Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN

MATERI MATA KULIAH ETIKA POLITIK ISLAM


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Kurniati, M.H.I

Disusun Oleh:
NAFISAH (10200121003)

PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022/2023
DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 2
C. Tujuan..................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 4
A. Sejarah ETika Politik dan Relasinya dengan Islam........................................... 4
B. Nilai-nilai Universal Politik Islam........................................................................ 7
C. Unsur-unsur Etika Politik Islam.......................................................................... 11
D. Prinsip-prinsip Etika Politik Islam...................................................................... 14
E. Aspek-aspek Etika Politik Islam.......................................................................... 20
F. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Khaldun....................................................... 22
G. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah...................................................... 24
H. Etika Politik Islam Menurut Al-Mawardi........................................................... 26
I. Etika Politik Islam Menurut Nur Kholis Majid................................................. 29
J. Etika Lembaga Legislatif dalam Politik Islam................................................... 30
K. Etika Lembaga Eksekutif dalam Politik Islam................................................... 31
L. Etika Lembaga Yudikatif dalam Politik Islam................................................... 33
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 35
A. Kesimpulan............................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 36
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas isu etika politik adalah suatu hal yang amat penting dalam agama Islam
karena berbagai alasan. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa politik dianggap sebagai
bagian dari ibadah, sehingga harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip ibadah yang
telah ditetapkan. Sebagai contoh, dalam berpolitik haruslah diniatkan dengan tujuan yang
bertujuan untuk memperoleh ridha Allah. Selain itu, dalam berpolitik, kita harus mematuhi
perintah-perintah ibadah yang telah ditentukan, karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
ibadah dapat merusak "kesucian" dari politik itu sendiri. Selain itu, etika politik juga
dianggap sangat penting dalam Islam karena politik berhubungan dengan prinsip-prinsip
Islam dalam pengelolaan masyarakat.

Dalam dunia politik, hubungan antar-manusia sering menjadi hal yang penting,
seperti saling menghormati, menghargai hak orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan
tidak memaksakan pandangan sendiri. Menurut pandangan saya, prinsip-prinsip ini harus
diterapkan dalam dunia politik saat ini. Namun, ada beberapa pengamat politik yang
berpendapat sebaliknya dan bahkan secara sinis menyatakan bahwa membahas etika politik
sama saja dengan "berteriak di padang pasir" dan "etika politik itu tidak berguna". Menurut
pandangan mereka, politik sebenarnya adalah pertarungan antara kekuatan dan kepentingan,
dan tidak terkait dengan etika. Mereka menganggap bahwa politik tidak dibangun
berdasarkan pada idealisme dan tidak terikat pada standar moral yang seharusnya ada.
Dalam politik, tujuan akhir adalah untuk mencapai tujuan dengan cara apa pun, bahkan
seperti yang diajarkan oleh filosof Machiavelli, yaitu menghalalkan segala cara.

Politik adalah sebuah aspek yang penting dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi,
politik berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial, mengatur kebijakan publik, dan
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, di sisi lain, praktik politik seringkali
diwarnai oleh tindakan-tindakan yang tidak etis, tidak bertanggung jawab, dan bertentangan
dengan prinsip-prinsip moral. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, sangatlah penting bagi
kita untuk memperhatikan nilai-nilai moral dan etika dalam setiap tindakan kita, termasuk
dalam dunia politik. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, politik menjadi salah satu
hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun, seringkali kita melihat bahwa dunia politik dipenuhi
oleh tindakan yang tidak etis dan bertentangan dengan prinsip-prinsip moral. Sebagai umat
Islam, kita harus memperhatikan nilai-nilai moral dan etika dalam setiap tindakan kita,
termasuk dalam dunia politik. Etika politik Islam menjadi sangat penting untuk diterapkan
dalam kehidupan politik kita, agar tercipta tata kelola negara yang adil, transparan, dan
berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Dalam makalah ini, akan dibahas tentang konsep etika
politik dalam Islam, prinsip-prinsip etika politik dalam Islam, serta aplikasinya dalam
kehidupan.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini masalah yang akan dibahas diantaranya meliputi:

1. Bagaimana sejarah etika politik dan relasinya dengan Islam?


2. Bagaimana nilai-nilai universal politik Islam?
3. Bagaimana unsur-unsur etika politik Islam?
4. Bagaimana prinsip-prinsip etika politik Islam?
5. Bagaimana aspek-aspek etika politik Islam?
6. Bagaimana etika politik Islam menurut Ibnu Khaldun?
7. Bagaimana etika politik Islam menurut Ibnu Taimiyah?
8. Bagaimana etika politik Islam menurut Al-Mawardi?
9. Bagaimana etika politik Islam menurut Nur Kholis Majid?
10. Bagaimana etika lembaga legislatif dalam politik Islam?
11. Bagaimana etika lembaga eksekutif dalam politik Islam?
12. Bagaimana etika lembaga yudikatif dalam politik Islam?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Pendidikan
Pancasila, selain itu juga ada beberapa tujuan diantaranya :

1. Untuk mengetahui sejarah etika politik dan relasinya dengan Islam


2. Untuk mengetahui nilai-nilai universitas politik Islam
3. Untuk mengetahui unsur-unsur etika politik Islam
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip etika politik Islam
5. Untuk mengetahui aspek-aspek etika politik Islam
6. Untuk mengetahui etika politik Islam menurut Ibnu Khaldun
7. Untuk mengetahui etika politik Islam menurut Ibnu Taimiyah
8. Untuk mengetahui etika politik Islam menurut Al-Mawardi
9. Untuk mengetahui politik Islam menurut Nur Kholis Majid
10. Untuk mengetahui lembaga legislatif dalam politik Islam
11. Untuk mengetahui etika lembaga eksekutif dalam politik Islam
12. Untuk mengetahui etika lembaga yudikatif dalam politik Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Etika Politik dan Relasinya Dengan Islam


1. Sejarah Etika Politik
Pada masa sekarang, terjadi perubahan dalam sejarah perkembangan etika politik yang
kembali menyoroti nilai-nilai moral. Banyak ilmuwan, politisi, dan pengamat politik yang
berusaha untuk menemukan jawaban atas kompleksitas dalam menentukan standar tindakan
yang etis dan bermoral. Oleh karena itu, etika telah menjadi suatu keyakinan dalam
masyarakat dan menjadi kecenderungan pribadi.
Kedua bidang ilmu tersebut memiliki keterbatasan sehingga terkadang nilai-nilai
tradisi dan agama saling bertumpuk. Nilai-nilai tradisi dapat menjadi nilai moral yang juga
terdapat dalam agama, dan sebaliknya, agama menjadi bagian dari tradisi dengan sumber nilai
yang masih berlaku.1
Menurut pandangan Plato, suatu negara yang baik adalah negara yang menerapkan
keadilan yang teratur dan seimbang dengan kepemimpinan yang berorientasi pada ide
metafisika kebaikan. Dia percaya bahwa pendekatan etika politik seperti itu sangat sesuai
dengan kebutuhan seluruh masyarakat dan sangat mendukung kebaikan masyarakat.
Sementara itu, Aristoteles mengambil pendekatan etis berdasarkan konsep kebahagiaan.2
Aristoteles berpendapat bahwa keberadaan negara memungkinkan manusia untuk
mencapai kebahagiaan, sehingga perilaku manusia harus mencerminkan nilai-nilai etis yang
baik. Dia percaya bahwa negara yang paling baik adalah negara yang fungsi organisasinya
sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Selain itu, negara harus dipimpin oleh orang yang
berpengalaman dan memiliki keutamaan-keutamaan yang diperlukan. Sebuah negara
dianggap baik jika dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya.3
Pada fase awal filsafat politik Yunani, legitimasi kekuasaan belum dikenal. Etika
politik saat itu belum mencerminkan nilai transendental dan belum memahami makna

1
Virginia Held, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, terj. Drs. Y. Ardy Handoko, cetakan kedua, (Jakarta:
Erlangga, 1991), h. 9.
2
Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 36.
3
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, h.190.
kesejahteraan. Namun, kemudian muncul pemikiran yang menuntut legitimasi etis. Pada fase
ini, legitimasi etis menjadi pusat perhatian dalam etika politik. Augustinus mengusulkan
bahwa legitimasi etis terletak pada negara, yang dibagi menjadi dua yaitu negara Allah dan
negara duniawi. Negara Allah akan mencapai kesempurnaan pada akhir zaman, sedangkan
negara duniawi akan hancur pada akhir zaman. Namun, Augustinus belum secara teoritis
menjelaskan kerangka etika politik secara rinci.
Thomas Aquinas adalah tokoh filosof yang muncul setelah Augustinus. Ia berfokus
pada bidang kenegaraan dan politik dengan menelaah hubungan negara dengan hukum kodrat.
Menurut Aquinas, hukum kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum
kebijaksanaan Ilahi. Pendekatan etis ini mencakup moralitas manusia sebagai ketaatan kepada
hukum kodrat. Thomas Aquinas berpendapat bahwa eksistensi negara berasal dari kodrat
manusia. Baginya, negara merupakan realitas positif dan rasional.4
Pada abad ke-17, etika politik mulai menjadi kajian yang lebih sistematis. Tokoh-
tokoh filsafat seperti Jonh Locke, Montesquie, Rousseau, dan Khan mengembangkan konsep-
konsep penting dalam etika politik. Locke mengusulkan ide tentang "pemisahan kekuasaan
gereja dan negara", "kebebasan berpikir dan bernegara", "pembagian kekuasaan", serta
konsep "hak asasi manusia". Sementara itu, Montesquie mengajukan gagasan tentang
"pembagian kekuasaan", Rousseau memperkenalkan pemikiran tentang "kedaulatan rakyat",
dan Khan dengan gagasan tentang "negara hukum demokrasi/republik.”5
Para filosof dan ahli politik Islam merespons keadaan politik dan semangat teologi
yang mendorong mereka untuk membuat aturan dalam pemilihan seorang pemimpin
pemerintahan untuk menciptakan negara ideal. Mereka menyadari bahwa Islam memberikan
perhatian yang besar dalam menciptakan dan mengembangkan negara ideal dan ajaran etika
politik.
2. Etika Politik dan Relasinya dengan Islam
Etika Politik Islam adalah adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di
mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana
tercantum dalam Al-Quran. Adapun dmengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk

4
Op.Cit,. Frans Magnis Suseno: 13 Model Pendekatan Etika., h. 36
5
Frans Magnis Suseno, artikel di tulis dari kuliah umum “Sekitar Etika Politik”, (Yogyakarta: UGM, 2007).
kepada pola kehidupan Nabi Muhammad Saw baik kehidupan secara umum maupun secara
khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan.6
Dalam mendeskripsikan Etika Politik dalam konsep Islam, dapat ditempuh beberapa
pendekatan, yaitu pertama, pendekatan nilai; yakni nilainilai yang terkandung dalam Islam
yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat atau bernegara; kedua, pendekatan sejarah,
khususnya pada zaman nabi Muhammad SAW dan para Sahabat; dan ketiga, pendekatan
pemikiran ulama berkaitan dengan Etika Politik. Uraian secara akumulatif dari hasil ketiga
pendekatan ini akan berujung pada perumusan Etika Politik dalam konsep Islam.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat atau bernegara, yang berasal dari sumber ajaran pokok agama Islam
yakni Al-Quran , Hadits atau Sunnah Rasul dan Ijtihad.
Al-Quran adalah petunjuk bagi umat manusia, maka tidak berlebihan apabila Al-
Quran dijadikan sebagai konsep etika politik, dimana etika ingin menjawab “bagaimana hidup
yang baik”.7 Dengan demikian Al-Quran menerangkan tentang etika dan moral sebagaimana
terdapat dalam Q.S. Ali-Imran ayat 159 :

‫َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ٱِهَّلل ِلنَت َلُهْم ۖ َو َلْو ُك نَت َفًّظا َغ ِليَظ ٱْلَقْلِب ٱَلنَفُّض و۟ا ِم ْن َح ْو ِلَك ۖ َفٱْعُف َع ْنُهْم َو ٱْسَتْغ ِفْر َلُهْم َو َش اِو ْر ُهْم ِفى‬
‫ٱَأْلْم ِرۖ َفِإَذ ا َع َز ْم َت َفَتَو َّك ْل َع َلى ٱِهَّللۚ ِإَّن ٱَهَّلل ُيِح ُّب ٱْلُم َتَو ِّك ِليَن‬

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun
bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kandungan ayat tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral kepemimpinan
yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat, antara lain memiliki sifat
lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta
memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. sifat-sifat ini merupakan faktor
6
Hariyanto, Muhsin, 2014. Etika Politik di Indonesia. http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/etikapolitik-di-indonesia/
7
Frans Magnis Susena, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Cet. XIII; Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.
187.
subyektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat merangsang dan mendorong orang lain
untuk berpartisipasi dalam musyawarah. Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki
sifat-sifat tersebut di atas, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan.8

Dalam sejarah, kaum Majusi telah menguasai dunia selama empat ribu tahun.
Kelanggengan kekuasaan hanya dapat terjadi dengan perilaku adil terhadap rakyat dan
memelihara urusannya secara bersama-sama. Mereka tidak membiarkan kezaliman dalam
urusan agama dan keyakinan mereka. Mereka mengelolah negaranya dengan adil. Mereka
juga senantiasa berbuat adil terhadap manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kemakmuran dan kehancuran dunia bergantung kepada penguasanya. Jika penguasa adil,
maka dunia akan makmur dan rakyat akan merasa aman, sebaliknya penguasa tidak adil,
maka dunia akan runtuh.

Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas, Faisal Baasir mendasarkan etika politik
bangsa dan negara pada nilai-nilai luhur ajaran agama adalah suatu keharusan. Sebab agama
merupakan sistem nilai yang diyakini kebenarannya, ia adalah lentera dan panduan kehidupan
serta modal ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu.9

Al-Quran sebagai sumber gagasan etika politik berusaha menanamkan perilaku yang
baik kepada para pemimpin untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berwibawa. Oleh
karenanya perilaku rakyat sangat tergantung dari kebijakan para pemimpin, rakyat bermoral
adalah cerminan dari seorang pemimpin. Pemimpin yang bertanggungjawab adalah pemimpin
yang beretika dan bermoral yang bersumber dari nilai-nilai luhur agama. Dengan demikian
segala tindakan yang baik, adil, beramanah dari pemimpin akan mendapatkan syafaat, selama
pemimpin tidak keluar dari koridor yang telah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran
sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia.

B. Nilai-nilai Universitas Politik Islam


Islam memiliki banyak nilai-nilai universal politik yang dapat diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa nilai-nilai tersebut antara lain:
1. Keadilan
8
Abdul Muin Salim, Konsep Kekuasaan Politik Dalam Alquran (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002), h.
260
9
Faisal Baasir, Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim (Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h.
xxxvii.
Keadilan merupakan nilai utama dalam Islam dan menjadi fondasi dari sistem
politik Islam. Keadilan dalam Islam mencakup kesetaraan dalam hukum dan perlakuan,
serta pemenuhan hak-hak individu dan kelompok. Konsep keadilan dalam Islam dapat
ditemukan dalam Al-Quran dan Hadist.10

Agama Islam telah mengajarkan kepada ummat manusia untuk menegakkan


keadilan terhadap sesama manusia. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 8 :

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا ُك وُنو۟ا َقَّٰو ِم يَن ِهَّلِل ُش َهَدٓاَء ِبٱْلِقْس ِط ۖ َو اَل َيْج ِرَم َّنُك ْم َش َنَٔـاُن َقْو ٍم َع َلٰٓى َأاَّل َتْع ِد ُلو۟ا ۚ ٱْع ِد ُلو۟ا ُهَو َأْقَر ُب‬

‫ِللَّتْقَو ٰى ۖ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّللۚ ِإَّن ٱَهَّلل َخ ِبيٌۢر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang


yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”

Perintah untuk menegakkan keadilan dalam Al-Quran yang berisikan tentang


keadilan, bahwa untuk menegakkan keadilan tidak hanya berlaku untuk pemimpin yang
mempunyai perjaanjian atau kontrak dengan Tuhannya, tetapi menegakkan keadilan juga
berlaku bagi setiap Muslim apapun itu status sosialnya. Dalam kamus bahas Indonesia
pun kata adil diartikan, tidak berat sebelah atau memihak, berpihak kepada kebenaran dan
sepatutnya, tidak sewenang-wenang.11

2. Kesetaraan
Islam mengajarkan kesetaraan antara semua manusia, tanpa memandang latar
belakang sosial, ras, atau agama. Dalam konteks politik, kesetaraan diwujudkan dalam
bentuk pemberian hak yang sama bagi seluruh warga negara. Contoh praktik kesetaraan
dalam Islam dapat ditemukan dalam masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin. Mereka
memberikan hak yang sama bagi seluruh warga negara, tanpa membedakan agama atau
keturunan.
10
Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Arabia
11
http:///Kbbi.Web.Id/Adil Diakses Pada 12 Maret, Pukul 00:10 Wib
3. Musyawarah

Musyawarah atau konsultasi merupakan prinsip penting dalam sistem politik


Islam. Musyawarah dalam Islam melibatkan partisipasi aktif dari seluruh warga negara
untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Konsep musyawarah dalam
Islam dapat ditemukan dalam Al-Quran dan Hadist. Prinsip musyawaah dalam Al-Quran
secara jelas megatakan pada surah As-Syuraa ayat 3812 :

‫َو ٱَّلِذ يَن ٱْسَتَج اُبو۟ا ِلَر ِّبِه ْم َو َأَقاُم و۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َأْم ُر ُهْم ُش وَر ٰى َبْيَنُهْم َوِمَّم ا َر َز ْقَٰن ُهْم ُينِفُقوَن‬

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya


dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka.”

Oleh karena itu, musyawarah telah diajakan Islam kepada manusia. Jadi, sangatlah
penting bagi kita memutuskan suatu perkara dalam upaya membangun kehidupan sosial
yang demokratis.

4. Akuntabilitas

Akuntabilitas atau pertanggungjawaban merupakan nilai penting dalam sistem


politik Islam. Pemimpin dan pejabat publik harus bertanggungjawab atas tindakan dan
keputusan yang mereka ambil. Konsep akuntabilitas dalam Islam dapat ditemukan dalam
Al-Quran dan Hadis. Contohnya, dalam Surah Al-Nisa ayat 58:

‫ِإَّن ٱَهَّلل َيْأُم ُر ُك ْم َأن ُتَؤ ُّد و۟ا ٱَأْلَٰم َٰن ِت ِإَلٰٓى َأْهِلَها َو ِإَذ ا َح َك ْم ُتم َبْيَن ٱلَّناِس َأن َتْح ُك ُم و۟ا ِبٱْلَع ْد ِل ۚ ِإَّن ٱَهَّلل ِنِعَّم ا َيِع ُظُك م ِبِهٓۦۗ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن‬
‫َسِم يًۢع ا َبِص يًرا‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

12
Q.S Al-Nisa: 58
Makna amanah adalah “titipan” atau “pesan”. Dalam demokrasi Islam, amanah
dipahami sebagai “sesuatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu bentuk
pemeliharaan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar yang telah ditetapkan dalam Al-Quran yang kelak harus dipertanggungjawabkan
kepada Allah.39 Seseorang yang bertanggungjawab diharapkan takut kepada Allah
terhadap apa yang ditugaskan kepadanya dari urusan umat agar ia ingat betapa besarnya
amanah yang diemban untuk mengerjakannya.13
C. Unsur-unsur Etika Politik Islam

Etika politik Islam mencakup nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang terkait dengan
tindakan politik dalam konteks Islam. Beberapa unsur etika politik Islam yang penting antara
lain:

1. Keadilan: Keadilan adalah prinsip penting dalam Islam dan merupakan unsur utama etika
politik Islam. Dalam konteks politik, keadilan harus ditegakkan dalam semua tindakan
politik, mulai dari pembuatan kebijakan hingga pelaksanaannya. Tindakan politik harus
didasarkan pada keadilan dan pengakuan hak-hak individu dan kelompok.14
2. Keterbukaan: Keterbukaan adalah unsur penting dalam etika politik Islam. Dalam konteks
politik, keterbukaan memungkinkan partisipasi publik yang lebih besar dan pengawasan
yang lebih ketat terhadap pemerintah. Keterbukaan juga memastikan transparansi dalam
pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya.15
3. Solidaritas: Solidaritas adalah unsur penting dalam etika politik Islam. Solidaritas antar
sesama Muslim dan antar warga negara harus dijaga dan ditingkatkan. Solidaritas
memungkinkan masyarakat saling membantu dalam menghadapi kesulitan dan
memperkuat ikatan sosial.16
4. Kepemimpinan yang baik: Kepemimpinan yang baik adalah unsur penting dalam etika
politik Islam. Kepemimpinan harus didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan harus
memperhatikan kepentingan umum. Kepemimpinan yang baik harus memastikan bahwa
pemerintah dan pejabat publik bertanggung jawab kepada rakyat.

13
Faisal Baasir, Etika Politik Dalam Seorang Politisi Muslim, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 145.
14
Shihab, M. Q. (2002). Wawasan al-Qur'an tentang keadilan sosial. Mizan.
15
Al-Attas, S. M. N. (1991). Islam and secularism. ISTAC
16
Hasan, N. (2002). Etika politik Islam. Gema Insani
5. Kepatuhan terhadap hukum: Kepatuhan terhadap hukum adalah unsur penting dalam etika
politik Islam. Hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten dan semua orang,
termasuk pejabat publik, harus tunduk pada hukum yang sama.
6. Konsensus: Konsensus adalah unsur penting dalam etika politik Islam. Konsensus
memungkinkan pemecahan masalah dan pembuatan kebijakan yang efektif. Dalam
konteks politik, konsensus dapat dicapai melalui dialog dan diskusi terbuka antara para
pemimpin politik dan warga negara.
7. Keterampilan berkomunikasi: Keterampilan berkomunikasi adalah unsur penting dalam
etika politik Islam. Keterampilan ini memungkinkan para pemimpin politik untuk
berkomunikasi dengan efektif dan memperoleh dukungan dari warga negara. Para
pemimpin politik harus mampu menyampaikan visi dan misi mereka secara jelas dan
meyakinkan.

Keseluruhan unsur etika politik Islam ini menunjukkan pentingnya kebijakan politik
yang berbasis pada moralitas dan nilai-nilai keagamaan Islam yang bermanfaat bagi
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
pemerintahan yang adil, transparan, dan bertanggung jawab di dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.

Merujuk pada kajian Kitab Shahih Muslim etika berpolitik dalam Islam mengikat dua
unsur, bagi pimpingan atau pejabat dan bagi yang dipimpin.

Bagi pemimpin atau pejabat terdapat larangan meminta jabatan, karena kalau meminta
akan menjadi beban yang sangat berat. Akan tetapi kalau diberi amanah untuk menjabat tanpa
disertai ambisi dalam jabatan itu (ambisius), sungguh akan dibantu oleh orang banyak (hadis
nomor 1652). Selain itu, orang yang lemah tidak perlu diberi jabatan walaupun ia meminta
jabatan tersebut. Karena jabatan itu amanah yang berat sebagaimana kisah Abu Dzar. Kisah
Abu Dzar menunjukkan bahwa jabatan itu harus diberikan kepada orang-orang yang kuat dan
memiliki kemampuan atau keahlian dalam suatu bidang tertentu sesuai dengan karakteristik
tugas dan tanggungjawab dalam jabatan itu (Hadis nomor 1825). Pada kedua hadis ini
terkandung makna, jabatan adalah sesuatu yang diberikan atas kepercayaan atas kemampuan
dan keahlian seseorang. Penilaian atas kemampuan tersebut tidak terletak pada diri orang itu
sendiri, namun pada penilaian orang lain atau orang yang memberikan amanah. Oleh
karenanya tidak diperbolehkan meminta sebuah jabatan.17

Seorang pemimpin haruslah mempermudah urusan orang yang dipimpinnya. “Pejabat


yang mempersulit rakyatnya akan dipersulit, sebaliknya pejabat yang mempermudah urusan
rakyatnya akan ditolong Allah” (hadis nomor 1828).18

Selanjutnya, pemimpin harus berlaku adil, tidak bertindak jekam, sewenang-wenang,


dzalim atau aniyaya. “Imbalan bagi Pemimpin yang berlaku adil dalam menegakkan hukum,
baik kepada keluarga maupun kepada orang lain, akan ditempatkan di tempat yang
tinggi dengan cahaya yang terang dan berada di samping kanan Allah” (hadis nomor 1827).
“Sejelek-jelek pemimpin atau pejabat adalah yang kejam, bertindak sewenang-wenang
kepada yang dipimpin, melakukan tindakan dzalim atau aniaya” (hadis nomor 1830).19

Pejabat atau pemimpin tidak boleh melakukan tindak penyelewengan atau korup
(ghulul), karena nanti diakhirat ibarat onta atau kuda yang membawa beban berat dan
merengek-rengek meminta pertolongan kepada Rasulullah SAW untuk meringankan beban
berat itu, tetapi Rasulullah SAW tidak dapat menolong, karena waktu di dunia telah diberi
peringatan tapi tidak dihiraukan (hadis nomor 1831). Pejabat atau pemimpin dilarang
menerima hadiah. Hal ini dikisahkan sewaktu Rasulullah mengutus Ibnu Lutbiyyah dari Bani
Azad untuk menarik zakat ke Bani Sulaim, setelah pulang melapor ke Rasulullah dengan
menyerahkan sebagian zakat, karena sebagian diambil oleh Ibnu Lutbiyyah sebagai hadiah.
Mendengar laporan itu, Rasulullah bersabda: “jika kamu benar, apakah kalau kamu hanya
duduk di rumah ayah dan ibumu, kamu akan memperoleh hadiah? Orang yang mengambil
sesuatu yang bukan haknya, di akhirat kelak akan memikul beban seberat hadiah yang
diperoleh” (hadis nomor 1832).

Bagi rakyat/umat atau yang dipimpin wajib taat kepada pemimpin. Karena ketaatan ini
berarti menunjukkan ketaatannya kepada Allah, sebaliknya bagi rakyat yang tidak taat
(durhaka) kepada pemimpinnya, berarti durhaka kepada Allah (hadis nomor 1835). Ketaatan
kepada pemimpin dengan tidak melihat status sosial, ekonomi dan pendidikan, selagi sudah

17
Sayyid Sabiq. (2013). Fiqh Sunnah. Jakarta: PT. Bumi Aksara h. 295
18
Maloko,Thahir. 2013. “Etika Politik Dalam Islam”. Makkasar: UIN Alauddin Makassar
19
Sayyid Sabiq. (2013). Fiqh Sunnah. Jakarta: PT. Bumi Aksara. (Halaman 294-295)
ada kesepakatan untuk mengangkat pemimpin, maka wajib taat walaupun pemimpin seorang
budak yang berkulit hitam sekalipun selama dalam memimpin tetap berpegang teguh pada al-
Qur’an (hadis nomor 1838). Menolak perintah pemimpin yang mengarah pada
perbuatan maksiyat, melanggar hukum, termasuk korupsi (hadis nomor 1839 dan
1840). Tidak boleh melakukan tindakan makar/kudeta, selama pemimpinnya itu masih
mengerjakan shalat.

Ketaatan terhadap pemimpin tidak berarti menutup mata atas kekeliruan


pemimpin. Bagi rakyat/umat atau yang dipimpin wajib memberi peringatan dan meluruskan
tindakan dan kebijakan pemimpin yang salah. Peringatan dan upaya meluruskan pemimpin
tidak dalam konteks memecah belah kesatuan rakyat.

Oleh karena itu, secara etis antara yang memimpin dan yang dipimpin tidak boleh
saling menjelekkan-jelekkan, mengumbar aib kepada orang lain. Kedua belah pihak
harus saling menghormati dan menghargai. Pemimpin itu ada karena ada yang dipimpin,
begitupun eksistensi yang dipimpin ada karena ada yang memimpin. Kalau menemukan data
akurat perbuatan pemimpin yang tidak sesuai dengan aturan-aturan, hukum dan norma, maka
tugas yang dipimpin boleh meluruskan. Munculnya oposisi dalam sistem politik
untuk memberikan keseimbangan (check and balances), agar kebijakan dan perilaku
pemimpin tidak keluar dari koridor hukum. Kalau keluar, tugas oposisi adalah berteriak,
memberikan nasehat dan meluruskan, namun tidak boleh melakukan perbuatan makar atau
memberontak.20

D. Prinsip-Prinsip Etika Politik Islam


Menurut Islam, mekanisme operasional pemerintahan dan ketatanegaran mengacu
pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167)
mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai
tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan
kedudukannya sebagai hamba Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah
Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi
rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.
20
UNIDA. (2021, September 29). Etika Politik Islam. Retrieved from https://unida.ac.id/artikel/etika-politik-islam
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut
Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam, menekankan tiga ciri penting
sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum
Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat Muslim (khilafah).21
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar
yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip
tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fiqh.22
Para pakar fiqh siyasah berbeda pandangan tentang berapa jumlah prinsip dasar hukum
politik Islam. Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah: Al-Islam wa
Audha’una al-Qanuniyah (1994: 211-223) mensistematiskan Prinsip-prinsip politik dalam
Islam sebagai berikut: 1) Persamaan yang komplit; 2) Keadilan yang merata; 3) Kemerdekaan
dalam pengertian yang sangat luas; 4) Persaudaraan; 5) Persatuan; 6) Gotong royong (saling
membantu); 7) Membasmi pelanggaran hukum; 8) Menyebarkan sifat-sifat utama; 9)
Menerima dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan; 10) Meratakan
kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya; 11) Berbuat kebajikan dan saling
menyantuni; dan 12) Memegang teguh prinsip musyawarah). Menurut Muhammad Salim
‘Awwa dalam bukunya Fi an Nidham al Siyasi li Ad Daulah al Islamiyah ada lima hal Prinsip
Dasar Konstitusi Islam23 :
1) Syura (QS. 42 : 38, QS. 3 : 159)
2) Keadilan (QS. 4:135, QS. 5:8, QS. 16:90, QS. 6:160) 3
3) Kebebasan (an nahl 125, Yunus: 99, An Naml: 64)
4) Persamaan (QS. 9 :13)
5) Pertanggungjawaban Pemimpin dan Ketaatan Umat (QS. 4 : 58, 14-13, QS. 4 : 59)

Dalam buku M. Tahir Azhary,Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasi Pada Periode Madinah dan Masa Kini, menyebutkan
bahwa dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah terkandung sembilan prinsip negara hukum,
yakni:

21
Al Mawardy, Al Ahkam Al Sulthaniyah (Qisthi Press)., Ibnu Taimiyah, Al Siyasah Al Syar’iyyah (Risalah Gusti
2005)., dan Abdul Wahab Khallaf, Al Siyasah Al Syar’iyyah (Rineka Cipta 1993).
22
Ishak, ‘Ciri-Ciri Pendekatan Sosiologi Dan Sejarah Dalam Mengkaji Hukum Islam’ (2013) 9 Al-Mizan
23
Muhammad Salim ‘Awwa 226, Fi an Nidham Al Siyasi Li Ad Daulah Al Islamiyah (Dar as Syuruq 2008), hlm. 181,
207, 212, 226 dan 230
(1) Prinsip kekuasaan sebagai amanah (QS. 4 : 58, 14-13);
(2) Prinsip musyawarah (QS. 42 : 38, QS. 3 : 159);
(3) Prinsip keadilan (QS. 4:135, QS. 5:8, QS. 16:90, QS. 6:160);
(4) Prinsip persamaan (QS. 9 :13);
(5) Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (QS. 17 : 70,
QS. 17 : 33, QS. 5 : 32, QS. 88 : 21, QS. 88 : 22, QS. 50 : 45, QS. 4 : 32);
(6) Prinsip pengadilan bebas (dialog Mu’adz dengan Rasulullah SAW ketika akan
diangkat menjadi hakim di Yaman);
(7) Prinsip perdamaian (QS. 2 : 194, QS. 2 : 190, QS. 8 : 61 –62);
(8) Prinsip kesejahteraan (QS. 34 : 15); (9) Prinsip ketaatan rakyat (QS. 4 : 59)

H. A. Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah membagi nilai-nilai dasar fiqh siyasah
syar’iyyah kepada 13 nilai dari Alquran dan 5 nilai dari Hadis. Sementara Suyuthi Pulungan
membagi prinsip-prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara kepada 16 prinsip
dari Alquran dan 11 prinsip dari Hadis.24 Kesemua nilai dan prinsip yang mereka utarakan
pada dasarnya sama dengan prinsip-prinsip yang telah sebutkan oleh pakar sebelumnya
dengan sedikit penambahan sesuai dengan dalil yang dikemukakan.

Meskipun para pakar politik dan hukum Islam yang menguraikan prinsip-prinsip
negara dalam syari’at Islam sangat bervariasi. Namun dalam kajian penulis terhadap
prinsipprinsip siyasah dan penyelenggaraan negara dalam Alquran dapat diformulasikan
bahwa prinsip-prinsip dasar hukum politik Islam adalah : Prinsip kedaulatan; Prinsip
keadilan; Prinsip musyawarah dan Ijma’; Prinsip persamaan; Prinsip hak dan kewajiban
negara dan rakyat; Prinsip amar ma’ruf nahi munka.

Pertama, Prinsip kedaulatan, yakni kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.


Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Kedaulatan tersebut dipraktekkan dan
diamanahkan kepada manusia selaku khalifah di muka bumi.

Prinsip kedaulatan atau al Hukmiyah dapat ditemukan dalam Q.S Yusuf ayat 40:

“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama
yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu

24
HA Djazuli, Fiqh Siyasah (Kencana 2013). dan J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran.
keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dalam kajian teori konstitusi maupun tata negara, kata kedaulatan merupakan satu
kata kunci yang selalu muncul dan menjadi perdebatan sepanjang sejarah. Kedaulatan dalam
pandangan klasik tidak dapat dipisahkan dari konsep negara. Tanpa kedaulatan apa yang
dinamakan negara itu tidak ada, karena tidak berjiwa.25

Jimly Asshiddiqie menjelaskan tiga hal; Pertama, kedaulatan itu bersifat (1) mutlak,
(2) abadi, (3) utuh, tunggal, dan tak terbagi-bagi atau terpecahpecah, dan (4) bersifat tertinggi,
dalam artian tidak terderivasikan dari kekuasaan yang lebih tinggi. Kedua,kekuasaan
berdaulat dalam Negara itu berkaitan dengan fungsi legislatif, artinya Negara berdaulat
membuat hukum atau undang-undang dan atau menghapuskan hukum. Ketiga, hukum itu
sendiri merupakan perintah dari yang berdaulat tersebut yang pada masa itu dikenal dengan
Raja.26

Kedua, Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan ditemukan dalam Al Quran Surat An


Nisa:58 dan 135:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
Sebagaimana prinsip ini juga didapati dalam surat As Syura:15. Prinsip keadilan
adalah kunci utama penyelenggaraan negara. Keadilan dalam hukum menghendaki setiap
warga negara sama kedudukannya didepan hukum. Ketika Rasulullah memulai membangun
negara Madinah, ia memulainya dengan membangun komitmen bersama dengan semua
elemen masyarakat yang hidup di Madinah dari berbagai suku dan agama. Prinsip keadilan
dan persamaan dapat ditemukan dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, dan 40 dari Piagam
Madinah.27

25
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstituaslisme Indonesia (Sinar Grafika 2005), hlm. 101.
26
Ibid.
27
Ahmad Sukardja (n 1), hlm. 78.
Ketiga, Prinsip musyawarah dan Ijma’. Prinsip musyawarah ditemukan dalam Al
Quran Surat Al Imran: 159:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.18 kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Prinsip musyawarah juga didapati dalam surat As Syura: 38. Syura dan Ijma’adalah proses
pengambilan keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan yang dilakukan melalui
konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan
harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan
amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas yang ditegakkan dengan caracara otoriter
dan tiran adalah tidak sesuai dengan prinsip Islam.

Jika merujuk pada ayat Alquran diatas tidak ada isyarat khusus kepada siapa musyawarah
dilakukan, dan juga bagaimana pola dan teknisnya. Oleh karenanya Rusjdy Ali Muhammad
berpandangan bahwa syura dapat dilakukan dengan seluruh rakyat baik yang pro maupun
kontra dengan rezim penguasa. Syura tidak terbatas pada satu kelompok masyarakat tertentu
sebagaimana pandangan Rasyid Ridha28 dan Ja’far al Shadiq dalam tafsir mereka. Sebab
ketika hati pemimpin keras, tidak mau menerima saran dan bermusyawarah, maka dipastikan
rakyat akan lari dari penguasa tersebut. Lari itu dapat berbentuk sikap tidak lagi memilih
pemimpin atau partai tersebut dalam pemilu yang akan datang atau bentuk lainnya. 29

Keempat, Prinsip persamaan. Prinsip persamaan ditemukan dalam Al Quran Surat Al Hujarat
ayat 10:

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah


(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
28
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Juz IV (1960), hlm. 126
29
Prof. Dr. Rusjdy Ali Muhammad, Managemen Konflik dalam Kearifan Khazanah Ajaran Islam,Suatu Pengantar
dalam bukuMutiara Fahmi Razali, Pergolakan Aceh Dalam Perspektif Syariat (Yayasan Pena 2014), hlm. x-xi.
Ayat diatas jelas membuktikan pengakuan Islam terhadap adanya pluralitas dalam
sosial budaya masyarakat. Namun Islam tidak mentolerir paham pluralisme jika yang
dimaksud adalah kebenaran relatifitas seluruh ajaran agama atau semua agama adalah sama.
Karena Allah menutup ayat tersebut dengan kalimat Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa. Artinya parameter kebaikan dan
kebenaran intinya adalah Agama bukan akal apalagi perasaan.

Kelima, hak dan kewajiban negara dan rakyat. Prinsip hak dan kewajiban negara dan
rakyat ditemukan dalam Al Quran Surat An Nisa: 59 :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Semua warga negara dijamin hak-hak dasar tertentu. Menurut Subhi Mahmassani
dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi
adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk
mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil
tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan
kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktivitas ekonomi.

Prinsip hak-hak dasar manusia sangat banyak dijumpai dalam Al Quran, seperti hak
untuk hidup, hak untuk memiliki, hak kebebasan beragama, hak memelihara kehormatan
manusia, hak kontrol sosial, hak mendapatkan kehidupan yang layak, dan lain-lain.
Diantaranya dalam surat Al Isra:33, Al Baqarah: 256, Al Baqarah: 188, Al An Nur: 27, dll.

Sementara Prinsip kewarganegaraan ditemukan dalam Al Quran Surat Al Anfal: 72


dimana asas kewarganegaraan dalam Islam dilandasi atas keimanan dan bukan atas dasar yang
sempit seperti suku, ras, atau bangsa.

Keenam, Prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini ditemukan dalam Alquran
surat Al Imran 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf21 dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orangorang yang beruntung.”
Amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah mekanisme check and balancing dalam
sistem politik Islam. Sistem ini terlembaga dalam Ahlul Hilli wal ‘aqdi (parlemen), wilayat al
Hisbah serta wilayat al Qadha’. Seorang pemimpin dalam pandangan mayoritas Islam (sunni)
bukan seorang yang suci (ma’shum), oleh karenanya sangat mungkin untuk dikritisi dan
dinasehati.

Filosofi pemimpin negara juga mirip dengan filosofi seorang imam dalam salat yang
dapat ditegur oleh makmumnya dengan cara-cara yang telah diatur. Sikap paling ekstrim yang
bisa dilakukan oleh makmum ketika tidak lagi ridha dengan imam adalah memfaraq diri dari
jama’ah tanpa merusak kesatuan salat jamaah itu sendiri. 30 Tidak ada istilah penggantian
imam ditengah salat. Semua persoalan termasuk mengganti imam hanya bisa dilakukan
selesai salam dan membentuk jamaah baru dengan imam baru. Begitu juga kiasannya dalam
system pergantian kepemimpinan dalam Islam. Sikap oposisi, kritik membangun dan saran
kepada pemerintah dibenarkan selama tidak memprovokasi kesatuan umat dan bangsa.

E. Aspek-aspek Etika Politik Islam

Dalam etika politik Islam, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain 31:

1) Keadilan: Keadilan harus dijunjung tinggi dalam semua aspek kehidupan, termasuk
politik. Keadilan dalam politik Islam berarti menghormati hak asasi manusia, menjamin
perlindungan hukum yang adil, serta memberikan hak yang sama kepada semua warga
negara tanpa diskriminasi.32
2) Keterbukaan: Politik Islam mengajarkan keterbukaan dalam menghadapi masalah sosial
dan politik. Hal ini berarti bahwa semua pihak harus dapat terbuka untuk mendiskusikan
dan mencari solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi, tanpa terpengaruh oleh
kepentingan pribadi atau kelompok.

30
Ridwan, HR. 2007. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII Press
31
Black, A. 2006. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Trans. by Abdullah Ali dan Mariana
Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
32
Hariantanti, R. 2003. “Etika Politik dalam Negara Demokrasi” in Journal Demokrasi Vol. 2, No. 1. Padang:
Universitas Negeri Padang
3) Tanggung jawab: Tanggung jawab dalam politik Islam berarti menjalankan tugas politik
dengan sepenuh hati, kejujuran, dan integritas. Tanggung jawab ini juga mencakup
kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan lingkungan hidup.
4) Kepemimpinan: Kepemimpinan dalam politik Islam harus didasarkan pada prinsip
kejujuran, keadilan, dan kepercayaan. Seorang pemimpin harus mampu memimpin
dengan bijaksana, berpikir jangka panjang, dan memperhatikan kepentingan umum.33
5) Kesetiaan: Kesetiaan dalam politik Islam berarti setia pada prinsip-prinsip agama dan
negara. Seorang politikus Islam harus mematuhi hukum dan aturan negara serta
memperjuangkan hak-hak rakyat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Islam.
6) Pengendalian diri: Politik Islam menekankan pentingnya pengendalian diri dalam
menghadapi tekanan dan godaan politik. Seorang politikus Islam harus mampu
mengendalikan emosi dan bersikap tenang dalam mengambil keputusan.
7) Partisipasi: Partisipasi dalam politik Islam harus didasarkan pada kepentingan umum dan
tidak mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Seorang politikus Islam harus mampu
berpartisipasi secara aktif dalam proses politik, mulai dari pemilihan umum hingga
pembuatan kebijakan.34

Dalam praktiknya, aspek-aspek tersebut harus diterapkan secara konsisten dan


terus-menerus di dalam setiap tahapan politik, mulai dari pemilihan umum, pembuatan
kebijakan, hingga pelaksanaannya.

F. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Khaldun


1. Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun hidup antara abad ke 14 dan 15 M (1332-1406 M) bertepatan abad
ke 8 dan 9 H. Mesir pada waktu itu berada dibawah kekuasaan Bani Mamluk Kota
Baghdad yang jatuh ke tangan bangsa Tartar (654-923 H). Dampaknya sangat negatif bagi
perkembangan bahasa, sastra dan kebudayaan Arab. Disaat yang bersamaan, berbagai
kerajaan muslim di Andalusia mulai runtuh. Satu persatu kota-kota kerajaan Islam jatuh
ke tangan kaum Kristen.35
33
Prasetyo, Y. 2017. “Adab sebagai Politik Hukum Islam”, in Journal Tsaqafah, Vol. 13, No. 1. Ponorogo: Universitas
Darussalam Gontor
34
Sofyan, A. 2012. Etika Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia.
35
Ali, Muhammad Mumtaz. (2011). Ibnu Khaldun: His Life and Works. Islamic Book Trust. Halaman 15. ISBN: 978-
967-5062-32-8.
Pasca kejatuhan Baghdad, Ulama dan sastrawan Baghdad bersama para Ulama
Andalusia mengungsi ke Kairo, Mesir yang menjadi pusat peradaban. Kedatangan mereka
di kota Kairo di sambut baik oleh Bani Mamluk, sehingga mereka merasa tenang dan
tentram. Pada abad ke 8 H atau abad ke 14 M merupakan masa perubahan dan transisi di
seluruh dunia. Perubahan dan transisi ke arah perpecahan dan kemunduran di dunia Arab,
sekaligus perubahan dan transisi ke arah kebangkitan di dunia Barat. Dapat kita lihat,
berbagai revolusi dan kekacauan mulai meluas di Afrika Utara, sebagai dampak dari
perpecahan-perpecahan regional dn meluasnya fanatisme golongan. Kondisi itu
berdampak negatif bagi kebudayaan Arab pada waktu itu. Demikianlah gambaran sosial
politik di masa Ibnu Khaldun.36

Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M di


tengah-tengah keluarga ilmuwan dan terhormat yang berhasil menghimpun antara jabatan
ilmiah dan pemerintahan. Dari lingkungan inilah Ibnu Khaldun memperoleh dua orientasi
yang kuat: pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan: kedua, cinta jabatan dan
pangkat.115 Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad juga berkecimpung dalam
bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik dan menekuni ilmu
kesufian. Beliau ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Beliau meninggal dunia pada tahun
749 H/ 1348 M.

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan sosiolog Islam, dikenal sebagai ahli politik
dan ekonomi Islam yang telah menghafal Al-Qur'an sejak usia dini. Dia diakui karena
pemikirannya yang logis dan realistis tentang teori ekonomi, yang jauh sebelum Adam
Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori mereka.
Bahkan ketika masih remaja, tulisan-tulisannya sudah tersebar luas.37

2. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam, yang
menghasilkan karya monumental berjudul "Muqaddimah" yang membahas berbagai
aspek sejarah dan sosial-politik dalam masyarakat Islam. Dalam Muqaddimah, Ibnu

36
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm 1079-1080.
37
Ibid, hlm. 1086
Khaldun membahas etika politik Islam dan memberikan beberapa pandangan dan
pemikiran yang relevan hingga saat ini.

Menurut Ibnu Khaldun, etika politik Islam didasarkan pada konsep keadilan dan
amanah. Ia menekankan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat keadilan, yaitu
memperlakukan semua orang secara adil dan setara, tanpa memihak pada kelompok
tertentu. Keadilan adalah pondasi utama dari sistem politik Islam, dan tanpa keadilan,
tidak mungkin tercapai kesejahteraan dan ketentraman dalam masyarakat. 38

Selain itu, Ibnu Khaldun juga menekankan pentingnya sifat amanah dalam etika
politik Islam. Seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, yaitu bertanggung
jawab atas tugas dan jabatannya. Seorang pemimpin harus memenuhi kepercayaan yang
diberikan kepadanya, dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi
kepentingan umum.39

Ibnu Khaldun juga mengemukakan bahwa politik Islam harus memperhatikan


aspek-aspek kebudayaan, sosial, dan ekonomi.40 Seorang pemimpin harus memahami
kondisi sosial-politik dan ekonomi masyarakat, serta memperhatikan nilai-nilai dan
budaya yang dianut oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun menekankan
pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam proses politik, sehingga masyarakat dapat
berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan
umum.

Secara keseluruhan, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya keadilan, amanah, dan


perhatian pada aspek sosial-politik dan ekonomi dalam etika politik Islam. Pandangan
dan pemikirannya ini masih relevan hingga saat ini, dan dapat dijadikan pedoman dalam
membangun sistem politik yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam.41

G. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah


1. Biografi Ibnu Taimiyah
38
Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun: Relevansinya dengan Tata Kehidupan bernegara Era Modern,
(Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), hlm. 153.
39
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan
Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 13.
40
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm 51.
41
Ibnu Khaldun, Op. Cit, hlm. 337
Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin
Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi
Muhammad Abdillah Abi al-Qosim al-Khadhri, lebih dikenal dengan nama Ibnu
Taimiyah, dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 H./ 22 Januari 1263 M. di Harran,
daerah Palestina yang berdekatan dengan Damaskus. Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga
ulama Syria yang taat dengan ajaran puritan dan sangat terikat dengan mazhab Hambali.
Ayahnya, Abdul al-Halim, adalah seorang kepala sekolah terkemuka di Damaskus dan
kakeknya, Abdu as-Salam, merupakan seorang ulama pemuka agama yang terkenal di
Bagdad. Keluarga ini mewariskan tradisi ilmiahnya dari generasi ke generasi. 42
Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas dan nama lengkapnya adalah Ahmad
Taqiyuddin. Riwayat mengatakan bahwa laqab "Ibnu Taimiyah" muncul karena kakeknya,
Muhammad bin Khadir, pergi menunaikan haji dan melihat seorang anak perempuan kecil
keluar dari tempat persembunyiannya di daerah Taima‟. Kemudian, ketika kakeknya
kembali ke Harran, ia mendapatkan istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan
(yang kemudian menjadi ibu Ibnu Taimiyah). Saat melihat anak perempuan itu, kakeknya
teringat anak perempuan di daerah Taima‟ dan mengatakan "Ya Taimiyah, ya Taimiyah".
Oleh karena itu, Syikhul Islam digelari dengan Ibnu Taimiyah (anak Taimiyah). Ilmu
Tafsir adalah disiplin ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah. Minatnya terhadap
ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini dapat dipahami dari
pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus kitab tafsir Al-Qur‟an. 43
Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu tafsir inilah yang membuat ia
begitu independent dalam pemahamannya dalam berbagai persoalan keagamaan,
disamping penguasaan ilmu lainnya.
Ibnu Taimiyah dikenal bukan hanya oleh pengagumnya, tetapi bahkan oleh lawan-
lawannya yang menentang pemikirannya. Kamal al-Din Ibnu al-Zamlakani, yang
menganut mazhab Syafi'i, menulis beberapa jilid buku untuk menentang pandangan-
pandangan Ibnu Taimiyah. Meskipun begitu, ia tetap mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah.
Dalam salah satu tulisannya, ia mengomentari bahwa jika Ibnu Taimiyah membicarakan
suatu ilmu, ia selalu memberikan lebih dari yang dibutuhkan. Dalam menulis, Ibnu

42
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 47.
43
Abul Hasan Ali an-Nadawi, terj. Qadirunnur, Op. Cit, hlm. 45
Taimiyah sangat pandai dalam memilih kata-kata dan paparannya sangat tepat sasaran. Ia
juga ahli dalam menyusun kerangka dan kata-kata dengan indah.44
2. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) adalah seorang ulama Islam dan tokoh pemikir yang hidup
pada masa kejayaan Kesultanan Mamluk di Mesir. Menurut Ibnu Taimiyah, etika politik
Islam didasarkan pada prinsip-prinsip hukum syariah yang mengatur tata cara berpolitik,
pemerintahan, dan kehidupan sosial.45

Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintah dalam sistem politik Islam haruslah bertanggung
jawab dalam menjalankan tugasnya dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Pemerintah
harus adil dan tidak boleh membeda-bedakan rakyat berdasarkan agama, ras, atau status
sosial. Selain itu, pemerintah harus menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta
memperjuangkan hak-hak rakyat.46

Dalam etika politik Islam menurut Ibnu Taimiyah, pemimpin harus memiliki sifat-sifat
yang baik, seperti jujur, adil, berani, bijaksana, dan memiliki integritas yang tinggi.
Pemimpin juga harus selalu memperhatikan nasihat dari ulama dan memperhatikan
kepentingan rakyat di atas kepentingan dirinya sendiri.

Dalam hal politik luar negeri, Ibnu Taimiyah memandang bahwa Islam mengajarkan
perdamaian, tetapi jika terjadi agresi dari pihak lain, umat Islam berhak membela diri
dengan menggunakan kekuatan militer yang dimilikinya.47

H. Etika Politik Islam Menurut Al-Mawardi


1. Biografi Al-Mawardi
Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi atau yang lebih dikenal
dengan nama Al Mawardi adalah seorang tokoh terkenal yang lahir di Basrah, Irak pada
tahun 364H dan meninggal pada tahun 450H atau sekitar tahun 974-1058M. Keluarga Al
Mawardi memiliki minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Nama Mawardi sendiri
berasal dari kata "ma'" yang berarti air dan "ward" yang berarti mawar, karena ayahnya

44
Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hlm.21-22.
45
Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, Mu'assasah al-Risalah, 1997.
46
Abdul Aziz Said, Political Thought in Islam: A Study in Intellectual Boundaries, Routledge, 2015.
47
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 278
adalah seorang penjual air mawar. Al Mawardi sangat cerdas dalam memberikan
argumen, berdebat, berorasi, dan analisis, sehingga ia dijuluki dengan nama Al Mawardi.
48

Pada tanggal 30 Rabi'ul Awal tahun 450 hijriyah atau sekitar tanggal 27 Mei
1058M, Al Mawardi meninggal dunia pada usia 86 tahun. Kala itu, banyak ulama dan
pembesar yang hadir di pemakamannya. Jenazahnya dimakamkan di Bab Harb Cemetery
di Kota Mansur, Baghdad. Wafatnya Al Mawardi terjadi 11 hari setelah Qadi Abu Taib
wafat.
Pada masa hidupnya, terjadi perpecahan politik yang signifikan dalam
pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Pada masa itu, pemerintahan Bani Abbas tidak
mampu lagi mempertahankan wilayah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan
mereka dan membentuk otonomi baru. Oleh karena itu, muncul dinasti-dinasti baru yang
menolak mengikuti perintah dari kekuasaan Bani Abbas.49
Pada masa itu, kekuasaan khalifah Bani Abbasiyah telah melemah karena ambisi
politik yang tinggi dan persaingan di antara para penguasa dan panglima militer.
Pemimpin negara pada saat itu tidak lagi memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan
bagi negara mereka. Sebaliknya, kekuasaan berada di tangan menteri Bani Abbas yang
berasal dari keturunan Turki dan Persia, bukan dari keturunan Arab.
Al Mawardi adalah seorang pemikir Islam yang sukses pada masa kejayaan ilmu
pengetahuan umat Islam. Ia terkenal sebagai tokoh utama dari Madzhab Syafi’i dan
memiliki pengaruh besar pada Dinasti Abbasiyah. Selain produktif menulis, ia juga
seorang ahli fiqih, politikus, sastrawan, dan tokoh terkemuka pada masanya. Walaupun
dikenal di Baghdad, informasi tentang keluarganya di Bashrah dan Baghdad jarang
disebutkan dalam sumber sejarah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah Al-Qadir Billaah,
ia menyusun ringkasan kitab fiqh Syafi’i al-Iqna.50
2. Etika Politik Islam Menurut Al-Mawardi

Al-Mawardi, seorang cendekiawan Muslim terkemuka dari abad ke-10, telah


memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori politik Islam. Salah satu

48
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 58
49
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Group, 2010), hlm. 16
50
Al Mawardi, Adab Ad Dunya Wa Ad Din…, hlm. 9
karyanya yang paling terkenal adalah "Al-Ahkam As-Sultaniyah", yang merupakan
panduan praktis bagi para penguasa Muslim dalam menjalankan tugas-tugas politik
mereka. Dalam karyanya ini, Al-Mawardi membahas tentang etika politik Islam yang
dianggap sebagai panduan penting bagi para pemimpin Muslim dalam menjalankan
pemerintahan mereka.51

Menurut Al-Mawardi, tujuan utama pemerintahan Islam adalah untuk


menciptakan keadilan dan keamanan bagi rakyatnya. Untuk mencapai tujuan ini,
penguasa Muslim harus bertindak secara adil, berdasarkan hukum Islam yang diterapkan
dengan konsisten dan tegas. Dalam pandangan Al-Mawardi, keadilan adalah prinsip
utama dalam politik Islam, yang harus dipegang teguh oleh para pemimpin Muslim.52

Selain itu, Al-Mawardi juga menggarisbawahi pentingnya ketaatan kepada hukum


dan aturan Islam dalam menjalankan pemerintahan. Ia menegaskan bahwa penguasa
Muslim harus senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam dalam semua keputusan dan
tindakan yang mereka ambil, serta harus menghindari segala bentuk korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan.

Selanjutnya, Al-Mawardi juga menekankan pentingnya berkomunikasi dengan


rakyat dan mendengarkan aspirasi mereka. Para penguasa Muslim harus senantiasa
memperhatikan kebutuhan rakyat dan bertindak dengan empati dan kebijaksanaan dalam
menjalankan tugas mereka.

Selain itu, Al-Mawardi juga menekankan pentingnya moralitas dalam politik


Islam. Para penguasa Muslim harus memiliki moralitas yang tinggi dan berperilaku
dengan etika yang baik dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Ia menegaskan bahwa
seorang pemimpin Muslim harus menjadi contoh bagi rakyatnya dalam hal moralitas dan
integritas.

Dalam pandangan Al-Mawardi, etika politik Islam juga meliputi hubungan antara
penguasa Muslim dengan negara-negara lain. Ia menekankan pentingnya menjaga

51
Hasan, S. (2015). Al-Mawardi's Concept of Good Governance. Journal of Islamic Studies and Culture, 3(1), 15-24
52
Al Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah 2007)
hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga, serta menghindari segala bentuk
konflik dan kekerasan yang tidak diperlukan.

Kesimpulannya, Al-Mawardi menganggap etika politik Islam sebagai bagian yang


sangat penting dalam menjalankan pemerintahan. Ia menekankan pentingnya keadilan,
ketaatan kepada hukum dan aturan Islam, moralitas, komunikasi dengan rakyat, serta
hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga sebagai prinsip-prinsip utama dalam
etika politik Islam. Pandangannya ini telah menjadi panduan bagi banyak pemimpin
Muslim dalam menjalankan tugas-tugas politik mereka hingga saat ini

I. Etika Politik Islam Menurut Nur Kholis Majid


1. Biografi Nur Kholis Majid
Untuk membahas karakter, komitmen, pemikiran, dan gagasan seorang tokoh,
tidak dapat dipisahkan dari latar belakang keluarga, sosial-politik, agama, dan pendidikan
yang dialaminya. Hal ini juga berlaku untuk Nurcholish Madjid, seorang tokoh pemikir
dan pembaharu Islam di Indonesia. Nurcholish dikenal sebagai intelektual Muslim yang
terkemuka dan guru bangsa yang berhasil menghadirkan Islam dengan pendekatan
humanisme dan humanitas. Oleh karena itu, pemikiran-pemikirannya sering dijadikan
solusi atas berbagai masalah politik, kemanusiaan, dan keagamaan di Indonesia. Meskipun
demikian, sedikit informasi yang tersedia tentang latar belakang keluarga Nurcholish
Madjid.

Nur Kholis Majid menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Miftahul Huda,


Jombang, Jawa Timur. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan meraih gelar sarjana dalam bidang Fiqh
dan Ushul Fiqh. Ia juga meraih gelar Magister dan Doktor dalam bidang yang sama dari
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.53

Selain aktif di dunia akademis, Nur Kholis Majid juga aktif dalam organisasi
keagamaan dan pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Ia juga menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo.

53
Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish dan M. Amien Rais, h. 96.
Karya tulis Nur Kholis Majid antara lain "Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Islam", "Etika dan Hukum dalam Berdemokrasi", "Negara dan Politik Islam", dan
"Menegakkan Hukum Islam di Indonesia". Ia juga sering memberikan pandangan dan
opini di media massa mengenai isu-isu terkini yang berkaitan dengan agama dan politik. 54

2. Etika Politik Islam Menurut Nur Kholis Majid

Nur Kholis Majid menyatakan bahwa etika politik Islam terdiri dari tiga dimensi
utama yaitu akhlak pemimpin, akhlak rakyat, dan akhlak keduanya dalam bermasyarakat
dan bernegara. Akhlak pemimpin meliputi sifat-sifat kepemimpinan yang baik seperti
keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan ketegasan dalam menegakkan hukum. Sementara
itu, akhlak rakyat mencakup sifat-sifat kebaikan seperti amanah, jujur, peduli terhadap
sesama, dan taat pada aturan.

Di dalam bermasyarakat dan bernegara, etika politik Islam menekankan pada


konsep keadilan sosial dan kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Setiap individu dianggap
memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan negara. Kepemimpinan dalam Islam juga
ditekankan untuk mengutamakan kepentingan umum dan menghindari korupsi serta
tindakan yang merugikan masyarakat.55

J. Etika Lembaga Legislatif dalam Politik Islam

Dalam politik Islam, etika lembaga legislatif sangatlah penting karena lembaga
legislatif bertanggung jawab dalam membuat undang-undang dan kebijakan yang berdasarkan
pada prinsip-prinsip Islam.56 Berikut adalah beberapa etika lembaga legislatif dalam politik
Islam57:

1) Membuat keputusan berdasarkan Al-Qur'an dan hadis Nabi

Lembaga legislatif dalam politik Islam harus memastikan bahwa keputusan yang
diambil didasarkan pada ajaran Al-Qur'an dan hadis Nabi. Sebagai contoh, dalam membuat

54
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish; Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010), h. 2.
55
Majid, Nur Kholis. (2012). Etika Politik Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada
56
Mohammad Hashim Kamali. (2010). Shari'ah Law: An Introduction. Oneworld Publications.
57
Jhon L Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999)
undang-undang, lembaga legislatif harus memastikan bahwa undang-undang tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi.58

2) Transparansi dalam pembuatan keputusan

Lembaga legislatif harus melakukan proses pembuatan keputusan secara transparan


dan mengikuti prosedur yang ditentukan. Proses ini harus melibatkan partisipasi publik dan
mempertimbangkan semua sudut pandang dan kepentingan yang terlibat.59

3) Menjaga integritas dan kejujuran

Lembaga legislatif harus menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap tindakan dan
keputusan yang mereka ambil. Mereka harus menolak segala bentuk korupsi dan menjaga
integritas dalam menjalankan tugas-tugasnya.60

4) Menjaga hak-hak minoritas

Lembaga legislatif dalam politik Islam harus menjaga hak-hak minoritas dan
memastikan bahwa kebijakan dan undang-undang yang mereka buat tidak merugikan
minoritas.61

K. Etika Lembaga Eksekutif dalam Politik Islam


Kekuasaan eksekutif dalam islam di sebut alsulthah al-tanfidziyah yang bertugas
melaksanakan undang-undang. Di sini negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan
mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini,
negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang
menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional).
Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintah (kepala negara) dibantu oleh para
pembantunya (kabinet atau dewan menteri) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan situasi yang berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya. Sebagaimana
halnya kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang dari semangat nilai-nilai ajaran
58
Farid Abdul Kholiq, Fiqih Politik Islam As-Syurah, Oleh FaturahmanA Hamid, (Jakarta: PT. AMZA, 2005) , h. 58
59
Imam Al Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, Terj. Khalifaturrahman Fath & Fathurrahman, (Jakarta: PT. Qisthi Press,
2017), h. 21
60
Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan “, Jurnal Prima, Vol. III, No. 4,
(Agustus 1975), h. 56
61
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 64
Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai dengan semangat nash dan
kemaslahatan.62
Kepala negara dan pemerintah diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala negara untuk memimpin umat
wajib menurut ijma. Jika kepemimpinan negara ini kewajiban, maka kewajiban itu gugur atas
orang lain, jika tidak ada seorang pun yang menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan
kepada dua kelompok manusia. Pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang
memilih kepala negara bagi umat islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai
kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka
yang memangku jabatan itu.63
Kewajiban-kewajiban yang harus diemban kepala negara itu meliputi semua
kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun
kemasyarakatan, yang terdapat dalam Alquran dan sunnah Rasullullah seperti
mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan pihak yang
bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan melindungi hak-hak rakyat,
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad, mengatur perokonomian negara dan
membagi rampasan perang, dan sebagainya. Kewajiban utama dari seorang imam adalah
mempraktikan totalitas syari’ah didalam umat dan menegakkan institusi-institusi yang
menyerukan kebajiakan dan mencegah kejahatan.
Di samping itu, wewenang imam atau kepala negara adalah:
a) Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi masyarakat di
luar wilayahnya.
b) Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik pada masa
perang maupun masa perdamaian.
c) Mengeluarkan perintah perang
d) Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki
e) Menghukum umat islam dan nono islam dalam wilayahnya apabila mereka
terbukti melanggar hukum
f) Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan

62
Muhamad iqbal, fiqh siyasah......, h 137
63
Imam al-mawardi, hukum tata negara dan kepemimpinan dalam sejarah islam, (jakarta; gema insani, 2000). h 16-
17
g) Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian. Semua
kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus menjalankannya
dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan tujuan hukum
dengan pihak musuh.
L. Etika Lembaga Yudikatif Dalam Politik Islam
Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan
dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif
ini biasa disebut sebagai Sulthah Qadhaiyyah.
Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya
dari orangorang yang berseteru dan menerapkan perundangundangan kepadanya dalam
rangka menegakkan keadilan di muka bumi dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang
yang meminta peradilan. Pentingnya kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan
perkara-perkara perbantahan dan pemusuhan, pidana dan penganiyaan, melindungi
masyarakat dan mengawasi harta wakaf dan lainlain pesoalan yang disampaikan kepada
pengadilan.64
Penerapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam
penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakannya. Karena tanpa
lembaga (alQadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan. Dalam sistem
pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-Qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah, yaitu
Wilayah Qadha, Wilayah Mazhalim, dan Wilayah Hisbah.65
Menurut Athiyah Musthafa Musyrifah, sebagaimana yang dikutip oleh Asadulloh Al
Faruq, ciri khas peradilan pada masa Rasulullah saw setidaknya ada lima yaitu;66
a) Tidak ada pemisahan kekuasaan di bidang peradilan dengan kekuasaan di bidang lain,
ini disimpulkan dari perkataan Ali, “kalau kamu telah menerima (keputusan itu) maka
laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian
kamu dari sebagian yang lain (berbuat sesuatu), dan seterusnya”;
b) Kekuasaan di bidang peradilan menyatu dengan kekuasaan di bidang fatwa;

64
Abul A’la Al-Maududi, Hukum Dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerjemah Asep Hikmat, Bandung: Mizan,
1993, h 247
65
https://perbandinganmadzhabfiqh.wordpress.com/2011/05/14/ kekuasaan-yudikatif-sulthah-qadhaiyyah-
konsep-wilayah-al-qadhawilayah-al-mazhalim-dan-wilayah-al-hisbah/, diakses pada Minggu, 12 Maret 2023
66
Asadulloh Al Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam., h 5
c) Hakim memiliki kemerdekaan dalam menetapkan hukum atas perkara-perkara yang
dihadapkan kepadanya.
d) Rasulullah saw mendelegasikan kekuasaan di bidang peradilan kepada sahabat yang
memiliki kemampuan secara cepat, tepat dan memiliki kejujuran untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapkan kepadanya;
e) Belum terdapat lembaga pemasyarakatan (penjara) sebagaimana yang dikenal di masa
sekarang.

Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi perkembangan baru di


bidang peradilan. Khalifah Umar memisahkan antara kekuasaan peradilan (yudikatif) dengan
kekuasaan pemerintahan (eksekutif), beliau juga membatasi wewenang mereka dalam
perkara-perkara perdata saja, perkara-perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh
penguasa daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah dan
hakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kesimpulan makalah "Etika Politik Islam", dapat disimpulkan bahwa etika
politik Islam memiliki prinsip-prinsip yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Etika
politik Islam menuntut para pemimpin politik untuk mengutamakan kemaslahatan umat dan
kepentingan bersama dalam mengambil keputusan politik. Selain itu, etika politik Islam juga
menekankan pentingnya menjunjung tinggi prinsip keadilan, kesetaraan, dan transparansi
dalam tata kelola pemerintahan.

Dalam praktiknya, pengamalan etika politik Islam dapat menjamin terwujudnya


pemerintahan yang bersih, adil, dan bermanfaat bagi rakyat. Oleh karena itu, para pemimpin
politik Islam harus selalu memperhatikan prinsip-prinsip etika politik Islam dalam setiap
tindakan dan keputusan politik yang diambil.

Di Indonesia, pengamalan etika politik Islam dapat membantu dalam mengatasi


permasalahan korupsi, nepotisme, dan penindasan yang masih terjadi. Dengan mengutamakan
prinsip-prinsip etika politik Islam, para pemimpin politik Islam dapat membangun
kepercayaan rakyat dan menjamin terciptanya pemerintahan yang bersih dan adil.

Secara keseluruhan, etika politik Islam memegang peranan penting dalam tata kelola
politik yang baik dan menjamin kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pengamalan etika
politik Islam harus terus ditingkatkan dan dijadikan sebagai landasan dalam setiap tindakan
dan keputusan politik yang diambil.
Daftar Pustaka

Abdul Hafid, Pikahulan, R., & Hasyim, H. (2020). Etika Hukum Dalam Politik Kebangsaan
Perspektif Islam: Moralitas Politik Pancasilais. DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum,
18(1), 70–89. https://doi.org/10.35905/diktum.v18i1.1202

Abul A’la Al-Maududi. (1990). Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, Tetj. Drs. Asep
Hikmat, Mizan, Bandung

Ahmadie Thoha, (1986). Muqqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta, Pustaka Firdaus.

Ahmadie Thaha, (1982). Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, Surabaya, Bina Ilmu.

Al Mawardi Imam, (2007). Ahkam Sulthaniyah, Terj. Khalifaturrahman Fath & Fathurrahman,
Jakarta: Qisthi Press, Cet. 2.

Azhar, Muhammad. (2014). Etika Politik Islam Studi Kritis Pemikiran Mohammed Arkoun.
Yogyakarta: CV. New Transmedia Communication Publisher.

Baasir, Faisal. (2003). Etika Politik, Pandangan Seorang Politisi Muslim. (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan

Black, A. 2006. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Trans. by Abdullah
Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Dahlan, D. (2021). Etika Politik Dalam Islam (Konstruksi Dan Persfektif). Menara Ilmu, 15(1),
42–50. https://doi.org/10.31869/mi.v15i1.2389

Dahlan Malik. (2007). Pemikiran Politik Ibnu Khaldun: Relevansinya dengan Tata Kehidupan
bernegara Era Modern, Jambi, Sultan Thaha Press

Firman Manan, (2017). “Relasi eksekutif Legislatif Dalam Presidensialme Multipartai Di


Indonesia ”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 2, No. 2

Franz Magniz Suseno, (2003). Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta, Gramedia Pustaka Umum
Gusmansyah, W. (2019). Trias Politica Dalam Perspektif Fikih Siyasah. Al Imarah : Jurnal
Pemerintahan Dan Politik Islam, 2(2), 123–134. https://doi.org/10.29300/imr.v2i2.1448

Ibnu Khaldun, (2016). Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar

IN’AMUZZAHIDIN, M. (2016). Etika Politik Dalam Islam. Wahana Akademika: Jurnal Studi
Islam Dan Sosial, 2(2), 89. https://doi.org/10.21580/wa.v2i2.382

Iqbal Muhammad, (2014) Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media.

Jazuni, (2015) Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Jhon L Esposito dan Jhon O. Voll, (1999). Demokrasi Di Negara-Negara Muslim, Bandung:
Penerbit Mizan

Jimly Asshiddiqie, (2009). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo

Jordan. (2013). Tinjauan Umum Politik Dalam Islam. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Khaldun, A. R. I. Muqaddimah, Ed. I. Beirut: Daar el-Fikr.

Lavan, Y. O. (2021). Implementation of Islamic Values in Indonesian Political Dynamics.


Intelegensia : Jurnal Pendidikan Islam, 9(1), 53–66.
https://doi.org/10.34001/intelegensia.v9i1.2042

Madjid, Nurcholish. (2009). Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Dian Rakyat

Miriam Budiardjo. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Moshinsky, M. (1959). No Title‫یلیب‬. Nucl. Phys., 13(1), 104–116.

Muhammad Tahir Azhary. (1992). Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilhat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa
Kini. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang

Mutiara. (2017). Prinsip Dasar Hukum Politik Islam Dalam Perspektif Al-Quran. Petita: Jurnal
Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah, 2(1). https://doi.org/10.22373/petita.v2i1.59
Qardhawi, Yusuf. (2000). Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Saputri, I. A. (2016). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に


関する共分散構造分析 Title. Revista CENIC. Ciencias Biológicas, 152(3), 28.
file:///Users/andreataquez/Downloads/guia-plan-de-mejora-institucional.pdf%0Ahttp://
salud.tabasco.gob.mx/content/revista%0Ahttp://www.revistaalad.com/pdfs/
Guias_ALAD_11_Nov_2013.pdf%0Ahttp://dx.doi.org/10.15446/
revfacmed.v66n3.60060.%0Ahttp://www.cenetec.

Sofyan, A. 2012. Etika Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia

Taimiyah, I. 1995. Siyasah Syar’iyah: Etika Politik Islam. terj. Rofi’ Munawwar. Surabaya:
Risalah Gusti

Taimiyah, I., & Ibnu, D. A. N. (2018). Analisis Perbandingan Corak Pemikiran Etika Politik.

Anda mungkin juga menyukai