Anda di halaman 1dari 28

PERKEMBANGAN ETIKA

ADMINISTRASI NEGARA

Dosen Pengampu:

Asmawati, S.Sos., M.Si

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Rosalina (23.11.009)
2. Elfina Fediana (23.11.071)
3. Marlinda Novyta (23.11.032)
4. M. Rizki Zikrullah (23.11.010)

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI


SATYA NEGARA
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya serta
sholawat dan salam kepada junjungan kita semua nabi Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini dengan judul “Etika dan
Moral”. Makalah ini bertujuan untuk memudahkan kita dalam memahami arti
dari penilaian moral, etika dan membedakan antara etika dan moralitas, maka ini
juga merupakan karya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Administrasi
Negara.
Besar harapan penulis dengan susunannya maka hal ini kita bisa lebih
mudah memahami tentang etika dan moral dengan selesainya makalah ini
tentunya tidak terlepas dari berbagai pihak yang ikut berpartisipasi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan masalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
menyempurnakan makalah ini titik namun penulis berharap makalah ini bisa
bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................
A. Etika dan Moral Administrasi Negara ..................................................3
B. Etika Administrasi Birokrasi dalam Praktik .........................................10
C. Urgensi Etika Administrasi dalam Pelayanan Publik ...........................20
D. Benturan Budaya dalam Administrasi Negara ......................................22
BAB III PENUTUP .........................................................................................
A. Kesimpulan ...........................................................................................24
B. Saran ......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kamus umum bahasa Indonesia etika berarti ilmu
pengetahuan tentang asas-asas moral. Sedangkan etika menulis filsafat
dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran.
Pada dasarnya, etika membahas tentang tingkah laku manusia. etika
dalam pandangan filsafat ia mendapatkan ide yang sama bagi seluruh
manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik
dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia.
Memahami persoalan etika pada dasarnya akan sejarah dengan
filsafat moral, ya itu sebuah disiplin yang berkaitan dengan apa yang baik
secara moral dan buruk serta secara moral benar dan salah. Istilah ini biasa
juga diterapkan pada sistem prinsip moral apapun yang biasanya
berhubungan dengan bentuk etika yang diterapkan pada manusia.
Ada beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan
buruknya suatu perilaku salah satu berdasarkan adat istiadat adalah sesuatu
dikatakan baik jika seseorang mematuhi adat istiadat yang berlaku di
daerah tersebut dan dikatakan buruk jika hal tersebut berlawanan dengan
adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Sehingga orang yang
melanggar tersebut akan dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku.
Menurut etika sesuatu dikatakan benar jika hal-hal tersebut sesuai
dengan peraturan-peraturan yang ada. Sebaliknya hal-hal yang tidak sesuai
dengan peraturan yang ada di anggap salah.
Oleh sebab itu, etika akan senantiasa berupaya menyelesaikan
persoalan tentang molalitas manusia dengan mendefinisikan konsep-
konsep seperti yang baik dan yang jahat, benar dan salah, kebajikan dan
kejahatan, keadilan dan kecurangan.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah arti dari penilaian moral?
2. Apa saja definisi etika dari berbagai aspek?
3. Bagaimana cara membedakan antara etika dan moralitas?

C. Tujuan

Berdasarkan rumus masalah di atas, maka dapat diambil beberapa


penjelasan mengenai tujuan penulisan makalah ini antara lain adalah:
1. Memahami arti dari penilaian moral
2. Mengetahui definisi dan penjelasan tentang etika dari berbagai aspek
3. Dapat membedakan antara etika dan moralitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika dan Moral Administrasi Negara

Masalah etika memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam
proses administrasi negara. Etika administrasi negara merupakan salah
satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa
yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala
administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya
dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan
kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika
administrasi negara di samping digunakan sebagai pedoman, acuan,
referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk
menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya agar dapat dikatakan baik
atau buruk.
Pertimbangan – pertimbangan etika sama sekali bukan merupakan
langkah mundur, tetapi justru merupakan upaya untuk menemukan pranata
– pranata pembangunan yang berwatak dan bermoral serta mendapatkan
bentuk interaksi yang ideal antara aparat negara dengan setiap warga
Negara. Hal ini disebabkan karena masalah etika negara merupakan
standar penilaian administrasi negara mengenai tindakan administrasi
negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal
administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal
administrasi dan cara mengatasinya.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari
birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan
dilakukan oleh birokrat – birokrat dapat terlihat dan ter–akuntable dengan
jelas sehingga akan memudahkan law enforcement untuk menata ulang
manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada

3
prinsip – prinsip good governance dan berasaskan pada nilai – nilai etika
administrasi negara.
Pada pemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait law
enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang
diberikan kepadanya, pemerintahan tidak melakukan tindakan – tindakan
yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal-
administration) yang akan mengabaikan law enforcement pada penataan
ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law
enforcement terdapat:
1. Birokrat – birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh
kualitas sumber daya apaturnya
2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang
harus diberlakukan
3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat – birokrat pemerintahan
untuk mengaktualisasikan kinerjanya,
4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak,
berwawasan (visionary), demokratis dan responsive terhadap
revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing
government).

A.1. Pengertian Etika


Dalam banyak tulisan filosofis, jarang ditemukan penggunaan istilah
“etika dan moral” secara konsisten. Etika berasal dari bahasa
Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal
dari bahasa Latin; mos (jamak : mores) yang artinya cara hidup atau
kebiasaan. Secara epistemologis, pengertian etika dan moral memiliki
kemiripan namun sejalan dengan perkembangan ilmu, ada beberapa
pergeseran yang kemudian membedakannya.
Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan
disiplin ilmu yang mempelajari nilai – nilai yang dianut oleh manusia
beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan
4
dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum
yang mengatur tingkah laku manusia. Moral dalam pengertiannya yang
umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang
khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk
kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan
hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat
dalam peraturan-peraturan hukum.

A.2. Prinsip Nilai Etika Aministrasi Negara


Etika menurut Bertens (1977) adalah seperangkat nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999)
mengartikan etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama
oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam
berhubungan dengan individu lain dalam masyarakat.
Setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan
masing-masing menginginkan kepentingannya itu terpenuhi. Namun,
terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menutut pemenuhan
kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bias
tercapai. Guna menjaga keutuhan sistem dari adanya berbagai gejolak
yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata negara
sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan atau
menentukan prioritas bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan
berbagai pihak. Sarana yang memadai untuk melaksanakan hal-hal ini
biasa disebut birokrasi.
Dewasa ini masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Hampir
semua lapisan masyarakat mengenal birokrasi. Namun, banyak hal yang
tergambar di benak orang jika membicarakan birokrasi ialah urusan-
urusan menjengkelkan yang berkenaan dengan pengisian formulir-
formulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kantor secara
berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan seseorang melewati
5
banyak sekali formalitas, dan sebagainya. Akan tetapi birokrasi yang
sesungguhnya, dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang
berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi
(Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi
acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan
mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi sebagai
pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam
birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan
birokrasi dinilai baik atau buruk, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat dijadikan sebagai
acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksananakan
tugas dan kewenangannya antara lain adalah:
1. Efisiensi, artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi
publik dikatakan baik jika mereka efisien.
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor
tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
3. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh
organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal
perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur
rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi
sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan.
4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi
pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai
tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge),keterampilan (skill), sikap (attitude),kemam
puan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan
6
yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya).
5. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban
birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
6. Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat
obyektif sebab birokrasi dikatakan akuntable bilamana mereka dinilai
obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan
segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak
mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan
mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
(pelayanan publik yang professional dan dapat memberikan kepuasan
public.
7. Responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap
terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat
dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda – nunda waktu
atau memperpanjang alur pelayanan.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan


lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat untuk mengendalikan
bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan adari luar
organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari
akuntabilitas administrasi publik melibatkan dua faktor kritis, pertama
yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan
harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan.
Kedua, derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah
didefinisikan para birokrat.

A.3. Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-administrasi

Banyak “mal-praktik” dalam tubuh birokrasi yang diungkap oleh


masyarakat, baik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) adalah tindakan yang menyimpang hukum serta
penyelewengan law enforcement. Hal ini disebabkan karena etika
admnistrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dan
upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan good
governance.

7
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan
barang public, bias berupa uang dan jasa untuk kepentingan memperkaya
ddiri dan bukan untuk kepentingan publik. Proses terjadinya dapat
dibedakan dalam tiga bentuk yaitu graft, bribery dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal, artinya korupsi
yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga. Seperti menggunakan atau
mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan
diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan
dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, bawahan tidak
dapat meolak permintaan atasan.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan) merupkan tindakan
korupsi yang melibatkan orang di luar dirinya (instansinya), biasa disebut
dengan korupsi eksternal. Artinya korupsi tersebut tidak dapat terjadi jika
tidak ada orang lain yang melakukan tindakan penyuapan atau
penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyuapan,
penyogokan) dimaksudkan agar dapat mempengaruhi objektifitas dalam
membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan si
pemberi. Pemberian sesuatu dapat berupa materi, uang dan juga jasa.
Nepotism merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecenderungan
pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan
objektif, rasional tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”,
“kekerabatan”, seperti masih teman, keluarga, golongan, pejabat dan lain
sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan ini seringkali untuk
kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman
dan nyaman jika orang yang berada di sekitarnya (anak buahnya) adalah
orang-orang yang masih “nepotism” atau masih kerabat dekat. Jika
mereka melakukan tindakan penyimbangan mereka akan aman dan
dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya.
Namun dilihat dari sifat korupsinya dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu korupsi individualis dan korupsi sistemik.
8
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh
salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang
suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan
terkena hukuman, bias berupa dijauhi, dicela, disudukan dan bahkan
diakhiri nasib karirnya.
Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan
korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu
organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena
tindakan korupsi ini bias diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak
menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya. Jika ketahuan, maka
di antara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi dan
mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan
tersebut. Hal ini disebabkan agar instansinya tidak tercemar, sehingga
walaupun mereka tau ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”,
daripada mereka dikucilkan atau dijadikan saksi dalam perkara tindakan
korupsi tersebut.

A.4. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi


1. Faktor internal
Faktor internal berupa kepribadian seseorang, berwujud suatu
niat, kemauan dan dorongan yang tumbuh dalam diri seseorang untuk
melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi. Hal ini disebabkan
lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan
sehingga memudahkan untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun
sesungguhnya tindakan tersebut tidak baik, tercela dan buruk baik
menurut nilai-nilai sosial maupun menurut ajaran agama.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang
melakukan tindakan mal-administrasi, bias berupa lemahnya
peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain

9
sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan
tindakan korupsi.
Peraturan perundangan merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat
dan diikuti oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban
yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan memberi kelonggaran
bagi pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena
peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, maka akan
memberikan peluang (kesempatan) pegawai melakukan tindakan mal-
administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan
perundangan anti korupsi yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun peraturan perundangan
tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.

B. Etika Administrasi Birokrasi dalam praktik

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur yang


penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan
apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan
yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang
manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan
prinsip–prinsip tata pemerintahan yang baik.
Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi
pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan
dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika
tersebut hanya akan terasa apabila benar-benar menjadi bagian dari
dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori
filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara berasal dari
praktek administrasi sehari-hari.

10
1. Asas – Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda,
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu yang selalu berubah dan masalah
yang dihadapi oleh setiap negara pun berbeda, sehingga merumuskan asas
umum pemerintahan yangbaik dalam satu kata adalah upaya yang sulit.
Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat
bahwa pada pemerintahan orde lama berhasil meletakkan dasar
Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan
program–program pembangunan yang menyentuh rakyat.
Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan orde baru,
pemerintah memang telah berhasil melaksanakan pembangunan
kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program-program
yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi
bukan satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Tampaklah bahwa
perkembangan situasi politik, sosial and budaya serta dinamika masyarakat
turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi
pemerintahan yang ideal. Interpretasi dan pendapat individual
mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat,
namun demikian landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar
masyarakat dapat dipakai sebagai pedoman.

1.1. Prinsip Demokrasi


Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas
pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa
rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan
negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan.
Di dalam pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka
kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat
menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep
11
demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat
manusia dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan
terciptanya suatu sistem kemasyarakatan dimana setiap warga
negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu
dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap
aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan
rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan dan efisien.
1.2. Keadilan Sosial dan Pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila
tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antar
kelompok masyarakat yang kaya dan miskin serta antar
daerah/wilayah geografis, antara perkotaan dan pedesaan. Oleh karena
itu aparat birokrasi membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat
pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat
perkotaan.
1.3. Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut
melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan
umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang
kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat,
asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera.
Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah harus mempunyai
komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat
1.4. Mewujudkan Negara Hukum
Mewujukan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Oleh
karena itu, aparatur pemerintahan bersama dengan seluruh rakyat akan
mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintahan dalam
melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
12
1.5. Dinamika dan Efisiensi
Dinamika dapat diartikan sebagai kemampuan adaptasi
organisasi yang baik sehingga aparat pemerintah sanggup
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
dan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan responsif
terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terus berkembang.
Selain itu, ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan adalah efisiensi.
Efisiensi harus tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan
publik serta memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur
pelayanan dan biaya yang dikeluarkan.

2. Administrasi dan Nilai – Nilai Yudisial Norma Pengawasan


Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan
administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian
pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputusan. Waktu yang
tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut
seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan
penanganan segera. Sementara itu, pertimbangan efisiensi terkadang tidak
memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama
memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas
dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Oleh karena itu, pejabat
pemerintah dituntut mampu menjawab persoalan-persoalan secara
pragmatis.
Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya, para pejabat pemerintah
selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis
dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara
preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-
peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat pejabat pemerintah tersebut
mengabdi.
13
Untuk membuat keputusan, haruslah dilaksanakan dengan hasil
pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik
Pemerintah maupun masyarakat, karena hasil keputusan tidak jarang
membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang
tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh,
kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh
pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran.
Pembuat keputusan merupakan penopang dalam administrasi.
Pertimbangan lain untuk pengambilan keputusan pragmatis adalah
kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada seringkali tidak mampu
menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil
suatu kebijakan, para pejabat publik kadang kurang bisa melihat
keseluruhan aspek yang terkait dalam suatu permasalahan publik.
Perkembangan sistem ketatanegaran di seluruh dunia selama
setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak
rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi antara lain meliputi
kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta
hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari
keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama, tentu saja
adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak
warga negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang
diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam
institusi-institusi publik serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh
aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan adalah ekspansi
tanggungjawab legal bagi administrator publik.
Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi
negara secara judicial, pemerintah bersama-sama dengan Dewan
perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan
sistem administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang
negara, serta menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga
14
pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas
tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus
memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap
sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis
dan analitis (logical and analytical mind) dan akurat (accurate).
Dari keseluruhan tolak ukur normatif yang dapat digunakan untuk
menilai kinerja organisasi-organisasi publik, tampak bahwa “kebajikan”
yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat terwujud jika
mengacu kepada kepentingan umum secara obyektif atau netralitas
birokrasi.

3. Kearifan dan Kebijakan


Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama
beberapa dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecenderungan utama.
Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya
kebuthan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap
jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya
kekuasaan politis bagi para eksekutif dalam jajaran pemerintah.
Meningkatnya kekuasaan politis para eksekutif berarti meningkat pula
peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan
yang menyangkut masyarakat luas.
Ketika seorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih
tinggi, maka dituntut syarat kearifan karena akan semakin banyak terlibat
dalam bidang manajerial daripada teknis. Semakin tinggi jabatan
seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh
keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin beresiko
ketidakpuasan di antara bawahan ataupun masyarakat.
Pejabat yang arif (Kumorotomo, 2007, hal. 327) adalah pejabat yang
mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian
besar dengan landasan kebenaran yang hakiki. Tanggungjawab seorang
pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya pada organisasi yang
15
dikelolanya atau kepada atasannya saja, akan tetapi kepada warga negara
yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang
diambilnya.
Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk
bertindak melawan suara hati. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara
hati akan menemukan batasan pada hak orang lain. Kebebasan suara hati
tidak boleh sampai mengurangi atau mempengaruhi hak orang lain, atau
bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar (Magis-Suseno,
1999 hal 149). Keterbukaan aparatur pemerintah dan perlakuan yang adil
atau fair sangat penting dalam wacana tugas layanan publik. Manusia yang
bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada
jika administrator itu memiliki kemauan untuk bersifat arif sehingga
beretika (Sayuti, 2011, hal. 149), tanpa adanya takut akan hukuman atau
harap akan ganjaran, tanpa taku celaan atau harap akan pujian, dan tanpa
takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan,
mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat
publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-
kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti pentingnya
kearifan, yang merupakan landasan etis bagi aparatur pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan
kemanjuan bangsa.
Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan
penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik
yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bias menjalankan
proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari setralistik ke
desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan
tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga
pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan
interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara
16
positif maupun negatif. Untuk menerapkan gagasan secara benar,
mengelola sumber daya negara dengan tanggungjawab, menetukan
alternatif keputusan secara objektif dan menerapkan prosedur dengan baik,
seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang
prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang
pembuat kebijakan yaitu sebagai berikut :
1. Optimisme
Sifat ini tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap
mudah semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi
tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif, yakin
bahwa peluang untuk memecahkan persoalan selalu ada.
2. Keberanian (courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar.
Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak
sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang
kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang
mengandalkan favoritisme.
3. Keadilan yang berwatak kemurahan hati
Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan
komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan yang
baku, yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh
karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi
perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati sangat diperlukan
karena walau bagaimanapun pejabat publik melayani manusia yang
tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani
masyarakat umum yang selalu perlu diperhatikan adalah ketentuan
mengenai keadilan prosedural.

4. Kode Etik sebagai pedoman dalam Pelaksanaan Administrasi Negara


Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi
atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Jadi
17
dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan
dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan,
harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis. Kode etik juga merupakan
hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode etik adalah
persetujuan bersama yang timbul dari para anggota untuk lebih
mengarahkan perkembangan mereka sesuai dengan nilai-nilai ideal yang
diharapkan. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena
sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung
konsekuensi moral.
Manfaat lain dari perumusan kode etik adalah para aparat pemerintah
akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya adri
negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode
etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat
pemerintah (incumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingan akan
karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai
alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa
para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral
dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan
nyata. Dalam kaitan ini, Fredericson dan Hart mengatakan : public servant
must be both moral philophers and moral active, which would require:
first, an understanding of, and believe in regime and second, a sense of
extensive benevolence for the people of the nation.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tata
kerja, dan peraturan-peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh
organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat
wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-
kebutuhan masyarakat tertentu. Dan sebagai manusia yang bermoral,
pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam berindak dan
berperilaku. Seorang pejabat pemerintahan harus memiliki kewaspadaan
spiritual dan kewaspadaan profesional. Kewaspadaa spiritual merujuk
pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana
18
dan hemat, tanggungjawab serta akhlak dan perilaku yang baik.
Kewaspadaan profesional berarti menaati kaidah-kaidah teknis dan
peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang
pembuat keputusan.
Rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau
pejabat pemerintah, ada bebarapa sumber yang dapat dijadikan acuan.
Salah satunya adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI,
keputusan musyawarah KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989
tanggal 1 Juni 1989 tentang penyempurnaan kode etik Korps Pegawai
Republik Indonesia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Sapta
Prasetya. Kode etik ini pertama kali dilontarkan pada musyawarah
Nasional KORPRI, Sapta Prasetya dimaksudkan sebagai landasan dasar
kode etik (pasal 4 Keputusan Munas 1 KORPRI No. 3/MUNAS/1978).
Inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Seorang pegawai
atau pejabat akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya
maupun sumpah jabatan dengan mudah. Namun, perenungan, penghayatan
serta pengamalan dari apa yang diucapkan jauh lebih penting.
Untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu
merujuk kepada peraturan-peraturan kepegawaian yang lebih operational,
salah satu peraturan pemerintah yang memuat adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping
peraturan dan ketentuan di atas, unsur-unsur etis yang langsung
menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.
Kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur dalam tugas-tugas
administrasi negara. Kode etik merupakan pedoman dalam bertindak.
Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung niat baik dan
sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Kode
etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang

19
buruk dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat
diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.
Paham idealisme etika mengatakan bahwa pada dasarnya setiap
manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang
yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena tidak tahu norma
untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang
menuju ke arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan
sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral
dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar
individu.
Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia
tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi mencapai
tujuan bersama (Rasyid, 1998 : 139). Paradigma penyelenggaraan
pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma “rule government”
menjadi “good government”, dimana dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik melibatkan seluruh
elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Unsur utama penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang baik
adalah penting adanya akuntabilitas (accountability), transparansi
(transparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (penegakan
hukum) “Bhata dalam nisjar (1997;119), sehingga melalui unsur-unsur
tersebut dapat menciptakan sistem administrasi negara di Indonesia yang
efisien, efektf dan sekaligus bertanggungjawab.

C. Urgensi Etika Administrasi dalam Pelayanan Publik


Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yaitu 70.
Komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan
yang akuntabel diwujudkan dengan penerapan Zona Integritas di instansi
pemerintah. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
20
Birokrasi (Kementerian PANRB) telah menetapkan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 90
Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju
Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
di Instansi Pemerintah.
Zona Integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi
pemerintah dimana pimpinan dan jajarannya berkomitmen untuk
mewujudkan WBK/WBBM melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam
hal mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta pelayanan
publik yang prima.
Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah predikat yang diberikan
kepada unit kerja yang telah berhasil melaksanakan reformasi birokrasi
dengan baik, memenuhi sebagian besar kriteria proses perbaikan pada
komponen pengungkit yaitu manajemen perubahan, penataan tata laksana,
akuntabilitas kinerja, pengawasan, pelayanan publik, dan sistem
manajemen SDM.
Sedangkan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah
predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja yang telah berhasil
melaksanakan reformasi birokrasi dengan sangat baik, dengan telah
memenuhi sebagian proses perbaikan pada komponen-komponen
pengungkit tersebut.
Pembangunan Zona Integritas tersebut pada hakikatnya merupakan
wujud konkret dari eksistensi ilmu etika administrasi publik dan tata kelola
pemerintahan. Memang belum seluruh instansi memperoleh predikat
WBK/WBBM. Namun, meningkatnya jumlah instansi pemerintah yang
telah menerapkan Zona Integritas perlu diketahui secara luas oleh publik.
Media sosial resmi Kementerian PANRB merilis kenaikan usulan Zona
Integritas yang signifikan sejak 2016-2021. Hingga tahun 2021 telah
terdapat 201 unit kerja dengan predikat WBBM dan 1922 unit kerja
predikat WBK.

21
Kementerian PANRB sebagai instansi yang memiliki fungsi
koordinasi pelaksanaan supervisi dan pengawasan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan terus berupaya memperbaiki kualitas hasil
pembangunan Zona Integritas dengan memperkuat peran aktor yang
terlibat dan bermanfaat langsung bagi publik.
Seiring semakin bertambahnya Zona Integritas pada instansi
pemerintahan, publik kini dapat menilai dengan mudah. Saat akan
memperoleh pelayanan mereka dapat melihat bagaimana pemerintah
menerapkan komitmen pelayanan publik secara transparan. Semoga
dengan semakin meningkatnya Zona Integritas di pemerintahan, semakin
baik pula etika aparatur dalam melayani publik.

D. Benturan Budaya dalam Administrasi Negara


Budaya organisasi memiliki peran dalam meningkatkan efektivitas
kinerja organisasi, khususnya kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Budaya
organisasi berfungsi sebagai alat untuk menentukan arah dalam pencapaian
tujuan organisasi, serta mengarahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan apa
yang seharusnya dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan,
bagaimana mengalokasikan mengelola sumber daya organisasi, serta
berfungsi sebagai alat dalammemanfaatkan peluang-peluang dan
menghadapi permasalahan-permasalahan baik dari lingkungan internal dan
eksternal. Adapun beberapa hal yang timbul dalam pelayanan pada
masyarakat sebagai berikut :
1. Budaya pegawai yang melaksanakan pelayanan pada masyarakat sudah
menjadi karakter dan berulang yaitu berdasarkan prosedur atau Standar
Operasional Pelayanan (SOP), sedangkan masyarakat suka mengambil
jalan pintas ingin cepat, mudah, dan tidak bertele tele, akibatnya sering
terjadi menyalahi prosedur dengan menyuap petugas, atau mencari jalan
lain melalui pejabat atau orang terdekat, walaupun menghalalkan segala
cara.

22
2. Budaya pegawai yang suka memperlambat pelayanan masyarakat,
dengan berbagai dalih sarana prasarananya belum ada, petugasnya
belum datang danlain sebagainya, sehingga membuat kesal masyarakat
yang membutuhkan pelayanan. Hal ini sering terjadi dan diekspos
melalui LSM, media, sehingga citra PNS mendapat sorotan kurang enak
dari masyarakat;
3. Budaya pegawai yang suka menunda-nunda pekerjaan, padahal
pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan cepat, tetapi karakter
mereka sudah terbentuk seperti itu dan ini menjadi presiden buruk bagi
instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan pada masyarakat;
4. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pegawai Negeri Sipil yang
kurang siap memberikan pelayanan dengan menggunakan e pelayanan,
sehingga bukan cepat malahan memperlambat pelayanan.

Solusi yang harus segera dilakukan oleh pemerintah yaitu


meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan terutama dalam pelayanan modern dengan menggunakan e
pelayanan, penyediaan sarana prasarana yang menunjang kegiatan e
pelayanan, dan tingkat kesejahteraan PNS perlu disesuaikan dengan
perkerbangan kebutuhan pegawai, jangan sampai pegawai mencari
tambahan dengan menghalalkan segala cara. Peran pemerintah untuk
membangun moralitas pegawai dengan peran pemuka agama supaya lebih
religius dan tahu batal dan haram. Etika atau aturan yang berlaku secara
formal dan non formal pada instansi pemerintah dalam memberikan
pelayanan pada masyarakat.
Etika Kepegawaian formal berupa undang-undang yang mengatur
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu :
1. Undang-undang No. 8 tahun 1972 tentang pokok-pokok kepegawaian
yang mengatur PNS dan sekarang sudah tidak berlaku diganti dengan ;
2. Undang-undang No 43 tahun 1999tentang pokok-pokok kepegawaian
sebagai pengganti Undang-undang no. 8 tahun 1972;
23
3. Undang-undang No 5 tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian makalah ini dapat disimpulkan bahwa nilai
moral merupakan suatu sistem penilaian yang bersumber dari kehendak
maupun keinginan di dalam diri manusia. Begitu pula antara moral dan
etika adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk
menentukan baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran.
Untuk menjadikan kita sebagai manusia yang baik dalam beretika
dan bermoral kita harus menanamkan sebuah mindset yang positif di mana
mindset positif akan berpengaruh dalam beretika dan bermoral untuk
menjadikan kita menjadi manusia lebih baik.

B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun
nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah ini
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.
Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu
kepada sumber yang bisa dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan ada yang keriting serta saran mengenai
pembahasan makalah di atas.

24
DAFTAR PUSTAKA

https://bkpsdmd.babelprov.go.id/content/etika-dan-moral-administrasi-negara

https://lan.go.id/?p=10680

https://jurnal.unnur.ac.id/index.php/jimia/article/download/48/26

iii

Anda mungkin juga menyukai