Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FILSAFAT DAN TEORI ETIKA


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

“Etika Bisnis Islam”


Dosen Pengampu:

Kharisma Novita Sari, M.E

Disusun oleh:

Kelompok 6

1. Risma Ma’rifatul Ulumi (126402211055)


2. Siti Muhjatun Naziyah (126402211058)
3. Al Rizal Sandi (126402213191)

SEMESTER GENAP

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH


TULUNGAGUNG

MARET 2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, taufik serta hidayah
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Filsafat dan
Teori Etika” dengan tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing dan membawa kita dari zaman
kejahiliyahan ke zaman yang penuh cahaya ilahi. Dengan terselesaikannya
pembuatan makalah ini penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H Abd. Aziz, M.Pd.I, selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Dr. Chusnul Chotimah, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Dr. Muhammad Aqim Adlan, S.Ag, S.Pd, M. EI, selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
4. Binti Nur Asiyah, M.Si., selaku Koorprodi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
5. Kharisma Novita Sari, M.E., selaku dosen pengampu mata kuliah Etika Bisnis
Islam
6. Teman-teman Ekonomi Syariah 6-B.
Demikian yang dapat saya sampaikan, kami menyadari atas kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Kami mohon maaf dan menerima saran serta kritik yang
bersifat membangun, dengan harapan ke depan lebih baik dan sempurna. Akhirnya
dengan pembuatan makalah yang masih sederhana ini dan masih banyak
kekurangan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi pembaca
umumnya.
Tulungagung, 13 Maret 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................2

C. Tujuan Pembahasan ......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3

A. Kajian Filsafat ...............................................................................................3

B. Makna Filsafat Dalam Islam .........................................................................4

C. Etika Dalam Ajaran Filsafat ..........................................................................8

D. Teori Dalam Etika........................................................................................12

E. Teori Dalam Etika Islam ..............................................................................15

BAB III PENUTUP ............................................................................................20

A. Kesimpulan .................................................................................................20

B. Saran ...........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai cabang ilmu filsafat etika melanjutkan kecenderungan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari.Filsafat etika merefleksikan unsur-unsur tingkah
laku dalam pendapat-pendapat secara spontan. Dapat di definisikan filsafat
etika sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku
manusia dari sudut baik atau buruk. Dari sudut normatif, filsafat etika ialah
wacana yang, di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang juga membahas
hubungan manusia atau perilaku manusia, ialah unik untuk hubungan seseorang
dengan kehidupan. Filsafat etika ialah cabang filsafat yang bahkan bertindak
sebagai tertua di bagian filsafat.
Etika adalah sebuah cabang dari ilmu filsafat dan berkaitan dengan studi
prinsip-prinsip moral dan tindakan moral seseorang dimasyarakat, untuk
menentukan etika yang benar, kita harus terlebih dahulu memahami arti dari
moralitas. Moralitas berkaitan dengan praktek-praktek dan kegiatan yang
dianggap benar atau salah, yang juga berkaitan dengan nilai-nilai dari praktek
tersebut yang menggambarkan prilaku yang sesuai dengan aturan yang
dilakukan dalam setting yang diberikan. Makna yang terkandung dalam nilai-
nilai etika yang ada dan berlaku dimasyarakat tidak hanya menjadi hal yang
harus diyakini oleh masing-masing pribadi dimasyarakat, melainkan harus
dijadikan sebagai norma yang wajib dijalankan, dengan kata lain suatu nilai
yang terkandung dalam etika harus menjadi acuan, tujuan dan pedoman dalam
bertindak dan berprilaku yang akan membawa akibat dan pengaruh positif
secara moral.
Etika merupakan kesediaan dan kesadaran jiwa akan pentingnya
kesusilaan atau kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma
dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan

1
memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada di masyarakat agar
dapat dikatakan tindakan tersebut bermoral dan tidak menyalahi aturan yang
ada sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
pembahasan ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan kajian filsafat?
2. Bagaimana makna filsafat dalam Islam?
3. Bagaimana etika dalam ajaran filsafat?
4. Apa saja teori dalam etika?
5. Apa saja teori dalam etika Islam?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan ini,
yaitu:
1. Untuk mengetahui kajian filsafat.
2. Untuk mengetahui makna filsafat dalam Islam.
3. Untuk mengetahui etika dalam ajaran filsafat.
4. Untuk mengetahui teori dalam etika.
5. Untuk mengetahui teori dalam etika Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Filsafat
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philos yang berarti cinta
kepada kebenaran, dan kata sophos yang berarti ilmu dan hikmah (wisdom).
Dan kombinasi dari keduanya biasa diterjemahkan sebagai love of wisdom.
Namun, yang perlu dicatat, ‘sophia’ (wisdom) dalam bahasa Yunani mempunyai
aplikasi yang lebih luas daripada ‘wisdom’ dalam bahasa Inggris modern.
Sophia disini mempunyai makna penggunaan akal dalam semua bidang ilmu
pengetahuan atau persoalan-persoalan praktis. Dengan kata lain, kata sophia
mengandung makna kemauan dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari
tahu (Mohammad Adib, 2010).
Dari penjelasan di atas, filsafat mengandung arti ingin tahu dengan
mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akiibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Adapun pengertian filsafat dari
segi istilah adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk
mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam,
hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan
seterusnya. Dari definisi tersebut itu pula dapat diketahui bahwa filsafat pada
intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang
berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas
dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah.
Sedangkan dalam Islam, istilah filsafat biasanya diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab sebagai falsafah dan hikmah (Seyyed Hossein Nasr, 2003).
Definisi falsafah sebagaimana diungkapkan oleh al-Kindi adalah pengetahuan
tentang realitas wujud dengan segala kemungkinannya, sebab tujuan akhir dari
seorang filsuf dalam pengetahuan teoritisnya adalah untuk mendapatkan

3
kebenaran dan dalam pengetahuan praktisnya adalah untuk berperilaku sesuai
dengan kebenaran tersebut (Ibid: 36). Istilah hikmah mempunyai pengertian
mendalam serta struktur Islam dan essensinya. Wahyu Islam memiliki berbagai
macam dimensi di dalamnya dan diwahyukan kepada seluruh umat manusia
pada level dasar yaitu al-islam, al-iman, dan al-ihsan atau dalam perspektif lain
dikenal sebagai al-shari’ah, al-tariqah dan al-haqiqah. (M. Syarif, 1993).
Ketika kita berbicara kedudukan filsafat dalam Islam, pertama-tama, tentunya
kita akan bertanya aspek dan dimensi Islam yang mana yang akan kita bicarakan.
Dalam banyak kasus, kita harus menghindari kesalahan yang terlalu sering
dibuat oleh para sarjana barat selama beberapa abad yang lalu yang
mengidentifikasi Islam hanya dengan syari’ah atau kalam dan kemudian mereka
melakukan studi hubungan filsafat atau metafisik dengan dimensi Islam tersebut.
Lebih dari itu, dalam rangka mendapatkan pemahaman peran filsafat yang
sesungguhnya dalam pendekatan studi Islam (baca: Islam), satu hal yang harus
kita lakukan adalah memahami Islam di seluruh amplitudonya dan
kedalamannya, terutama dimensi al-haqiqah, yang dengan ini kita akan
mendapatkan titik persimpangan antara “filsafat tradisional” dan metafisik serta
aspek perspektif Islam ke dalam pengetahuan yang mana seluruhnya telah
dintegresikan ke dalam sejarah Islam.
B. Makna Filsafat Dalam Islam
Dalam rangka memperjelas persoalan kedudukan filsafat dalam
pendekatan studi Islam, satu hal yang tidak bisa dilepaskan adalah melihat
kembali definisi agama (Islam). Istilah ‘agama’ yang biasanya diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’ diartikan sebagai sebuah sistem yang
mencakup ‘keimanan’ dan ‘ritual’ (http://marifatsyifa.blogspot.co.id).
Untuk melihat dan mendefinisikan Islam, kita bisa menggunakan kerangka
teoritik dari Wilfred Cantwell Smith (1957) yang membedakan antara tradition
dan faith. Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek

4
eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi
dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu aspek internal, orientasi transenden,
dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Karena dua aspek dalam
keberagamaan ini; “tradition and faith, inward experience and outward
behavior, hidden and manifest aspect” (tradisi dan iman, pengalaman bathin dan
perilaku lahiriah, aspek tersembunyi dan nyata) tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lain.
Itu artinya filsafat mempunyai kedudukan penting dalam ber-Islam.Dari
uraian sekilas mengenai definisi agama dan filsafat di atas, kita dapat
mengetahui bahwa titik temu antara filsafat dan agama adalah pada bidang yang
sama yaitu apa yang disebut sebagai “The Ultimate Reality”, yakni Realitas
(Dzat) yang terpenting bagi masalah kehidupan dan kematian manusia.
Dalam kajian Islam, berpikir filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami agama Islam, dengan maksud agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama Islam dapat dimengerti dan dipahami secara
saksama. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan
bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. Islam
sebagai agama yang banyak menganjurkan penganutnya mempergunakan akal
pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya. Al Quran banyak mengandung ayat-ayat yang
menganjurkan agar manusia mau mempergunakan pikirannya. Oleh Kafrawi
dikatakan bahwa kalimat "akal" dengan bermacam-macam bentuk tersebut
dalam Al Quran 50 kali (Muntahibun Nafis, 2011: 87). Diantaranya terdapat
ungkapan-ungkapan yang berbunyi "A fala ta'qilun" (mengapa kamu tidak
mempergunakan akal), dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa filsafat membicarakan
tentang Tuhan, manusia dan alam.Sedangkan ayat-ayat Al Quran yang telah
disebutkan tadi (dan yang juga tidak dicantumkan di sini juga mengandung atau

5
meliputi tiga macam cara berpikir sebagai mana yang dimiliki oleh filsafat.
Maka dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa filsafat sejalan
dengan Islam, malah di dalam Islam filsafat itu mempunyai kedudukan dan
peranan yang penting. Sebaliknya secara konkrit dan positif bahwa Islam adalah
pembimbing ke arah filsafat yang murni. Sejarah telah membuktikan bahwa
berkat Islam-lah maka filsafat itu dapat berkembang dengan baik dan
mempunyai kedudukan yang terhormat, filsafat dalam Islam dalam satu sisi
tidak diterima oleh semua orang. Mungkin alasannya, karena ada anggapan
bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat Yahudi.
Kedudukan filsafat dalam Islam, sangat berbeda dengan konsep filsafat
Yahudi. Sehingga, harus dengan posisi yang berbeda itu, tampak dalam sejarah
bahwa filsafat dalam Islam telah diselamatkan oleh para filsuf muslim. Pada
gilirannya, justru filsafat Islam juga telah meluas dan mempengaruhi berbagai
adat istiadat, kebudayaan, dan peradaban di segala penjuru. Ini berarti bahwa
filsafat dalam Islam telah mendapat tempat yang layak, dan sama sekali tidak
bertentangan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Justru sebaliknya, dengan kembali
merujuk pada ayat-ayat al-Quran, akan ditemukan perintah-perintah Allah SWT
untuk berfikir secara filosofis.
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di kalangan filosof-
muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada umumnya
berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan diri
pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain, orientasi
filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang menghampiri
persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan alam semesta).
Dalam filsafat Islam, dapat ditemukan keharmonisan antara akal dan
wahyu, serta antara visi dan penalaran. Filsafat Islam adalah
gudangpengetahuan yang dengan basis pemikiran rasional, pada akhirnya
menuntun kepada iluminasi, dan iluminasi tidak pernah terpisah dari hal yang

6
sakral. Akhirnya, perlu kembali ditegaskan bahwa dalam filsafat Yunani
kekuatan akal amat dihargai dan ratio dipakai dengan tidak diikat oleh ajaran-
ajaran agama. Sedangkan dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat
mutlak benar dan tidak boleh dilanggar oleh pemikiran akal. Dalam dunia ilmu
pengetahuan, dan Islam pulalah sesungguhnya yang menyelamatkan filsafat
Yunani dari saat-saat hampir tenggelamnya. Perintah agama untuk berfilsafat
ini berdasarkan pada dua argumen; Pertama, aktifitas filsafat adalah
memperhatikan (memikirkan) alam semesta. Kedua, dalam Al-Quran banyak
ayat yang menyeru umat Islam supaya mendayagunakan akal pikirnya.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwasanya, filsafat dalam pandangan
Islam atau digunakannya filsafat dalam Islam, ada dua pandangan; ada yang
setuju dan ada pula yang tidak. Pendapat yang menyatakan setuju, alasannya
adalah karena manusia mempunyai akal dan dengan akalnya manusia diminta
untuk berpikir (filsafat) tentang apapun yang terjadi di muka bumi untuk
menambah kenyakinan akan kekuasaan-Nya. Sedangkan pendapat yang tidak
setuju menyatakan alasannya bahwa dalam filsafat yang dikedepankan adalah
akal, dan pasti menyebabkan meninggalkan al-Qur’an dan hadits,
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami Word (1995), disebutkan
bahwa sejak kelahiran filsafat, maka Filsafat dalam Islam merupakan salah satu
tradisi intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta
dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik
(kalam) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfan). Mungkin sebab pengaruh-
pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkur (t.th.) menjelaskan bahwa
kedudukan filsafat dalam Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam
suatu zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari
(menolak) kehadiran filsafat dalam Islam itu, dan sebagian lainnya justru
menerimanya, bahkan telah menyelamatkannya.
Filsafat dalam Islam jika dibandingkan dengan filsafat umum lainnya,

7
telah mempunyai ciri tersendiri sekalipun objeknya sama. Hal ini karena filsafat
dalam Islam itu tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam. Filsafat dalam
Islam berpedoman pada ajaran Islam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa filsafat dalam Islam adalah merupakan hasil pemikiran manusia secara
radikal, sistematis dan universal tentang hakikat Tuhan, alam semesta dan
manusia berdasarkan ajaran Islam.1
C. Etika Dalam Ajaran Filsafat
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-
buruk. Etika disebut juga Filsafat Moral. Etika membicarakan tentang
pertimbangan- pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk, susila tidak
susila dalam hubungan antar manusia. Etika dari bahasa Yunani ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral dari kata mores yang
berarti cara hidup atau adat. Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih
tertuju pada suatu tindakan atau perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti
sistem ajaran tentang nilai baik buruk. Sedangkan etika adalah pengkajian
secara mendalam tentang sistem nilai yang ada, Jadi etika sebagai suatu ilmu
adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku.
Moral itu adalah ajaran sistem nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana
adanya, tetapi etika adalah kajian tentang moral yang bersifat kritis dan
rasional.2
Filsafat etika nyaris menjadi sebuah wilayah yang tidak di jamak para
pengkaji dan penulis sejarah peradaban Islam baik klasik maupun modern. Ibn
Khaldûn, misalnya, dalam pasal Muqaddimahnya yang membahas tentang
"Cabang Ilmu, Pengajaran, Metode, dan Seluruh Dimensinya," secara panjang

1
Aziz Masang, Kedudukan Filsafat Dalam Islam, dalam https://journal.unismuh.ac.id/
index.php/pilar/article/view/4910/3237, diakses 13 Maret 2024.
2
Sri Rahayu Wilujeng, Filsafat, Etika Dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat Ilmu Dalam
Konteks Keindonesiaan, dalam https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/download
/5313/4774, diakses pada 14 Maret 2024.

8
menjelaskan tentang ilmu pengetahuan di tangan bangsa Aral tanpa
menyinggung sedikitpun tentang etika. Demikian juga yang dilakukan Ibn
Sha'id al-Andalusi. Benar bahwa al-Fârâbî menyinggung pembahasan etika dan
menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu sosial, ketik: mendiskusikan
cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sangat kuat dibayang-bayangi Aristotles,
baik ketika berbicara tentang klasifikasi ilmu maupun tentang etika. Juga benar
bahwa: al-fârâbî telah memasukkan sejumlah cabang ilmu Islam, seperti fikih,
ke dalam upaya pengklasifikasian itu.
Filsafatnya sendiri yang sangat konformis, seperti menjelaskan pandangan
(Aristotle) dengan perspektif Plato. Bukti yang menguatkan ini adalah ketika ia
mengkaji persoalan etika, ia tidak menambahkan sesuatu yang baru pada apa
yang telah ditulis Aristotles, khususnya ketika menjelaskan tentang konsep
kebahagiaan, serta menjadikan etika sebagai pengantar bagi sistem politiknya
yang lebih populer dengan sebutan "kota ideal" (al-madinah al-fadhilah).
Dalam pemikiran al-fârâbî, saya tidak menemukan ilmu etika dalam pengertian
Islam atau Arab, baik dalam hal pemilihan tema maupun metodenya. Contoh
lainnya adalah al-Tahânawî. Kendati dalam pengantar bukunya Kasysyäf
Ishthilahat al-Funün, menyinggung etika penjelasannya tentang ilmu ini sangat
dangkal. Secara tidak bertanggung jawab, ia membedakan antara teori dan
praktik dalam ilmu etika. Menurutnya, etika secara teoritis adalah ilmu tentang
kemaslahatan individu atau pengaturan rumah tangga dan masyarakat, persis
seperti yang dijelaskan Aristotles. Adapun etika secara praktis adalah etika
tasawuf, yakni sebagai bagian dari upaya mengetahui keberadaan jiwa, sebuah
pandangan yang sangat populer dalam Islam. Dengan pemahaman ini, etika
praktik diposisikan berhadapan dengan ilmu kalam yang dipahami sebagai
upaya mengetahui keyakinan jiwa. Ka- renanya, etika teoritis tidak berkaitan
dengan etika praktis, jika tak ingin dikatakan sebagai dua disiplin ilmu yang
berbeda sama sekali. Tampaknya, kita memang membutuhkan pemahaman

9
menyeluruh terhadap ilmu, baik menyangkut sisi teoritis maupun praktis.
'Abd al-Rahman Badawî membuktikan lemahnya pemikiran Arab tentang
isu-isu etika dan lebih mengutamakan nasihat dari kata-kata mutiara. Ia menulis,
"Timur adalah tempat lahirnya: nasihat-nasihat dan kata-kata bijak tentang
kehidupan. Padahal kata-kata mutiara dan nasihat-nasihat baik bisa
memberikan manfaat dan bisa juga membahayakan. Manfaatnya, karena ia
mampu menstimulasi dan memberikan inspirasi untuk berbuat baik. Bahayanya,
karena ia merupakan standar perilaku masa silam yang tidak lagi cocok untuk
orang modern."
Terlepas dari pandangannya yang menarik itu, Badawî sependapat dengan
sebagian besar sarjana yang mengatakan bahwa tradisi intelektual Islam tidak
memiliki kontribusi atau teori khusus tentang etika. Kalaupun ada, Badawî
meyakini bahwa teori itu pastilah sudah bercampur-aduk dengan teori-teori
filsafat lainnya, seperti metafisika, psikologi, dan 'aql fa'al (akal aktif). Jelas,
ini bukanlah pembahasan etika. Begitu juga, pandangan para orientalis juga
tidak cukup menyenangkan. Ketika berbicara tentang etika, mereka hanya
sedikit menyinggung Mu'tazilah, khususnya menyangkut pendekatan mereka
terhadap teori baik dan buruk. Ini pun mereka anggap bukan sebagai
pembahasan etika, tapi teologi. Sama seperti anggapan mereka terhadap para
sufi yang hanya mengurusi sisi-sisi praktis etika.
Kesimpulannya, tidak ada pembahasan etika dalam filsafat Islam, karena
kaum muslim merasa cukup dengan ajaran-ajaran dari Alquran maupun Hadis,
satu sikap yang membuat mereka merasa tidak butuh terhadap teori-teori
tentang etika. Pandangan seperti itu, tentu saja, perlu dipertanyakan. Alasannya
sebagai berikut:3

3
Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat etika: Serambi Ilmu Semesta, (Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2001), hlm. 15-19.

10
1. Pertama, pandangan para orientalis itu sama dengan ketika mereka
mengatakan bahwa tradisi intelektual Islam tidak memiliki logika.
Kalaupun mereka mendiskusikan ilmu ini, itu tak lebih dari sekadar logika
Aristotles. Pendapat ini dibantah oleh Dr. 'Ali al-Nasysyâr, ilmuan muslim,
ketika menyatakan bahwa pemikiran Islam juga memiliki kajian-kajian
logika yang dilaku- kan para ushûl figh dan ilmu kalam. Mereka tak cuma
mendiskusikan silogisme Aristoteles, tapi juga mengritiknya, karena
dianggap tidak sejalan dengan semangat rasionalisme Islam. Saya ingin
mengatakan, jika para orientalis itu keliru dalam menilai logika, maka
tidaklah aneh jika mereka juga keliru dalam memahami etika Islam.
2. Kedua, opini yang menyatakan bahwa kaum muslim sudah merasa cukup
dengan hanya berpedoman kepada Alquran dan sehingga tidak
memerlukan kajian etika, sama artinya menolak adanya dinamika hidup
sebuah masyarakat yang penuh dengan pengalaman politis dan moral.
Fakta bahwa masyarakat Islam merupakan umat yang dinamis adalah bukti
bahwa mereka adalah bagian dari budaya dan peradaban.
3. Ketiga, agama tidak pernah menjadi faktor penghambat bagi kajian
pemikiran dan rasionalitas Islam. Peradaban Islam meru pakan peradaban
yang sangat memperhatikan berbagai disiplin ilmu yang hampir-hampir
tidak ada urusannya dengan agama seperti astronomi, kimia, dan
matematika. Lalu, jika kepada ilmu-ilmu yang jauh dari urusan agama saja
Islam begitu per hatian, bagaimana mungkin agama ini mengesampingkan
kajian etika, yang nota bane ilmu yang paling dekat dengan agama.
Keimanan di dalam Alquran sering kali diiringi dengan menyebutkan
perbuatan baik (amal saleh), yang menunjukkan adanya jalinan dan
korelasi antara iman dan moralitas. Tak jarang, murka Allah yang
diturunkan kepada suatu kaum, bukan akibat praktik syirik yang mereka
lakukan, tapi lebih karena kejahatan dan kemung karena mereka. Perintah

11
Allah sendiri tidak berhenti pada ritual ibadah belaka, tapi mengaitkannya
dengan perbuatan-perbuatan baik. Begitu juga hal-hal yang dilarang agama,
sering kali memiliki muatan etika yang sangat kental.
D. Teori Dalam Etika
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis
tentang adat kebiasaan, nilai- nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap
baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba
untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari
sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berikut ini beberapa teori etika:
1. Egoisme
Rachels memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan
egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang
menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan
berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin ada
tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua
tindakan yang terkesan luhur dan atau tindakan yang suka berkorban
tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya
peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang
sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada
orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan dirinya.
2. Utilitarianisme
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa
manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest
happiness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut:
a. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi,
atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak,

12
b. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter
yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah
ketidakbahagiaan,
c. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham
utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang
memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang
kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari
sudut pandang kepentingan orang banyak orang banyak).
3. Deontologi
Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme
dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya
suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau
untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka
tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan
merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tidak
etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau
tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi. Sangat berbeda dengan
paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan
hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi
justru bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali
dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.
Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk
menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.
4. Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau
tindakan tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens, teori hak
merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak
dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak

13
bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan
kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didasarkan atas asumsi
bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai
martabat yang sama. Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber
otoritas, yaitu:
1) Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas
sistem/yurisdiksi hukum suatu negara, di mana sumber hukum
tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar yang
bersangkutan.
2) Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dihubungkan
dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus
dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti
luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang
kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain
3) Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu-individu yang
membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan
kewajiban masing-masing kontrak. Teori hak atau yang lebih dikenal
dengan prinsip-prinsip HAM mulai banyak mendapat dukungan
masyarakat dunia termasuk dari PBB. Piagam PBB sendiri merupakan
salah satu sumber hukum penting untuk penegakan HAM.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan berangkat dari manusianya. Teori keutamaan tidak
menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis.
Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari
pertanyaan mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh
seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau
karakter yang mencerminkan manusia hina. Karakter/sifat utama dapat
didefinisikan sebagai disposisi sifat atau watak yang telah melekat/dimiliki

14
oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang
secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku
buruk secara amoral disebut manusia hina. Bertens memberikan contoh
sifat keutamaan; kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan
untuk pelaku bisnis, sifat utama yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran,
kewajaran (fairness), kepercayaan dan keuletan.
6. Teori Etika Teonom
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada
tujuan akhir yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat
duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom
dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa karakter moral
manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan
kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan
dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila
tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana dituangkan dalam kitab
suci. Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak
bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak.
Kelemahan teori etika terletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak,
tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia
memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan bersifat
mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat
manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan
dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui
tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
E. Teori Dalam Etika Islam
Etika dalam pemikiran Islam dimasukkan dalam filsafat praktis bersama
politik dan ekonomi. Berbicara tentang bagaimana seharusnya etika vs moral.
Moral sama dengan nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia, etika

15
sama dengan ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Dalam disiplin
filsafat, etika sering disamakan dengan filsafat moral. Teori etika Islam pasti
bersumber dari prinsip keagamaan. Teori etika yang bersumber keagamaan
tidak akan kehilangan substansi teorinya. Keimanan menentukan perbuatan,
keyakinan menentukan perilaku.
Perspektif metafisika intinya tidak berbeda dengan perspektif agama.
Substansi utama penyelidikan tentang etika dalam Islam antara lain:
1. Hakikat benar dan salah.
2. Masalah free will dan hubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan-
tanggung jawab manusia.
3. Keadilan Tuhan dan realitas keadilan-Nya di hari kemudian.
Berbagai teori etika barat dapat dilihat dari sudut Islam sebagai berikut:
theology- utilitarian dalam Islam: "hak individu dan kelompok penting" dan
"tanggung jawab adalah perorangan". Etika Islam memiliki aksioma-aksioma,
yaitu:
1. Unity (persatuan): konsep tauhid aspek sosial ekonomi dan politik dan alam,
semuanya milik Allah, dimensi vertikal, hindari diskriminasi di segala
aspek, hindari kegiatan yang tidak etis.
2. Equilibrium (keseimbangan); konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam
bertransaksi, tidak merugikan dan tidak dirugikan.
3. Free will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun menolak
laizez fire, karena nafsu amarah cenderung mendorong pelanggaran sistem
responsibility (tanggung jawab), manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
4. Benevolence (manfaat/kebaikan hati); ihsan atau perbuatan harus yang
bermanfaat.
Etika baik atau akhlaq mulia itu tidak didapat dan terbentuk dengan
sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain selain faktor ibadah diatas seperti yang

16
dikemukakan oleh ahli etika bisnis Islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekun,
bahwa perilaku etika individu dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. Interpretasi terhadap hukum
Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada
manfaatnya bagi manusia. Ketika hukum tersebut bertentangan dengan
kepentingan manusia maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak
akanditaati. Interpretasi terhadap suatu hukum akan cenderung didasari oleh
standar nilai.
2. Faktor organisasional
Tanpa adanya masyarakat kepribadian seseorang individu tidak akan
dapat berkembang. Demikian pula halnya dengan aspek moral, nilai-nilai
moral yang dimiliki lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar
(lingkungan) yang akan merekam setiap aktivitas yang terjadi di lingkungan
yang lambat laun akan pola tingkah laku bagi kehidupannya dimasa yang
akan datang.
3. Faktor individu dan situasi.
Hal-hal yang masuk ke dalam kategori faktor individu antara lain:
pengalaman batin seseorang yang juga merupakan faktor bagi terbentuknya
perilaku etik bagi seseorang. Faktor situasi memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi terbentuknya perilaku etika seseorang. Secara sederhana
mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang
baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-
prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada
management ethics atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti
pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti melaksanakan norma-
norma agama bagi dunia bisnis. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang
memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah

17
berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati.
Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuk
yang tidak dibatasi jumlah kepemilikannya (barang/jasa) termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan
hartanya karena aturan halal dan haram. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 188:4

‫أَﻣ َﻮا ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺑـَ ْﻴـ ﻨَ ُﻜ ْﻢ ِ ﻟْ ﺒَ ﺎﻃِ ِﻞ َوﺗُ ْﺪ ﻟُﻮا ِ َﺎ إِ َﱃ ا ْﳊُ ﱠﻜ ﺎ ِم ﻟِﺘَﺄْ ُﻛ ﻠُﻮا ﻓَﺮِﻳ ﻘً ﺎ‬
ْ ‫َ(ْ ُﻛ ﻠُﻮا‬ ‫َو َﻻ‬
‫س ِ ْﻹِ ِْﰒ َوأَﻧـْ ﺘُ ْﻢ ﺗـَ ﻌْ ﻠَ ُﻤ ﻮ َن‬ ِ ‫أَﻣ ﻮ‬
ِ ‫ال اﻟ ﻨﱠﺎ‬ َْ ‫ِﻣ ْﻦ‬

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
Mengetahui."

Kemudian menurut Sofyan S.Harahap etika atau moral dalam Islam


merupakan buah dari keimanan, keislaman, dan ketakwaan yang didasarkan
pada keyakinan yang kuat pada kebenaran Allah Swt Islam diturunkan Allah
pada hakikatnya adalah untuk memperbaiki akhlak atau etika yang baik.5

Islam berpihak pada teori etika yang bersifat fitri. Artinya semua
manusia (baik itu muslim atau bukan) memiliki pengetahuan fitri tentang
baik dan buruk. Tampaknya, para pemikir Islam dari berbagai pendekatan
sama sepakat tetang ini, Namun, sebagian diantaranya tidak sepakat. Seperti
Mu'tazilah (kaum teolog rasional) dan para filsuf pada uumnya percaya

4
Ahmad Yusuf Marzuqi and Achmad Badarudin Latif, “Manajemen Laba Dalam Tinjauan
Etika Bisnis Islam,” dalam https://ejournal.unisnu.ac.id/index.php/JDEB/article/viewFile/121/210,
diakses pada 13 Maret 2024.
5
Nasimul Falah, “Islami Sehingga Bersifat Lengkap”, dalamhttps://media.neliti.com/
media/publications/271141-etika-bisnis-pelengkap-corporate-governa-dc078742.pdf, diakses pada
13 Maret 2024.

18
bahwa manusia-manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang etika
yang benar dari pemikiran mereka. Sementara kaum Asy'ariah (teolog
tradisional), para ulama hukum, dan kaum mistikus (ortodoks) lebih
menekankan pada peran wahyu sebagai saran untuk mencapai pengetahuan
etika manusia.6

6
Muhammad Taufik, “Etika Dalam Perspektif Filsafat Islam,” Digilib.Uin-Suka.Ac.Id,
2020, 35–65, https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/33193/2/Muhammad Taufik - Etika Perspekrtif
ANTOLOGI_.pdf, diakses pada 13 Maret 2024.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada
kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akiibat serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia. Adapun pengertian filsafat dari segi
istilah adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal.
2. Filsafat mempunyai kedudukan penting dalam ber-Islam. Titik temu antara
filsafat dan agama adalah pada bidang yang sama yaitu apa yang disebut
sebagai “The Ultimate Reality”, yakni Realitas (Dzat) yang terpenting bagi
masalah kehidupan dan kematian manusia.
3. Tidak ada pembahasan etika dalam filsafat Islam, karena kaum muslim
merasa cukup dengan ajaran-ajaran dari Alquran maupun Hadis, satu sikap
yang membuat mereka merasa tidak butuh terhadap teori-teori tentang etika.
4. Teori etika terdiri atas: Egoisme; Utilitarianisme; Deontologi; Teori Hak;
Teori Keutamaan (Virtue Theory); dan Teori Etika Teonom.
5. Etika Islam memiliki aksioma-aksioma, yaitu: Unity (persatuan);
Equilibrium (keseimbangan); Free will (kehendak bebas); Benevolence
(manfaat/kebaikan hati).
B. Saran
Dari uraian makalah diatas, penulis menyatakan bahwa pembahasan dalam
makalah masih sangat singkat, jika pembaca kurang puas dengan materi ini dan
ingin mendalami lagi, bisa mencari materi referensi atau rujukan dari beberapa
buku lainnya dengan sumber yang terpercaya. Demikian makalah ini kami
susun dan semoga dapat bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan kita
khususnya dalam memahami materi terkait Filsafat dan Teori Etika dalam mata
kuliah Etika Bisnis Islam.

20
DAFTAR PUSTAKA

Falah, Nasimul. “Islami Sehingga Bersifat Lengkap” 01 (2016): 113–24,


https://media.neliti.com/ media/publications/271141-etika-bisnis-pelengkap-corporate-

governa-dc078742.pdf, diakses 13 Maret 2024.

Marzuqi, Ahmad Yusuf, and Achmad Badarudin Latif. “Manajemen Laba Dalam
Tinjauan Etika Bisnis Islam.” Jurnal Dinamika Ekonomi & Bisnis 7, no. 1
(2010): 1–22, https://ejournal.unisnu.ac.id/index.php/JDEB/article/viewFile/121/210,
diakses 13 Maret 2024.

Masang A, (2020). Kedudukan Filsafat Dalam Islam. Jurnal Kajian Islam


Kontemporer. 11(1), 32-36, https://journal.unismuh.ac.id/ index.php/pilar/
article/view/4910/3237, diakses 13 Maret 2024.

Shubhi, Ahmad Mahmud. 2001. Filsafat etika: Serambi Ilmu Semesta. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.

Taufik, Muhammad. “Etika Dalam Perspektif Filsafat Islam.” Digilib.Uin-


Suka.Ac.Id, 2020, 35–65. https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/ 33193/2/
Muhammad Taufik - Etika Perspekrtif ANTOLOGI_.pdf, diakses 13 Maret
2024.

Wilujeng, Sri Rahayu. 2012. Filsafat, Etika Dan Ilmu: Upaya Memahami Hakikat
Ilmu Dalam Konteks Keindonesiaan Universitas Diponegoro. https://
ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/download/5313/4774,
diakses 14 Maret 2024.

21

Anda mungkin juga menyukai