Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK 7

SYIRIK POLITIK, KRISIS KEPERCAYAAN, DAN MASALAH


KEADILAN

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Tamrin Kamal

Disusun Oleh:
1. Mona Oktaviani (2112040016)
2. Ryan Syahputra (2112040004)
3. Tiwi Firda Sepvalentin (2112040031)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
1443H/2022M

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kita
taufik dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Tafsir ini
sebagai tugas dari kelompok kami dengan baik. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan yang
baik bagi kita pada saat sekarang ini.
Kemudian pemakalah mengucapkan rasa terima kasih banyak kepada bapak
dosen Prof. Dr. H. Tamrin Kamal, selaku dosen mata kuliah Teologi Sosial Islam.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
kami dari pemakalah masih membutuhkan saran dan masukan dari bapak dan juga
teman-teman yang lain. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita
semua sebagai pembelajaran dan penambahan ilmu untuk kita semua.

Padang, 20 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Judul............................................................................................................... 1
Kata Pengantar............................................................................................... 2
Daftar Pustaka................................................................................................ 3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
C. Tujuan Makalah................................................................................... 5
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Syirik Politik....................................................................... 6
B. Bentuk-Bentuk Krisis Kepercayaan..................................................... 8
C. Bentuk-bentuk Rasa Ketidakadilan Dalam Kehidupan Bangsa........... 8
D. Konsep Islam Dalam Mengatur Kehidupan yang Berperikemanusiaan
dan Berkeadilan................................................................................... 11
Bab III Penutup
A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Saran.................................................................................................. 13
Daftar Pustaka............................................................................................... 14

3
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sistem politik dalam agama islam pada dasarnya bukan merupakan
sesuatu yang dilarang, melainkan sesuatu yang dianjurkan untuk ditata
pelaksanaannya dalam kehidupan agar politik yang ada berjalan sesuai apa
yang telah Allah tetapkan dengan kata lain sesuai dengan landasan syari‟ah
dan tidak melenceng dari jalan yang Ia tidak ridhoi. Dengan adanya sistem
politik tugas khalifah atau pemimpin dapat dijalankan lebih realistis dan
efektif. Politik merupakan media atau wasilah yang cukup efektif untuk
menegakkan syari‟at islam dengan aturan dan hukum-hukumnya di muka
bumi ini. Rasulullah merupakan bukti gemilang seorang pemimpin yang
menerapkan sistem politik dengan aturan dan kehendak Allah dalam kitabnya
al-qur‟an. Sebagai contoh konkret keberhasilan politiknya adalah ketika beliau
berhasil menegakkan syari‟at islam dengan membangun sebuah negara
khilafah islam al-Madinah al-MunawwarahAda tiga sebab fundamental
munculnya perilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dhai‟ful iiman(lemahnya
iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta).
Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat
sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab,
mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Penyebab kedua
perbuatan syirik adalah dhai’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang
imannya lemah cenderung berbuat maksiat. Taqliid sebab yang ketiga. Al-
Qur‟an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah
selalu memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek
moyang mereka. Allah berfirman,“Dan apabila mereka melakukan perbuatan
keji, mereka berkata, „Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan
yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.‟ Katakanlah,
„Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.‟
Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui?” (QS. Al-A‟raf: 28).
Umat muslim, dalam hidupnya berpegang teguh pada Al Qur‟an dan Al
Hadist sebagai pedoman hidupnya. Dari kedua pedoman tersebut, umat
muslim tidak perlu khawatir dalam menjalani persoalan hidup. Segala apa
yang menjadi persoalan, solusi, peringatan, kebaikan dan ancaan termuat di
dalam pedoman tersebut. Bahkan dalam Al-Qur‟andan Al Hadist
permasalahan politik juga tertuang didalamnya. Diantaranya membahas:
prinsip politik islam, prinsip politik luar negeri islam. Baik politik luar negeri
dalam keadaan damai Zws geri excam keadaan perang.

B. Rumusan Makalah
1. Menjelaskan mengenai pengertian syirik politik beserta konsepnya
2. Menjelaskan bentuk-bentuk krisis kepercayaan di Indonesia
3. Konsep Islam Dalam Mengatur Kehidupan yang Berperikemanusiaan
dan Berkeadilan

4
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mampu memaparkan mengenai pengertian syirik
politik beserta konsepnya
2. Agar mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk krisis
kepercayaan di Indonesia
3. Agar mahasiswa mampu menjelaskan Konsep Islam Dalam Mengatur
Kehidupan yang Berperikemanusiaan dan Berkeadilan

5
BAB II
PEMBAHASAN
D. Pengertian Syirik Politik
Lantas, bagaimana relevansi tauhid dengan perilaku politik, terutama
perilaku politik masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim? Jelas, perilaku
politik mesti berakar dari pemahaman tauhid yang benar dan komprehensif.
Tauhid tidak hanya menjadi simbol dalam aktivitas politik, dengan hanya
menggunakan atribut-atribut Islam sebagai nama atau asas partai politik,
misalnya, tetapi juga harus ditransformasikan ke dalam aktivitas-aktivitas
politik. Fatsoen politik mesti ditegakkan. Kesadaran kasip bahwa politik
adalah bagian dari perubahan menuju masyarakat yang lebih baik, juga mesti
dibangun. Syariah sebagai sistem ajaran juga mesti dipegang teguh.
Semuanya didirikan atas dasar tauhid, sebagai landasan sentral. 1
Demikian pula, ketika kita menyatakan bahwa tauhid mesti
ditransformasikan dalam aktivitas politik, mesti pula disadari bahwa ada pula
perilaku-perilaku negatif yang merupakan antitesis dari tauhid. Perilaku syirik
sosial sebagaimana penulis ulas di atas, terkadang kita jumpai dalam
kehidupan politik. Akibatnya, muncul politisi korup. Patologi politik merajalela.
Pragmatisme politik pun kian menjadi-jadi. Mengacu pada konsep “Tauhid
Sosial” yang telah digulirkan oleh Prof. Dr. Amien Rais dalam beberapa
tulisan beliau, penulis mencoba untuk mengidentifikasikan perilaku “Syirik
Politik” yang rawan sekali terjadi dalam konteks Indonesia. Gagasan ini
mungkin hanya mencakup segelintir dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi
menjadi patologi politik.
Pertama, orientasi politik tidak lagi agar kalimah Allah menjadi lebih
tinggi, melainkan agar “berhala-berhala politik” yang ia yakini tetap bertahan
dan menjaga posisinya. Ketika seseorang memegang tampuk kepemimpinan,
syirik politik menjelma dalam bentuk kekuasaan, uang, dan syahwat politik
yang tinggi. Akhirnya, perilaku politiknya hanya untuk mengamankan posisi
kekuasaan. Kekuasaan tidak digunakan untuk memperbaiki hajat hidup umat
Islam, melainkan untuk mendapatkan keuntungan material. Perilaku korupsi
menjadi begitu lumrah, dan ketidakadilan dianggap sebagai suatu kemestian.
Sehingga, kekuasaan pun menjadi berhala.Syirik politik jenis di atas terjadi
pada orientasi. Di sinilah letak relevansi dari hadits riwayat Umar ibn Al-
Khattab, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan tiap-tiap
urusan bergantung pada apa yang telah ia niatkan (Arba‟in An-Nawawiyah,
hadits ke-1). Ketika niat tidak lagi bergantung pada Allah, muncul maksiat.
Syirik Politik ini akan membuat perilaku-perilaku tidak lagi mempertimbangkan
maslahat-mudharat atau syar‟i-tidaknya lagi.
Kedua, munculnya “kezaliman politik”. Bentuk syirik politik kedua
adalah adanya penindasan dari the ruling class (kelas yang berkuasa) kepada
subordinated class (oposisi). Potret penindasan ini muncul dalam bentuk
kooptasi dari partai yang memiliki kekuatan massa besar kepada kelompok

1
Azra, Azyumardi, Dr. 1996.

6
oposisi. Atau, penindasan kepada rakyat dengan kebijakan-kebijakan
berkedok konglomerasi dan oligarkhi. Praktik otoritarianisme, di mana
kebebasan dibungkam dan aktivis-aktivis Islam yang menyuarakan
aspirasinya ditangkap, justru berlawanan dengan konsep tauhid sosial, di
mana setiap manusia yang merupakan ciptaan Allah memiliki hak dan
kedudukan yang sama. Kezaliman politik hanyalah bentuk kesombongan dan
deklarasi atas ketidak-abadian manusia. Padahal, potret Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab saja membuka partisipasi
masyarakat dengan luas, selama masih berada di atas koridor Al-Qur‟an dan
Hadits. Khalifah Abu Bakar, dalam pidato politiknya ketika baru terpilih
sebagai Khalifatul-Muslimin, menyatakan bahwa, “Seandainya kalian
menyaksikanku dalam kebenaran, maka ikutKhalifatul-Muslimi kalian
menyaksikanku telah menyimpang, luruskanlah!”. Senada dengan Abu Bakar,
Khalifah Umar setelah terpilih menjadi Khalifah juga menyatakan, “Dan saya
adalah salah seorang di antara kalian.... Barangsiapa melihat penyimpangan
dalam diriku, maka luruskanlah! (lihat Masyhadi, 2005). Dengan demikian,
potret yang ditunjukkan Khalifah adalah bahwa partisipasi publik dibuka
dengan begitu luas, selama berada dalam koridor Islam. Kezaliman politik
dengan membungka suara-suara kritis atau menangkapi para kritikus tidak
sesuai dengan ketentuan Islam. Bahkan, jika kebijakan yang keluar
bertentangan dengan perintah Allah, perbuatan tersebut mengarah pada
kesyirikan yang lebih besar
Ketiga, menyadarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan
Islam dalam aktivitas politik. Dalam konteks ini, kita patut berpikir secara
kritis. “isme-isme” yang penulis maksud pada dasarnya bukan simbol dan
atribut politik, tetapi substansi ide dan garis kebijakan yang dianut. Dalam
berpolitik, para politisi dan pengambil kebijakan harus memahami garis-garis
larangan yang telah diberikan oleh Allah dalam Al-Qur‟an atau Hadits. Syirik
politik muncul ketika garis kebijakan yang ada justru menyalahi rambu-rambu
Al-Qur‟an. Banyak formulasi kebijakan ekonomi (baik yang diambil
pemerintah atau tidak) yang mengarah pada aktivitas ribawi. Ketika para
politisi mengambil kebijakan yang mengarah pada riba tersebut secara sadar
dan dengan arogansi tertentu, ia telah menyandarkan diri pada “isme-isme”
yang bertentangan dengan Islam. Alternatif UU pun ada yang tidak sesuai
dengan ketentuan Islam. Ketika jenis kebijakan tersebut diambil secara sadar
dan menafikan ketentuan dalam Islam secara arogan, ia akan terjatuh pada
syirik politik. Seringkali, kelompok yang menggunakan atribut Islam pun
terjatuh, karena para politisinya tidak memahami esensi kebijakan yang ada.
Contoh konkret yang dapat penulis berikan dalam konteks ini adalah pada
panitia anggaran.
Di sini, para politisi mesti cermat dengan substansi anggaran, agar
tidak mengandung unsur-unsur yang memperkaya diri. Ketika seorang politisi
membuat anggaran yang memiliki unsur tersebut secara sadar, secara
otomatis ia akan jatuh pada syirik politik. Hal inilah yang perlu dihindari oleh
para politisi muslim.

7
E. Bentuk-Bentuk Krisis Kepercayaan
Sejak 1952, Sukarno telah mengingatkan tentang lima macam krisis
yang bisa mematikan perkembangan demokrasi. Pertama, krisis politik, yang
membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis
alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau.
Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang memaguti kehidupan
negara. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan
keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak
berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara gagal
menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara miskin visi
dan wawasan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari moralitas seperti
terpisahnya air dengan minyak. Adapun orang-orang yang menggenggam
otoritas justru berlomba menghancurkan gejag.
Mengenai musabab krisis, Sukarno mengingatkan untuk tidak begitu
mudah mengalamatkan semua itu pada kehidupan perekonomian yang belum
beres. ”Lihatlah pada waktu pendudukan Jepang. Adakah satu waktu di
dalam sejarah kita belakangan ini yang perekonomian kita lebih kocar-kacir,
lebih morat-marit, lebih berantakan daripada di zaman pendudukan Jepang
itu?”
Lagi pula, perekonomian para penyelenggara negara sekarang ini tidak
bisa dikatakan serba kekurangan. Bukankah gaji dan aneka tunjangan terus
dilambungkan tanpa rasa malu di sela-sela memburuknya perekonomian
rakyat?
Sebab utama dari semua krisis ini karena politik sebagai teknik terus
dikembangkan, tetapi politik sebagai etik diabaikan. Yang berkembang adalah
politik sebagai seni manipulasi, bukan politik sebagai seni kebaikan hidup.
Pusat kepeduliannya berhenti sebagai usaha mengelola pencitraan, bukan
mengelola kenyataan.2

F. Bentuk-bentuk Rasa Ketidakadilan Dalam Kehidupan Bangsa


1. Bentuk-bentuk yang mendasari egosentris ialah :
a) Marginalisasi
Marginalisasi adalah peminggiran terhadap akses sumber daya,
misalnya informasi dan tekhnologi, pendidikan, lapangan
pekerjaan, yang mengakibatkan kemiskinan (pemiskinan), dan
dapat menimpa laki-laki ataupun perempuan. Marginalisasi
diakibatkan terutama oleh kebijakan pembangunan yang tidak
merata dan dapat dinikmati oleh seluruh penduduk. Selain itu,
juga disebabkan kompetisi dalam lapangan kehidupan yang
seringkali dimenangkan oleh kelompok yang lebih diuntungkan,
yang lebih mampu mengakses sumber daya ekonomi.
2
Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974.

8
Namun demikian, secara spesifik perempuan mengalami
marginalisasi yang lebih disebabkan oleh adanya konstruksi
gender di masyarakat. Misalnya, perempuan dianggap sebagai
makhluk domestik dengan peran dalam perkawinan sebagai
pengurus rumah tangga sehingga ia menjadi tergantung secara
ekonomi kepada laki-laki.
Demikian pula ketika bekerja, perempuan seringkali
mendapatkan atau menduduki posisi dengan gaji yang lebih
rendah, misalnya sebagai pekerja rumah tangga (PRT), buruh
pabrik industri massal (garmen) atau sekretaris, dengan
penghasilan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Praktik
pembagian waris yang mengeluarkan perempuan dari daftar ahli
waris dengan pertimbangan bahwa perempuan nanti akan
menikmati harta waris dari keluarga suami juga merupakan
marginalisasi berdasarkan adat istiadat dan tradisi.
b) Subordinasi
Subordinasi adalah sikap merendahkan posisi/status sosial
salah satu jenis kelamin/gender. Anggapan bahwa perempuan
itu irrasional atau emosional menyebabkan perempuan
dijauhkan dari dunia politik, tidak bisa tampil sebagai pemimpin,
yang berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting, yang lebih rendah
daripada laki-laki. Bahkan ada anggapan bahwa anak
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bila keuangan
terbatas, maka anak laki-laki lebih diutamakan untuk
bersekolah.
Jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) atau
ditugaskan ke luar kota, dia bisa mengambil keputusan sendiri,
sedangkan istri harus atas seizin suami. Selain itu, perempuan
yang menjadi kepala rumah tangga tidak pernah diakui oleh
Negara.
c) Stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan
terhadap suatu kelompok tertentu yang seringkali merugikan
dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip
bersumber dari perbedaan gender.
Misalnya, stereotip yang berawal dari asumsi bahwa perempuan
berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis, maka setiap
ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan
dengan stereotip ini dan menimbulkan anggapan bahwa yang
menjadi penyebab perempuan dilecehkan secara seksual
adalah akibat kesalahan perempuan itu sendiri. Masyarakat lalu
mencari-cari kesalahan korban dan cenderung memaklumi
tindakan pelaku.
Masyarakat juga memiliki anggapan (stereotip) bahwa tugas
utama kaum perempuan adalah melayani suami/keluarga. Maka

9
wajar jika kemudian pendidikan maupun pekerjaan/karir
perempuan dianggap tidak begitu penting atau dinomorduakan.
Hal sebaliknya dikondisikan pada laki-laki.
Ada anggapan bahwa mengurus rumah tangga memang
merupakan pekerjaan perempuan, maka ketika perempuan
bekerja sebagai PRT, pekerjaan tersebut dihargai dengan upah
rendah. Padahal bila pekerjaan tersebut, misalnya memasak,
dilakukan di luar rumah, ia dihargai lebih tinggi, dan bahkan bisa
menjadi suatu profesi mahal, misalnya menjadi juru masak
(chef) di restoran atau hotel mewah. Oleh karena dunia publik
dianggap sebagai dunia laki-laki, maka profesi ini juga
dikuasai/didominasi oleh laki-laki.
Beberapa Stereotip Gender Yang Ditemukan dalam Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan:
“Perempuan itu emosional dan sering bereaksi berlebihan, juga
suka mendramatisir keadaan sehingga pernyataannya kurang
bisa dipercaya”
“Perempuan yang sudah pernah berhubungan seks sebelumnya
adalah perempuan nakal” (penggunaan riwayat seksual korban)
“Perempuan yang tidak teriak atau kabur saat diperkosa, berarti
dia setuju alias suka sama suka”
“PRT yang mau dibonceng oleh pemberi kerjanya dan
berduaan berarti ada hubungan dan pengakuannya telah
diperkosa oleh pemberi kerja itu tidak bisa dipercaya”.
d) Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan adalah serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama
manusia bisa terjadi karena banyak penyebab atau faktor,
misalnya dipicu oleh dendam, rasa benci karena perebutan
sumber daya alam, atau konflik karena perbedaan SARA (suku,
agama, ras dan antar golongan), serta konflik sosial lainnya baik
antar individu maupun kelompok.
Namun, dari semua sumber kekerasan yang ada, salah satu
kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, yakni perempuan,
disebabkan oleh anggapan gender yang eksis di masyarakat
patriarki (berpusat pada kekuasaan laki-laki). Misalnya adanya
anggapan bahwa perempuan itu lemah, pasrah, dan menjadi
obyek seksual, sehingga menempatkan perempuan sebagai
obyek yang mudah diserang. Kekerasan yang disebabkan oleh
eksisnya anggapan gender ini disebut sebagai ‘gender-based
violence’ atau ‘kekerasan berbasis gender’.
Kekerasan terhadap perempuan seringkali identik dengan
kekerasan berbasis gender. Misalnya, terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga lekat dengan anggaran gender bahwa
perempuan itu berkedudukan lebih rendah dari suami sehingga

10
suami dapat melakukan kekerasan terhadap istri, seperti
memukul, membentak, dan lain-lain.
e) Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara
dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga,
mengakibatkan semua pekerjaan domestik atau rumah tangga
menjadi tanggungjawab perempuan. Selain itu, pekerjaan
rumah tangga atau kerja domestik dianggap sebagai pekerjaan
perempuan, maka meskipun perempuan bekerja di luar rumah
apakah karena implikasi (konsekuensi) dari pendidikan yang
diperoleh (karier) atau karena kebutuhan pendapatan keluarga,
perempuan tetap saja dituntut untuk menjalankan pekerjaan
rumah tangga dan bahkan dituntut untuk menomorsatukan
pekerjaan rumah tangga.
Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja
lebih keras dan lebih lama. Perempuan sudah mulai
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum anggota
keluarga lainnya bangun dan yang paling akhir beristirahat.
Selain itu, perempuan masih dituntut dapat menjalankan peran
reproduksi baik secara biologis maupun sosial, yang akhirnya
melahirkan tidak saja peran ganda tapi multi peran dan tentunya
berdampak pada jam kerja perempuan yang lebih panjang lagi
dan melelahkan.
Di kalangan keluarga miskin atau menengah yang tidak dapat
mempekerjakan PRT, pekerjaan rumah tangga ini harus dipikul
sendiri, terlebih jika perempuan tersebut harus bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarga dengan penghasilan yang pas-
pasan. Di sisi lain, pekerjaan sebagai PRT, dengan adanya
pandangan bias gender, dianggap identik dengan tugas kodrati
perempuan sehingga profesi ini seringkali dihargai lebih rendah
dari kerja-kerja lainnya.3

G. Konsep Islam Dalam Mengatur Kehidupan yang Berperikemanusiaan


dan Berkeadilan
Dalam konsep islam, hubungan kemanusiaan bagaikan saudara, baik
saudara sedarah, saudara seiman maupun saudara sebangsa dan setanah
air.

“Siapa yang tidak bersikap kasih terhadap sesamanya, maka Allah


SWT tidak akan mengasihinya.” (H.R. Muttafaq ‘alaih).

Pada dasarnya Islam meletakkan dasar-dasar persamaan derajat dan


hak asasi bagi setiap diri manusia. Dengan konsepsi itu tertolaklah segala
pandangan yang berlawanan dengan peradaban manusia yang luhur.
Sebagai wujud dari kemanusiaan yang luas, Islam mengajarkan agar tetap

3
Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi

11
memelihara kelestarian kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara
yang aman dan damai.

Allah Azza Wa Jalla memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan


seperti termaktub dalam firman-Nya. ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang melakukan perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran’ (QS
An Nahl:90).Menegakkan keadilan dapat dilakukan siapa saja, bukan saja
oleh hakim di pengadilan, polisi, jaksa, atau pun pejabat negara. Paling tidak,
kita bisa dengan selalu berkata benar, memberitakan atau memberikan
keterangan dan kesaksian yang benar dalam suatu perkara.

Al-Qur’an menggunakan beberapa kata yang berbeda untuk makna


keadilan, yaitu kata qist, mizan, haq, wasatha, dan adl. Kesemua kata
tersebut dalam makna yang berbeda dapat ditujukan pada makna adil atau
keadilan. Kata qist mengandung makna keadilan yang dikaitkan dengan
kebenaran. Seperti halnya juga kata haq, yaitu kebenaran yang juga dapat
bermakna keadilan (lihat QS 7:159 dan 181). Kata mizan mengandung makna
keadilan berkaitan dengan timbangan (keseimbangan), yaitu memperlakukan
sesuatu secara seimbang. Seperti halnya lambang keadilan berupa
timbangan dalam tradisi hukum Eropa. Kata wasatha mengandung makna
keadilan dalam kaitan dengan sikap yang berada di tengah (pertengahan)
dan tidak memihak, yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘wasit’. Kata adil
dapat bermakna perlakuan sama atau perlakuan secara seimbang. Dengan
demikian, keadilan haruslah berdasarkan kebenaran, keseimbangan,
perlakuan sama, serta sikap tengah dan tidak memihak. Keadilan tidak bisa
ditegakkan apabila mengabaikan kebenaran. Demikian juga sebaliknya,
mengabaikan kebenaran sama dengan mengorbankan keadilan. Menjadi
saksi atau memberikan keterangan yang tidak benar ialah mencederai
keadilan. Sikap yang memihak dan berat sebelah serta tidak memperlakukan
secara seimbang dalam memutuskan suatu urusan (perkara), dalam
memberikan keterangan atau dalam menuliskan suatu berita, juga ialah sikap
yang mencederai keadilan.

12
BAB III
PENUTUP
H. Kesimpulan
Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.
Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan
informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan
kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum
secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah,
Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi
pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan
dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai
politik yang menghalalkan segala cara.
Adapun bentuk-bentuk krisis kepercayaan yang ada, yaitu Pertama,
krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada
demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara
berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag
(kewibawaan otoritas).

I. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar dalam makalah ini
masih banyak keslahan dan kekurangan dari segi materi maupun
penyampaian. Untuk itu saran yang membangun dari pembaca sangatlah
kami harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Dr. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari


Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta:
Paramadina.

Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974. Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I.
Jakarta: UI Press.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang
Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).

14

Anda mungkin juga menyukai