Anda di halaman 1dari 17

Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang mana atas berkat
dan rahmat-Nya penulisan makalah ini yang berjudul “Konsep Etika Politik Dalam Pemikiran
Al-Mawardi dan Ibnu Khaldun” dapat terselesaikan. Dan juga atas dukungan Dosen Pengampu
Mata Kuliah Filsafat AKhlak, Bapak Dr. Irwandra, MA terima kasih penulis haturkan padanya.

Pada makalah ini kami menyadari akan kekurangan dari penulisan dikarenakan terbatasnya
referensi dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk
saran dari berbagai pihak. Semoga makalah singkat ini dapat memberikan manfaat bagi
keberlangsungan perkuliahan pada semester ini.

Pekanbaru, 7 Juni 2022

1
Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................................................................1
Daftar Isi.........................................................................................................................................2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................3
C. Tujuan Kepenulisan.............................................................................................................3
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Etika Politik.......................................................................................................4
B. Etika Politik Menurut Para Ahli..........................................................................................5
C. Biografi Al-Mawardi dan Pemikiran Etika Politiknya........................................................5
D. Biografi Ibn Khaldun dan Pemikiran Etika Politiknya........................................................9
Bab III Penutup
A. Kesimpulan.......................................................................................................................16
B. Saran..................................................................................................................................16
Daftar Pustaka.............................................................................................................................17

2
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kata “Etika” sering kali muncul, terutama dalam kehidupan berpolitik yang meliputi
proses persoalan publik dalam politik maupun proses pembuat keputusan. Proses ini yang
melahirkan dua faktor yaitu, pengembangan kelompok sosial, dan kerekteristik hubungan
struktural dalam kelompok. Menurut Anthoni Giddens, dalam merumuskan susunan
masyarakat ada dua hal yang perlu diperhatikan, keduanya saling bertautan, yaitu struktur
sosial, dan tindakan manusia. Pertautan ini, melahirkan etika politik yang memiliki
standar nilai yang berlaku, berlangsung secara teratur dan berpola pada satu kaidah
tertentu. Dari ungkapan persoalan diatas, kata “Etika” terkait erat dengan pertanyaan
bagaimana seharusnya hidup, apa yang membuat sebuah Tindakan menjadi benar dan
salah, dan serta apa tujuan dari sebuah tindakan. Pertanyaan tersebut mempertanyakan
apakah perbuatan itu etis atau tidak dalam artian normatif. Dalam tataran filsafat, etika
dipahami tidak hanya sebatas aspek normatif saja dalam perilaku, melainkan lebih pada
motivasi tindakan dan cara berpikir. Dengan asumsi bahwa pengetahuan etika merupakan
pengetahuan tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan, sikap apa yang harus dan
tidak harus dilakukan, atau sedang dan ingin dilakukan, maka etika terkait erat dengan
cara berpikir manusia pada umumnya. Cara berpikir itulah yang melahirkan tindakan dan
perilaku.

Seorang penguasa politik atau pemimpin wajib menjalankan amanat dari pemberi amanat
(rakyat) dan menetapkan hukum secara adil. Hal tersebut akan menciptakan kondisi dan
situasi yang baik untuk sebuah lingkungan masyarakat. Maka tidak mudah menjadikan
seseorang pemimpin yang baik. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa seorang pemimpin
harus memahami makna dari sebuah etika politik, bukan hanya sekedar memahami saja
tetapi juga mempraktekkan semua apa yang telah dipahami oleh pemimpin tentang etika
politik. Karena, ini menjadi pondasi awal untuk terciptanya negara kesejahteraan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Etika Politik
2. Bagaimana Etika Politik Al-Mawardi
3. Bagaimana Etika Politik Ibn Khaldun
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Etika Politik
2. Mengetahui Etika Politik Al-Mawardi
3. Mengetahui Etika Politik Ibn Khaldun

3
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Etika Politik
Etika berawal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti kebiasaan atau adat, perilaku,
perasaan, dan pandangan dalam berpikir. Etika adalah suatu disiplin ilmu tentang perilaku atau
kebiasaan manusia. Baik dan buruknya perilaku manusia dapat tergambarkan dari kebiasaan atau
adat disekitar tempat tinggalnya. Etika dalam kata lain adalah akhlak, yang bermula dari bahasa
Arab yakni Khalaqah dapat diartikan menciptakan. Akhlak tidak hanya serangkaian aturan atau
mengatur sikap dalam hidup bersosial, namun juga menjaga hubungan baik manusia dengan sang
pencipta dan alam semesta. Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kesusilaan atau
pekerti. Etika, moral dan akhlak memiliki pengertian yang serupa yaitu menentukan baik dan
buruknya sikap dan tingkah laku manusia. Tetapi Etika, Akhlak dan Moral juga mempunyai
perbedaan yang fundamental, Etika selalu bergantung dari rasional manusia, Akhlak biasanya
selalu berlandaskan dengan aturan dari tuhan dan nabi yakni Al Qur’an dan hadist, sedangkan
Moral suatu kebiasaan universal yang sesuai adat masyarakat disekitar.1
Sedangkan Politik memiliki bermacam makna yang sesuai dengan kegiatan suatu konsep
Pemerintahan dan negara dan menyangkut dengan menentukan arah dan tujuan sistem dan
diikuti oleh pelaksanaan tujuan tersebut. Politik menurut Aristoteles ialah mewujudkan
kehidupan yang baik atau sejahtera secara bersama-sama bukan bersifat pribadi.
Politik juga tidak terlepas yang namanya kekuasaan, jadi kalau berbicara tentang politik pasti ada
maksud dan tujuan di dalamnya melainkan kepentingan sekelompok orang. Secara universal
politik dapat disimpulkan adalah suatu bentuk usaha agar peraturan yang telah dibuat dapat
diterima oleh seluruh rakyat dibangsa ini, agar terciptanya rakyat yang harmonis dan sejahtera.
Sedangkan pengertian politik secara sederhana dapat diartikan adalah cara, teknik atau strategi
untuk mempengaruhi individu maupun orang banyak2 Politik adalah sebuah konsep untuk
mengatur masyarakat, yaitu saling keterkatikan dalam masalah bagaimana pemerintah
menjalankan demi terwujudnya hidup yang sejahtera. Politik bertujuan agar sebuah kehidupan
lebih membaik dalam bernegara. Maka, dirancanglah kebijakan atau sebuah strategi dalam
melaksanakan aktivitas politik melalui kekuasaan yang dimiliki para penguasa.
Etika politik merupakan sebuah sarana mampu menciptakan suasana yang damai dan harmonis
dalam hubungan antar pelaku antar kekuasaan politik serta antar kelompok yang mempunyai
kepentingan dalam menciptakan kemajuan bangsa dan negara dengan mengedepankan
kepentingan bersama dari pada kepentingan golongan tertentu. Etika politik juga berupaya
menyadarkan sikap elite politik atau pejabat publik untuk bersikap jujur, sportif, amanah,
teladan, rendah hati dan memiliki jiwa ksatria untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
pejabat publik apabila telah berbuat salah atau kebijakan yang dibuat bertolak belakang dengan

1
Eka Zuliana, Tesis, Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholish Majid, 2015 hlm.56- 58
2
Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 13

4
hukum. Etika juga diwujudkan dalam bersikap yang sopan dalam berprilaku politik agar lebih
toleransi, tidak arogansi, tidak melakukan kebohongan publik dan jauh dari sifat munafik. Etika
harus dijadikan sebuah pedoman dalam berpolitik untuk mewujudkan politik yang sopan, pandai
dan harus menempatkan urusan negara yang di atas daripada golongan serta kelompok.

B. Etika Politik Menurut Para Ahli


Menurut Aristoteles, etika dan politik saling melengkapi, etika memulai dahulu. Kebahagiaan
tergantung pada beberapa faktor eksternal (termasuk kesehatan dan sejumlah standart minimum
hidup) dan pada kebiasaan-kebiasaan internal atau nilainilai luhur.
Etika Politik pandangan Paul Ricoeur memuat tiga tuntutan. “Pertama, medapatkan hidup secara
baik kolektif maupun terhadap orang lain. Kedua, memperluas hidup secara kebebasan. Ketiga,
membangun institusi secara adil. Etika politik bertujuan agar mendapatkan hidup layak, bersama
maupun untuk orang lain.”
Quraish Shihab berpendapat, siapapun yang berkuasa harus mampu menyelesaikan masalah
umat, jadi setiap proses politik harsu didasarkan terhadap nilai dan bersumber pada pengejaran
agama. Itu merupakan bentuk pesan dari Rasulullah, bahwa ia hakikatnya Nabi Muhammad
diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Di sini Quraish Shihab sangat tidak
setuju kalau politik menghalalkan segala cara demi sebuah kekuasaan agar tercapainya tujuan.
Orang yang berpandangan bahwa politik bersifat kotor, jangan pernah bawa moralitas dalam area
politik dengan mengatakan tidak ada lawan dan kawan yang abadi tetapi hanyalah kepentingan
di atas segalanya, jargon seperti itulah hingga pada akhirnya orang anti dengan politik bahkan
dapat menyesatkan masyarakat awam melihat kelakuan dari oknum politik haus dengan
kekuasaan. Setiap orang boleh bercita-cita untuk meraih sebuah kekuasaan bahkan tinngi
sekalipun, tetapi di dalam itu semua agar menjahui sikap yang tercela dan mencedrai konsep
politik serta tidak melupakan nilai etika dan moral.”

C. Biografi Al-Mawardi dan Pemikiran Etika Politiknya


Riwayat Hidup
Al Mawardi Dikenal dengan nama Al Mawardi, ternyata nama lengkapnya adalah Abu Al Hasan
Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi al Bashrah lahir pada tahun 364 H dan wafat di tahun
450 H atau dalam hitungan Masehi yaitu 974-1058M, beliau lahir di Basrah, Irak. Al Mawardi
besar dari keluarga memiliki perhatian begitu besar terhadap ilmu pengetahuan.
Al Mawardi memiliki kecerdasan yang luar biasa yaitu kepandaian nya memberi argument,
berdebat, berorasi dan tajam dalam menganalisis suatu hal maka dari itu disematkanlah dengan
nama Al Mawardi. 25 Al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Dari kecil hingga
menjadi dewasa beliau menghabiskan waktunya di Baghdad. Al Mawardi hidup dimasa
pemerintahan dua khalifah: al-Qadir Billah (380- 422H) dan al-Qaimu Billah (422 H – 467 H).
26 Wafatnya Al Mawardi pada tanggal 30 Rabi’ul Awal tahun 450 hijrah bertepatan 27 Mei

5
1058 M. Kala itu Al Mawardi berusia 86 tahun. Pada saat itu banyak dari kalangan ulama dan
para pembesar turut hadir di pemakaman beliau. Jenazah Al Mawardi dimakamkan di
perkuburan Bab Harb Kota Mansur di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari kewafatan
Qadi Abu Taib. Semasa hidup beliau ditandai dengan kondisi dan suasana pemisahan atau
disintegrasi politik pada pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Kala itu pemerintahan Bani
Abbas tidak mampu lagi untuk meraih keinginan dari daerah yang ingin mengkehendaki
memisahkan diri dari Bani Abbas untuk membuat atau membentuk otonom baru. Pada akhirnya
bermunculan dinasti baru yang tidak mau mengikuti perintah dari kekuasaan Bani Abbas. 3
Keberadaan khalifah Bani Abbasiyah mengalami kelemahan, dengan ambisi politik yang besar
dan persaingan antara penguasa tinggi negara dan panglima militer Bani Abbas. Pada akhirnya
pemimpin kala itu tidak memiliki kuasa dalam membuat kebijakan untuk Negara, ketika itu yang
berkuasa ialah menteri dari Bani Abbas bukan berasal garis keturunan orang-orang Arab, tetapi
dari keturunan Turki dan Persia. Al Mawardi adalah sosok seorang pemikir Islam yang berjaya
kala itu, yakni pada masa ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami puncak
kesuksesan. Selain itu beliau dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan
memiliki pengaruh besar pada Dinasti Abbasiyah.
Al Mawardi dikenal seorang penulis yang produktif dan tidak hanya itu beliau juga seorang
pemikir Islam ahli fiqih, seorang politikus, sastrawan dan juga tokoh terkemuka pada
masanya.4Meskipun beliau sosok seorang terkenal di Bahgdad, namun sumber sejarah tidak
banyak menganalisis tentang kehidupan kehidupan keluarganya di Bashrah dan Baghdad. Pada
masa pemerintahan Abbasiyah Al-Qadir Billaah setelah memberikan ringkasan kitab fiqh Syafi’i
al-Iqna.5
Al Mawardi banyak menghabiskan waktu di Baghdad untuk menggali ilmu. Beliau pertama kali
belajar agama terkhusus ilmu hadist ketika masih anak-anak dan bersama dengan temannya,
seperti Hasan bin Ali al-Jayili, Muhammad bin Ma’ali al Azdi dan Muhammad bin Udai al-
Munqari. Sebelumnya Al Mawardi pernah menempuh pendidikan di Bashrah yang mana
merupakan tempat kelahirannya. Di Bashrah beliau pernah belajar hadist dari beberapa ulama
terkenal seperti Al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn Al-Jabaly, Abu Khalifah Al-Jumhy, Muhammad
Ibn ‘Adiy Ibnu Zuhar Al-Zuhar Al-Marzy, Setelah melakukan pendidikan tersebut, kemudian
beliau pindah ke Baghdad dan tinggal di Darb Az-Za’farani. Dari tempat itulah Al-Mawardi
mulai mendalami ilmu hadist dan fiqh serta bergabung dengan halaqah Abu Hamid Al
Asfarayini untuk menyelesaikan studinya. Setelah beliau menamatkan studinya di Baghdad, ia
pindah ketempat kekota lain dalam menyebarkan (mengamalkan ilmunya). Lalu, beliau pulang
kembali ke Bashrah setelah berkeliling kota dalam menyebarkan ilmunya tersebut. Di kota itu ia
mengajarkan hadist, menafsirkan Al-Qur’an dan menulis beberapa kitab diberbagai disiplin ilmu,
dalam hal ini menunjukkan bahwa AlMawardi merupakan seorang yang alim dalam bidang fiqh,
hadist, adab (sastra), nahwu, filsafat politik, ilmu-ilmu sosial dan akhlak. Sejarah mencatat,
3
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Group, 2010), hlm. 16
4
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Perkasa, 2001), hlm. 43
5
Al Mawardi, Adab Ad Dunya Wa Ad Din…, hlm. 9

6
beliau pernah mempelajari bidang fiqh pada syekh Abu Al Hamid Al Asfarayini, sehingga ia
dikatakan salah seorang ahli fiqh terkemuka dari madzhab Syafi’i.6
Pada dasarnya Al Mawardi tergolong sebagai penganut madzhab Syafi’i, namun dalam bidang
teologi ia juga memiliki pemikiran yang bersifat logika, dalam hal ini bisa dilihat dari penjelasan
Ibn Sholah yang menjelaskan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan
antara sunnah dan mu’tazilah, Al Mawardi ternyata lebih cenderung kepada mu’tazilah. Terlepas
dari hal itu semua, Al Mawardi dikenal sebagai sosok seorang yang berwibawa, memiliki akhlak
yang mulia, murah hati. Dalam hal ini sahabat Al Mawardi mengakui belum pernah melihat
keluar dari sifat tersebut. Al Mawardi belajar dari ulama-ulama yang terkenal pada masa itu,
kebanyakan guru Al Mawardi adalah tokoh dan imam besar di Baghdad.

Pemikiran Politik Al Mawardi


Memahami pemikiran politik Al Mawardi ia selalu melandasi dengan kaidahkaidah keislaman,
yang sesuai ilmu ditekuninya. Maksudnya, Al Mawardi selalu berlandaskan pada hukum-hukum
Islam. Al Mawardi juga sangat berjasa dalam merumuskan gagasannya hingga dapat menjadi
bahan rujukan kita saat ini dalam berpolitik. Ia tidak hanya menjadi seorang mujtahid, dengan
kepintarannya ia juga berijtihad dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Kerapkali ia
memperoleh solusi baru yang dapat diterima akal sehat manusia saat ini, namun sering juga
berbeda pandangan dengan pendapat orang-orang sebelumnya. Salah satu pandangan yang
mendasar dari Al Mawardi yaitu hubungan antara Politik dan Agama, selain itu Al Mawardi
berpendapat terbentuknya sebuah negara, manusia sebagai makhluk sosial harus saling
bekerjasama dengan yang lainnya.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak mampu dalam mencukupi kebutuhan dengan sendiri nya
tanpa bantuan atau pertolongan dari orang lain. Manusia hidup penuh keberagaman dan memiliki
kemampuan serta saling bahu-membahu hingga sepakat untuk membangun sebuah negara. Allah
swt telah menerangkan di dalam Al Qur’an bahwa manusia diciptakan sebagai insan yang lemah,
maka dengan kelemahan itu Allah menghendaki manusia untuk tidak bersikap angkuh, sombong
serta egois.
Dalam pemikiran Al Mawardi, terbentuknya sebuah negara itu memiliki enam sendi utama.
Pertama adalah Agama. Agama sangat berperan penting dalam kehidupan manusia
bermasyarakat, agama mampu menaikkan semangat untuk membangun dalam melestarikan
alam. Fungsi dari agama ialah mengontrol tingkah laku manusia serta hawa nafsunya, sehingga
agama dapat menjadi dasar atau acuan dalam mensejahterahkan manusia.
Kedua adalah Pemimpin Yang Berkharisma. Seorang pemimpin harus mampu menjadi tauladan
bagi rakyatnya, maka kharismatik jadi bahan penting dalam pembentukan sebuah Negara.
Pemimpin yang kharismatik mampu menghasilkan keadilan dan sejahtera, serta mampu
melindungi setiap insan dan menjaga nama baik bangsa dan negara.

6
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer…, hlm. 17

7
Ketiga Keadilan Bersifat Universal. Salah satu syarat menciptakan negara yang damai dan rukun
setiap warga negara, pemimpin harus mampu bersikap berkeadilan yang tidak membeda-bedakan
suatu kalangan di masyarakat, hingga rakyat dapat menciptakan rasa menghormati terhadap
pemimpin.
Keempat Keamanan Yang Kuat. Dengan adanya keamanan yang kuat, dapat memberikan rasa
aman bagi orang-orang yang lemah dan mampu mendongkrak jiwa yang kreatif dalam
membangun bangsa. Ketika rakyat merasa aman, maka akan semakin taat terhadap seorang
pemimpin.
Kelima Kesuburan Tanah. Kebutuhan sandang dan pangan negara sangat bergantung pada
tingkat kesuburan tanah, hal ini merupakan syarat kesejahteraan rakyat sehingga dapat hidup
yang layak dan tingkat konflik antar masyarakat berkurang.
Dan sendi yang terakhir keenam adalah Harapan. Generasi mendatang adalah pewaris dari
generasi terdahulu. Harapan bagi generasi saat ini dan dan berikutnya begitu bergantung pada
pengaturan negara dari sendi-sendi sebelumnya secara sistematis.
Dari keenam sendi di atas adalah pilar penyangga untuk hidup bersosial dan dapat menjadi
landasan untuk membangkitkan suatu komunitas sosial. Dengan adanya itu, tinggal konflik antar
kelompok sosial berkurang dan politik juga menjadi ancaman dari kelompok sosial yang
lainnya.7
Dari pernyataan di atas nampaklah kalau agama dan negara saling berhubungan timbal balik atau
dalam kata lain saling membutuhkan, jadi agama membutuhkan negara hingga sebaliknya.
Bersama negara, agama dapat dapat berkembang dan negara sangat membutuhkan agama agar
nilai-nilai etika dan moral masih tetap tepatri di dalam negara tersebut.

Etika Politik Al Mawardi


Beban Etika Politik tidak hanya menggabungkan politik praktis, melainkan menopang agar
persoalan ideologis yang bisa di jalankan secara benar. Etika politik yang dibahas oleh Al
Mawardi begitu sempurna dalam membangkitkan kehidupan berpolitik. 8 Etika yang dijelaskan
Al Mawardi begitu mengharuskan seorang kepala negara agar taat dan berpedoman kepada
ajaran-ajaran yang telah tertuang di dalam Al-qur’an dan Hadist. Maka dari itu, Al Mawardi
menuangkan pikirannya untuk memperbaikan keadaan rakyat dan menjaga keamaan dalam
berpolitik.9
Pada dasarnya Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, sumber dari inspirasi etika dan moral
bangsa bernegara Islam lah yang menjadi landasannya.
Al Mawardi adalah seorang tokoh pemikir politik Islam yang terkenal dan paling berpengaruh
ketika pemerintahan Abbasiyah, hal yang paling mendasar dari pemikiran Al Mawardi ialah teori
7
Rashda Diana DKK, Jurnal Etika Politik Dalam Perspektif Al Mawardi…, hlm. 370-373
8
Al Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah 2007)
9
Rashda Diana DKK, jurnal etika politik dalam perspektif Al Mawardi…, hlm. 364-365

8
kontrak sosial yaitu manusia adalah makhluk sosial yang sangat memerlukan orang lain agar
tercapainya tujuan hidupnya untuk saling bekerja sama. Al Mawardi berpendapat, manusia
bersepakat dalam membentuk negara atas dasar kebutuhan. Selain itu teori kontrak sosial
mengikat hak dan kewajiban dua bela pihak yaitu timbal balik antara kepala negara dan rakyat.
Sebagai seorang kepala negara harus mempunyai kewajiban yang besar terhadap rakyatnya yaitu
memberikan bentuk perlindungan, keamanan dan kenyamanan dalam berwarga negara dan dapat
mengola hak-hak rakyat dengan baik serta bertanggung jawab. Namun sebaliknya sebagai
seorang rakyat juga harus tunduk dan taat terhadap kepala negara.

D. Biografi Ibn Khaldun dan Pemikiran Etika Politiknya


Ibnu Khaldun hidup antara abad ke 14 dan 15 M (1332-1406 M) bertepatan abad ke 8 dan 9 H.
Mesir pada waktu itu berada dibawah kekuasaan Bani Mamluk Kota Baghdad yang jatuh ke
tangan bangsa Tartar (654-923 H). Dampaknya sangat negatif bagi perkembangan bahasa, sastra
dan kebudayaan Arab. Disaat yang bersamaan, berbagai kerajaan muslim di Andalusia mulai
runtuh. Satu persatu kota-kota kerajaan Islam jatuh ke tangan kaum Kristen. 10 Pasca kejatuhan
Baghdad, Ulama dan sastrawan Baghdad bersama para Ulama Andalusia mengungsi ke Kairo,
Mesir yang menjadi pusat peradaban. Kedatangan mereka di kota Kairo di sambut baik oleh Bani
Mamluk, sehingga mereka merasa tenang dan tentram. Pada abad ke 8 H atau abad ke 14 M
merupakan masa perubahan dan transisi di seluruh dunia. Perubahan dan transisi ke arah
perpecahan dan kemunduran di dunia Arab, sekaligus perubahan dan transisi ke arah
kebangkitan di dunia Barat. Dapat kita lihat, berbagai revolusi dan kekacauan mulai meluas di
Afrika Utara, sebagai dampak dari perpecahan-perpecahan regional dan meluasnya fanatisme
golongan. Kondisi itu berdampak negatif bagi kebudayaan Arab pada waktu itu. Demikianlah
gambaran sosial politik di masa Ibnu Khaldun.11
Nasab Ibnu Khaldun digolongkan kepada Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Hasan Ibnu Jabir
Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abd Al-Rahman Ibnu Khalid. Namun ia lebih dikenal
dengan nama Ibnu Khaldun. Nama aslinya adalah Abdurrahman Ibnu Khaldun Al-Magribi Al-
Hadrami Al-Maliki. Di golongkan kepada Al-Magribi, karena ia lahir dan dibesarkan di Magrib
di kota Tunis, dijuluki Al-Hadrami karena keturunannya berasal dari Hadramaut Yaman, dan
dikatakan Al-Maliki karena ia menganut madzhab Imam Malik. Gelar Abu Zaid diperoleh dari
nama anaknya yang tertuah Zaid. Panggilan Wali Ad-Din diperolehnya setelah ia menjadi hakim
di Mesir.12 Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M di tengah-
tengah keluarga ilmuwan dan terhormat yang berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan
pemerintahan. Dari lingkungan inilah Ibnu Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat:
pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan: kedua, cinta jabatan dan pangkat. 13 Ayahnya
bernama Abu Abdullah Muhammad juga berkecimpung dalam bidang politik, kemudian
mengundurkan diri dari bidang politik dan menekuni ilmu kesufian. Beliau ahli dalam bahasa

10
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm 1079-1080.
11
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm 1079-1080.
12
Ibid, hlm 1080
13
Ibid.

9
dan sastra Arab. Beliau meninggal dunia pada tahun 749 H/ 1348 M. 14 Ibnu Khaldun mengawali
pendidikannya dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an. Kemudian baru menimba berbagai
ilmu dari guru-guru terkenal sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Ibnu Khaldun lahir dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga ilmuwan yang terhormat. Ayahnya
Abu Abdullah Muhammad adalah gurunya yang pertama. Darinya ia belajar membaca, menulis
dan Bahasa Arab. Di antara guru-guru yang lain adalah Abu Abdullah Muhammad Ibnu Sa’ad
bin Burral Al-Ansari, darinya ia belajar Al-Qur’an dan Al-Qira’at Al-Hasayiri, Muhammad Al-
Syawwasy Al-Zarzali, Ahmad Ibnu Al-Qassar dari mereka Ibnu Khaldun belajar bahasa Arab.
Di samping nama-nama di atas Ibnu Khaldun menyebut sejumlah Ulama, seperti Syaikh
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad Al-Wadiyasyi, darinya ia belajar ilmu-ilmu Hadist,
bahasa Arab, Fiqih. Pada Abdullah Muhammad Ibnu Abdussalam ia mempelajari kitab Al-
Muwatta’ karya Imam Malik.15 Diantara guru-gurunya yang terkenal dan ikut serta membentuk
kepribadian Ibnu Khaldun, Muhammad Ibnu Sulaiman Al-Satti” Abd Al-Muhaimin Al-Hadrami,
Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Abili. Darinya ia belajar ilmu-ilmu pasti, logika, dan seluruh ilmu
(teknik) kebijakan dan pengajaran di samping dua ilmu pokok (Al-Qur’an dan Hadits). 16 Namun
demikian, Ibnu Khaldun meletakkan dua orang dari sejumlah guru-gurunya pada tempat
istimewa, keduanya sangat berpengaruh terhadap pengetahuan bahasa, filsafat, dan hukum Islam,
yaitu Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan Syaikh Abd Al-
Muhaimin Ibnu Al-Hadrami dalam ilmu-ilmu agama. Darinya Ibnu Khaldun mempelajari kitab-
kitab Hadist, seperti Al-Kutub Al-Sittah dan Al-Muwatta’.
Pada usia 20 tahun, Ibnu Khaldun berhasil menamatkan pelajarannya dan memperoleh berbagai
ijazah menagajar dari sebagian besar gurunya setelah ia menimba ilmu dari mereka. 17 Ibnu
Khaldun adalah sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Qur’an sejak usia dini. Ibnu
Khaldun juga dikenal sebagai ahli politik Islam, dan bapak ekonomi Islam, karena pemikiran-
pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah di kemukakannya
sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Riacardo (1772-1823) mengemukakan teori
ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar kemana-
mana.18 Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam,
pengamatan terhadap masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang sangat
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengambaraannya yang sangat luas pula. 19
Selain itu, dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik di Fez,
Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar, Kairo yang
dibangun oleh Dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental
hingga saat ini. Nama dan karyanya harum di berbagai penjuru dunia. Ibnu Khaldun, wafat di
Kairo, Mesir, pada 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M.20

14
Ibid.
15
Ibid, hlm. 1081
16
Ibid, hlm. 1082.
17
Ibid
18
Ibid, hlm. 1086.
19
Ibid, hlm. 1087
20
Ibid.

10
Pemikiran Politik Ibn Khaldun
Pemikiran politik yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun secara garis besar terbagi atas negara
(baik dari segi pendiriannya, maupun bentuk pemerintahannya), serta pemikiran mengenai
pemimpin atau kepala negara, namun hal terpenting dalam pemikiran Ibnu Khaldun tentang
politik bukanlah terletak pada bentuk negara, tetapi bagaimana negara dapat berjalan secara adil
dan jujur dalam moral-etik agama yang menjamin pembangunan di berbagai sektor kehidupan
masyarakat dengan baik dan bermoral. Terlepas dari apapun bentuknya, dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa konsep negara yang dipahami oleh Ibnu Khaldun ialah konsep negara yang
Islami dan berjalan sesuai dengan ajaran dan semangat Islam dalam setiap hukum yang
diterapkan.21
Berikut pemikiran politik yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun:
a. Konsep Ashabiyyah
Kata ‘ashabiyyah telah digunakan bangsa Arab jauh sebelum kedatangan Islam. Namun
pengertian ‘ashabiyyah tersebut berkonotasi negatif, yakni fanatisme kekabilahan atau
kesukuan yang sempit, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. 22
Sehingga ‘ashabiyyah pada waktu itu dianggap sebagai penghancur superioritas umat
Islam periode awal, karena telah memunculkan berbagai dinasti dalam Islam.

Namun dalam kata pengantar buku Muqaddimah terjemahan Masturi Ilham Lc,
dijelaskan bahwa istilah ‘ashabiyyah berasal dari kata „ashaba (keluarga). Istilah tersebut
pada mulanya mengandung makna membantu dan memperkuat keluarga. 23 Kemudian
istilah tersebut berkaitan erat pula dengan istilah ishabah dan ushbah, yang keduanya
sama-sama berarti kelompok.

Ashabiyyah yang dimaksud oleh Ibnu Khaldun ini tidak terbatas pada hubungan keluarga
semata, namun bisa bermakna luas dalam bentuk hubungan-hubungan yang dibangun
oleh seorang pemimpin secara efisien dengan para pendukung dan masyarakatnya.
Hubungan antara pemimpin dengan masyarakatnya akan memunculkan proses saling
membutuhkan. Jika terjadi perpaduan secara besar-besaran, maka akan menghasilkan
kelompok superioritas yang besar pula dalam suatu negara.

‘Ashabiyyah merupakan sebuah konsep besar yang mewarnai segenap pemikiran politik
Ibnu Khaldun. Dalam pembukaan keterangannya tentang dinasti, kerajaan, Khilafah,
pangkat pemerintahan dan segala yang berhubungan dengan kekuasaan, ia menyatakan
bahwa kemenangan selalu berada di pihak yang memiliki ‘ashabiyyah (solidaritas) lebih
kuat. Oleh sebab itu, seorang penguasa memerlukan solidaritas kelompok yang besar dan

21
Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun: Relevansinya dengan Tata Kehidupan bernegara Era Modern,
(Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), hlm. 153.
22
Ibid, hlm 180
23
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm 51.

11
kuat berupa loyalitas dari kelompoknya dalam menghadapi tantangan, baik dari dalam
maupun dari luar negeri terhadap otoritas dan kekuasaannya. Dari berbagai ‘ashabiyyah
atau solidaritas kelompok yang terdapat di negara itu, seorang kepala negara harus
berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan.24

Ibnu Khaldun memahami ‘ashabiyyah sebagai ikatan yang memiliki kekuatan mengikat
dalam komunitas masyarakat. Ikatan tersebut membuat satu kelompok ‘ashabiyyah
memiliki rasa senasib sepenanggungan. Bila salah satu anggota merasa tersakiti, maka
seluruh masyarakat yang ada dalam satu ‘ashabiyyah tersebut juga akan ikut merasakan
tersakiti.25 Sehingga pada umumnya, ‘ashabiyyah merupakan ikatan emosional yang
mengikat dan menyatukan hubungan antar manusia, sehingga memiliki solidaritas sosial
yang tinggi terhadap sesamanya. Dalam proses pemenuhan kebutuhan misalnya,
‘ashabiyyah dapat memperkuat kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, kebutuhan apapun yang diinginkan akan segera terpenuhi akibat dari
kerjasama dan rasa solidaritas tersebut. Karena di dalam ‘ashabiyyah, tiap individu
diarahkan untuk memiliki visi yang sama untuk mencapai tujuannya dan merasakan
kesatuan dari rasa solidaritas yang amat erat.

b. Sistem dan Bentuk Negara


Mendirikan suatu negara atau pemerintahan untuk mengelola urusan rakyat merupakan
kewajiban agama yang paling agung. Tegaknya nilai-nilai agama seperti keadilan,
keamanan, keteraturan, dan keadaban hanya mungkin dilakukan melalui negara atau
pemerintahan.26 Menurut Ibnu Khaldun, bentuk pemerintahan itu ada tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
a) Kerajaan, yaitu pemerintahan yang membawa umatnya kepada tujuan dan keinginan
yang tersusun dalam satu individu. Pemerintahan ini menyerupai apa yang dikenal
dengan pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi atau inkonstitusional.

b) Republik, yaitu pemerintahan yang membawa berbagai manfaat bagi masyarakatnya


dalam mencapai kemaslahatan duniawi karena menjalankan kebijaksanaannya
berdasarkan rasio oleh para pemikir dan intelektual.

c) Khilafah, yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya untuk berpikir sesuai dengan
jalan agama dalam memenuhi semua kepentingan mereka. Inilah yang dipahami sebagai
pemerintahan yang Islami oleh Ibnu Khaldun. Jika aturan undang-undangnya diputuskan
oleh para intelektual, maka kebijaksanaan politiknya disebut rasional. Dan jika aturan-
aturan itu berasal dari syariat agama, maka orientasi politiknya adalah religius,
bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.27

24
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 105
25
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Op. Cit, hlm 192.
26
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan
Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 13.
27
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm 83.

12
Konsepsi negara yang Islami tersebut menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang tidak
hanya terpaku untuk melaksanakan Syariat agama ataupun hal-hal yang berkaitan dengan
akhirat semata, tetapi negara yang memperhatikan masalah dunia dan akhirat secara
seimbang. Sehingga pemerintahannya pun benar-benar mencerminkan tujuan Islam untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

c. Pemimpin dan Kedudukannya


Proses interaksi sosial antar manusia mengakibatkan kehidupan sosial yang lebih besar,
sehingga memerlukan seseorang yang mampu untuk menyelesaikan setiap permasalahan
yang muncul dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tersebut. Masyarakat
membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah
dan pemisah antara para anggota masyarakatnya yang memiliki konflik atau
permasalahan.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa: “Ashabiyyah merupakan modal utama untuk


melindungi dan mempertahankan diri, mengajukan tuntutan terhadap lawan, dan segala
sesuatu yang diperlukan. Setiap komunitas sosial kemasyarakatan, manusia secara natural
membutuhkan pengontrol dan penengah yang mampu menyelesaikan konflik antara
golongan lain dalam setiap komunitas masyarakatnya. Karena itu, pengontrol atau
penengah ini harus mampu menguasai mereka dengan ‘ashabiyyah yang mereka miliki.
Jika tidak demikian, maka ia tidak akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan
baik”.28

Seseorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat tersebut harus berpengaruh kuat atas
anggota-anggota masyarakat lainnya, harus mempunyai wewenang, kekuasaan atau
otoritas yang lebih tinggi di atas masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, konflik
dan segala permasalahan di antara masyarakat bisa teratasi dengan baik dan benar.
Adapun yang dimaksud dengan seseorang yang mampu untuk bertindak sebagai
penengah, pemisah dan sekaligus hakim itu adalah seorang kepala negara atau pemimpin.

Pemimpin adalah seseorang yang menggunakan kemampuannya, sikapnya, dan


pemikirannya untuk mampu menciptakan suatu keadaan yang nyaman dan sejahtera bagi
yang dipimpinnya, serta mampu mengkoordinasi setiap anggotanya untuk mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian, pemimpin sangat berpotensi dalam menjaga
keharmonisan dan mampu menertibkan masyarakatnya. Seorang pemimpin harus
memiliki superioritas atau keunggulan dan kekuasaan untuk berkehendak, serta
kebijaksanaan untuk memutuskan suatu perkara sehingga keputusannya merupakan kata
akhir yang harus dilaksanakan.

Namun, terkadang seorang pemimpin itu memerintah secara tidak adil, lebih
mementingkan keinginannya sendiri, dan tidak mementingkan rakyatnya. Oleh sebab itu,
setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin harus didasarkan
28
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm 83.

13
kepada peraturan- peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam politik yang harus
dipatuhi oleh semua pihak. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa:
“Seseorang yang memiliki ‘ashabiyyah yang kuat dan dihiasi dengan karakter yang
terpuji, serta sesuai untuk melaksanakan hukum-hukum agama, maka ia telah siap untuk
memegang tanggung jawab sebagai pemimpin dan memiliki kompetensi untuk
menjalankan tugas mulia tersebut.”29

Menurut ajaran agama, seorang pemimpin itu harus pula mengemban tugas sebagaimana
yang diperintahkan oleh agama untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar melalui
dukungan kekuatan dan kekuasaan dari negara atau pemerintah. Tujuan dari berdirinya
suatu negara adalah melaksanakan sistem sosial yang baik, menegakkan keadilan,
mencegah segala macam bentuk kemunkaran atau penyimpangan terhadap norma agama
dan umum, serta senantiasa menganjurkan kepada umat manusia untuk melaksanakan
kebajikan sebagai realisasi dari perintah agama. Maka dari itu seorang pemimpin juga
berkendudukan sebagai wakil Allah didunia dalam hal amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam membahas kedudukan seorang pemimpin, Ibnu Khaldun menyatakan: “Kekuasaan


dari suatu kekhalifahan cenderung memerintah masyarakat berdasarkan ajaran agama,
baik dalam kepentingan- kepentingan akhirat maupun kepentingan-kepentingan dunia.
Kekhalifahan ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah dalam menjaga
agama dan kehidupan dunia.”30

Etika Politik Ibnu Khaldun


1. Pemikiran mengenai posisi seorang pemimpin. Ibnu Khaldun sepakat bahwa seorang
pemimpin menempati posisi sebagai pemecah permasalahan warga negaranya. Ibnu Khaldun
menggunakan bahasa pemimpin sebagai penengah pemisah sekaligus hakim dalam permasalahan
warga negaranya. Meskipun menggunakan bahasa yang berbeda, namun keduanya memiliki
pengertian bahwa pemimpin berposisi sebagai pemecah masalah yang dihadapi warga
negaranya.
2. Kewajiban mendirikan negara. Ibnu Khaldun sepakat bahwa mendirikan negara adalah sebuah
keniscayaan. Artinya pendirian sebuah negara merupakan sebuah keharusan. Hal ini disebabkan
karena mewujudkan ajaran agama dalam sebuah masyarakat hanya dapat dilakukan jika telah
mendirikan sebuah negara.
3. Konsep keadilan dalam penyelenggaraan negara. Seorang pemikir Islam yang sangat terkenal
ini sepakat bahwa keadilan adalah sebuah tujuan dalam penyelenggaraan negara. Ibnu Khaldun
menyatakan hal ini dengan bahasa yang terpenting dalam etika politik adalah bagaimana negara
dapat berjalan secara adil dan jujur. Ibnu Khaldun memiliki suatu kesamaan pemikiran mengenai
konsep keadilan dalam penyelenggaraan negara. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir Islam
yang pemikirannya memiliki fokus terhadap politik Islam, fokus pemikiran yang ia bangun
29
Ibnu Khaldun, Op. Cit, hlm 228
30
Ibnu Khaldun, Op. Cit, hlm. 337

14
semata-mata untuk mendorong tegaknya syariat Islam. Terlihat dari setiap pernyataannya
mengenai politik yang selalu berlandaskan pada syariat Islam.

Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
15
Berdasarkan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa corak pemikiran etika politik Ibnu
Khaldun harus seimbang urusan dunia maupun akhirat. Ibnu Khaldun memiliki pemikiran etika politik
sepakat bahwa seseorang pemimpin sebagai pemecah permasalahan warga negaranya, mendirikan
negara sebuah keharusan, dan keadilan sebuah tujuan dalam penyelenggaraan negara. Ibnu Khaldun
tentang etika politik. Pertama, mengenai seseorang pemimpin, Ibnu Khaldun seorang pemimpin adalah
seseorang yang memiliki dukungan dari warga negaranya. Kedua, mengenai konsep bentuk negara, Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa bentuk negara adalah kerajaan, republik, dan Khilafah.

Sedangkan pemikiran etika politik Al Mawardi, yaitu pertama, Salah satu pandangan yang mendasar dari
Al Mawardi yaitu hubungan antara Politik dan Agama, selain itu Al Mawardi berpendapat terbentuknya
sebuah negara, manusia sebagai makhluk sosial harus saling bekerjasama dengan yang lainnya. Sebagai
makhluk sosial manusia tidak mampu dalam mencukupi kebutuhan dengan sendiri nya tanpa bantuan
atau pertolongan dari orang lain. Manusia hidup penuh keberagaman dan memiliki kemampuan serta
saling bahu-membahu hingga sepakat untuk membangun sebuah negara. Kedua, Dapat penulis
simpulkan bahwa Etika yang dijelaskan Al Mawardi begitu mengharuskan seorang kepala negara agar
taat dan berpedoman kepada ajaran-ajaran yang telah tertuang di dalam Al-qur’an dan Hadist. Maka
dari itu, Al Mawardi menuangkan pikirannya untuk memperbaikan keadaan rakyat dan menjaga
keamaan dalam berpolitik.

B. Saran
Pemikiran Al-Mawardi dan Ibnu khaldun layak dijadikan refrensi utama dalam dunia politik.
Menciptakan sebuah negara kejeaahteraan merupakan tanggung jawab bersama, manusia tidak
mungkin hidup sendiri-sendiri di dunia ini, meraka butuh solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam solidaritas sosial itu di butuhkan sebuah pemimpin yang mampu di percaya dan amanah dalam
bertugasnya.

Kemudian penulis mengakui bahwa makalah ini sangat kurang sempurna. Namun dari kekurang
sempurnaan tersebut, justru diharapkan akan dapat ditemukan arus yang berbeda oleh penulis lain yang
akan mengkaji pemikiran tentang etika politik.

16
Daftar Pustaka
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2001)
Al Mawardi, Adab Ad Dunya Wa Ad Din…,
Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun: Relevansinya dengan Tata Kehidupan bernegara
Era Modern, (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007)
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Ilham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016),
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Group, 2010),
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993)
Rashda Diana DKK, Jurnal Etika Politik Dalam Perspektif Al Mawardi
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat
Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
Zuliana Eka, Tesis, Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholish Majid, 2015

17

Anda mungkin juga menyukai