Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH MATA KULIAH DASAR UMUM PANCASILA

“PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA POLITIK”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5

1. Aisyah Nur Sabila (2311102411048)


2. Faisa Naqa Nabila (2311102411030)
3. Fauziyah Ardelia (2311102411014)
4. Heldy Ferdian (2311102411177)
5. Muhammad Bagus Aditia Saputra (2311102416109)
6. Nanda Imut Tyyah (2311102411032)
7. Nurhayati Sipahutar (2311102411125)
8. Putri Nadila (2311102411010)
9. Salsabila Sarda (2311102411037)
10. Siti Khadijah (2311102411008)
11. Vinda Yanti Anggun Sari (2311102411038)
12. Virna Nur Halizza (2311102411007)
13. Yasinta Eka Nur Utami (2311102411018)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis
dapat menyelesaikan Tugas Pembuatan makalah dengan mengangkat judul
“PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA POLITIK” pada Mata Kuliah
Dasar Umum Pancasila , sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas kami dalam
menyelesaikan Mata Kuliah Dasar Umum Pancasila sebagai mahasiswa Ilmu
Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut serta berpartisipasi
dalam pembuatan makalah ini.

Penulis berharap dengan disusunnya makalah ini dapat menambah


pengetahuan para pembaca. “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 11 November 2023

Ketua Kelompok 5

II
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................ I

KATA PENGANTAR..................................................................................... II

DAFTAR ISI................................................................................................... III


PENDAHULUAN........................................................................................... 5

KAJIAN TEORI............................................................................................. 7

HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 7

KESIMPULAN............................................................................................... 19

SARAN ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20

LAMPIRAN DOKUMENTASI PENELITIAN........................................... 21

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur
kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etika yang
merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga
masyarakat Indonesia Ketika nilai-nilai Pancasila itu diyakini
kebenarannya, kesadaran etika juga akan lebih berkembang Ketika nilai
dan moral Pancasila itu dapat diimplementasikan kedalam norma-norma
yang diberlakukan di Indonesia.

Etika adalah teori tentang moral dalam arti yang pertama, yakni
keseluruhan kaidah dan nilai (Bruggink, 1999:225).Etika pada umumnya
dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang
dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku
manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap
kali disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81). Etika lebih
mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis tentang baik dan
buruk, sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang
diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu.

Politik berasal dari Politics yaitu sebagai alat yang digunakan


untuk mencapai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan atau
kekuasaan. Sedangkan, Politik atau Policy memiliki arti kebijaksanaan
yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan. Secara substantif pengertian
etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika
yaitu manusia. Oleh karena itu, etika politik berkait erat dengan bidang
pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian
‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka

4
kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban- kewajiban
lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai
manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa
maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia
sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa
kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk
yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak
baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa
atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia
tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar
kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka
seseorang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik
menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai
dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu
aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran
harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

Di era politik saat ini, banyak sekali pembaharuan-pembaharuan isi


undang-undang dan aturan-aturan pemerintah lainnya, yang di dalamnya
terdapatisi yang harus dipatuhi oleh seluruh kalangan, baik si pembuat
maupun masyarakat, namun dalam kenyataannya aturan-aturan tersebut
hanya ampuh untuk mendiktekita sebagai kalangan masyarakat, sedangkan
para pegawai pemerintahan cenderung acuh atau bahkan tak mau tahu.
Hingga bermunculan kasus-kasus memalukan yang kian marak
diperbincangkan baru- baru ini, salah satunya adalah korupsi yang seakan
menjadi rahasia umum.

Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang


bersifat fundamental dan universal bags manusia baik dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Nilai-nilai tersebut kemudian

5
dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan
suatu pedoman

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada hakikatnya, Panc
asila sebagai suatu sist
em filsafat merupakan
suatu nilai
yang bersumber dari se
gala penjabaran norma,
baik norma hukum, no
rma sosial, maupun

6
norma kenegaraan lai
nnya. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pa
ncasila memberikan
dasar-dasar yang bersi
fat fundamental dan u
niversal bagi manusia,
baik dalam hidup
bermasyarakat, berban
gsa, dan bernegara. Nil
ai-nilai tersebut sifatny
a praksis atau nyata
7
dalam masyarakat, ba
ngsa maupun negara,
yang kemudian dijaba
rkan dalam suatu
norma- norma yang je
las hingga menjadi su
atu pedoman. Jadi sil
a-sila Pancasila
merupakan suatu sist
em nilai- nilai etika y
ang merupakan sumb
er norma yang pada
8
gilirannya harus dijaba
rkan lebih lanjut dalam
norma-norma etika, m
oral, maupun norma
hukum dalam kehidup
an kenegaraan maupu
n kebangsaan.
Politik secara sederhan
a dapat diartikan sebag
ai suatu kegiatan untuk
mencapai

9
cita-cita yang berhubu
ngan dengan kekuasaa
n. Pancasila sebagai da
sar negara, menjadi
pedoman tolak ukur ke
hidupan berbangsa da
n bernegara harus dipa
hami, dihayati dan
diamalkan dalam tata
kehidupan berpolitik.
BAB I
PENDAHULUAN
10
I. Latar Belakang
Pada hakikatnya, Panc
asila sebagai suatu sist
em filsafat merupakan
suatu nilai
yang bersumber dari se
gala penjabaran norma,
baik norma hukum, no
rma sosial, maupun
norma kenegaraan lai
nnya. Nilai-nilai yang

11
terkandung dalam Pa
ncasila memberikan
dasar-dasar yang bersi
fat fundamental dan u
niversal bagi manusia,
baik dalam hidup
bermasyarakat, berban
gsa, dan bernegara. Nil
ai-nilai tersebut sifatny
a praksis atau nyata
dalam masyarakat, ba
ngsa maupun negara,
12
yang kemudian dijaba
rkan dalam suatu
norma- norma yang je
las hingga menjadi su
atu pedoman. Jadi sil
a-sila Pancasila
merupakan suatu sist
em nilai- nilai etika y
ang merupakan sumb
er norma yang pada
gilirannya harus dijaba
rkan lebih lanjut dalam
13
norma-norma etika, m
oral, maupun norma
hukum dalam kehidup
an kenegaraan maupu
n kebangsaan.
Politik secara sederhan
a dapat diartikan sebag
ai suatu kegiatan untuk
mencapai
cita-cita yang berhubu
ngan dengan kekuasaa

14
n. Pancasila sebagai da
sar negara, menjadi
pedoman tolak ukur ke
hidupan berbangsa da
n bernegara harus dipa
hami, dihayati dan
diamalkan dalam tata
kehidupan berpolitik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkanlah rumusan
masalah berikut :

1. Bagaimana Pancasila sebagai sistem etika politik?


2. Apa hubungan Pancasila sebagai dasar negara dengan sistem politik

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka didapatkanlah tujuan
penulisan berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pancasila sebagai siistem etika politik

15
2. Untuk mengetahui hubungan pancasila dengan system politik.

16
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Etika
Etika adalah perilaku yang baik yang sudah ditanamkan di diri
seseorang sejak dari dulu, etika adalah hal yang paling mendasar yang
dipelajari di Pendidikan manusia. Semua orang mulai dari anak kecil
hingga besar tentunya mengerti tentang etika karena Pendidikan etika
seharusnya mulai diberi sejak kecil melalui pendidik pertama yaitu orang
tua. Etika adalah perilaku, tingkah laku seseorang.

Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos”


yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Dalam konteks filsafat, etika
membahas tentang tingkahlaku manusia dipandang dari segi baik dan
buruk. Yang dapat dinilai baik atau buruk adalahsikap manusia yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata
dansebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai.
Perbuatan atau tingkahlaku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah
yang dapat dinilai, sedangkan yangdikerjakan dengan tak sadar tidak dapat
dinilai baik atau buruk.

Menurut Richard William Paul dan Linda Elder, etika adalah


seperangkap konsep dan prinsip yang memandu manusia dalam
menentukan perilaku apa yang membantu dan merugikan makhluk hidup.

Menurut James J. Spillane, etika adalah memperhatikan tingkah


laku manusia dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan moral.

Menurut W. J. S. Poerwadarminta, etika adalah ilmu tentang


tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilihat dari sisi baik dan
buruknya yang dapat ditentukan oleh akal manusia.

17
B. Pengertian Politik
Politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik atau “negara” yang
menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari system itu dan
diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Untuk pelaksanaan tujuan-
tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umu atau public
policies, yang menyangkut pengaturan dau pembagian atau distributions
dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
itu diperlukan suatu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang
akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Secara operasionasl bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara
(state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionsmaking),
kebijaksanaan (policy), pembagian (distributions) serta alokasi
(allocation).

C. Definisi Pancasila
Pengertian Pancasila Menurut Tokoh Sejarah dan Ahli, pancasila adalah
dasar negara dan ideologi Indonesia yang menjadi landasan dalam
pembangunan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian Pancasila
telah didefinisikan oleh berbagai tokoh sejarah dan ahli, yang memberikan
pemahaman yang beragam namun tetap mencerminkan nilai-nilai dasar yang
terkandung di dalamnya. Dalam landasan teori ini akan membahas pengertian
Pancasila menurut beberapa tokoh sejarah dan ahli yang berperan penting
dalam perumusannya.
1. Soekarno

Soekarno, Proklamator Republik Indonesia yang juga merupakan Bapak


Proklamasi, memberikan pemahaman yang mendalam tentang Pancasila.
Menurut Soekarno, Pancasila adalah filosofi hidup bangsa Indonesia yang
terdiri dari lima sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

18
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ia menjelaskan bahwa Pancasila bukan
hanya sekedar dasar negara, tetapi juga merupakan panduan moral yang
harus dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Muhammad Yamin

Muhammad Yamin merupakan tokoh yang ikut berperan dalam


penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Menurutnya,
Pancasila adalah rumusan yang menggambarkan cita-cita dan tujuan
perjuangan bangsa Indonesia. Ia menekankan bahwa Pancasila memiliki arti
mendalam, yaitu menjunjung tinggi hak asasi manusia, keadilan sosial,
persatuan, dan kesatuan bangsa. Menurut Muhammad Yamin, Pancasila
adalah cerminan dari semangat perjuangan kemerdekaan yang harus terus
dijaga dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

3. Dr. Radjiman Wedyodiningrat

Dr. Radjiman Wedyodiningrat, salah seorang tokoh pergerakan


nasional dan perumus pertama Pancasila, memberikan pemahaman
Pancasila dari sudut pandang historis. Menurut Dr. Radjiman
Wedyodiningrat, Pancasila adalah hasil sintesis nilai-nilai budaya Indonesia
dan konsep-konsep perjuangan nasional yang terbentuk selama ribuan
tahun yang lalu menggambarkan Pancasila sebagai suatu ideologi yang
mencerminkan kepribadian dan identitas bangsa Indonesia, yang mencakup
keberagaman dan keadilan.

19
BAB III

PEMBAHASAN

A. Awal Munculnya Etika Politik


Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada
saat struktur politik tradisional mulai rapuh sampai ambrul. Dengan
runtuhnya tatanan masyarakat Athena, muncul berbagai macam
pertanyaan tentang masyarakat dan negara, seperti bagaimana seharusnya
masyarakat ditata dan siapa yang harus merata.

Sejarah dari etika politik telah ada sejak lama, jadi pemikir politik
di periode klasik menjawab tentang struktur organisasi yang paling baik.
Menurut pendapat Plato, negara baik adalah merupakan yang mampu
mewujudkan suatu konsen keadilan yang dikemas sejalan dan selaras pada
pemimpin agar tujuannya merealisasikan negara ideal. Plato berkeyakinan
etika politik seperti itu paling efesien untuk memenuhi kecukupan semua
rakyat, namun demikian dapat meningkatkan kesejateraan di masyarakat.
Menurut Aritoteles, bahwa pendekatan etis yang diterapkannya merupakan
kebahagiaan. Bagi Aristoteles adanya sebuah negara, masyarakat hidupnya
lebih sejahtera, jadi sikap atau perbuatan manusia harus lebih
mengutamakan sikap etis. Negara baik merupakan negara mampu
organisasinya tepat dan tugasnya pengalaman. Pada periode klasik, para
filsuf belum mengetahui tentang legitimasi kekuasaan. Pada waktu itu
etika politik belum merefleksikan nilai transendental dan belum paham arti
kesejahteraan. Pada masa ini legitimasi etis menjadi tersorot pada etika
politik. Legitimasi ada pada Negara itulah pendapat dari Augustinus,
hingga dapat perbedaan yakni negara Allah dan negara duniawi. Negara
Allah pada nantinya memperoleh pada kesempurnaan akhir zaman, adapun
suatu saat negara hancur Ketika datangnya akhir zaman. Dalam hal
tersebut Augustinus belum menjelaskan etika politik berdasarkan teoritis.

20
Munculah perkembangan selanjutnya yaitu Thomas Aquinas. Dia lebih
memfokuskan pada bidang politik dan negara saja, terkhusus pada
kaitanhukum kodrat dan negara. Pendapatnya hukum moral lebih
menggambarkan kebijaksaan ilahia. Dalam pendekatan ini sebagai bentuk
kepatuhan seorang hamba pada tuhannya. Subtansi dari pandangan
Thomas Aquinas in adalah bahw keberadaan negara adalah berdasarkan
kodrat seorang manusia Berikutny berkembangannya dalam kajian etika
politik lebih sistematis. Di abad ke-17 muncul tokoh-tokoh filsafat yang
mengembangkan pokok-pokok etika politik. Konsep John Locke tentang
"memisahkan kekuasaan gereja dengan kekuasaan negara", "Kebebasan
berpikir dan bernegara", "pembagian kekuasaan", dan konsep "hak asasi
manusia”. Dan selain itu ada tokoh lain dengan minat mengkaji etika
politik, yakni Montesqueie dengan pendapat "pembagian kekuasaan",
Rousseau dengan pemikiran "Kedaulatan rakyat". Khan dengan gagasan
tentang "Negara hukum demokrasi/republican".

B. Etika Politik
Etika adalah filsafat tentang tindakan manusia sebagai manusia.
Etika juga berhubungan dengan logika dan estetika karena karakternya
yang normatif. Logika sendiri memiliki norma-norma yang tidak mungkin
dilanggar jika tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak berpikiran
normal.

Etika menunjuk pada tindakan manusia secara menyeluruh.


Artinya, etika tidak hanya bersoal jawab dengan cetusan tindakan lahiriah
manusia, melainkan juga motivasi yang mendasarinya dan aneka dimensi
lain yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Etika, pendek kata, mengantar
orang pada bagaimana menjadi baik. (Dewantara, 2017).

Etika politik sendiri memiliki definisi sebagai praktik pemberian


nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada akhlak ilmu

21
tentang adat dan budaya kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia
dengan Allah Tuhan YME dan Alam semesta.

Etika politik dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang


bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan
untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan
berbangsa (Eko Handoyo, dkk., 2016). Suatu bangsa memerlukan
pendidikan politik yang memadai melalui guru politik yang baik, yakni
mereka yang dapat mengajarkan cara berpolitik tidak hanya untuk
memperebutkan kekuasaan, tetapi juga dilakukan dengan penghayatan
etika moral.

Etika politik tidak menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar


negara. Etika bersifat reflektif yakni memberikan sumbangan pemikiran
bagaimana masalah-masalah kehidupan dapat dihadapi, tetapi tidak
menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya.

Dengan demikian etik politik mempertanyakan tanggung jawab dan


kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara
terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan pemikiran-pemikiran teoritis
untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara
bertanggung jawab, rasional, objektif, dan argumentatif.Etika politik juga
bertujuan untuk mempertahankan prinsip moral yang digunakan dalam
mengatur politik di dalam masyarakat, memberikan aturan dalam
pemberian izin agar tetap sesuai dengan kehidupan masyarakat, serta
berkaitan dengan cara pertanggungjawaban elite politik terhadap tindak
tanduk politiknya. Dimensi etika politik berkaitan dengan seluruh aspek

22
kehidupan masyarakat, mulai dari kehidupan sosial, budaya, hukum,
politik, hingga ekonomi. Perilaku para elite politik hanyalah salah satu dari
dimensi etika politik (Haryatmoko, 2003). Tiga dimensi tersebut, yaitu:
1. Dimensi Tujuan
Dimensi ini merumuskan atau mencapai upaya kehidupan yang
sejahtera dan damai bagi masyarakat dengan landasan kebebasan
dan keadilan. Sebagai negara demokratis, Indonesia wajib
menetapkan kebijakan umum dengan prioritas, program, metode,
dan landasan filosofis yang jelas. Kejelasan tujuan yang terumus
dalam kebijakan publik ini mencerminkan ketajaman visi seorang
pemimpin dan kepeduliannya terhadap aspirasi dan kesejahteraan
masyarakat. Aspek moral dari dimensi tujuan terletak pada
kemampuan menentukan arah yang jelas dari kebijakan umum dan
akuntabilitasnya

2. Dimensi Sarana
Dimensi sarana memungkinkan tercapainya tujuan saran,
dimana tercermin dari sistem dan prinsip dasar pengorganisasian
praktik penyelenggaraan negara dan juga pelembagaan lembaga
sosial. Dimensi sarana mengandung dua pola normatif.

Pertama, tatanan politik (hukum dan institusi) harus mengikuti


prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas, dan
struktur sosial ditata secara politik berdasarkan prinsip keadilan.
Kedua, kekuatan-kekuatan politik ditata menurut prinsip timbal
balik. Aspek moral dari dimensi sarana ini terletak pada peran etika
dalam menguji dan meragukan legitimasi keputusan, institusi, dan
praktik politik.

3. Dimensi Aksi Politik


Dalam dimensi ini, pelaku memegang peran dalam menentukan
rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri dari rasionalitas
tindakan dan keutamaan atau kualitas moral pelaku. Tindakan
politik dikatakan rasional jika pelaku memiliki orientasi situasi dan
pemahaman permasalahan yang dihadapi. Hal ini menunjukkan
kemampuan mempersepsi kepentingan yang dipertaruhkan
berdasarkan peta kekuatan politik yang ada.

23
Disposisi kekuasaan ini membantu mengkalkulasi kemampuan
dan dampak aksi politik. Penguasaan manajemen konflik merupakan
syarat aksi politik yang etis. Dalam hal utama, aktor atau pelaku
politik harus mampu menguasai diri dan berani memutuskan apa
yang dianggap baik dan benar serta siap menghadapi risikonya.
Untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan pada masyarakat
yang berlandaskan kebebasan dan keadilan, perlu diciptakan sinergi
antara dimensi tujuan, sarana, dan aksi politik.

Urgensi Etika Politik Berkaca dari pesta demokrasi tahun 2019,


kebutuhan akan terciptanya etika politik di tengah panasnya
pertarungan politik begitu mendesak, relevan, dan sangat
diperlukan. Perlu menjadi kesadaran bersama bahwa dalam kondisi
aman dan tertib sekali pun etika politik diperlukan, apalagi jika
hawa pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan mulai
menunjukkan tanda-tanda kekacauan. Untuk itu, ada tiga urgensi
politik menurut Handoyo Eko, 2016 :
1) Etika politik berbicara dengan otoritas, yaitu betapa kejam dan
tidak santunnya suatu politik, tindakannya memerlukan
legitimasi. Legitimasi merujuk pada norma moral, nilai-nilai,
hukum atau peraturan perundangan.
2) Etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kejam dan
tidak adil mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Korban akan
membangkitkan simpati dan reaksi kemarahan , yaitu terusik
dan protes terhadap ketidakadilan.
3) Pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-
larut akan mengakibatkan kesadaran akan perlunya
penyelesaian yang mendesak dan adil.
Pada akhirnya kita menjadi tahu bahwa etika politik
diperlukan meskipun situasi dalam keadaan normal, sebab tanpa

24
adanya etika politik atau kode tingkah laku (code of Conduct ),
tindakan sikap dan perilaku politik para penyelenggara negara dan
elite politik dapat berseberangan dengan visi, misi, dan tujuan.
luhur bangsa. Demikian pula, tanpa kehadiran etika politik, maka
kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan tertinggi masyarakat
tidak dapat terwujud.

C. Politik Indonesia dari Masa ke Masa Indonesia


Politik Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pembangunan
negara. Banyak hal yang dilewati dan banyak perjuangan serta
pengorbanan yang dilakukan. Penderitaan masyarakat juga menjadi
taruhan untuk mencapai tujuan. Tujuan untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam perjalanannya juga, Indonesia mengalami banyak


perubahan ketatanegaraan. Perubahan ketatanegaraan ini berdampak pula
pada perubahan sistem politik. Seiring dengan perubahan ini, masyarakat
dituntut untuk mampu beradaptasi dengan gejala yang ada. Bertahan
dalam konflik yang timbul, serta berharap pada harapan baru. Namun
seiring berkembangnya jaman, sudah banyak masyarakat mulai
memahami pola politik yang berlaku. Pada masa pasca kemerdekaan,
masyarakat menyadari bahwa politik pada masa itu menjadi permulaan
dari pemerintahan yang kacau. Pemerintah silih berganti, dan kabinet
datang dan pergi. Partai-partai politik menunjukkan ketidak kompakannya
dalam pemerintahan. Saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan
golongan. Menanggapi ketidak efektifan sistem demokrasi parlementer
yang berlaku pada masa itu, maka dibuatlah sistem demokrasi terpimpin.
Sistem yang dibuat oleh presiden Ir. Soekarno bersama-sama dengan
militer.

25
Setelah demokrasi terpimpin ini berakhir, dilanjutkan dengan masa
orde baru. Sistem politik dimana militer terjun ke dalam pemerintahan.
Hal ini memang kelanjutan dari demokrasi terpimpin yang menganggap
bahwa para politisi tidak cakap mengurusi negara sehingga militer sampai
harus turun tangan. Namun dalam perjalanannya kekuasaan yang ada
dalam sistem politik orde haru kehilangan batasannya. Kekuasaan yang
berlaku menjadi absolut dan otoriter. Pemerintahan dipegang sepenuhnya
oleh penguasa. Tentu, kekuasaan ini bertentangan dengan demokrasi.
Kekuasaan ini berdampak pada kehidupan masyarakat yang menyedihkan.
Pembungkaman pendapat menjadi hal yang mendasari keterbelakangan
rakyat. Akhirnya pada tahun 1998 terjadi perlawanan terhadap rezim ini.

Selanjutnya sistem politik pada masa orde baru digantikan dengan


sistem demokrasi presidensial yang diimbangi dengan sistem multi partai
untuk benar-benar mengawasi kinerja. presiden. Pada masa ini partai
politik bermunculan sebagai wadah bagi masyarakat untuk ikut serta
dalam pemerintahan. Kehidupan masyarakat pun semakin membaik.

Namun ternyata pada masa ini kekuasaan absolut pada masa lalu
mulai menjelma dalam bentuk lain. Seperti yang dikemukakan oleh
Purnaweni (2004: 123), "Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi
otoritas dengan mobilisasi simbol-simbol karisma politik mulai dilakukan,
dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi
kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke
depan". Dominasi politik oleh penguasa bukanlah hal yang diinginkan oleh
masyarakat. Namun politik yang mampu memberikan kemerdekaan bagi
dua pihak.

Pada masa ini pun seiring perkembangan teknologi, masyarakat


diresahkan dengan panggung politik yang berada di media sosial. Berbagai
pertikaian antar pelaku politik hanya menciptakan perpecahan dan

26
ketegangan. Sungguh hal yang tidak etik bagi pelaku politik yang
memiliki mandat untuk memimpin negara. Dari ketidakstabilan politik
Indonesia tersebut, terdapat dua penyebab yang mendasarinya. Seperti
yang dikemukakan oleh Anggara S (2015 : 24) penyebab ketidakstabilan
politik Indonesia adalah:
1. Falsafah tidak besar pengaruhnya terhadap sistem politik dan
politisi.
2. Belum ditemukan standar dan model sistem politik Indonesia yang
sesuai dan mendukung cita cita negara.
Berdasarkan hal tersebut, penghidupan Pancasila dalam
perpolitikan Indonesia sangat perlu dilakukan demi mencapai cita-cita dan
tujuan negara.

D. Peran Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik


Pancasila menjamin bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
yang menghormati hak-hak dasar warga negara, seperti hak untuk memilih
dan dipilih, hak untuk berpendapat dan berserikat, hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum, dan sebagainya.

Dalam bidang politik, implementasi Pancasila dapat dilakukan


dengan cara menghormati kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi
pemerintahan. Hal ini sesuai dengan sila keempat Pancasila yaitu
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Selain itu, contoh mudah perilaku
masyarakat indonesia dalam Bidang Politik adalah Demokrasi, Toleransi,
Persatuan.

Implementasi Pancasila dalam Ranah Politik Indonesia ini


dilakukan dalam rangka mewujudkan politik sehat, maka nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila perlu diinternalisasikan. dalam setiap kegiatan
politik. Baik politik yang dilakukan oleh pemerintahan negara, maupun

27
politik yang dilakukan oleh organisasi. lembaga, bahkan perorangan. Jika
semua warga negara memahami nilai- nilai itu dan
menginternalisasikannya, maka kehidupan berbangsa dan bernegara ini
akan berjalan harmonis. Berikut akan dijabarkan mengenai nilai- nilai
Pancasila dalam bidang politik.

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa setiap warga negara harus
memiliki keimanan yang kuat kepada Tuhan. Dengan keyakinan yang kuat,
kehidupan yang berpedoman pada agama pun akan mengantarkan manusia
pada kehidupan yang harmonis dengan manusia lainnya. Ajaran-ajaran
yang terdapat dalam tiap agama. Sesungguhnya merupakan ajaran yang
baik dan menyeru pada kebaikan. Saling menyayangi, menghormati, dan
menghargai sesama, itulah yang diajarkan agama.

Kegiatan politik pun jika berlandaskan pada agama akan berjalan


baik dan minim konflik. Dengan adanya saling menghargai dan
menyayangi itu, kekuasaan yang dipegang siapapun akan diterima
bersama-sama dengan baik. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa
penguasa yang paling berkuasa adalah Tuhan semata. Sehingga siapapun
yang memiliki mandat sebagai pemegang kekuasaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Akan dijalankan sebaik-baiknya. Selaras dengan
hal ini, Budiardjo (Haryanti, A danPujilestari, 2019: 7). mengemukakan
bahwa kekuasaan bersifat luas. Yang artinyamanusia merupakan subjek
sekaligu subjek dari kekuasaan. Hal ini dicontohkan misalnya seorang
Presiden sebagai subjek kekuasaan yang merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi, tetap harus tunduk kepada Undang-Undang yang berlaku (objek
kekuasaan). Dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan juga, pemimpin
yang memegang kekuasaan tidak akan berbuat sesukanya, sekehendaknya,
tanpa mempertimbangkan dampak yang akan dirasakan oleh rakyatnya.
Sehingga pemimpin yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan

28
selalu berusaha untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang merugikan
rakyatnya. Seperti halnya korupsi, KKN dan berbagai perbuatan tak
merugikan lainnya. Begitupun dengan rakyatnya. Rakyat yang
berkeyakinan kuat kepada tuhannya akan menerima keputusan dari
pemimpinnya. Karena rakyat pun yakin, Tuhan memilih pemimpinnya
sebagai pemimpin yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Kecemburuan-kecemburuan yang terjadi antar pelaku politik akan mudah
diatasi. Hal ini dapat terwujud dengan baik jika kedua belah pihak sama-
sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Tuhan. Jika salah satu saja
yang memiliki keyakinan kuat itu, maka kehidupan berbangsa dan
bernegara. tidak akan berjalan dengan baik.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab


Pada Sila kedua ini, telah dicantumkan dengan jelas bahwasanya setiap
kegiatan politik untuk bangsa dan negara harus mengedepankan kemanusiaan
yang adil dan beradab. Adanya sila kemanusiaan yang adil dan beradab
seharusnya mampu menjadi pengingat terhadap pelaksanaan politik di Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah. bangsa yang yang memanusiakan manusia, serta bangsa
berkeadilan. Rasa kemanusiaan harus terus dipupuk, dipelihara dan dikelola
dengan baik. Karena dengan adanya rasa kemanusiaan, praktik-praktik politik
yang licik dan merugikan manusia lainnya akan minim terjadi. Penguasa tidak
akan mau mengorbankan rakyatnya demi keuntungan pribadi. Dan rakyat tidak
akan menjatuhkan penguasanya yang adil. Rasa kemanusian ini agaknya kian hari
kian berkurang. Terlihat dari maraknya berita palsu, fitnah, saling menghujat antar
warga negara demi hanya untuk menduduki suatu kekuasaan. Dapat dibayangkan,
jika dalam upaya perolehan posisi di pemerintahan saja sudah berani
mengesampingkan rasa kemanusiaan, apalagi jika nantinya telah menduduki
posisi itu. Pemimpin yang otoriter, kabinet yang ricuh, rakyat. yang tertindas dan
tak berdaya akan menjadi plot yang menyedihkan dalam perjalanan negara
Indonesia.

29
3. Sila Persatuan Indonesia
Dalam sila ketiga ini juga, persatuan merupakan hal yang sangat penting
bagi negara Indonesia. Negara dengan keberagaman yang luar biasa kaya ini
memerlukan persatuan yang kuat. Tentunya persatuan yang kuat sangat
diperlukan jika eksistensi bangsa Indonesia ingin terus ada. Keberagaman yang
kaya ini dapat menjadi sebuah keuntungan sekaligus boomerang tersendiri.
Keberagaman yang dikelola dengan baik menggunakan tali pengikat yaitu berupa
toleransi akan menjadi katalisator dalam kemajuan negara Indonesia. Berbagai
Keragaman itu bisa membentuk ide-ide dan gagasan yang sangat bagus jika
dikelola dengan baik. Politik yang terjadi dengan menggunakan toleransi akan
melahirkan suatu hasil yang indah. Layaknya pelangi dengan berbagai warna itu
diatur menurut aturan tertentu. Kehidupan yang harmonis akan tercipta jika
keragaman itu dimaknai sebagai sebuah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Namun
sebaliknya yang akan terjadi jika kebergamanan tidak dikelola dengan baik.
Pertikaian, pertengkaran, hingga peperangan dapat terjadi. Ketidakmampuan
dalam memaknai keberagaman itu akan memecah belah bangsa Indonesia dengan
mudah. Jika persatuan ini terus saja diabaikan dan tidak dikelola, maka umur dari
bangsa Indonesia tidak akan bertahan lama. Peperangan Antar suku, agama,
ideologi dapat terjadi dengan mudah. Mungkin saja Bangsa Indonesia hanya
tinggal nama. Apalagi jika keberagaman ini masuk ke ranah politik maka pihak
yang berkuasa akan mengendalikan sepenuhnya kekuasaan tanpa memperhatikan
toleransi lagi.

4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan
Dalam Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Permusyawaratan/ Perwakilan
ini ditegaskan pula bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Widodo (2015: 680),
mengemukakan bahwa kedaulatan rakyat merupakan esensi dari demokrasi
Pancasila. Oleh karena itu. rakyatlah yang sesungguhnya berkuasa atas negara
Indonesia. Itu artinya seluruh rakyat juga berhak untuk menjadi pemimpin di
pemerintahan. ndonesia yang memakai sistem pemerintahan demokrasi juga

30
membuka peluang sebesar-besarnya bagi rakyat yang ingin memasuki
pemerintahan. Namun dalam prakteknya pemerintahan. tidaklah dipimpin oleh
seluruh rakyat yang ada dari Sabang hingga Merauke. Tetapi dilakukan oleh
perwakilan- perwakilan tiap daerah. Para wakil- wakil itulah yang akan
menyampaikan aspirasi rakyat.

Sayangnya dalam kenyataan di lapangan, para wakil-wakil ini tidak


menjalankan amanah yang diembannya dengan baik. Kekuasaan yang diperoleh.
seolah menghipnotis tujuan awal yaitu penyambung lidah rakyat. Seringkali
ditemui wakil-wakil rakyat yang memberikan janji-janji palsu. Hal seperti inilah
yang akhirnyamembuat pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Politik pun hanya dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan yang sepihak.
Kekuasaan. yang hanya memberikan keuntungan pribadi. Kepekaan sosial, rasa
kemanusian dan keyakinan yang kuat lagi-lagi harus dimiliki setiap warga negara.
Tidak hanya dimiliki, tetapi dihidupkan. Terus hidup dan bertumbuh sehingga
kekuasaan tidak lagi menghipnotis para wakil rakyat untuk menjalankan
amanahnya. Selain itu, dalam sila keempat ini terdapat nilai perwakilan. Nilai
perwakilan ini salah satunya mewujud pada siste motonomi daerah. Daerah-
daerah di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri.
Yang dalam hal ini. gubernur dan pemerintahan provinsi menjadi wakil dari
pemeritahan pusat di daerah.

Namun sejak tahun 2000, terjadi permasalahan pada sistem otonomi


daerah ini. Terjadi ketidak harmonisan Antara pemerintahan provinsi dan
pemerintahan pusat. Ketidakharmonisanini pun berdampak pada banyak aspek.
Salah satunya adalah banyaknya perda yang bermasalah.

Seperti yang diungkapkan oleh (2010 : 16), bahwa Hadi


ketidakharmonisan yang tejadiantara Bupati/Walikota dengan Gubernur lebih
banyak dikarenakan aspekpolitis, sepertimisalnya perbedaaan partai politik,
agama, keyakinan, suku dan lain-lain.

31
Maka dari itu, pemahaman akan nilai perwakilan, kerakyatan dan
persatuan dari sila keempat ini sangat perlu dilakukan. Tidak hanya rakyat biasa,
para penguasa seperti bupati, walikota dan Gubernur harus memahami hal ini.
Caranya dengan menerima, menghormati, dan menghargai setiap perbedaan yang
ada. Juga mengetahui dan memahami tugas dan fungsi masing-masing. Sehingga
sistem perwakilan itu berjalan dengan baik.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan, lagi-lagi menjadi aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Keadilan yang adil bagi seluruh rakyat, bukan hanya adil bagi para
penguasa. Inilah yang harus dipahami. Bahwa keadilan adalah hak bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Setiap kebijakan yang dibuat jika berasaskan pada keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia maka tidak akan ada rakyat yang protes terhadap pemerintah.
Semua kebijakan yang berkeadilan akan diterima dengan baik. Membentuk
keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

32
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem etika adalah cabang filsafat yang dijabarkan
dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, di dalam etika
Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia
Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Pentingnya pancasia sebagai
sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi rambu normatif untuk
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia. Dengan demikian, pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti
korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) dapat diminimalkan.

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, sumber dari segala sumber


hukum haruslah dihidupkan kembali. Caranya adalah pengimplementasian
dengan nilai-nilai Pancasila. Pada sila pertama yaitu Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa setiap warga negara harus memiliki keimanan yang kuat kepada
Tuhan. Pada sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rasa
kemanusiaan menjadi harus terus dipupuk, dipelihara dan dikelola dengan
baik. Dengan adanya rasa kemansiaan, praktik- praktik politik yang
merugikan dan tidak berkeadilan akan terhindarkan. Ketiga Sila Persatuan
Indonesia. Persatuan Indonesia harus terus diperkuat mengingat keberagaman
yang ada di Indonesia bisa menjadi suatu keuntungan sekaligus boomerang
jika tidak dikelola dengan baik. Keempat Sila Kerakyatan yang Dipimpin
Hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam sila ini memerlukan rasa
kemanusiaan, kepekaaan sosial, serta keyakinan yang kuat untuk menjadi
wakil rakyat begitupun menjadi rakyat agar kepercayaan dapat terbentuk.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam. Sila ini,
keadilan sosial benar-benar harus ditegakkan. yakni keadilan yang adil bagi
kedua pihak antar pemerintah dan rakyat.

33
B. Saran

Indonesia sebagai masyarakat yang warganya menganut ideologi


pancasila sudah seharusnya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila sebagai dasar dan pijakan serta nilai-nilai Pancasila senantiasa
harus diamalkan dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Agar tercipta persatuan dan kesatuan antar warga Indonesia. Etika,
norma, nilai dan moral harus senantiasa diterapkan dalam bersikap dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku yang
sesuai dengan adat, budaya dan karakter bangsa Indonesia

34
DAFTAR PUSTAKA

FADIILAH, E. N. (2018). REPORT . JAKARTA : 15KOMPASIANA.

SYAHIRA, S. (2023). Report . Jakarta: News.

Utami, S. N. (2023). Report . JAKARTA: Kompas.com.

YANTO, D. (2017). Journal Article . ETIKA POITIK PANCASILA, 23-27.

35

Anda mungkin juga menyukai