DOSEN PENGAMPU:
EHSAN AHMAD (
MANAJEMEN DAKWAH C
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
TAHUN 2014-2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan karunianya. Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Dra. Siti
Fatimah, M.Pd. yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Negara Indonesia diambil dari nilai-nilai adat, kebudayaan dan nilai religious yang
Negara.
Makalah ini kami susun dengan harapan bisa menambah pemahaman tentang
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan
kritik yang membangun sangat kami harapkan agar kedepannya lebih baik lagi.
Penyusun
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
sistem nilai, artinya setiap sila memang mempunyai nilai akan tetapi sila saling
berhubungan, saling ketergantungan secara sistematik dan diantara nilai satu sila
dengan sila lainnya memiliki tingkatan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan
nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila merupakan sekumpulan nilai yang
diangkat dari prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut berupa nilai religious, nilai adat istiadat, kebudayaan dan setelah disahkan
harus di jabarkan dalam suatu norma yang merupakan pedoman pelaksanaan dalam
macam norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu norma hukum dan
norma moral atau etika. Sebagaimana diketahui sebagai suatu norma hukum positif,
hal itu secara kongkrit dijabarkan dalam tertib hukum Indonesia. Namun, dalam
3
perundang-undangan kalau tidak dilandasi oleh moral yang luhur dalam
B.RUMUSAN MASALAH
C.TUJUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Di era sekarang sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika untuk
kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk
ditetapkan. Hal ini terwujud dengan keluarnya ketetapan MPR No. VI/MPR/2001
1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam
menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek
2. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan
moral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
2. Etika Kehidupan Berbangsa
5
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan
kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling
mencintai, dan tolong-menolong di antara sesame manusia dan anak bangsa.
Senada dengan itu juga menghidupkansuburkan kembali budaya malu, yakni
malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa.
b. Etika pemerintahan dan politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien,
dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, jujur dalam persaingan, serta menjujunjung tinggi hak asasi manusia.
c. Etika ekonomi dan bisnis
Etika ini bertujuan agar prinsip dan prilaku ekonomi baik oleh pribadi, institusi,
maupun keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan ekonomi dengan
kondisi yang baik dan realitas.
d. Etika penegakan hukum yang berkeadilan
Etika ini bertujuan agar penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan
tidak diskriminatif terhadap setiap warga Negara di hadapan hukum, dan
menghindarkan peggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan.
e. Etika keilmuan dan disiplin kehidupan
Etika ini diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan
teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis, dan objektif.
Dengan berpedoman pada etika kehidupan berbangsa tersebut, penyelenggara
Negara dan warga Negara berprilaku secara baik bersumber pada nilai-nilai pancasila
Namun sebagai semacam kode etik, pedoman etik berbangsa memberikan sanksi
moral bagi siapa saja yang berprilaku menyimpang dari norma-norma etik yang baik.
6
Etika kehidupan berbangsa ini dapat kita pandang sebagai norma etik Negara sebagai
Etika dan moral bagi manusia dalam kehiduan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat, senantiasa bersifat relasional. Hal ini berarti bahwa etika serta moral
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, tidak dimaksudkan untuk manusia secara
pribadi, namun secara relasioanal senantiasa memiliki hubungan dengan yang lain
baik kepada Tuhan yang maha esa maupun kepada manusia lainnya.
1.
bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi
dan etika pendidikan. Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul –
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain
sebagainya
7
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
jawab. Jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara
rasional, obyektif dan argumentif. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
dapat dijalankan secara obyektif, etika politik dapat memberikan patokan orientasi
dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan
legitimasi moral perlbagai keputusan politik. Suatu keputusan bersifat politis apabila
Hukum dan kekuasan negara merupakan pembahasan utama etika politik.
Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebgai
lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan
manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan
kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah, Hukum tanpa kekuasan negara tidak
kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta. Negara
yang memakai kekuasaannya diluar hukum sama dengan manusia yang berbuat tanpa
pengertian. Negara semacam itu menjadi negara penindas dan sangat mengerikan.
Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi
suatu negara adalah adanya cita-cita “the rule of law”, partisipasi demokratis
8
masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia menurut kekhasan paham kemanusiaan
2. Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat
dirumuskan dengan suatu pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok
orang memegang dan menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan
menuntut pertanggungjawaban.
Dalam etikan politik, kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke
kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis
kemampuannya itu dengan ancam,an atau sanksi nya terhadap mereka yang mau
membangkang.
yaitu tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan,
9
Sebaliknya keselarasan nampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram dan
sejahtera.
Sesuai dengan sifat dan hakekat kekuasaan sendiri cara pemakaiannya secara halus.
Penyusutan kekuasan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang
memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani yang sebenarnya. Karena pamrih
diakhirnya dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Maka oleh sebab itu, bahaya besar
bagi kedudukan penguasa tidak berasal dari musuh di luar atau faktor obyektif dalam
masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti penguasa itu
keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu juga kalu
demi keuntungan material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah menguap
hilang. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah
keluhuran budinya.
10
Legitimasi kekuasaan meliputi:
negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku (hukum positif). Padahal belum tentu bahwa hukum yang
berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh sebab itu, hukum dalam kerangka
etika politik adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk memanusiakan
ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu
norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan negara
baik dari legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma
11
kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan-tuntutan
satu untuk pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa negara hanya
boleh bertindak dalam batas-batas hukum, bahawa hukum harus menghormati hak
tertentu, seperti isu ketidak adilan sosial, semua berwujud tuntutan agar negara
melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah kalanagan paham agama secara
klasik membuat rumusan bahawa “kita harus lebih taat kepada Allah daripada
kepada manusia”.
maka ukuran apakah penguasan itu memiliki etika politik tidak lepas dari moral
agama yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu, pernyataan-pernyataan yang
sering dilontarkan oleh umat beragama adalah bahawa kekuasaan itu adalah amanah
dari Allah dan harus dipertanggung jawabkan kepadaNya kelak. Di samping terdapat
juga ungkapan dari tradisi masyarakat yang menyatakan “raja adil raja disembah,
raja zalim raja disanggah”. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari kemuliaan dan
masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam masyarakat tersebut.
12
Oleh sebab itu, alat pengukur etika politik yang dilaksanakan oleh penguasa
ditentukan oleh nilai, moral dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
memakmuran rakyat, apabila kehilangan hati nurani tersebut maka kekuasan yang
terlihat perebutan kekuasaan semata-mata yang dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki,
cavi maki dan iri hati. Sehingga kekuasaan akan merusak tatatan kerukuan hidup
masyarakat. Apabila hati nurani kekuasaan melekat pada nurani seorang penguasa,
maka kekuasaan adalah amat rakyat sehingga akan melahirkan martabat, harga diri
dan rezeki.
13
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
adalah pancasila dijadikan sebuah peraturan untuk berbangsa dan bernegara. Karena
senantiasa bersifat relasional. Hal ini berarti bahwa etika serta moral yang terkandung
dalam sila-sila pancasila tidak hanya dimaksudkan untuk manusia secara pribadi, tapi
juga secara rasional senantiasa berhubungan dengan yang lain. Baik kepada Tuhan
14
DAFTAR PUSTAKA
15