Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf dalam Masyarakat
Multikultural
“Neo-Sufisme”

Dosen pengampu :
Dr. H. Saifullah, M.HI
Oleh :
Alfani Apriliani Nirmalawati (202369160010)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Neo-Sufisme”

Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Tasawuf dalam
Masyarakat Multikultural yaitu Dr. H. Saifullah, M.HI
yang telah memberi segala bimbingan, ilmu, dan nasehat yang berguna bagi kami.

Kami sadar makalah yang kami buat masih banyak kekurangan. Kami mohon maaf dan
kami mengharap kritik dan saran yang mendukung dari para pembaca.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah yang kami buat dapat menambah wawasan
bagi para pembaca.

Pasuruan, 03 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang...............................................................................................................................1

Rumusan masalah.........................................................................................................................1

Tujuan...........................................................................................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Neo-Sufisme...............................................................................................................2

Perbedaan Neo-Sufisme dengan tasawuf klasik...........................................................................3

Tokoh-tokoh Neo-Sufisme............................................................................................................4

Urgensi Neo-Sufisme dalam perubahan Masyarakat....................................................................5

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan...................................................................................................................................6

Daftar pustaka...............................................................................................................................7

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah gelombang modernisasi dan sekularisasi, permintaan terhadap dimensi
spiritualitas sepertinya mengalami pertumbuhan. Hal ini tercermin dalam peningkatan
minat terhadap kajian spiritualisme, yang dalam perkembangannya mengalami variasi,
termasuk dalam pelaksanaan ajaran. Beberapa masyarakat yang telah teredukasi secara
modern sepertinya merasakan kebutuhan akan dimensi batiniah untuk mengatasi
kejenuhan dan kekeringan jiwa.
Inilah yang salah satunya mendorong permintaan akan pentingnya spiritualisme,
seperti yang diwujudkan dalam tasawuf. Kekuatan tasawuf mampu membangkitkan
kesadaran dan nuansa pembebasan dalam masyarakat Muslim. Tren popularitas tasawuf
di perkotaan semakin meningkat, dengan kursus-kursus tasawuf seringkali menarik minat
yang tinggi.
Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang
neosufisme, dan itulah sebabnya penulis memilih judul "Neo-Sufisme" untuk makalah
ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Neo-Sufisme?
2. Apa perbedaan Neo-Sufisme dengan tasawuf klasik?
3. Siapa tokoh-tokohnya Neo-Sufisme?
4. Bagaimana urgensi Neo-Sufisme dalam perubahan Masyarakat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Neo-Sufisme
2. Untuk mengetahui perbedaan Neo-Sufisme dengan tasawuf klasik
3. Siapa tokoh-tokohnya Neo-Sufisme
4. Bagaimana urgensi Neo-Sufisme dalam perubahan Masyarakat

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Neo-Sufisme
Istilah "Neo-Sufisme" pertama kali diperkenalkan oleh pemikir Muslim
kontemporer, yaitu Fazlur Rahman, dalam karyanya yang berjudul "Islam". Kemunculan
istilah ini tidak langsung diterima oleh para pemikir Muslim. Sebaliknya, ia
menimbulkan polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Rakhmat, pada kenyataannya,
Hamka di Indonesia telah mengusulkan istilah "tasawuf modern" dalam bukunya yang
berjudul "Tasawuf Modern". Namun, dalam buku tersebut, terlihat bahwa prinsip-prinsip
tasawuf modern yang diusulkan Hamka sejalan dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam
hal ikhlas. Jika al-Ghazali mengandalkan ikhlas dalam pencarian hakikat kualitas, Hamka
menginginkan agar para pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.1
Sikap sufistik itu dapat bersifat positif dan bisa pula bersifat negatif. Sikap
sufistik positif ialah sikap sufistik yang bersikap positif terhadap kehidupan dunia.
misalnya kepercayaan kepada takdir disertai dengan ikhtiar, bagaimana hasil ikhtiar itu
memenuhi target atau tidak itulah takdir. Tetapi kalau takdir itu tidak disertai dengan
ikhtiar, karena hanya menunggu keputusan tuhan, maka sikap sufistik seperti itu bersifat
negatif. Sikap sufistik yang bersifat negatif menjadi eskapisme, sedang sikap sufistik
yang positif menjadi tasawuf positif atau sufisme-sufisme baru atau neo-sufisme atau
menurut Hamka disebut tasawuf modern.2
Munculnya kembali sufisme di dunia Islam dengan istilah neo-sufisme sepertinya
tidak dapat dipisahkan dari fenomena yang disebut sebagai kebangkitan agama, yang
merupakan penolakan terhadap kepercayaan berlebihan pada sains dan teknologi sebagai
produk dari era modernisme. Modernisme dianggap gagal dalam memberikan makna
yang mendalam bagi kehidupan manusia, sehingga masyarakat kembali mengarah kepada
agama. Salah satu peran agama adalah memberikan makna pada kehidupan.
Sebagai contoh, dalam sejarah perkembangan sufisme, terdapat ketegangan serius
antara kelompok legalis dan kelompok sufisme. Kedua kelompok ini saling merasa paling
benar, dengan satu memahami dan mengamalkan Islam hanya dari aspek formalnya,
sementara yang lainnya melihatnya dari aspek internal. Dalam suasana seperti itu, terlihat
upaya beberapa kali untuk menyatukan pihak-pihak yang memiliki orientasi berbeda,
menyebabkan perubahan sikap di kedua belah pihak. Kondisi ini tampaknya memiliki
kesamaan dengan apa yang disebut sebagai neo-sufisme, meskipun terdapat perbedaan di
beberapa aspek. Neo-sufisme ditandai oleh rekonsiliasi dan akomodasi antara syariah dan
sufisme, sehingga seorang ulama dapat menjadi ahli syariah (fuqaha) sekaligus ahli
haqiqah (sufi). Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai neo-sufisme sebenarnya tidak
sepenuhnya hal yang baru, karena tipe sufisme yang hampir sama telah ada sebelumnya,
dikenal sebagai sufisme Sunni atau sufisme ortodoks.3
B. Perbedaan Neo-Sufisme dengan Tasawuf Klasik
1
Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, 1982.
2
Sudirman Tebba, orientasi sufistik ca knur, Jakarta; paramadina, 2004. Hlm 164
3
Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta: PT rajagrafindo persada, 2002, hlm 314

2
1. Neo-Sufisme
Tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap
memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian
terhadap kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi,
a. Neo-Sufisme menolak praktik tasawuf yang bersifat ekstrim dan ekstatis, seperti
ritual dzikir yang disertai tarian dan musik, atau dzikir yang tidak terkendali.
Dengan demikian, Neo-Sufisme terlihat menyederhanakan metode dan ekspresi
yang sesuai dengan konsep syari'ah.
b. Neo-Sufisme menolak pemujaan berlebihan terhadap para wali-sufi, kuburan
mereka, atau tempat-tempat yang dianggap suci. Penolakan ini didasari oleh
fanatisme berlebihan yang dapat merusak iman dan mengancam konsep
tauhidullah. Pola sikap ini diinspirasi oleh pemikiran Ibn Taimiyyah.
c. Neo-Sufisme menolak ajaran wahdah al-wujud. Konsep ini kontroversial di
kalangan orang awam dan Sufisme. Dalam pandangan ulama konsep fikih,
wahdah al-wujud dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan, yang tetap
mempertahankan Tuhan sebagai Khalik.
d. Neo-Sufisme menolak fanatisme murid terhadap guru atau mursyid. Dalam
tasawuf tradisional, terdapat keyakinan bahwa kemajuan spiritual murid hanya
dapat dicapai melalui kepatuhan dan loyalitas mutlak terhadap guru. Namun,
dalam Neo-Sufisme, murid tidak diwajibkan untuk mentaati perintah guru jika
bertentangan dengan syari'at, hak, bahkan harus melawannya jika perlu.
e. Dalam dimensi Neo-Sufisme, syekh tarekat diposisikan langsung sebagai penerus
Nabi Muhammad Saw, bukan sebagai penerus para awliya atau pendiri tarekat.
Ini bertujuan menempatkan Nabi Saw. sebagai pendiri tarekat yang menjadi
teladan dalam aktivitas berfikir, berdzikir, dan menjadi suri tauladan dalam segala
aspek.
f. Neo-Sufisme menciptakan organisasi massa yang terstruktur dan tercentralisasi di
bawah otoritas pendiri tarekat dan khalifah. Meskipun tetap berorientasi komunal
atau sosial, Neo-Sufisme menekankan inisiasi atau bergabung dalam organisasi
massa sebagai bagian dari pembelajaran tasawuf.
g. Neo-Sufisme menekankan kajian hadis atau sunnah yang benar-benar sahih,
terutama yang berkaitan dengan rekonstruksi sosial-moral masyarakat, daripada
hanya ketetapan hukum fikih.
h. Neo-Sufisme menolak taklid dan mendorong hak individu Muslim untuk
melakukan ijtihad. Hal ini dilakukan untuk mendorong umat Islam memiliki
kapasitas ilmiah dan kemampuan berijtihad, bukan sekadar mengikuti taklid pada
ulama.
i. Neo-Sufisme menekankan kesiapan untuk terlibat dalam politik dan patriotisme
militerian untuk membela Islam. Berbeda dengan tasawuf tradisional yang
cenderung menghindari realitas sosial yang tidak baik dalam pertumbuhan
keislaman, Neo-Sufisme dengan karakter aktivisnya bersedia menghadapi
tantangan dan memberikan respons konstruktif dan positif melawan ekspansi
imperialisme Barat, terutama pada abad ke-18.
2. Tasawuf Klasik

3
Tasawuf klasik mencerminkan keinginan untuk memperbaiki kondisi sosial
masyarakat yang sedang mengalami krisis, baik itu krisis moral maupun krisis ekonomi.
Dalam konteks Tasawuf modern, tidak terdapat niat untuk mengasingkan diri dan
mengadopsi sikap eksklusif terhadap masyarakat.
Hal ini berbeda secara signifikan dengan praktik Tasawuf klasik, yang seringkali
melibatkan pengamalan dengan menjauhkan diri dari interaksi sosial dengan masyarakat.
Padahal, kita sebagai makhluk sosial, atau sesuai konsep Aristoteles, zoon politicon, tentu
memerlukan interaksi dengan sesama dalam setiap aspek kehidupan kita.4
C. Tokoh-tokoh Neo-Sufisme
Pelopor utama dalam gerakan Neo-Sufisme adalah Ibnu Taimiyah (w. 728 H),
yang kemudian mewariskan gagasannya kepada muridnya, Ibnu Qoyyim. Neo-Sufisme
ini mewakili suatu bentuk tasawuf yang menggabungkan hakikat dengan prinsip-prinsip
syariah. Ibnu Taimiyah secara konsisten dan tanpa ragu-ragu mengkritik kaum sufi,
bahkan menyebut mereka sebagai kelompok yang tersesat, bahkan menyerupai kafir dan
musyrik. Pemikirannya terutama disampaikan kepada masyarakat umum dan sebagian
penganut tasawuf. Meskipun demikian, ia memberikan pengecualian untuk beberapa
tokoh sufi terkenal seperti Junaid, Abu Yazid Busthami, dan Abdul Qadir Jailani, meski
tetap mengkritik mereka yang terlalu mendalam dalam aspek-aspek tertentu. Ibnu
Taimiyah mengkritik mereka yang terlalu jauh menyelami beberapa aspek, contohnya
adalah hakikat kosmos (al-haqiqah al-kauniyyah), di mana Allah SWT dianggap sebagai
pencipta alam semesta dan isinya. Kritiknya terutama terfokus pada orang-orang yang
hanya memahami hakikat ini tanpa memahami bahwa tidak hanya orang beriman, tetapi
bahkan kafir dan pendurhaka pun dapat menyaksikan penciptaan ini, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah, "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab, 'Allah' ". Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa berhenti pada pemahaman hakikat ini tanpa mempraktikkan perintah
agama Allah menyebabkan keimanan seseorang dinilai tidak sempurna. Tantangan yang
dihadapi adalah bahwa banyak orang keliru memahami konsep ini, dan banyak penganut
sufi tersesat.5
Gerakan Neo-Sufisme, yang merupakan bentuk "reformasi" atau pembaruan dari
sufisme tradisional, pertama kali diusulkan oleh Al-Ghazali. Landasan pemikiran yang
dikembangkan melibatkan konsep syariat, thariqat, dan hakikat yang terintegrasi secara
menyeluruh. Dengan kata lain, penghayatan keagamaan seharusnya melibatkan proses
bertahap yang menyatukan unsur-unsur syariat dan sufisme.
Salah satu tokoh utama dalam aliran Neo-Sufisme adalah al-Qusyasyi, yang
mengemukakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang sufi yang tidak pernah
menjauhkan diri dari masyarakat. Bagi al-Qusyasyi, sufi sejati adalah individu yang
mampu bekerja sama dengan sesama Muslim demi kesejahteraan masyarakat. Pendekatan
al-Qusyasyi tidak hanya menyoroti aspek intelektual, melainkan juga menekankan
aktivisme. Ia secara berulang kali memberikan motivasi kepada umat Islam untuk
4
Hadiat and Rinda Fauzian, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Dari Periode Klasik Modern Dan Kontemporer,”
SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam 5, no. 1 (2021): 41–60.
5
Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.

4
meninggalkan kelalaian dan kebodohan, sambil mendorong mereka untuk melaksanakan
tugas-tugas dunia guna mendukung kehidupan mereka. Tidak hanya itu, al-Kurani juga
menegaskan urgensi syariat tanpa mengabaikan kasih sayangnya terhadap tasawuf.
Dalam pandangan al-Kurani, kesatuan antara syariat dan tasawuf memiliki peran krusial.
Al-Qusyasyi memberikan penekanan bukan hanya pada pemikiran rasional, melainkan
juga pada keterlibatan aktif dalam berbagai kegiatan. Beliau secara berulang kali
mengajak umat Muslim untuk meninggalkan kelalaian dan ketidaktahuan, sambil
mendorong mereka untuk menjalankan tanggung jawab dunia guna mendukung
kehidupan mereka.6
D. Urgensi Neo-Sufisme dalam Perubahan Masyarakat
Munculnya minat yang signifikan terhadap tasawuf belakangan ini telah
menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan ahli sosiologi agama. Pertanyaan-
pertanyaan ini muncul karena fenomena tersebut terjadi di tengah kemajuan pesat ilmu
pengetahuan dan teknologi, di mana semakin banyak orang justru tertarik pada aspek-
aspek tasawuf. Apakah ini hanya mencerminkan gejala ekapisme dalam era modern?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penjelasan menarik dapat ditemukan dalam Mega Trend
2000 oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene. Mereka mengungkap bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna mendalam tentang kehidupan.
Kebangkitan agama, termasuk tasawuf, diartikan sebagai penolakan terhadap
ketergantungan buta pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi ini bahkan mengarah pada
suatu bentuk "pseudo-religion" yang menjadi fenomena menonjol dalam era paska
modernisme. Era ini dicirikan oleh krisis parah dalam berbagai aspek kehidupan,
membuat hidup terasa sulit, keras, dan dipenuhi dengan kriminalitas. Oleh karena itu,
gagalnya modernisme dalam memberikan makna hidup yang lebih mendalam mendorong
orang untuk kembali kepada agama yang dapat memberikan makna tersebut.
Namun, terlepas dari penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi,
terdapat pandangan bahwa kebangkitan tasawuf di masa kini, terutama dalam konteks
neosufisme, mencerminkan suatu harmoni antara spiritualitas dan agama, khususnya
dalam Islam. Kebangkitan tasawuf ini tidak hanya menekankan aspek spiritualitas
eksklusif, tetapi juga proaktif terlibat dalam pemecahan masalah kemanusiaan
kontemporer. Dengan demikian, kebangkitan spiritualitas tasawuf ini tidak bersifat
mengasingkan diri dari dunia, melainkan aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan
tantangan-tantangan manusia modern.7

BAB III
PENUTUP
6
Roni Faslah, “Corak Neo-Sufisme Ulama Tarekat Syatariyah: Studi Jaringan Ulama Nusantara Abad Ke-17,” At-
Turāṡ 3, no. 2 (2016): 143–160.
7
Hermansyah, “Neo Sufisme,” Khatulistiwa 3, no. September (2013): 113–120.

5
A. KESIMPULAN
Pengertian Neo-Sufisme: Neo-Sufisme, pertama kali diperkenalkan oleh Fazlur
Rahman, menimbulkan polemik dan diskusi di kalangan pemikir Muslim. Hamka di
Indonesia sebelumnya menggunakan istilah "tasawuf modern," yang sejalan dengan
tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ikhlas. Neo-Sufisme muncul sebagai respons
terhadap kebangkitan agama dan penolakan terhadap kepercayaan berlebihan pada
sains dan teknologi.
Perbedaan Neo-Sufisme dengan Tasawuf Klasik: Neo-Sufisme menekankan pada
peningkatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan menilai kehidupan
dunia dengan perspektif akhirat. Menolak praktik tasawuf ekstrim, pemujaan
berlebihan terhadap wali-sufi, ajaran wahdah al-wujud, dan fanatisme murid terhadap
guru. Memposisikan syekh tarekat sebagai penerus Nabi Muhammad Saw dan
menciptakan organisasi massa terstruktur. Menekankan kajian hadis, menolak taklid,
dan mendorong hak individu Muslim untuk berijtihad. Bersedia terlibat dalam politik
dan mempertahankan Islam melawan ekspansi imperialisme Barat.
Tokoh-tokoh Neo-Sufisme: Ibnu Taimiyah, sebagai pelopor utama Neo-Sufisme,
mengkritik kaum sufi dan menekankan integrasi hakikat dengan prinsip-prinsip
syariah. Al-Qusyasyi menekankan kolaborasi sufi dengan sesama Muslim untuk
kesejahteraan masyarakat, sambil menolak praktik ekstrim. Al-Kurani menegaskan
urgensi syariat tanpa mengesampingkan kasih sayang tasawuf.
Urgensi Neo-Sufisme dalam Perubahan Masyarakat: Minat terhadap tasawuf
belakangan ini mencerminkan penolakan terhadap ketergantungan buta pada ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kebangkitan tasawuf, terutama dalam Neo-Sufisme,
diartikan sebagai harmoni antara spiritualitas dan agama, yang aktif terlibat dalam
pemecahan masalah kemanusiaan kontemporer. Meskipun ada penolakan terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi, kebangkitan tasawuf juga dapat diartikan sebagai
upaya mencari makna mendalam dalam hidup di era paska modernisme.

DAFTAR PUSTAKA

6
Faslah, Roni. “Corak Neo-Sufisme Ulama Tarekat Syatariyah: Studi Jaringan Ulama Nusantara
Abad Ke-17.” At-Turāṡ 3, no. 2 (2016): 143–160.

Hadiat, and Rinda Fauzian. “Perkembangan Pemikiran Tasawuf Dari Periode Klasik Modern
Dan Kontemporer.” SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam 5, no. 1 (2021): 41–60.

Hermansyah. “Neo Sufisme.” Khatulistiwa 3, no. September (2013): 113–120.

Rahman, Fazlur. Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, 1982.

Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta: PT rajagrafindo persada,
2002, hlm 314

Sudirman Tebba, orientasi sufistik ca knur, Jakarta; paramadina, 2004. Hlm 164

Anda mungkin juga menyukai