faturrohman,Oman. 1994. Pengantar Ushul Fiqh .,
Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam
Syarifudin, Amir. 1993. 2011. Ushul Fiqh jilid I. Jakarta : Kencana
Syukur, Sarmin. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam : Ilmu Ushul
Fiqhperbandingan. Surabaya : Al Ikhlas
Zahrah, M Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus
Kamali, M Kamali. 1996. Prinsip dan teori-teori hukum Islam. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai