Anda di halaman 1dari 13

Kelompok 5

ETIKA POLITIK : ANTARA NORMATIFITAS DAN REALITAS


Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah :
Etika Politik
Dosen Pengampu :
Ambar Dwi Prasekti M.I.P

Disusun Oleh :
Nama NPM
Ahmad Ikromi 1821020503
Arisqi Sepwidiyanti 1821020408
Auliya Mutiara Sumantri 1821020466
Dian Pratama S 1821020487
M. Ridho Athoriq 1821020471
Rizki Fadillah 1821020418
Suci Indah Putri 1821020010
Wahyu Sutisna 1821020379
Semester/kelas 5/G

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM RADEN INTAN LAMPUNG


JURUSAN HUKUM TATANEGARA
FAKULTAS SYARIAH
TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكن ورحوة هللا وبركاته‬


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulisan makalah ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah "Etika Politik". Shalawat teriring salam kami sanjukan kepada baginda
Nabi besar kita, Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut
beliau yang setia sampai akhir zaman, semoga kita semua mendapat syafa‟at beliau di
yaumul qiamah kelak. Aamiin ya robbal „alamin.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing Ibu Ambar Dwi Prasekti M.I.P. dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulis makalah ini. Dalam penulisan
makalah ini kami sadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisannya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

‫والسالم عليكن ورحوة هللا وبر كاته‬

Bandar Lampung, 7 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Etika Politik Islam dalam Normatifitas ................................................ 2
B. Etika Politik Islam dalam Realitas ....................................................... 5

BAB III PENUTUP


A. Simpulan .............................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini etika politik seakan sudah tidak berlaku lagi, bahkan bisa dibilang
menghilang. Realitas atau kenyataan yang ada menunjukkan politik sebagai ajang
pertarungan kekuatan dan kepentingan, hingga terdapat kebiasaan umum
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Padahal, Nietzsche dengan
lantang meneriakkan bahwa esensi etika yang dibangun dalam politik itu ditentukan
oleh penilaian baik dan buruk. Pragmatisme politik sudah merusak etika berpolitik
para pelaku politik.

Salah satunya adalah praktik money politics (politik uang) yang sama sekali tidak
mendidik rakyat dan menjadi contoh yang sangat buruk dalam berpolitik. Jika ini
terus terjadi, maka tidak akan ada etika dalam dunia perpolitikan kini.

Seharusnya para pelaku politik menjadi teladan yang baik bagi rakyat. Karena
itu, seorang politisi harus menjadikan etika politik sebagai patokan orientasi dan
pandangan normatifnya agar terlaksana kekuasaan yang bermartabat. Mestinya, para
elit politik memiliki akhlak dan perilaku berpolitik yang baik, memiliki kesabaran,
kesederhanaan, menjunjung persamaan, keadilan, dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana etika politik Islam dalam normatifitas?
2. Bagaimana etika politik Islam dalam realitas?
3. Bagaimana etika politik Islam antara normatifitas dan realita?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui etika politik Islam dalam normatifitas.
2. Mengetahui etika politik Islam dalam realitas.
3. Mengetahui etika politik Islam antara normatifitas dan realitas.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika Politik Islam dalam Normatifitas

Dalam Islam segala sesuatu prihal diatur dari yang sepele sampai yang krusial,
Islam telah mengatur dan mengkajinya secara rinci dan berpedoman kepada al-qur‟an
dan hadist termasuk permasalahan etika berpolitik. Secara sederhana, etika politik
dapat diartikan sebagai sejumlah nilai luhur yang seharusnya diterapkan dalam
perilaku politik, undang-undang, hukum, dan kebijakan dalam pemerintahan.

Kajian etika politik dalam Islam bukan semata-mata untuk kepentingan ilmu dan
kritik ideologi, ataupun merupakan bagian dari cabang filsafat, melainkan bagian
integral dari syari‟at yang wajib diamalkan oleh setiap muslim dalam kehidupan.
Politik harus dijalankan dengan nilai-nilai etika sehingga mencapai tujuannya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan sosial.1

Sejarah politik dalam Islam adalah sejarah dakwah untuk menyebarkan amar
ma’ruf nahi munkar. Sejarah ini bermula sejak masa Nabi Muhammad SAW. di
Madinah pada 622 M. hingga masa Khulafa ar-Rasyidin yang berakhir sekitar 656 M.
Pada saat itu, pemerintahan berada dalam upaya menegakkan kepemimpinan yang
bermoral dan sangat peduli pada perwujudan keadilan serta kesejahteraan
masyarakat. Gambaran ideal kehidupan politik Islam dapat dilihat dari sistem politik
yang diterapkan oleh Nabi di Madinah. Berkat usaha-usaha Nabi tersebut, lahirlah
suatu komunitas masyarakat Islam pertama yang bebas dan merdeka.

Sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW. dapat dikatakan sebagai
sistem politik par excellent atau sistem religius, yang seluruh politik negara dan
pekerjaan pemerintahannya diliputi oleh semangat akhlak dan jiwa agama. Sehingga

1
M. Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam, (Jakarta: Transmisi Media, 2009), hlm. 34.

2
dalam kepemimpinannya, beliau dapat mempersatukan umat, walaupun umat tersebut
pada saat itu sangat terkenal dengan masyarakat yang majemuk.

Etika politik merupakan pedoman orientasi dan pegangan normatif untuk menilai
kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia. Etika
politik Islam senantiasa merujuk pada ketentuan dalam Alquran dan hadis. Dalam Al-
Qur‟an menyerukan umatnya untuk berlaku adil dan berbuat baik serta berlaku
amanah.

Prinsip dasar dalam etika politik Islam adalah menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan menghormati hak-hak asasi manusia, sehingga tercipta suatu kedamaian
yang berkelanjutan dibawah norma-norma agama. Dan ketika segala aktivitas politik
yang dilakukan senantiasa dituntut oleh nilai-nilai yang bersumber dari Alquran,
maka aktivitas yang dilakukan mendapat berkah yang berlipat ganda, sehingga
terhindar dari malapetaka yang disebabkan karena melakukan keterpurukan atau
kemungkaran.2

Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi umat manusia, maka tidak berlebihan apabila al-
Qur‟an dijadikan sebagai konsep etika politik, dimana etika ingin menjawab
“bagaimana hidup yang baik”. Dengan demikian al-qur‟an menerangkan tentang etika
dan moral sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Imran/3:159 yang berbunyi:

۟ ‫ب َلًَفَض‬
‫ُّىا ِه ْي‬ ِ ‫ظ ْٱلقَ ْل‬ ًّ َ‫ٌت ف‬
َ ‫ظا َغ ِلي‬ َ ‫ٌت لَ ُه ْن ۖ َولَ ْى ُك‬ ‫فَ ِب َوا َر ْح َو ٍة ِ ّهيَ ه‬
َ ‫ٱَّللِ ِل‬
َ ‫ْف َع ٌْ ُه ْن َوٱ ْست َ ْغ ِف ْر لَ ُه ْن َوشَا ِو ْر ُه ْن فِى ْٱْل َ ْه ِر ۖ فَإِذَا َعزَ ْه‬
‫ت فَت َ َى هك ْل‬ ُ ‫َح ْى ِل َك ۖ فَٱع‬
َ‫ٱَّللَ يُ ِحبُّ ْٱل ُوت َ َى ِ ّك ِليي‬ ‫َعلَى ه‬
‫ٱَّللِ ۚ إِ هى ه‬

2
Muhammad Azhar, Etika Politik Islam, Studi Kritis Pemikiran Muhammed Arkoun,
(Yogyakarta: New Transmedia, 2014), hlm. 5.

3
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”3

Kandungan ayat tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral


kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat,
antara lain memiliki sifat lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan
perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada
masyarakat. sifat-sifat ini merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang
pemimpin yang dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi
dalam musyawarah,. Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat
tersebut di atas, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan.

Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas, Faisal Ba‟asir mendasarkan etika
politik bangsa dan negara pada nilai-nilai luhur ajaran agama adalah suatu keharusan.
Sebab agama merupakan sistem nilai yang diyakini kebenarannya, ia adalah lentera
dan panduan kehidupan serta modal ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan
suatu tindakan tertentu.

Al-Qur‟an sebagai sumber gagasan etika politik berusaha menanamkan perilaku


yang baik kepada para pemimpin untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang
berwibawa. Oleh karenanya perilaku rakyat sangat tergantung dari kebijakan para
pemimpin, rakyat bermoral adalah cerminan dari seorang pemimpin. Pemimpin yang
bertanggungjawab adalah pemimpin yang beretika dan bermoral yang bersumber dari
nilai-nilai luhur agama.

3
Al – Qur‟an Surah Ali Imran 3 : 159

4
Dengan demikian segala tindakan yang baik, adil, beramanah dari pemimpin
akan mendapatkan syafaat, selama pemimpin tidak keluar dari koridor yang telah
digariskan oleh Allah swt dalam Alquran sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

B. Etika Politik Islam dalam Realitas

Politik riil yang terjadi adalah pertarungan antar kekuatan masing-masing partai.
Seringkali filsafat politik ataupun etika politik dianggap dunia ideal yang tidak
mencerminkan realitas politik yang ada, atau pun sebaliknya. Berbagai peristiwa
kekerasan, politik uang dan korupsi, sangat mendominasi kehidupan politik di
Indonesia. Peristiwa tragis juga pernah terjadi, kerusuhan disertai penjarahan,
penganiayaan dan pemerkosaan (Mei 1998).4

Kekerasan yang lebih kejam berlangsung dalam konflik antar etnis dan antar
agama (pontianak, Sampit, Ambon, Poso). Semua itu meninggalkan korban, trauma
psikologis, pengungsian, dan penderitaan berkepanjangan. Serentetan kejadian itu,
tidaklah terjadi secara spontan atau peristiwa insidental belaka. Namun di balik
peristiwa itu, tidak lepas dari praktek politik kekuasaan kelompok tertentu. Adalah
sangat sulit, jika tragedi-tragedi itu tidak dikaitkan dengan pertarungan elit politik
untuk memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian, rekayasa politik tidak akan
memancing kekerasan dengan mudah, jika tidak ada masalah-masalah yang melilit
mereka sebelumnya.

Seperti masalah ketidak adilan dan kebencian korban ketidakadilan adalah


konkrit adanya, yang membuat mereka semakin termarjinalkan. Kesenjangan
ekonomi antara si kaya dan si miskin terlalu jauh; persoalan-persoalan sosial yang
semakin komplek dan berimbas pada kebijakan yang tidak populis, seperti banyaknya

4
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia, 1999), hlm. 1.

5
anak putus sekolah, pengangguran, kemiskinan, dan penggusuran. Bentuk
marginalisai ini, pada saatnya akan memancing radikalisme dalam menuntut keadilan.
Dan radikalisasi menjadi kuat, karena kesadaran yang semakin kuat pada diri mereka
sebagai korban. Identitas korban akan semakin mengkristal, ketika agama
menawarkan pendasaran ideologis. Situasi frustasi semacam ini diperparah oleh
kebencian antara pemeluk agama, yang sungguh ada dan dapat dirasakan. Prasangka
buruk terhadap pemeluk agama lain sering kali muncul dan sengaja dihembuskan
oleh pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan setiap ada chaos (kekacauan),
walaupun tidak sedikit yang menjalin hubungan secara harmonis dan membangun
dialog.5

Ketika berbagai bentuk peristiwa kekerasan itu mulai mereda, yang mencuat ke
permukaan sekarang adalah politik uang dan korupsi. Adanya praktek politik uang,
biasa digunakan untuk meraih kekuasaan, atau untuk melanggengkan kekuasaan. Hal
ini bisa dilihat dalam proses pilkada di daerah-daerah, yang sarat dengan politik uang,
walaupun sulit dibuktikan secara empiris. Meskipun akhir-akhir ini, KPK sering
menangani kasus tangkap tangan saat terjadi penyuapan kepala daerah dan anggota
dewan. Untuk melanggengkan kekuasaan itu, dibutuhkan berbagai fasilitas
penopangnya, terutama ekonomi. Korupsi itu sendiri merupakan bentuk
penyalahgunaan kekuasaan oleh oknumnya.

Demikian halnya, saat para caleg atau calon kepala daerah berkampanye, tindak
money politic pun terlihat di sana dengan berbagai bentuk yang beragam. Hal itu bisa
dilihat, misalnya dari cara kampanye para caleg yang membagi-bagikan tas atau kaos
bergambar caleg yang bersangkutan sebagai bentuk „hadiah‟ atau „kenang-kenang‟;
atau membagi-bagi uang kepada para calon pemilih di daerah pemilihannya.
Demikian halnya dengan para calon kepala daerah. Saat berkampanye, banyak di
antara mereka yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan

5
Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 10

6
formal atau tradisional, yang nota bene banyak masanya. Saat berkunjung pun, tak
segan-segan, mereka mengeluarkan banyak duit, untuk „menyumbang‟ atau sekedar
memberi „hadiah‟ kepada sang kiai atau pimpinan lembaga tersebut. Lebih-lebih, jika
kiai tersebut adalah pimpinan tarekat, yang mempunyai banyak masa, maka
antusiasme para calon kepala daerah untuk mendekatinya sangat terlihat. Namun di
balik pendekatan dan pemberian „bantuan‟ tersebut, terselip pesan sponsor politis,
“pilihlah saya…”. Begitulah kira-kira kondisi perpolitikan Indonesia dewasa ini.

Jika melihat realitas politik yang demikian memilukan ini, seolah-olah berbicara
politik dalam tataran normatif, sebagaimana etika politik, memberi kesan naïf dan
absurd. Karena kehidupan politik, pada dasarnya merupakan pertarungan kekuatan
antar kelompok politik tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk menghalalkan
segala cara, asal tujuan tercapai. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan
politik, kepentingan-kepentingan politik sesaat, yang menguntungkan kelompok
tertentu (penguasa) – walaupun merugikan kepentingan rakyat – kerap kali terjadi,
tanpa menghiraukan kritik dan koreksi orang lain.

Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik, sering tidak
sejalan dengan etika politik yang telah dibangun oleh para pakarnya. Karena, politik
sangat fleksibel sifatnya, sehingga seolah tidak ada tatanan normatif politik yang
baku, kecuali hukum undang-undang yang kerapkali mengundang banyak kontroversi
interpretasi. Namun tidak harus menyerah begitu saja. Adanya tindak kekerasan,
politik uang dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan, yang sangat melekat
dengan praktek kekuasaan, hendaknya justru semakin menyadarkan kita, betapa
pentingnya penerapan etika politik secara teoritik ke dalam kehidupan politik secara
riil, walaupun aplikasinya masih dalam proses, untuk tidak mengatakan tidak
mungkin. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa etika politik bukanlah akan
mengkhutbahi para politikus secara langsung, namun setidaknya, adanya etika politik
yang ada, sebagaimana pemikiran politik yang telah dibangun oleh para pemikir

7
muslim klasik dan pertengahan di atas, dapat dijadikan sebagai bahan renungan untuk
membangun iklim politik yang lebih etis dan mengevaluasi kinerja pemerintahan
yang sedang berlangsung, yang akan dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk
memilih pemimpin masa yang akan datang. Dengan pemahaman etika politik yang
ada, diharapkan masyarakat akan menjadi lebih dewasa dalam hal politik.6

6
Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2014), hlm. 160.

8
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Dalam etika politik di atas, setidaknya ada beberapa konsep umum yang sangat
ideal untuk diterapkan dalam kehidupan politik. Yakni ; kapabilitas pribadi
pemimpin, keadilan, kejujuran, penyampaian amanat pada haknya, apresiasi terhadap
keilmuan dan membela kepentingan rakyat banyak (yang tertindas) di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Setiap pemerintahan, dimanapun dan kapanpun,
yang tidak menghiraukan etika-etika politik, niscaya kehancuran akan selalu
menghantuinya.

Jika dalam setiap aksi politik, yang berkaitan erat secara langsung dengan
perilaku politikus, selalu mempertimbangan dan menggunakan nilai-nilai etika
politik, maka kehidupan panggung politik yang ada, akan membentuk budaya politik
yang lebih santun, yang hasilnya dapat dirasakan oleh rakyatnya secara langsung.

9
DAFTAR PUSTAKA

M. Sidi Ritaudin,. Etika Politik Islam. (Jakarta: Transmisi Media) 2009.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern. (Jakarta: Gramedia) 1994.

Muhammad Azhar, Etika Politik Islam, Studi Kritis Pemikiran Muhammed Arkoun,

(Yogyakarta: New Transmedia, 2014).

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana

Indonesia, 1999)

F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1995)

Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung: Pustaka

Setia, 2014)

10

Anda mungkin juga menyukai