Anda di halaman 1dari 46

Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap negara-negara di dunia pasti memiliki landasan etika dalam berpolitik. Seperti
Indonesia yang mengimplementasikan Pancasila yang tidak hanya sebagai landasan etika
dalam berpolitik tetapi juga merupakan landasan dan ideologi Negara. Merupakan hal yang
biasa ketika harapan tidak pernah selaras dengan kenyataan. Realita politik yang terjadi justru
bertentangan dengan etika politik yang ada. Di Indonesia sendiri pengamalan atau praktek
Pancasila dalam berbagai kehidupan dewasa ini memang sudah sangat sulit untuk ditemukan.
Tidak terkecuali dikalangan intelektual dan kaum elit politik bangsa Indonesia tercinta ini.
Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum serta hankam merupakan ranah kerjanya
Pancasila di dunia Indonesia yang sudah menjadi dasar Negara.
Secara hukum Indonesia memang sudah merdeka, namun jika kita telaah secara individu
(minoritas) hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan yang dilakukan para elit
politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang seharusnya mampu menjunjung tinggi
nilai-nilai Pancasila dan keadilan bersama. Sehingga cita-cita untuk mewujudkan rakyat yang
adil dan makmur lenyap ditelan kepentingan politik pribadi. Dalam fakta sejarah tidak sedikit
orang berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Dunia politik penuh dengan intrik-intrik
kotor guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya berbagai kepentingan
antar golongan, kelompok dan parpol dalam kalangan elit politik adalah sebuah keniscayaan
akan terjadinya konflik bila tidak adanya kesefahaman bersama, dan tidak jarang berujung
pada penyelesaian dengan jalan kekerasan. Rambu-rambu moral memang sering disebut-
sebut sebagai acuan dalam berpolitik secara manusiawi dan beradab. Tetapi hal itu hanya
menjadi bagian dari retorika politik.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun
norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif
(menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu
pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman
dalam tindakan atau suatu aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan
universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangasa dan bernegara. Adapun
manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis maka
nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas. Norma yang
bersumber dari sumber moralitas utama yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Termasuk bagaimana etika yang benar dalam berpolitik. Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan menjabarkan mengenai etika politik dan Pancasila sebagai etika politik
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah dikemukakan di atas, muncul beberapa rumusan
masalah yang menarik untuk dikaji :
1.2.1 Bagaimana awal munculnya etika politik?
1.2.2 Apakah pengertian dari etika?
1.2.3 Apakah pengertian dari politik?
1.2.4 Apakah yang dimaksud dengan etika politik?
1.2.5 Apakah pengertian dari nilai, norma dan moral?
1.2.6 Bagaimana peran Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang muncul di atas dapat diketahui bahwa tujuan penulisan
makalah ini adalah :
1.3.1 Mengetahui awal munculnya etika politik.
1.3.2 Mengetahui pengertian dari etika.
1.3.3 Mengetahui pengertian dari politik.
1.3.4 Mengetahui apa yang dimaksud dengan etika politik.
1.3.5 Mengetahui pengertian dari nilai, norma dan moral.
1.3.6 Mengetahui peran Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Awal Munculnya Etika Politik


Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur politik
tradisional berangsur-angsur mulai rapuh sampai ambruk. Dengan runtuhnya tatanan
masyarakat Athena, muncul berbagai macam pertanyaan tentang masyarakat dan negara,
seperti bagaimana seharusnya masyarakat harus di tata dan siapa yang harus menata, apa
tujuan negara dan beragam pertanyaan lainnya. Dua ribu tahun kemudian, kurang lebih lima
ratus tahun yang lalu, etika politik bertambah momentumnya. Legitimasi kekuasaan raja
dalam tatanan hierarkis kosmos tidak lagi di terima begitu saja. Legitimasi tatanan hukum,
negara dan hak raja untuk memerintah masyarakat dipertanyakan. Situasi seperti ini tampak
jelas pada zaman industrialisasi yang memicu kebangkitan filsafat politik. Klaim-klaim
legitimasi kekuasaan yang saling bertentangan menuntut refleksi filosofis atas prinsip dasar
kehidupan politik. Etika politik lebih berperan pada tuntutan agar segala klaim atas hak untuk
menata masyarakat dipertanggung-jawabkan pada prinsip moral dasar. Klaim-klaim
legitimasi dari segala macam kekuatan, baik bersifat kekuasaan langsung atau tersembunyi di
belakang pembenaran normatif harus merasionalisasikan dengan kebenaran umum. Filsafat
politik mendorong afirmativitas yang tidak dipertanyakan dalam permukaan saja, tetapi
memaksa tuntutan ideologis untuk membuktikan diri filsafat, dengan demikian menjadi
reflektif dan terbuka terhadap kritik, atau memang ditelanjangi sebagai layar asap ideologis
bagi kepentingan tertentu.
Al-Ghazali merupakan seorang penulis dan filsuf muslim abad pertengahan yang
memiliki corak pemikiran dan pemahaman yang sinergis dan relevan dengan hal tersebut.
Pemikiran al-Ghazali tentang etika kuasa (politik) seperti dalam teorinya bagaimana cara
menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk
kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan
kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali idealkan. Masih
dimungkinkan sebagai referensi dalam menata sebuah negara pada masa sekarang dari
beberapa teori tentang filsafat politik khususnya dalam tradisi filsafat Islam.
Konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan
masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh
agama sebagai dasar negara. Seorang pemimpin yang ideal menurut al-Ghazali adalah
seorang yang mengerti tentang budi luhur atau moral agama dan kebijaksanaan yang harus
diterapkan dalam menjalankan sistem pemerintahan.
2.2 Pengertian Etika
Menurut Bartens, sebenarnya terdapat tiga makna dari etika. Pertama, etika dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan
atau hidup bermasyarakat). Kedua, etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral,
yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang
baik atau yang buruk (sama dengan filsafat moral).
Etika termasuk kelompok filsafat praktis yang membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap segala sesuatu yang ada. Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,
1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
pelbagai kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual
yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu
bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai baik dan buruk segala sesuatu.
Sebagai bahasan khusu etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat
disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang berlawanan dengan
kejahatan (tidak susila). Etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Atau dengan
kata lain etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku
manusia.
2.3 Pengertian Politik
Pengertian politik berasal dari kosa kata politics yang memiliki makna bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan
penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan atau decisionsmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih tersebut.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum
atau public policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari
sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan
suartu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk
membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.
Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan
(coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan
keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Secara operasional
bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionsmaking), kebijaksanaan (policy),
pembagian (distributions) serta alokasi (allocation).
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian
yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut masyarakat negara.
2.4 Etika Politik
Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat
manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam
kegiatan politik. Etika politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia
sebagai makhluk sosial dan mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan untuk
mengontrol perilaku politik. Etika politik menelusuri batas-batas ilmu politik, kajian ideologi,
asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan
postulat-postulat tentang masyarakat dan kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam
dari manusia melalui pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan
politik. Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi kebijakan-
kebijakan yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus nilai objektif juga) hasil
kesepakatan awal. Jadi, tugas utama etika politik sebagai metode kritis adalah memeriksa
legitimasi ideologi yang dipakai oleh kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun
demikian, bukan berarti bahwa etika politik hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika
politik harus pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik harus terbuka terhadap kritik dan
ilmu-ilmu terapan.
Etika politik bukanlah sebuah norma. Etika politik juga bukan sebuah aliran filsafat atau
ideologi, sehingga tidak dapat dijadikan sebuah pedoman siap pakai dalam pengambilan
kebijakan atau tindakan politis. Etika politik tidak dapat mengontrol seorang politikus dalam
bertindak atau mengambil keputusan, baik keputusan individu, organisasi, atau kelompok.
Namun, etika politik dapat dijadikan rambu-rambu yang membantu politikus dalam
mengambil keputusan.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan
argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik
membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum
sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga
penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk
individu dan sosial). Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan.
Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung
jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma
moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif
maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Moralitas kekuasaan
lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
2.5 Pengertian Nilai, Norma dan Moral
Berbicara mengenai etika politik kita juga perlu mengetahui tentang apa yang disebut
dengan nilai, norma dan moral.
2.5.1 Pengertian Nilai
Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai
adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, (the
believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya
adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai
itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti menimbang untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai
yang diambil berhubungan dengan subjek penilai itu sendiri dimana dalam hal ini adalah
manusia yang meliputi unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan.
Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain
sebagainya. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-
dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara
tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan
keharusan. Berbicara tentang nilai berarti kita masuk bidang makna normatif, bukan kognitif,
kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduannya
saling berkait secara erat, artinya yang ideal harus menjadi real, yang normatif harus
direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Max Sceler mengelompokkan nilai ke dalam empat tingkatan berdasarkan tinggi
rendahnya, yakni :
a. Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingakatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan
dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen).
b. Nilai-nilai kehidupan : dalam tingakatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan
(Werte des vitalen Fuhlens).
c. Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang
sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
d. Nilai-nilai kerohanian : dalam tingakatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak
suci (wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen).
Sedangkan menurut ahli yang lain yakni Notonagoro membagi nilai menjadi tiga
macam, yaitu :
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau
kebutuhan material ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian
ini dapat dibedakan atas empat macam :
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal manusia (ratio, budi, cipta).
2) Nilai keindahan (estetis), yang bersumber pada unsur perasaan manusia (esthetis, gevoel,
rasa).
3) Nilai kebaikan (moral), yang bersumber pada unsur kehendak manusia (will, wollen, karsa).
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian teringgi dan mutlak. Nilai religius ini
bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
a. Nilai Dasar
Nilai memiliki sifat yang abstrak yang tidak dapat diamati indra manusia namun
realisasinya bersifat nyata (real). Setiap nilai memiliki nilai dasar (onotologis) yang
merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut dimana
sifatnya adalah universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu. Nilai
dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan atau
direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. Konsekuensinya walaupun dalam
aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan
nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
b. Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus
memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang
merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Nilai instrumental yang
berkaitan dengan tingkah laku manusia merupakan suatu norma moral. Sedangkan yang
berkaitan dengan organisasi maupun negara merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau
strategi yang bersumber pada nilai dasar. Dengan kata lain nilai instrumental merupakan
suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
c. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental
dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari
nilai instrumental itu sendiri. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun
demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena
nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya
tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
2.5.2 Pengertian Norma
Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia
yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi
tertentu. Nilai yang menjadi milik bersama didalam satu masyarakat dan telah tertanam
dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Nilai-nilai yang
telah dibakukan menjadi norma itulah yang kelak menjadi acuan penilaian. Pada hakikatnya,
norma merupakan perwujudan dari koeksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Norma
sendiri dibedakan menjadi empat, yaitu norma agama, norma moral, norma sosial, dan norma
hukum.
2.5.3 Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin Mos yang jamaknya Mores yang berarti adat atau cara
hidup. Etika dan moral hampir sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari terdapat
sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Secara umum moral
merupakan suatu ajaran ataupun wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang
baik.
2.5.4 Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai merupakan kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik
lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan ataupun
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari ataupun tidak. Nilai tidak bersifat
konkrit yang dapat ditangkap indra manusia melainkan bersifat abstrak yang hanya dapat
dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dipahami oleh manusia.
Agar nilai menjadi menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia maka perlu dikonkritkan serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Wujud lebih konkrit dari
nilai inilah yang disebut norma. Terdapat berbagai macam norma dimana norma hukumlah
yang paling kuat karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral
mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah
maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Demikianlah hubungan yang sistematik antar nilai, norma, dan moral yang pada gilirannnya
krtiga aspek tersebut terujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
2.6 Peran Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai
yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat
satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa
yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila
sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak dan susunannya. Pancasila tidak
hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,
hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami
nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
2.6.1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan. Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang
mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak
bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan legitimasi hukum dan
demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun
secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan
terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih
berkaitan dengan legitimasi moral.
2.6.2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam
suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama.
Manusia merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas
kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan
negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan
dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus
merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara.

2.6.3. Persatuan Indonesia


Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian
bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga
ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
Indonesia sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi
merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan
sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat persatuan demi keuthan
negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga berkaitan dengan legitimasi
moral.
2.6.4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang
dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan
negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan
serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka
dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif
serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus
berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki legitimasi
demokratis.
2.6.5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip
legalitas. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup
bersama (keadilan sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam
penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian
senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan
dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan
negara.
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak
dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam
berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk
menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar
atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan
tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.
Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit
dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para
pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi
demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus
dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak
pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan
penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi
momok masyarakat.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa
kendala-kendala, yaitu :
a. Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah
ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara
konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi
satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik
menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik
Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik
Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan
membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau
cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-
lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak
terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada
tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada
pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma
moral.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya dan berdasar pada pembahasan
materi diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni :
3.1.1 Etika politik lahir di Yunani pada saat struktur politik tradisional berangsur-angsur mulai
rapuh sampai ambruk. Legitimasi kekuasaan raja untuk memerintah masyarakat
dipertanyakan. Etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat
dipertanggung-jawabkan pada prinsip moral dasar. Menurut al-Ghazali sistem kenegaraan
yang baik adalah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan
bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan
moral yang kuat.
3.1.2 Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap segala sesuatu yang ada.
3.1.3 Politik memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara
yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti
dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Dalam hubungan dengan etika politik pengertian
politik harus dipahami dalam pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang
membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
3.1.4 Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia
sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik.
Hukum dan kekuasaan negara merupakan pembahasan utama etika politik dengan pokok
permasalahan utama adalah legitimasi etis kekuasaan. Dimana legitimasi etis mempersoalkan
keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
3.1.5 Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.
Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain
sebagainya. Berdasarkan penjabarannya nilai dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman
penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang
didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Sedangkan moral merupakan suatu ajaran ataupun
wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
3.1.6 Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan
sesuai dengan kelima sila Pancasila. Etika politik Pancasila harus direalisasikan oleh setiap
individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Peran
Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia harus benar-benar dipahami oleh setiap
penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang terjadi dewasa ini.
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA POLITIK DAN IDEOLOGI NEGARA

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA POLITIK


1. Pengertian Etika

Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia yang
dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruknya. Etika membicarakan seluruh
kepribadian baik hati nurani, ucapan dan perbuatan manusia baik sebagai pribadi maupun
sebagai kelompok.

Sebagai cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia, etika memberikan
standar atau penilaian terhadap tingkah laku manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, etika
dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yaitu:

a. Etika deskriptif ialah etika yang hanya menerangkan apa adanya tanpa memberikan
penilaian.
b. Etika normative ialah etika yang mengemukakan suatu penilaian mana yang baik dan mana
yang buruk, dan apa yang sebagainya dilakukan oleh seseorang.
c. Etika individual ialah etika yang objeknya tingkah laku manusia sebagai makhluk individu.
Misalnya berkaitan dengan tujuan hidup manusia.
d. Etika social ialah etika yang membicarakan tingkah laku dan perbuatan manusia dengan
hubungannya dengan orang lain. Misalnnya dalam keluarga, masyarakat, Negara dan
sebagainya.
Kempat klasifikasi tersebut, menegaskan bahwa etika berkaitan dengan masalah nilai.
Hal ini dikarenakan etika pada hakekatnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan
dengan predikat nilai yaitu susila dan asusila, baik dan buruk.

2. Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kosakata politics, yang memiliki makna bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan
pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik
menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution),
serta alokasi (allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan
para pelaksana pemerintahan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik
serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara. Pengertian
politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan
hidup yang disebut masyarakat negara.
3. Pengertian Nilai, moral dan norma
Nila, moral, dan norma merupakan konsep yang saling berkaitan. Ketiga konsep ini
saling terkait dalam memahami pancasila sebagai etika politik.
a. Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia.
Disamping teori nilai diatas, Prov. Notonegoro membagi nilai dalam tiga kategori,
yaitu:
1) Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
2) Nilai Vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan aktifitas.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian
dapat dirinci menjai empat macam, yaitu:
a) nilai kebenaran, yaitu bersumber kepada unsur rasio manusia, budi, dan cipta.
b) Nilai keindahan, yaitu bersumber pada unsur rasa atau intuisi.
c) Nilai moral, yaitu bersumber pada unsur kehendak anusia atau kemauan.
d) Nilai religi, yaitu bersumber pada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang tertinggi
dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia terhadap tuhan.
b. Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) = Kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah
ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan
manusia. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar,
baik, terpuji, dan mulia.
c. Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-
hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya merupakan perwujudan marabat
manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran
dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk di patuhi. Oleh karena itu, norma
dalam perwunudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma
hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal
dengan sanksi, misalnya:
1) Norma agama, dengan sanksinya dari tuhan.
2) Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri.
3) Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat.
4) Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau denda yang dipaksakan oleh Alat
negara.

4. Pengertian Etika Politik

Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan.
Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang
baik dan mana yang jelek. Apabila suatu politik sudah mengarah pada kepentingan umum
atau negara, itu etika politik yang baik, sedangkan apabila suatu politik sudah mengarah pada
kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Fungsi etika politik
dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoretis, untuk mempertanyakan serta
menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi,tidak berdasarkan emosi,
prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, objektif, dan argumentatif.
Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapata
dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan
normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik
dengan tolak ukur matabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebagai keputusan
politik. Suatu keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan.
Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang
berdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang
tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu, etika politik lebih bersifat konvensi
dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali
keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis
(uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya, pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada dan tidak berkembangnya nilai-nilai
tersebut sesuai dengan moralitas publik.
Prinsi-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara
adalah adanya cita-cita the rue of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak
asasi manusia menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat
masing-masing dan keadilan sosial.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada
kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan
sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa
para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik
(dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, run away)
menuju ke arah jual-beli menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan
uang.
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi.
Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan
memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas).

B. Nilai-nilai Pancasila sebagai Sistem Etika Politik


Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, bahwa pancasila merupakan dasar etika politik
bagi bangsa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian, nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap sila. Pancasila menjadi sumber etika politik yang harus selalu mewarnai dan
diamalkan dalam kehidupan politik bangsa indonesia baik oleh rakyat ataupun penguasa.
Oleh karena itu dapat dikatakan kehidupan politik meliputi berbagai aktifitas politik dinilai
etis, jika selalu berpijak kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradap, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan serta selalu ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan
dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip moral
(legitimasi moral). Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan
kekuasaan dan penegakan hukum.
1. Ketuhanan yang maha esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. Yang Maha Esa berarti
Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat- Nya dan perbuatan-Nya. Atas
keyakinan demikianlah, maka Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha
Esa, negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk
beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan perbuatan
yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945
Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi : negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa dan
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Pernyataan tersebut secara normatif merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, harus diingat, pernyataan tersebut
bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah negara Teokrasi yang mendasarkan
kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara berdasarkan legitimasi religius, dimana
kekuasaan kepala negara bersifat absolut atau mutlak. Dengan demikian sila pertama
merupakan legitimasi moral religius bagi bangsa Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki
potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan
norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban
seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan
susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila. Hakikatnya terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan . Selanjutnya dijabarkan dalam batang
tubuh UUD 1945.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai keterkaitan sangat erat dengan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius
(sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimas moral kemanusiaan (sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan negara, sehingga Indonesia
terjerumus kedalam negara kekuasaan (machtsstaats).
3. Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan
mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi
satu kebulatan. Sila Persatuan Indonesia memberikan suatu penegasan bahwa negara
Indonesia merupakan suatu kesatuan dalam hal Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan
keamanan. Proses penyelenggaraan negara harus selalu didasari oleh asas persatuan, dimana
setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa tidak ditujukan untuk memecah belah bangsa,
tetapi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sesuai dengan pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia . Selanjutnya lihat batang tubuh UUD 1945.
Persatuan Indonesia merupakan perwujudan paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai
oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu
paham kebangsaan Indonesia bukanlah paham kebangsaan yang sempit (chauvinistis), tetapi
paham kebangsaan yang selalu menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi
paham golongan,suku bangsa serta keturunan.

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam


Permusyawaratan/Perwakilan
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dala m
permusyawaratan/perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa Indonesia.
Sila ini menegaskan bahwa negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan
diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system
demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya
ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, yaitu, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia,
yang berkedaulatan rakyat . Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.
Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi
harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia
Keadilan social berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang
kehidupan, baik materil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara
Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945,
yaitu Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan
sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan dalm kehidupan negara, yang menunjukkan setiap
warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut,
kehidupan dan penyelenggaraan negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku.
Penyelenggaraan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara, yang bisa mengakibatkan
hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap
penyelenggara negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan
dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan terbentu suatu pemerintahan
yang etis serta rakyat yang bermoral pula.

C. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA


1. Pengertian Ideologi
Ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan
pedoman dan cita-cita hidup. Ideologi terbagi dua yaitu ideologi secara fungsional dan
ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional adalah seperangkat gagasan tentang
kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik.
Ideologi secara fungsional terbagi menjadi dua yaitu ideologi yang doktoriner dan
ideologi yang pragmatis. Ideologi doktoriner yaitu ajaran-ajaran yang terkandung di dalam
ideologi yang dirumuskan secara sistematis dan pelaksananya diawasi secara ketat oleh
aparat partai atau aparat pemerintahan, contohnya adalah komunisme. Sedangkan ideologi
pragmatis yaitu ajaran-ajaran yang terkandung di dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan
secara sistematis dan terinci.
Ideologi itu disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem
pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama, dan sistem politik. Jadi, ideologi adalah
kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis,
yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia.

2. Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Kita mengenal istilah berbagai ideologi, seperti ideologi negara, ideologi bangsa, dan
ideologi nasional. Ideologi negara khusus dikaitkan dengan pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sedangkan ideologi nasional mencakup ideologi negara dan ideologi
yang berhubungan dengan pandangan hidup bangsa. Bagi bangsa Indonesia, ideologi
nasionalnya tercermin dan tekandung dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam alenia pertama pembukaan UUD 1945, terkandung motivasi, dasar, dan
pembenaran perjuangan (kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan bertentangan
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan). Alenia kedua mengandung cita-cita bangsa
Indonesia (Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur). Alenia ketiga
memuat petunjuk atau tekad pelaksanaanya (menyatakan kemerdekaan atas berkat rahmat
allah yang maha kuasa ). Alenia keempat memuat tugas negara atau tujuan nasional,
penyusunan undang-undang dasar, bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan
dasar negara pancasila.
Pancasila sebagai ideologi ialah perumusan suatu pola pikir berupa sistem dari pada ide
(cita-cita atau angan atau paham), kepercayaan dan sikap yang menjadi dasar suatu
masyarakat atau bangsa tertentu dalam menginterprestasikan hidup. Suatu sistem tata nilai
yang tumbuh dari pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa berkaitan dengan filsafat
hidup bagi suatu bangsa yang berkaitan dengan falsafah hidup pada suatu bangsa yang
menyangkut sistem nilai yang dalam kehidupan sehari-hari tampil dalam bentuk norma-
norma dasar. Dalam pancasila tercantum berbagai gagasan dasar dan tatanan yang kita
anggap baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini berarti bahwa dasar-dasar
Pancasila sudah mulai kita letakan lebih teratur dan kuat dalam pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik ini berarti pula mengharuskan kita semua untuk mengamalkan
pancasila.
Ideologi yang bersumber dari suatu pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa
merupakan suatu ideologi yang baik atau sempurna, jika tumbuh melaui kurun waktu yang
panjang. Ideologi yang baik itu ideologi yang terbuka bagi pandangan filsafat. Jadi pancasila
itu tidak hanya sebagai pandangan hidup dan ideologi bangsa, melainkan sebagai filsafat
bangsa. Jelaslah bahwa pacasila itu berhubungan antara sumber dengan pertumbuhan dalam
filsafat dan ideologi negara.

D. Makna Ideologi bagi Negara


Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,
yaitu cara berfikir dan cara kerja perjuangan. Sebagai dasar negara, pancasila perlu dipahami
dengan latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, yaitu pembukaan, batang tubuh, serta penjelasan UUD 1945.
Pancasila bersifat integralistik yaitu paham tentang hakikat negara yang dilandasi dengan
konsep kehidupan bernegara. Untuk memahami konsep pancasila yang bersifat integralistik,
terlebih dahulu kita harus melihat beberapa teori yaitu:
1. Teori perseorangan (individualistik)
Menurut teori ini negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas
kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu (social contrac). Hal ini mempunyai
pengertian, bahwa negara dipandang sebagai organisasi persatuan pergaulan hidup manusia
yang tertinggi. Manusia sebagai individu bebas dan merdeka tidak ada yang di bawah orang
lain, semua dalam kedudukan dan taraf yang sama.
2. Teori golongan ( class theory)
Negara dipergunakan sebagai alat untuk mereka yang kuat untuk menindas golongan
ekonomi yang lemah, yang dimaksud golongan ekonomi yang kuat adalah mereka yang
memiliki alat-alat produksi. Negara akan lenyap dengan sendirinya apabila dalam masyarakat
tidak ada lagi perbedaan kelas dipertentangan ekonomi.
3. Teori kebersamaan (integralistik)
Dari segi integritas antara pemerintah dan rakyat, negara memiliki penghidupan dan
kesejahteraan bangsa seluruhnya, negara menyatu dengan rakyat dan tidak memihak pada
salah satu golongan dan tidak pula menganggap kepentingan pribadi yang lebih diutamakan,
melainkan kepentingan dan keselamatan bangsa serta negara sebagai suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Teori ini mengemukakan bahwa negara adalah suatu susunan
masyarakat yang integral diantara semua golongan dan semua bagian anggota masyarakat.
Persatuan masyarakat itu merupakan persatuan masyarakat yang organis. Pancasila itu
bersifat integralistik karena:
a. Mengandung semangat kekeluargaan dan kebersamaan.
b. Adanya semangat kerjasma atau gotong royong.
c. Memelihara kesatuan dan persatuan, dan
d. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
PANCASILA DALAM ETIKA POLITIK

1. Pengertian Etika

Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap apa yang ada) dan dibagi mendasar tentang ajaran-ajaan dan pandangan-pandangan
moral. Erika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikat dan bertanggung jawab dengan berbagai
ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk
sosial (etika sosial).

2. Pancasila dalam Etika Politik

Etika adalah kelompok filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik berasal dari kata
Politics, yang memiliki makna bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik
atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan tujuan.

Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau perbuatan-
perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Filsafat politik adalah
seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan
oleh para penganutnya, seperti komunisme dan demokrasi.

Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai pelaku
etika yaitu manusia. Oleh karena itu, etika politik berkaitan eratdengan bidang pembahasan
moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Maka kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian
kewajiban-kewajiban lainnya, karena yangdimaksud adalah kewajiban manusia sebagai
manusia, walaupun dalam hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun negara etika
politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia
sebagai makhluk yangberadab dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsamaupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam
arti moral.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan
untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik
membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan
struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman
etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam
bernegara. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan
sesuai dengan:

1. Legitimasi hukum
2. Legitimasi demokratis
3. Legitimasi moral

3. Pancasila Sebagai Sistem Etika

Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya
dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan suatu pemahaman yang saling
melengkapi sebagai sistem etika.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi
sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainnya. Disamping ituh, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat
kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran
filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi
manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai tersebut
dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat,bangsa, dan negara maka diwujudkan
dalam norma-noorma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi:

1. Norma Moral

yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik
maupun buruk, sopan maupun tidak sopan, susila atau tidak susila.

2. Norma Hukum

Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu
tertentu dalam pengertian ini peratran hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demiian, pacasila pada hakikatnya bukan meruakan suatu pedoman yang langsung
bersifat normatif ataupun praktsis melainkan suatu sistem nilai-nilai etika merupakan sumber
norma.

4. Pengertian Nilai, Moral dan Norma

Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang
melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang
tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan
manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk
selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya.
Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai,
yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat
dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan
(motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu
wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam
macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai
religi.

Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi
adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama
tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan
yaitu :

1. nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa
senang, menderita atau tidak enak,
2. nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum,
3. nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan
pengetahuan murni,
4. nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :

1. nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2. nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas
atau kegiatan,
3. nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam
empat tingkatan sebagai berikut :
4. a. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
5. nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia
6. nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
7. nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya,
nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu
keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai
berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia
berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan
yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

Pengertian Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah
laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah
dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara
moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan
mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Pengertian Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan
menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang
seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat)
dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk
budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang
dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya
dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma
sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra
manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai
aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa
hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu
bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya :
hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan
hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima
(penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai
dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat
kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak
asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas,
aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang
direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan
tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu.
Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari

nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan
dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma
moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka
nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada
nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai
instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan
penjabaran Pancasila.

Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang
lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai
dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut
diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai
praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai
kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi
yang kuat tumbuh dan berkembang Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak
berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu
dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

5. Hubungan Nilai, Norma, Dan Moral

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun
tidak.

Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris,
sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti, dan
dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat
ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat
subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai
tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia.

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia,
maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka
wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.Selanjutnya,
nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh
moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.

Makalah Pancasila tentang PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan
bernegara di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan kesadaran
relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila
itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral
pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma
moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya
suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu
suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan
pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga
merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan
dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang
terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan
berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun
praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum
baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih
lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan
maupun kebangsaan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah yang ada di makalah ini adalah
1. Apa pengertian etika?
2. bagaimana pengertian nilai, norma dan moral?
3. Apa itu hierarkhi nilai?
4. Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral?
5. Bagaimana pengertian etika politik dan politik?
6. Apa definisi dimensi politisi manusia?
7. Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dalam makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika
politik.
2. Dapat mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
3. Dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut
lingkungan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang
ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang
ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan,
tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu
etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita
harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral
(Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip Etika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain
dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak
susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya
dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-
prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral.
Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk
sosial (etikasosial).

2.2 Pengertian Nilai, Norma, dan Moral

2.2.1 Pengertian Nilai

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang
atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada
suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi
dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu
adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar,
baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi
manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan.
Nilai atau value (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan
tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology,
theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di
dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya kebiasaan
(wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu
dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan
manusia akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong
dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai)
merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita,
gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau
sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh
berbagai cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan
kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada
segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta
pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai
suatu system merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping system social dan
karya.Oleh karenaitu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat pada enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial,
nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat
dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed
capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat
atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung
cita cita, harapan harapan, dambaan dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai
berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerokhanian bidang makna
normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun
demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau saling berkait secara erat, artinya
bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yng ideal harus menjadi real, yang
normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari hari yang merupakan fakta.
2.2.2 Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan
atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan
sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial,
moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma
agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan
oleh alat Negara.

2.2.3 Pengertian Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral
adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan
manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya
terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa
peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan,
kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau
agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.

2.3 Pengertian Hierarkhi Nilai

Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu
masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai
tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak
sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat
tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa
senang, menderita atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan
pengetahuan murni,
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Walter G . everet menggolongkan nilai nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai nilai ekonomis f) Nilai nilai estetis

b) Nilai nilai kejasmanian g) Nilai nilai intelektual

c) Nilai nilai hiburan h) Nilai nilai keagamaan

d) Nilai nilai sosial

e) Nilai nilai watak

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :


1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas
atau kegiatan,
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam
empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.

Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria
sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela.
Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap
manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari uraian mengenai macam macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga
sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai
nilai pancasila tergolong nilai nilai kerokhanian, tetapi nilai nilai kerohanian yang
mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai nilai lain secara lengkap
dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan
atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagai tujuan.

2.4 Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya
tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi
yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah
laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya
dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan
martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak
berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu
dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

2.5 Pengertian Etika Politik Dan Politik

2.5.1 Pengertian Etika Politik


Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan.
Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang
baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak!
Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan
kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan
golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri
ini.Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang erdasarkan
Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur
dalam aturan secara legal formal. Karena itu, etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa
aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali
keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis
(uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan (b) tidak
berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan
fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja
karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena
untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada
kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan
sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa
para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik
(dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, run away)
menuju ke arah jual-beli menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan
uang.[1][1]
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi.
Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan
memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas).
Etika politik menjawab dua pertanyaan:
1. Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara
(misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.

2. Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus
mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan
para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu
Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua
pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka
pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama,
melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis. Karena itu,
sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
a. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e. Negara hokum demokratis/republican (Kant)
f. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g. Keadilan sosial

2.5.2 Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kosakata politics, yang memiliki makna bermacam
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses
penentuan tujuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu.
Berdasarkan pengertian pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang
politik menyangkut konsep konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan
( power), pengambilan keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian (
distribution), serta alokasi ( allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan
para pelaksana pemerintahan negara, lembaga lembaga tinggi negara, kalangan aktivis
politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara.
Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu
persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.

2.6 Definisi Dimensi Politisi Manusia

2.6.1 Manusia sebagai Makhluk Individu Sosial

Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan


manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan
bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat
kodrat manusia sebagai individu.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat
kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi
masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan
masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai
makhluk sosial.
Manusia sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala
aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di
karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam
hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapt hidup dan berkembang
karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar
berhasil dalam segal kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari
masyarkat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdpt dalm
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat
monodualis. Maka sifat serta ciri khas kebangsan dan kenegaraan indonesia, bukanlah
totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.

2.6.2 Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis
mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem sitem nilai serta ideologi yang
memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagi
makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan
negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis mnakala diambil dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis
manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan dirinya sendiri sebagai
anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan
di tentukan kembali oleh kerangka kehidupanny serta ditentukan kembali oleh tindakan
tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral
manusia.

2.7 Nilai-nilai Tergandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab adalah merupakan sumber nilai nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan
dalam negeri di jalankan sesuai dengan:

a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).


b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi
moral).

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut
publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta
moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu
keadilan dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5,
adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa
harus berdasarkan atas hukum yang berlaku
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula
kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai
pendukung pokok negara.

Minggu, 19 Mei 2013

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK INDONESIA


Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di
Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam
jiwa Pancasila. Kesadaran etika yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga
masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai Pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etika juga
akan lebih berkembang ketika nilai dan moral Pancasila itu dapat di terapkan kedalam norma-norma
yang di berlakukan di Indonesia .

Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun
norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan
sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek
praksis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu
pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia
yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu
suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, Pancasila juga merupakan
suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia
sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa
materialis).
Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis
melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi
norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-
norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
Pancasila Sebagai Etika Politik :
- Pancasila berasal dari kata panca yang berarti lima dan sila berarti dasar. Jadi Pancasila
merupakan dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
- Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral.
- Politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu.

Pengertian Etika

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-aaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahasas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terntentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai
kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika sosial merupakan kewajiban manusia terhadap
manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kata Politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan
tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara
beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada. Untuk
melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan, dan kewenangan yang
akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul
dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu
pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan
belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-
tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals).
Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai pplitik, lembaga
masyarakat maupun perseorangan.

Pengertian Etika Politik

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat.
Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu,
etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk etika politik
yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan
manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara,
hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative.
Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar
pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai
lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat
yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi
etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan
orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis
masyarakat, jaminan ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan
masyarakat masing-masing dan keadaan sosial.
Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila

Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut
pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-
tuntutan dasar etika politik modern.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai,
toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama,
budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan
berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian
seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak
asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan.
Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai
berikut.

a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan
karena pemberian Sang Pencipta .
b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas
di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara
modern.

3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain,
bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak
hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain.
Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis,
kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan
keterbatasan masing-masing.
4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok
ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin
mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :

1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip
mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum
demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena
mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas masyarakat
mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami
secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu, keadilan
sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada
dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua
diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.


2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana
mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat
mereka pada masyarakat.
3. Korupsi

Dimensi Politisi Manusia

A. Manusia sebagai Makhluk Individu Sosial


Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia
sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia
sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme
memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar
sarana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan
masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk
sosial.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan
kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia
sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu
bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam
hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam
segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya
bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat monodualis. Maka
sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun
sosialistis melainkan monodualistis.

B. Dimensi Politis Kehidupan Manusia


Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup
lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem sitem nilai serta ideologi yang memberikan
legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat
politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran
manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta
ditentukan kembali oleh tindakan tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk
bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.

Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
adalah merupakan sumber nilai nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam
negeri di jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi
moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral
kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu keadilan dalam hidup
bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam
kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan,
kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan
negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan,
serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok Negara.

1. Pengertian Nilai, Norma, dan Moral

Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi
nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan
lainnya.
Nilai atau value (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai
dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai
untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya kebiasaan (wath) atau kebaikan (goodness) dan
kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian
(Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia
akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan
sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud
kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu
adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan
antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik
berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun
politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu
: nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu
benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any
object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita cita, harapan
harapan, dambaan dambaan dan keharusan.
Pengertian Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang
dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat
berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma
memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri.
c.Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat.
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan
oleh alat Negara.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah
ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu
dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang
benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma,
moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral
hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur kehidupan
masyarakat dalam berbagai aspeknya.

2. Pengertian Hierarkhi Nilai


Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai
meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya.
Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang,
menderita atau tidak enak.
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum.
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan
murni.
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Walter G . everet menggolongkan nilai nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai nilai ekonomis f) Nilai nilai estetis
b) Nilai nilai kejasmanian g) Nilai nilai intelektual
c) Nilai nilai hiburan h) Nilai nilai keagamaan
d) Nilai nilai sosial
e) Nilai nilai watak

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :


1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau
kegiatan.
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam
empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu,
nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada
dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber
pada berbagai sistem nilai.
Dari macam macam nilai, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya
sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau
immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai nilai pancasila tergolong nilai nilai kerokhanian,
tetapi nilai nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai
nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan,
nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagai tujuan.

3. Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral


Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris
bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat
tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia
bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan
dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu
amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan
etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam
pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang.
Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental, Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan deriviasi atau penjabaran maka nilai-nilai dapat di kelompokan menjadi
tiga macam yaitu nilai dasar, nilai intrumental, nilai praksis.
A. Nilai Dasar
Nilai dasar ini besifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu
misalkan hakikat Tuhan, manusia dengan segala sesuatu lainnya. Demikian juga hakekat nilai dasar
itu dapat juga berlandaskan pada hakikat suatu benda , kuantital, kualitas, aksi relasi ruang maupun
waktu. Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga di sebut sebagai sumber norma yang pada
gilirannya di jabarkan atau di relisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis.
B. Nilai Intrumental
Nilai intrumental yang merupakan suatu pedoman yang dapat di ukur dan di arahkan. Bilamana
nilai intrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka
hal ini merupakan suatu nilai norma. Dan nilai intrumental sendiri juga dapat di katakan bahwa nilai
intrumental itu merupakan suatu eksplistasi dari nilai dasar.
C. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakekatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai intrumental dalam
suatu kehidupan yang nyata. Artinya oleh karna nilai dasar, nilai intrumental dan nilai praksis itu
merupakan suatu sistem perwujutannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.

Anda mungkin juga menyukai