Anda di halaman 1dari 13

MADZHAB PEMIKIRAN

FIQH POLITIK MUSLIM ETIS

DOSEN PEMBIMBING

Drs. Yusdani, M.Ag

DISUSUN OLEH

Miftahu Huda 17421125

Abdullah Arojhi 17421133

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

PROGAM STUDI AKHWALU AS-SYAHSIYYAH

2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadiratnya yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayahnya, Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Madzhab Pemikiran Fikih Politik Etis”. Dalam penulisan ini, pemakalah banyak
menemukan kesulitan, namun berkat kerja sama kelompok maklah ini dapat
diselesaikan, walaupun masih banya kekurangan. Makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah SIYASAH pada jurusan Ahwal Al-
Sykahsiyah Di Universitas Islam Indonesia.

Pemakalah bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari para pembaca
untuk menjadi bahan pertimbangan untuk memperbaiki makalah ini dikemudian hari.
Dengan menyelesaikan makalah ini, pemakalah mengharapkan, semoga makalah ini
memberikan banyak manfaat kepada pembaca sesuai dengan judul yang diambil
pemakalah.

Yogyakarta, Maret 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................I

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................................I

B. Pokok Permasalahan........................................................................................................II

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................1

A. Etika Politik Dalam Islam.................................................................................................1

B. Contoh Kasus...................................................................................................................2

C. Pandangan Para Ahli Mengenai Etika Dalam Berpolitik..................................................3

D. Analisis.............................................................................................................................5

BAB III PENUTUP......................................................................................................................7

A. Kesimpulan......................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini, etika politik seakan sudah tidak berlaku lagi, bahkan cenderung
menghilang. Etika dalam berpolitik seakan-akan tidak berlaku lagi dikalangan
politikus.
Realitas yang ada menunjukkan politik sebagai ajang pertarungan
kekuatan dan kepentingan, hingga terdapat kecenderungan umum menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan. Pragmatisme politik sudah merusak etika
berpolitik para politikus. Salah satunya adalah praktik money politics (transaksi
politik) yang benar-benar tidak mendidik rakyat dan menjadi contoh yang buruk
dalam berpolitik. Mestinya, para elit politik menjadi teladan yang baik bagi
rakyat. Karena itu, seorang politisi harus menjadikan etika politik sebagai
patokan orientasi dan pandangan normatifnya agar terlaksana kekuasaan yang
bermartabat1
Kata “etika” kerap sekali muncul, terutama dalam kehidupan berpolitik yang
meliputi proses persoalan publik dalam politik maupun proses pembuat keputusan.
Proses ini yang melahirkan dua faktor yaitu, pengembangan kelompok sosial; dan
kerekteristik hubungan struktural dalam kelompok. Menurut Anthoni Giddens, dalam
merumuskan susunan masyarakat ada dua hal yang perlu diperhatikan, keduanya saling
bertautan, yaitu struktur sosial (social structure), dan tindakan manusia (human action).
Pertautan ini, melahirkan etika politik yang memiliki standar nilai yang berlaku,
berlangsung secara teratur dan berpola padasatu kaidah tertentu. 2
Dari ungkapan persoalan di atas, kata “etika” terkait erat dengan pertanyaan
bagaimana seharusnya hidup, apa yang membuat sebuah tindakan menjadi benar dan
salah, dan serta apa tujuan dari sebuah tindakan. Pertanyaan tersebut mempertanyakan
apakah perbuatan itu etis atau tidak dalam artian normatif. Dalam tataran filsafat, etika
dipahami tidak hanya sebatas aspek normatif saja dalam perilaku, melainkan lebih pada
motivasi tindakan dan cara berpikir. Dengan asumsi bahwa pengetahuan etika
merupakan pengetahuan tetang apa yang harus dan tidak harus dilakukan, sikap apa
1
Rashda Diana, dkk. “Etika Politik dalam Perspektif al-Mawardi”, Jurnal Pendidikan Islam Vol.
14 No. 2, 2018, hal 364.
2
Jawahir Thontowi, “Islam, Politik dan Hukum; Esai-Esai Ilmiah untuk Pembaruan” (Yogyakarta:
Madyan press, 2002), hal 102. catatan Anthoni Giddens, Sociology (Oxford: Polity Press, 1992).
yang harus dan tidak harus di lakukan, atau sedang dan ingin dilakukan, maka etika
terkait erat dengan cara berpikir (way of thought) manusia pada umumnya. Cara
berpikir itulah yang melahirkan tindakan dan prilaku. 3
Dengan demikian, cara berpikir, tindakan dan praktek perilaku seseorang, akan
sangat dipengaruhi kondisi sosial budaya dan historis. Dalam konteks sosial- historis,
sebuah keputusan etika diambil untuk mengatasi sebuah masalah. Dalam mengatasi
persoalan, etika menjadi sebuah standar prosedur untuk membuat satu keputusan untuk
menyelesaikannya. Etika dalam bentuknya sebagai sebuah prosedur keputusan dalam
situasi konflik, menjelma sebagai ungkapan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
dalam politik.

B. Pokok Permasalahan
Dari gambaran latar belakang tersebut, kami menemukan beberapa permasalahan
yang ingin penulis bahas dalam makalah ini.
1. Bagaimana etika politik dalam Islam ?
2. Bagaimana pandangan para ahli mengenai etika dalam berpolitik ?

3
M. Amin Abdullah,” Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam” (Bandung: Mizan,2002),
hal 38.

II
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika Politik Dalam Islam


Etika politik adalah salah satu sarana yang diharapkan bisa menghasilkan
suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar
kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa
dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi dan golongan. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin,
etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa4.
Berbicara mengenai etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik
cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali
kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas,
mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan
kepentingan berbangsa5. Etika politik Islam relatif berbeda dengan etika politik
umum, sebab etika politik Islam memiliki dasar yang sakral dari wahyu Tuhan
dan sunnah Rasul6
Menurut Dr. Beni Ahmad Saebani, terkait dengan definisi politi islam
yang lebih condong mendefinisikan etika politik Islam sebagai siyasah
syar’iyyah. Menurutnya, Siyasah Syar’iyyah adalah politik yang berbasis pada
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya dengan tujuan utama mencapai
kemaslahatan. Ide dasar serta etika dalam berpolitik tentunya berpedoman pada
prinsip-prinsip hukum Islam, yang diambil dari alQur’an, as-Sunnah, maupun
ijtihad para ulama7.

4
Prihatin Dwihantoro, “Etika Dan Kejujuran Dalam Berpolitik” Jurnal POLITIKA, Vol. 4, No. 2,
Oktober 2013, hal 13.
5
Ibid,.
6
Farhah, “Prinsip EtikaPolitik Pemimpin Dalam Islam”, Jurnal Dauliyah, Vol. 4, No. 2, Juli 2019,
hal 68.
7
Ibid, 69
B. Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus, beberapa waktu yang lalu wakil ketua DPR Priyo
Budi Santoso tengah dalam sorotan, setelah mengunjungi LP Sukamiskin.
Sebenarnya tidak masalah bagi siapa saja yang mengunjungi LP, baik sekadar
melihat-lihat kondisi penjara, atau untuk menjenguk penghuninya. Yang penting
pengunjung mengikuti prosedur yang berlaku. Namun kemudian kunjungan
Priyo ke LP Sukamiskin jadi sorotan publik karena Priyo tidak jujur soal
kunjungan tersebut. Saat datang di LP Sukamiskin, Priyo mengaku sedang
melakukan inspeksi mendadak atau sidak. Hal ini sesuai dengan kewenangannya
selaku wakil ketua DPR yang membidangi hukum. Tetapi, menurut kepala LP
Sukamiskin, izin Priyo Budi Santoso ke LP untuk mengunjungi Fahd el Faouz,
terpidana kasus korupsi pengadaan AlQuran. Tidak hanya itu, pimpinan DPR
yang lain, juga mengaku tidak pernah mengeluarkan tugas kepada Priyo untuk
melakukan sidak ke LP Sukamiskin. Dengan demikian, dalam aksinya ke LP
Sukamiskin, Priyo tidak jujur dalam dua hal, yaitu pertama, mengaku sidak,
padahal hanya kunjungan biasa. Kedua, mengaku menjalankan tugas pimpinan
DPR, padahal pimpinan DPR tidak pernah membahas dan menugasinya. Selain
itu, Priyo juga menyalahgunakan wewenang yaitu waktu sidak yang melebihi
jam kunjungan. Kedua, Priyo juga berbicara dengan banyak narapidana, padahal
berdasarkan izin kunjungan, mestinya dia hanya bisa bicara dengan Fahd.
Kunjungan ini makin mendapat sorotan setelah nama Priyo disebutsebut ikut
menerima fee dalam proyek penggandaan Alquran. Untuk membahas tentang
kejujuran menjadi alasan strategis untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap para politisi, akan dilihat melalui beberapa perspektif etika.
Yaitu etika keutamaan, etika deontologis dan etika teleologis. Dalam etika
keutamaan tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau
murah hati dan sebagainya. Etika keutamaan memandang sikap atau akhlak
seseorang. Keutamaan dapat didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah

2
diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara
moral8.

C. Pandangan Para Ahli Mengenai Etika Dalam Berpolitik


Etika politik tidak lepas dari subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia.
Faisal Baasir mendasarkan etika politik bangsa dan negara pada nilai-nilai luhur
ajaran agama adalah suatu keharusan. Sebab agama merupakan sistem nilai yang
diyakini kebenarannya, ia adalah lentera dan panduan kehidupan serta modal
ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu9
Etika politik merupakan pedoman orientasi dan pegangan normatif untuk
menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat
manusia. Karenanya, pokok permasalahan etika politik adalah persoalan
legitimasi etis kekuasaan.
Mengenai etika politik, al-Ghazali menjelaskan korelasi antara akhlak
dengan kehidupan realitas, dimana salah satunya termasuk kehidupan berpolitik
adalah sangat penting. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Imam al-Ghazali mengelompokkan politik ke dalam ilmu filsafat. Menurutnya,
tujuan utama berpolitik adalah mencari kemaslahatan masyarakat serta
membimbingnya kepada jalan yang lurus di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan tersebut juga didapatkan dengan menyempurnakan akhlak
masyarakat. Baginya akhlak merupakan instrumen penting yang harus dimiliki
setiap orang. Hal ini menandakan bahwa al-Ghazali sangat mengedepankan
korelasi etika atau akhlak yang berlandaskan agama kemudian implementasinya
dalam konteks politik. Karena baginya, kunci kemaslahatan, atau yang ia sebut
sebagai kebahagiaan, ada pada para pemimpin yang memiliki akhlak yang baik10
Hal senada tentang pentingnya etika politik atau akhlaq siyasah juga
disetujui oleh Ibnu Khaldun. Mengutip dari karya fenomenalnya yang berjudul
Muqaddimah11,

8
Prihatin Dwihantoro “Etika Dan Kejujuran Dalam Berpolitik” Jurnal POLITIKA, Vol. 4, No. 2,
Oktober 2013, hal 16.
9
M.Thahir Maloko, “Etika Politik Dalam Islam”, Jurnal Al-Daulah Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hal
57
10
Farhah dan Achmad Farid, “Prinsip EtikaPolitik Pemimpin Dalam Islam”, Jurnal Dauliyah,
Vol. 4, No. 2, Juli 2019, hal 78.

3
“Dari sini kita mengetahui bahwa inilah etika dalam berpolitik. Jika
mereka (baca: pemimpin dan penguasa) memiliki karakter-karakter
terpuji ini (dermawan, pemaaf, sabar, menepati janji, mengagungkan
hukum agama, memuliakan ahli agama, bersikap dan berperilaku sesuai
dengan perintah agama dan aturan-aturan syariat, serta menjauhkan diri
dari pengkhianatan, penipuan, dan monopoli), maka mereka layak
menjadi pemimpin bagi para bawahan mereka atau masyarakat pada
umumnya. Kepemimpinan tersebut menjadi anugerah terbaik yang yang
dilimpahkan Allah kepada mereka." (Khaldun, Muqaddimah)

Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Ibnu Khaldun menjelaskan secara


umum prinsip prinsip etika politik bagi seorang pemimpin. Menurutnya, etika
atau akhlak seorang pemimpin menjadi kunci kesuksesan dalam kepemimpinan.
Jika seorang pemimpin saja tidak bisa memberikan contoh etika yang baik, maka
sulit untuk menciptakan keadaan politik yang menghasilkan maslahat bagi
masyarakat umum.

Selain itu, Ridwan HR juga mendefinisikan etika politik Islam dengan


terminologi siyasah syar’iyyah. Menurutnya, siyasah syar’iyyah merupakan
siyasah atau politik yang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis Nabi. Lebih jauh
lagi ia menjelaskan, siyasah syar’iyyah adalah politik yang dihasilkan oleh
pemikiran manusia yang berdasarkan etika, agama, dan moral dengan
memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur hidup manusia
bermasyarakat dan bernegara12

Sehingga dari beberapa paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa etika


politik Islam merupakan suatu konsep yang disertakan dengan prinsip etika atau
akhlak, yang berlandaskan dasar-dasar keislaman dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah, yang diimplementasikan ke dalam ranah politik sehingga akan
menghasilkan kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Tentu tujuan dari etika
politik Islam sangat mendalam. Selain untuk mencapai kemaslahatan umat,
Islam juga menitikberatkan etika politik sebagai alat untuk mencapai politik
yang bersih dan jujur.

11
M. Thahir Maloko, “Etika Politik Dalam Islam”, Jurnal Al-Daulah Vol. 1, No. 2, Juni 2013, hal
57

12
Ibid,.70

4
D. Analisis
Berkaitan dengan salah satu contoh yang dipaparkan diatas, hal ini
membuktikan bahwasannya etika didalam dunia perpolitikan semakin jauh
ditinggalkan. Para politisi yang semakin haus akan kekuasaan mengakibatkan
segala cara dihalalkan demi memenuhi nafsu dan kelompok semata. Jika melihat
pemaparan dari apa yang diungkapkan oleh Imam Ghazali berkaitan dengan
etika dalam berpolitik, maka apa yang terjadi pada perpolitikan (indonesia) yang
sekarang ini bisa dibilang jauh dari nilai-nilai akhlak yang baik yang ditunjukan
oleh para politisi.
Politik sebagai instrument untuk meraih kebajikan melalui artikulasi
kepentingan seharusnya didasari oleh kejujuran. Hanya dengan kejujuran maka
tujuan kebajikan tersebut akan bisa diwujudkan. Sayangnya bahwa tujuan
menciptakan kebajikan tersebut seringkali direduksi oleh berbagai tindakan para
pelaku politik yang tidak mencerminkannya13. Kembali mempertajam tentang
kasus diatas, jika dilihat dari perspektif etika keutamaan maka contoh kasus di
atas menggambarkan bahwa kejujuran menjadi sesuatu yang langka dan mulai
hilang dikalangan politisi DPR. Kita melihat dan merasakan bahwa kejujuran
sepertinya sedang pergi meninggalkan bangsa ini. Seharusnya seorang politisi
tidak hanya harus bersifat jujur ramah, namun harus penuh tanggung jawab.
Seorang politisi tidak hanya pintar bersilat lidah namun mampu
mempertangungjawabkan tindakan dan omongannya. Politik moral bagaikan
sebuah panduan dan manual tindakan bagi politisi. Penuh tanggung jawab,
populis, adil dan jujur adalah etika dalam politik yang tetap harus dijunjung
tinggi14
Berkaitan dengan kasus diatas, Islam memiliki konsep etika dalam
berpolitik, tentunya landasan yang paling utama untuk dijadikan rujukan jika
berkaitan dengan etika iyalah al-Quran dan al-Hadist. Berbagai tawaran konsep

13
Prihatin Dwihantoro “Etika Dan Kejujuran Dalam Berpolitik” Jurnal POLITIKA, Vol. 4, No. 2,
Oktober 2013, hal 16.16
14
Ibid.,

5
diberikan oleh islam dalam berpolitik, salah satunya sikap jujur dan adil. Sikap
jujur dan adils merupakan hal yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh
setiap individu politisi.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Persoalan etika sangat penting dan kebutuhan mendasar dalam berbagai hal, karena
etika atau ilmu akhlaq adalah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Umat Islam
tidak akan terjadi perdebatan yang akut, asal memiliki tujuan bersama
yaitumemandang aspek-aspek etis al-Qur’an. Menurut Fazlur Rahman, kalau kita
berlandaskan etika yang kokoh, perbedaan yang terjadi dapat dirujukan pada
landasan-landasan etis. Dengan tegas ia mengatakan, jangankan kemungkinan,
kebutuhan untuk pintu ijtihad itu sendiri pun tertutup.
2. Mengenai etika politik, al-Ghazali menjelaskan korelasi antara akhlak
dengan kehidupan realitas, dimana salah satunya termasuk kehidupan
berpolitik adalah sangat penting. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa Imam al-Ghazali mengelompokkan politik ke dalam ilmu
filsafat. Menurutnya, tujuan utama berpolitik adalah mencari kemaslahatan
masyarakat serta membimbingnya kepada jalan yang lurus di dunia maupun
di akhirat.
3. Etika politik Islam merupakan suatu konsep yang disertakan dengan prinsip
etika atau akhlak, yang berlandaskan dasar-dasar keislaman dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah, yang diimplementasikan ke dalam ranah politik sehingga
akan menghasilkan kemaslahatan masyarakat pada umumnya.
4. Islam memiliki konsep dengan etika berpolitik, tentunya landasan yang
paling utama untuk dijadikan rujukan jika berkaitan dengan etika iyalah al-
Quran dan al-Hadist

7
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Jawahir Thontowi, 2002. “Islam, Politik dan Hukum; Esai-Esai Ilmiah untuk
Pembaruan”(Yogyakarta: Madyan press)

M. Amin Abdullah, 2002. ”Antara al-Ghozali dan Kant: Filsafat Etika Islam”
(Bandung: Mizan)

Jurnal

Farhah, “Prinsip EtikaPolitik Pemimpin Dalam Islam”, Jurnal Dauliyah, Vol. 4, No. 2,
Juli 2019

M.Thahir Maloko, “Etika Politik Dalam Islam”, Jurnal Al-Daulah Vol. 1, No. 2, Juni
2013

Prihatin Dwihantoro, “Etika Dan Kejujuran Dalam Berpolitik” Jurnal POLITIKA, Vol.
4, No. 2, Oktober 2013

Rashda Diana, dkk. “Etika Politik dalam Perspektif al-Mawardi”, Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 14 No. 2, 2018,.

Anda mungkin juga menyukai