Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ETIKA POLITIK (ANALISIS KASUS)

OLEH :

ARIFKI ADRIALING JEVHANS


C1E120075

JURUSAN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehinggah
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya Penulis berharap semoga
makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu,
penulis memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersikap membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik dan penulis akan terbuka
terhadap saran dan masukan dari semua pihak, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.

Kendari, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Memahami Etika dalam berpolitik................................................................3
B. Menganalisa Kasus Dengan Etika Dalam Berpolitik....................................5
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................9
A. Kesimpulan...................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika ialah pemikiran sistematis tentang moralitas atau usaha manusia
untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah
kehidupan sehari-hari. Secara historis etika sebagai usaha filsafat yang lahir dari
keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” artinya adat, kebiasaan,watak,
sikap. Etika adalah suatu ilmu yang membahas mengenai perilaku atau perbuatan
baik maupun perbuatan buruk manusia. Dimana etika tersebut berpengaruh
terhadap nilai dan norma-norma dalam bertingkah laku di dalam masyarakat, agar
bisa menjadi anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan (Firdaus, 2020).
Etika politik adalah salah satu sarana yang diharapkan bisa menghasilkan
suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar
kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa
dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi dan golongan (Dwihantoro, 2013).
Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran
politik yang menyangkut proses dan hasil dari kegiatan politik suatu sistem politik
suatu pemerintahan berdasarkan pada esensi (hakikat) manusia. Hal ini berarti
manusialah yang harus menjadi kriteria atau ukuran dan tujuan. Walaupun dalam
politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu
ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun selalu tidak hanya
digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan. Oleh sebab itu sejak dulu kala
manusia mengupayakan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan, terutama
yang dilakukan oleh mereka para pemegang kekuasaan poltik.Term etika (filsafat
moral) dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengaturtingkah lakunya. Etika
memberikan dasar moral kepada politik (Budiyono, 2019).

1
Berbicara persoalan etika politik pada hakikatnya membahas persoalan
hukum dan kekuasaan. Hukum adalah aturan normatif masyarakat, hukum yang
memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus
bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma prilaku betul dan salah dalam
kehidupan masyarakat, akan tetapi hukum hanya bersifat normatif dan tidak
afektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar setiap orang taat
kepada norma-normanya. Secara efektif yang dapat menentukan kelakuan
masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk mamaksakan
kehendaknya, lembaga itu adalah Negara (Firdaus, 2020).
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan
serta martabat diri sebagai warga bangsa. Berbicara mengenai etika berpolitik
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini
banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika
kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan
tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak
mengutamakan kepentingan berbangsa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang bisa
disimpulkan adalah :
1. Bagaimana memahami etika dalam berpolitik?
2. Bagaimana mendeskripsikan dengan menganalisis kasus kejadian dengan etika
dalam berpolitik?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemahaman etika dalam berpolitik
2. Untuk menganalisis kasus kejadian dengan etika dalam berpolitik.

2
BAB III
PEMBAHASAN

A. Memahami Etika dalam berpolitik


Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran
politik yang menyangkut proses dan hasil dari kegiatan politik suatu sistem politik
suatu pemerintahan berdasarkan pada esensi (hakikat) manusia. Hal ini berarti
manusialah yang harus menjadi kriteria atau ukuran dan tujuan. Walaupun dalam
politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu
ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun selalu tidak hanya
digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan. Oleh sebab itu sejak dulu kala
manusia mengupayakan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan, terutama
yang dilakukan oleh mereka para pemegang kekuasaan poltik.Term etika (filsafat
moral) dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengaturtingkah lakunya. Etika
memberikan dasar moral kepada politik (Kartika, 2015).
Menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktek
politik yang bersifat Machavellistis, yaitu politik sebagai alat untuk mnelakukan
segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma daan
berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai). Untuk menilai sikap batin
maupun perbuatan lahir dibutuhkan suatu alat, yakni ukuran moral. Manakah yang
dapat kita pakai dalam menilai kebaikan manusia itu? Sejauh manakah ukuran itu
patut dipercaya? Sampai kapankah ukuran itu dapat dipakai? Jawaban dari
pertanyaan di atas tergantung pada teori, faham atau falsafah yang kita pakai
(Farhah, 2019).
Etika politik mempunyai tujuan kepada setiap pejabat dan elite politik
untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila
terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk

3
sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura,
tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik,
tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik
harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan
bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya
menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani
dengan memakai rasionalitas. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar
suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji,
dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria
moral. Apakah politik kejujuran dan kejujuran dalam politik sungguh-sungguh
bisa menjadi nyata? Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama-tama tentu perlu
dipahami terlebih dahulu apakah politik itu. Kata “politik” adalah sebuah rumusan
yang kompleks dan dinamis. Penjelasan paling mudah barangkali dengan
meminjam ungkapan Kenneth Gergen (1999), yang mengatakan, dunia kita
dibangun oleh kata- kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan itu akan bisa
berinteraksi dengan landasan kekuasaan .
Mengenai kekuasaan, Michel Foucault (1976) menulis bahwa kekuasaan
diciptakan dibuat melalui diskursus atau percakapan. Diskursus yang telah
melembaga dalam institusi sosial-budaya itulah yang kemudian menciptakan
norma-norma kekuasaan dan kontrol. Wacana (discourse), menurut Foucault,
dibuat dan diabadikan oleh mereka yang memiliki kekuatan dan sarana
komunikasi. Menurut Foucault, kebenaran, moralitas, dan makna dibentuk melalui
discourse itu. Kejujuran dalam politik bukan hanya terbatas pada persoalan sistem
dan manusia. Kejujuran mencakup pula problem literasi terhadap diskursus.
Sistem yang rigid bisa saja bocor ketika manusia-manusia baik (secara normatif)
di dalamnya tidak mampu menafsirkan diskursus yang sedang berlangsung.
Pemahaman Foucaultian ini agaknya penting untuk melengkapi upaya-upaya kita
membangun sistem politik yang terlepas dari sifat-sifat buruknya. Dalam
berpolitik, kejujuran sangat memerlukan keberanian. Suatu keberanian yang
dilandasi kesadaran, proses berpolitik yang tak sehat tak hanya merusak proses

4
demokrasi yang tengah dibangun. Tetapi, juga merusak tatanan dan sistem politik
yang seharusnya dijunjung tinggi dan dipatuhi bersama. Artinya, secara kasat
mata publik melihat, politik saat ini masih didominasi permainan-permainan tidak
sehat yang melahirkan para politisi bermental tidak sehat. Sehingga, orientasi
politiknya pun tidak sehat, sebatas memperkaya dan menguntungkan diri sendiri
dan atau kelompoknya meski harus menempuh cara-cara yang tidak sehat
(Fabiana Meijon Fadul, 2019)

B. Menganalisa Kasus Dengan Etika Dalam Berpolitik


Secara sederhana, etika sebenarnya merupakan teori yang lahir dengan
munculnya kesadaran akan tragedi berupa kekacauan (anarkhisme) yang
berlangsung di berbagai level baik di tingkat individu, kelompok, dunia atau
bahkan alam semesta. Etika membedakan dirinya dari disiplin filsafat ilmu
pengetahuan yang mengkaji masaalah masalah yang berdasarkan prinsip benara-
salah. Etika juga tidak dapat disamakan dengan estetika yang berbicara tentang
hal-hal yang indah dan yang cacat. tetapi etika menempatkan dirinya untuk
memperbincangkan yang baik dan yang buruk, etika adalah soal kebijakan. Etika
diangkat ke permukaan agar kepentingan–kepentingan yang berbeda dan mungkin
saling bertengkar tidak saja mungkin didamaikan, tetapi juga memikirkan agar
proses perdamaian itu mampu memenuhi cita rasa norma-norma keadilan dan
kemanusiaan (Dwihantoro, 2013).
Kasus yang diangkat untuk dianalisa adalah kasus kejadian pada tanggal
10 Mei 2019 yang berjudul “Diduga sekap Seorang wanita, Wakil Ketua DPRD
Kendari di Polisikan” dengan Laporan Pengaduan (LP) bernomor
B/285/IV/2019/Reskrim12 April 2019. Dalam kasus tersebut yang menjadi pokok
permasalahan adalah Korban sudah melaporkan ke pihak berwajib dalam hal ini
ke Polres Kendari tetapi tidak ada tanggapan atau respon sehingga korban
mengambil langkah dengan speak up atau membuka ke media dengan
menghadirkan atau melaporkan ke media.

5
Dalam kasus ini ada beberapa hal yang menyangkut dengan etika dalam
berpolitik, menurut pandangan penulis hal-hal yang menjadi perhatian adalah
sebagai berikut :

1. Kejujuran
Salah etika dalam berpolitik adalah kejujuran. Menurut analisa penulis
terhadap perkara tersebut tersebut tergambar dalam kasus tersebut ada sikap
ketidak jujuran yang dilakukan pelaku baik kepada diri sendiri, keluarga dan
organisasinya. Hal ini tergambar pada penyataan korban yang menyatakan bahwa
“Kepada wartawan, Y menuturkan, penyekapan itu bermula saat keduanya
bertengkar hebat didalam mobil. Pertengkaran itu dipicu saat Y mulai
menanyakan soal kelanjutan hubungan mereka, Y juga meminta kejelasan
kapan akan dinikahi. Lalu, Husain Machmud, menurut Y, berjanji akan
menikahinya secara sirih dua hari usai Pilcaleg”
Kejujuran dapat menjadi modal untuk perkembangan pribadi dan
kemajuan kelompok. Orang yang jujur akan sanggup menerima kenyataan pada
diri sendiri, orang lain dan kelompok. Sikap ini dapat membawa banyak
perkembangan pribadi dan kelompok. Kejujuran menimbulkan kepercayaan yang
menjadi landasan pergaulan dan hidup bersama. Tanpa kejujuran orang tidak
dapat bergaul dan hidup secara wajar. Kejujuran dapat memecahkan banyak
persoalan. Baik persoalan pribadi, persoalan kelompok, masyarakat, maupun
negara. Jika kita berpolitik secara jujur, membangun hidup ekonomi secara jujur,
berbudaya secara jujur, maka krisis multidimensi dapat teratasi.
2. Penegakkan hukum yang lemah
Dalam kasus tersebut sangat jelas tergambar, tidak adanya respon aktif
yang diterima pelapor dari kejadian yang dialami yang menganggap dirinya
adalah sebagai korban. Tidak ada penyelidikan lebih lanjut terkait laporan yang
sudah di ajukan pelapor ke pihak berwajib. Hal ini tergambar pada pernyataan
korban yang menyatakan “Kasus itu baru terbongkar setelah Y dan kuasa
hukumnya merasa kecewa karena laporannya ke Polres Kendari tak ada
kemajuan. Akhirnya, Y mengungkapkan kepada media”.

6
Penegakan hukum merupakan suatu proses di lakukanya upaya untuk
menegakan norma-norma dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam
penegakan hukum pemerintah belum bisa mengatasi masalah ini karena apa?
Karena belum adanya ketegasan oleh pemerintah dalam menegakkan hukum
terutama di negara Indonesia. Bahkan pemerintah dan para penjabat negara juga
ikut dalam melakukan penyelewengan, seperti banyak yang melakukan korupsi
dan melakukan praktek KKN.
3. Kepercayaan
Menurut analisa penulis dalam kasus tersebut hilangnya kepercayaan
korban terhadap penegak hukum. Hal ini tergambar pada pernyataan “Karena
saya terus menanyakan bagaimana kejelasan hubungan kami, dia
memarkirkan mobil di Jalan Laute, tepat depan Kantor BKSDA. Lalu dia
keluar dan pergi dengan membawa kunci mobilnya. Saya berusaha buka pintu
tapi tidak bisa," terang Y”.
Penelitian yang dilakukan Rabbaniyah dkk., (2022) menemukan bahwa
budaya patriarki yang kuat di masyarakat dan trauma yang dialami para korban
berperan besar menyebabkan mereka enggan melaporkan apa yang dialaminya
dan memilih untuk membungkam diri. Dengan demikian, temuan ini
menunjukkan bahwa self silence dilakukan oleh korban untuk menjaga hubungan
interpersonal, menghindari konflik, dan menjaga keamanan fisik dan atau
psikologis sebagai cara untuk melindungi diri dalam lingkungan patriarki
(Rabbaniyah & Salsabila, 2022).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2019), Visi dan misi partai
politik dianggap belum konsisten dengan realitas program kegiatannya. Kualitas
kader dan prestasi partai politik dipandang masih minim dalam mendorong
perbaikan kehidupan masyarakat. Implikasi persepsi pemuda terhadap ketahanan
politik wilayah di Banten berdampak pada legitimasi pemerintah yang menurun,
kebijakan pemerintah yang tidak didukung pemuda, dan partisipasi politik
pemuda rendah bahwa meningkatnya pandangan pemuda pada ketidakpercayaan
pada penegak hukum, sistem politik demokrasi dipandang belum bisa mendorong
stabilitas politik yang baik karena baru bisa dilakukan secara prosedural belum

7
menyentuh substansi dari nilai demokrasi. Kondisi tersebut berimplikasi
mengancam pada ketahanan politik di wilayah Provinsi Banten (Hermawan,
2014).

4. Kekuasaan
Dalam perjalanan sejarah umat manusia, sumber kekuasaan berasal dari
berbagai bentuk. Ada yang muncul dari dalam diri manusia, ada pula yang berasal
dari luar atau eksternal manusia. Kekuasaan ini berbeda-beda dalam pemaknaan
setiap manusia di bumi ini. Salah satu bentuknya adalah Kekuasaan memaksa
(coercive power). Kekuasaan berdasarkan pada kemampuan orang untuk
menghukum orang yang dipengaruhi kalau tidak memenuhi perintah atau
persyaratan (teguran sampai hukuman) (Rambe et al., 2019).
Berpolitik merupakan sebuah aktifitas pengabdian politik yang berpijak
pada kehendak umum demi kesejahteraan masyarakat dan mengesampingkan
kepentingan kelompok dan individu. Dengan berpolitik secara elegan akan
menumbuhkan kedewasaan dan kematangan demokrasi. Aktor politik yang
memilih politik sebagai medan perjuangan dan pengabdiannya harus senantiasa
menegakkan etika politik demi terwujudnya kehidupan berbangsanegara yang
bermartabat dengan memelihara dan mengembangkan perilaku politik yang
cerdas, bersih, toleran, santun, menghargai kemanusiaan demi kesejahteraan
bangsa. Oleh karena itu dalam berperilaku politik perlu bimbingan atau acuan
nilai-nilai moral yang bersumber dari idiologi bangsa, Pancasila, agar kehidupan
politik lebih cerdas dan bermartabat (Budiyono, 2019).

8
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran
politik yang menyangkut proses dan hasil dari kegiatan politik suatu sistem politik
suatu pemerintahan berdasarkan pada esensi (hakikat) manusia. Hal ini berarti
manusialah yang harus menjadi kriteria atau ukuran dan tujuan. Walaupun dalam
politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu
ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun selalu tidak hanya
digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan.
Sifat politik bukan sekedar pragmatis, yang hanya menyangkut suatu
tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai
rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial
dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Dalam politik ada
keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu
muslihat atau ketidakjujuran

9
DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, B. (2019). Menjaga Etika dalam Berpolitik. Citizenship Jurnal


Pancasila Dan Kewarganegaraan, 1(1), 51–60. http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/citizenship/article/view/3736
Dwihantoro, P. (2013). Etika Dan Kejujuran Dalam Berpolitik. Politika, 4(2), 13–
21.
Fabiana Meijon Fadul. (2019). Konsep Kekuasaan Menurut Michel Foucault.
1976, 92–95.
Farhah. (2019). Prinsip Etika Politik Pemimpin Dalam Islam. Dauliyah, 4, 66–84.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results
Firdaus, R. (2020). Etika Berpolitik Dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid
(Gusdur) Dengan Relevansi Perkembangan Kehidupan Berbangsa Dan
…. http://repository.radenintan.ac.id/10653/1/skripsi 2.pdf
Hermawan, A. A. (2014). Persepsi Pemuda Terhadap Partai Politik
Nasionalpeserta Pemilu 2014 Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Politik Wilayah (Studi Pada KNPI Provinsi Banten). Jurnal Ketahanan
Nasional, 20(3), 1–13.
Kartika, I. M. (2015). Nilai-Nilai Pancasila Dalam Membangun Etika Politik Di
Indonesia. Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya FIKP Universitas
Dwijwndra, 4(1).
http://ejournal.undwi.ac.id/index.php/widyaaccarya/article/view/444
Rabbaniyah, S., & Salsabila, S. (2022). Patriarki Dalam Budaya Jawa;
Membangun Perilaku Pembungkaman Diri Pada Perempuan Korban
Seksual Dalam Kampus. Community : Pengawas Dinamika Sosial, 8(1),
113. https://doi.org/10.35308/jcpds.v8i1.4586
Rambe, T., Suhendro, P., Syahrul, L., Saragih, N., & Khairani. (2019). Sejarah
Politik dan Kekuasaan (Issue October).
http://digilib.unimed.ac.id/40835/3/Text.pdf
https://kumparan.com/kendarinesia/diduga-sekap-seorang-wanita-wakil-ketua-
dprd-kendari-dipolisikan-1r3KfYxA4m4

10

Anda mungkin juga menyukai