Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI ( AKHLAK), FALSAFI


DAN SYI'I

Dosen Pengampu :
MUHAMMAD NORHADI, S.Th.I
Disusun oleh :
Arrizka Annuri
NIM. 2312140075
Syifa Rohima
NIM.2312140014

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


PALANGKA RAYA
FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM TATA NEGARA
TAHUN 2023 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamin,puji syukur kehadirat Allah SWT, kami panjatkan


, karena atas hidayah karunia serta limpahan rahmat-nya, sehingga makalah ini dapat
tersusun sebagaimana mestinya. Makalah yang berjudul sejarah perkembangan
tasawuf salafi, falsafi dan syi'i ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah dengan
tepat waktu.
Ucapan terimakasih kepada dosen pengampu Bapak Muhammad Norhadi,
S.Th.I dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan
membantu proses penyusunan makalah ini.
Walaupun makalah ini telah selesai, tetapi kami yakin masih banyak
kekurangan yang ada sehingga kami meminta saran dan kritik untuk menyempurnakan
makalah selanjutnya, supaya pembuatan makalah kedepannya lebih baik lagi.
Demikian prakata dari kami, semoga mkalah ini menjadi reverensi dan
menambah wawasan bagi para pembaca.

Palangka Raya, 11 September 2023


Arrizka Annuri
Syifa Rohima
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam sejarahh perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
perkembangan. Ada tasawuf yang mengarahkan pada teori-teori perilaku, ada pula
teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari uraian tasawuf diatas, kami merumuskan beberapa rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini.
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan tasawuf salafoi ( akhlak) ?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan tasawuf falsafi?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan tasawuf Syi'i?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Agar dapat menjelaskan
1. Sejarah perkembangan tasawuf salafi
2. Sejarah perkembangan tasawuf falsafi
3. Sejarah perkembangan tasaqwuf Syi'i
BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN TASAWUF

Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih. Dinamakan shufi karena
hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan bahwa kata
tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di Madinah
yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin.
Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh pun miskin namun berhati mulia dan
memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia adalah sifat-
sifat kaum sufi. Teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata “shuf”
yaitu kain yang dibuat dari bulu atau “wool”, dPan kaum sufi memilih memakai wool
yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.

Dari berbagai teori di atas, tampak bisa dipahami bahwa sufi dapat dihubungkan
dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang menghubungkan
orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada di serambi masjid
dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia dianggap sebagai
orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-
benda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan
dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai orang yang mendapat
keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada aspek bathiniyah.

Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk memperoleh


hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan cara
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu
dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan.

Dalam ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat dengan
Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia misalnya
harus menempuh beberapa maqam (stasiun), yaitu disiplin kerohanian yang ditujukan
oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan dan
diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.

Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi
misalnya, mengemukakan beberapa mawamat, yaitu : taubat, zuhud, sabar, al-faqr, al-
tawadlu’, taqwa, tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, al-ma’rifat dan kerelaan hati.
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI), FALSAFI, DAN
SYI’I
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula
tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi
ke arah pertama sering di sebut sebagai tasawuf Salafi. Tasawuf Akhlaki, tasawuf
Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf
yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis
kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof,
disamping sebagai sufi.
Pemnbagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecendrunganajaran yang
dikembangkan, yakni kecendrungan pada pemikiran. Dua kecendrungan ini terus
berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri, untuk melihat
perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu dilihat lebih jauh tentang gerak
sejarah perkembangannya.

A.SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI ( AKHLAQI)


Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna
institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecendrungan pandangan
orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka
dapat dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah [seremonial] dan aspek batiniah
[spiritual], atau aspek “dalam”. Pendalaman dan pengalaman aspek “dalamnya” mulai
terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek “luarnya”
yang di motivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih
beroriantasi pada aspek “dalam”, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa,
lebih mementingkan keagungan Tuha n dan bebas dari egoisme.
Sejarah dan perkembangan tasawuf salafi [akhlaki] mengalami beberapa fase barikut.
1.Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah
Di sebut juga dengan fase asketisme [zuhud]. Sikap asketisme [zuhud] ini banyak
dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisma ini tumbuh pada
abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada masa ini, terdapat individu-individu dari
kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan
konsepsi asketis dalam kehidupannya, yaitu tridak mementingkan makanan, pakaian
maupun tempat tinggal. Mereka lebih nayak beramal untuk hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada
jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dikalangan
mereka addalah Hasan Al-Bashri [meninggal pada 110 H] dan Rabi’ah Al-Adawiyah
[meningga pada 185 H]. Kedua tokoh ini dijuluki sebagai zabhid.

2.Abad Ketiga Hijriyah


Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan jiwa fan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tinbgkah
laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi
moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tanag mereka, tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka
tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikanh tasawuf terlihat sebagai
amalan yang sangat sederhana dan mudah dppraktikkan semua orang.
Kesederhanaanya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur
berpikirnya. Tasawuf pada akhir yang sederhana ini tampaknya banyak ditampilkan
oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengalaman Islam dalam
praktik yang lebih menekankan keterpujian perilaku manusia.
Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak
atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam
yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji.
Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal dan
cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsitensi pengaalaman
ajaran Islam sampai pada aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan
ketidak beresan perilaku [akhlak] di sekitarrnya, mereka menanamkan kembali akhlak
mulia. Pada masa ini, tasawuf identilk dengan akhlak.
Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang masa itu, mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode tang
lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengkonsentreasikan kejiwqan manusia
kepaqda Khaliqnya, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat
teratasi dengan baik. Kenyataanya, inti tasawuf ini dijadikan dasar teori oleh pisikiater
zaman sekarang dalam mengobati pasiennya. Dengan demikian, pengenalan teoretis
yang berdasarkan inti ajaran tasawuf, dapat mengaruhi keutuhan tingkat kesadaran
mental dan kejiwaan seseorang yang mampu memahaminya.
b. Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak; yaitu didalamnya terkandung petunjuk-
petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukkan; yang
dilengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
c. Tasawuf yang berintikan metafisika; yaitu didalamnya, terkandung ajaran yang
melukiskan hakikat ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian
yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-
orang yang akan tajalli kepada-Nya.

3.Abad Keempat Hijriyah


Abd ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkanb pada
abad ketiga hijriyah, karna usaha maksimal para ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad yang
hanya satu-satunya koa yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling
besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf diluar kota Baghdad, dipelopori oleh
beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain:
a. Musa Al-Anshary; mengajarkan ilmu tasawuf di Khurassan [persia atau Iran],dan
wafat disana tahun 320 H.
b. Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy; mengajarkannya di salah satu kota di
Mesir, dan wafat di sana tahun 322 H.
c. Abu Zaid Al-Adamy; mengajarkannya di Semenanjung Arabiah, dan wafat di sana
tahun 314 H.
d. Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Sqafi; mengajarkannya di Naisabur dan
kota Syarzaz, hingga ia wafat tahun 328 H.

Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan


tasawuf di kota Baghdad. Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai
bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qulbi Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang
oleh Abu Thalib Al-Makky [meninggal di baghdad tahun 386 H].
Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut
menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh para ulama tasawuf
pendahulunya. Sitem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-
muridnya yang bersifat teoritas serta bimbingan langsung mengenai cara
pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf.
Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering
dinisbatkan kepada nama penciptanya [gurunya], atau sering pula dinisbatkan kepada
lahiarnya kegiatan tarekat itu.
Ciri-ciri lain yang terdapat pada abd ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur
filsafat yang memengaruhi corak tasawuf, karena banyakna buku filsafat yang tersebar
di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan oranfg-orang muslim sejak permulaan
Daulah Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan
ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu:
a. Ilmu Syariah
b. Ilmu Tariqah
c. Ilmu Haqiqah
d. Ilmu Ma’rifah

4.Abad Kelima Hijriyah


Pada abad kelima ini muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima
tasawuf yang berdaqsarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme,
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang
tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam
terhadap para filosof, kaum M u’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali-lah yang berhasil
memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang sering dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajj dan Abu Yazid
Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni
dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan
Al-Haraqwi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang
memberi bentuk tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risaalah Al-Qusyairiyah memperlihatkan
dengan jelas bagai mana Al-Qusyairi mengembalikan tasawuf keatas doktrin
Ahlussunnah. Dalam penilaiannya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini
membina prinsip-prinsipn tasawuf atas landasan-landasan tauhgid yang benar
sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, menurutnya,
mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlussunnah yang
menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisit menolak para sufi yang mengajarkan
syatahat, yang mengucapkan ungkapan-ungkapam penuh kesan terjadinya perpaduan
antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.
Tokoh lainnya yang seirama dengan Qusyairi adalah Abu Isma’il Al-Anshari, yang
sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya pada doktrin
Ahlussunnah. Ia bahkan dipandang sebagai pengasas aliran pembaharuan dalam
tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-
ungkapannya seperti Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hajj.
Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tongggak yang menentukan bagi
kejayaan tasawuf salafi [akhlaqi]. Pada abad tersebut, tasawuf salafi tersebar luas di
kalangan dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada
berbagai lapisan masyarakat Islam.

5.Abadd Keenam Hijriyah


Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang
begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang membanggakan
tarekat-tarekat dalam rangka medidik para muridnya, seperti Sayyaid Ahmad Ar-
Rifa’i [meninggal pada tahun 570 H] dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani [meninggal
pada tahun 651H].
Tasawuf salafi [Aklaki], sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Imam Al-Ghazali, dan
para pemimpin tarekat yang mengikutinya.
Al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf salafi [akhlaqi]. Pandangan
tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat
Hijriyah. Di sampin itu, pandangan-pandangannya seiring denganAl-Qusyairi dal Al-
Harawi. Namun dari segi kperibadian, keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf
al-Ghazali lebih besar dibanding semua tokoh di atas. Ia sering diklaim sebagai
seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia
Islam.
B.SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya.
Berbeda dengan tasawuf ssalafi (akhlaqi), tasawuf filosofis menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Tasawuf
filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam
Hijriyah, meskipun para tokohnya bbaru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tsaswuf
jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof,
sampai menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran tasawuf filosofis
bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India,
dan agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang,
karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan
pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu ̶
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan
kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan
mengapa para tokoh tasawuf filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran
filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan
terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf
yang mereka anut.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf filosofis mengenal dengan baik
filsafat Yunani serta berbagai alirannya misalnya Socrates, Plato, Aristoteles, aliran
Stoa, dan aliran Neo Platonisme. Bahkan, mereka cukup akrab dengan filsafat yang
seringkali disebut Hermetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam
bahsa arab, dan filsafat-filasafat Timur Kuno, baik dari persia maupun India, serta
menelaah filsafat-filsafat para filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-
lain. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte isma’iliyyah dari aliran Syi’ah dan
risalah-risalah Ikhwan Ashafa. Di samping itu, mereka memiliki pemahaman yang
luas di bidang ilmu-ilmiu agama, seperti fiqh, kalam, hadis, serta tafsir. Jelasnya,
mereka bercorak ensiklopedis dan berlatar belakang budaya yang bermacam-macam.
Selama abad kelima Hijriyah, aliran tasawuf salafi [akhlaqi] terus tumbuh dan
berkembang. Sebaliknya, aliran tasawuf falsafi mulai tenggelam dan muncul kembali
dengan bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keempat
Hijriyah dan setelahnya. Tenggelamnya aliran yang kedua ini pada dasarnya
merupakan imbas kejayaan aliran teologi Ahlussunnah wal Jama’ah di atas aliran-
aliran lainnya. Diantara kritik keras teologi Ahlussunnah wal Jama’ah dialamatkan
pada keskstreman tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, Al-Hallaj, dan para sufi lain yang
ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap berbagai
penyimpangan lainnya yang mulai timbul dikalangan tasawuf. Kejayaan rasawuf
sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari [wafat 32 H] dalam
menggagas pemikiran-pemikiran Sunninya, terutama dalam bidang ilmu kalam.
Sejak abad keenam Hijriyah muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan
tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah.
Artinya, disebut murni tasawuf bukan, dan disebut murni filsafat juga bukan. Di
antara mereka terdapat Syukhrawandi Al-Maqtul [meninggal pada tahun 549 H],
penyusun kitab Hikmah Al-Isyariqiyah, Syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi
[meninggal pada tahun 638 H], penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh [meninggal pada tahun
632 H], Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi [meninggal pada tahun 669 H],l serta
tokoh-tokoh lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan
pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan Khususnya Neo Platonisme. Mereka pun
banyak mempunyai teori mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan, wujud
dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak
besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan munculnya para sufi dan juga filosof ini, orang-orang mulai membedakan
dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaqi. Pada
penyebutan selanjutnya, tasawuf akhlaqi ini kemudian identik dengan tasawuf Sunni
dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi dalam memagari tasawufnya dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian, jelas sekali adanya klasifikasi aliran
tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf sunni yang lebih berorientasi menampilkan
oenokohan akhlaq, dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-
pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya [ayathahiyat] dalam ajaran-
ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari
keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya pentyatuan ataupun hulul.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn
Masarrah [dari Cardova, Andalusia; w.319/1931]. Ia adalah filosof pertama yang
muncul di Andalusia dan sekaligus ia disebut sebagai filosof sufi pertama di dunia
Islam. Ia menganut paham emanasi Plotinus [w. 270 M] Tingkatan-Tingkatan wujud
yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah materi pertama yang bersifat
rohaniyah, kemudian akal universal, diikuti jiwa universal, kemudian natur universal,
dan terakhir materi kedua yang bersifat murakkab [tersusun]. Menurutnya, melalui
jalan tasawuf, manusia dapat melepaskan jiwanya dari belengu penjara badan, dan
memperoleh karunia Tuhan. Itulah makrifat yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia
juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniah spiritual.
Sufi kedua yang juga berpengetahuan luas dalam bidang filsafat, adalah uhrawandi
Al-Maqtul [dari Suhrawandi, Persia; dibunuh di Aleppo pada 587/1191]. Ia juga
menganut paham emanasi Al-Farabi atau Ibn Sina.
Bila tasawuf Sunni memperoleh bentuk yang final pada pengajaran Al-Ghazali,
tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi [sufi
Andalusia, wafat di Damaskus pada 638/1240]. Dengan pengetahuannya yang amat
kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil
membuat karya tulis yang luar biasa banyaknya [di antaranya, futuhat Al-Makkiyah
dan Fushuh Al-Hikam]. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-ide yang
berkembang dikalangan kaum sufi diliputinya dengan penjelasan-penjelasan yang
memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang kesatuan wujud [wahdah al-wujud].
Menurutnya, wujud itu hanyalah satu; itulah wujud yang berdiri dengan dirinya
sendiri. Itulah Yang Mahabenar [Al-Haqq] atau Tuhan. Alam yang banyak ini tidaklah
berwujud dengan wujud alam sendiri, tetapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan.
Wujud alam ini adalah khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud
yang berdiri sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh karena
itu, dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, buakn dua atau banyak.
Alam yang banyak dan beragam ini merupakan manifestasi atau penampakan diri
wujud yang satu itu.

C.SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SYI’I


Di luar dua aliran tasawuf di atas, ada juga yang memasukan tasawuf aliran ketiga,
yaitu tasawuf Syi’i atau Syi’ah. Pembagian tasawuf aliran ketiga ini didasarkan atas
ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan
Tuhan. Kaum Syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikit Ali bin
Abi Thalib. Dalam sejarahny, setelah peristiwa Perang Shiffin [yakni perang antara
pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawiyyah bin Abu Sufyan], para
pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia.
Daratan persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran
semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam
dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Keyika itu, di
daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan
juga sudah berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya. Oleh
karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata
keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun
dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan
paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyah dari
Syi’ah. Sekte Isma’iliyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan
para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan,
khususnya dalam persoalan “qhutb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, qhutb adalah
puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma’iliyah tentang
imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yaitu disebut-
sebut berasal dari Imam Ali.
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam
persoalan tasawuf. Dengan alasan pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam,
yang dikenal dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi
dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis.
Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud,
dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat
apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Di dalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf [akhlaqi dan falsafi] juga diadopsi. Imam
Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar
mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushul Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak
yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan
antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut
tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.
Di sisi lain, Ath-Thabathaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya
berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati
pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian di kalangan kaum
Syi’ah. Orang yang menyaakan dsecara terbuka sebagai sufi dan penganut ilmu
makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi,
dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti faham Sunni. Banyak mursyid yang
mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dan fiqh.
Walaupun begitu, para mursyid ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka,
yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui
mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali, juga hasil kasysyaf [vision] dan
ilham mereka, seperti diriwayatkan, kebanyakan memuat kebenaran mengenai
keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali
dan para Imam Syi’ah lainnya.
Hal ini bisa kita lihat, jika tak terpengaruh oleh beberapa ungkapan tajam dan kadang-
kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan merenungkan kesekuruhan isi
ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan
ke jalan kerohanian yang dianggap oleh para sufi sebagai kesempurnaan manusia,
adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh
Imamdan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia.
Dan puncak kerohanian [quthub] yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum
sufi di sepanjang zaman ̶ ̶ ̶ sebagaimana juga sifat-sifatyang dikaitkan dengannya̶ ̶ ̶ ada
pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan
ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, “Manusia Universal”, adalah
manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan
perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan
knsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan bentuk lahiriah
agama, mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.
Perlu disebutkan di sisni bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik kadang-kadang
dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau cara-cara yang dapat
menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang dirinya tidak bisa
diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran yang lahir dari Syari’at. Bahkan,
sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri menemukan berbagai metode
dan amal, yang kemudian diteriama Tuhan, seperti halnya kehidupan biara dalam
agama Nashrani. Oleh karena itu, para mursyid menyusun amalan-amalan tertentu
yang dianggap perlu dalammetode kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan
murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang di dalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada
sang murid baru bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguan musik,
nyanyian dan cara-cara lain yang menyebabkan fana’[ekstase] selama mentebutkan
nama-nama Tuhan.
BAB III PENUTUP

A.KESIMPULAN
Sejarah perkembangan tasawuf terbagi kepada tiga aliran Tasawuf, aliran pertama
adalah aliran Tasawuf Salafi [Akhlaqi], aliran kedua adalah aliran tasawuf Falsafi, dan
aliran ketiga adalah aliran Tasawuf Syi’i. Tasawuf aliran pertama mengalami
Bereberapa fase yakni Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase
asketisme [Zuhud], Abad ketiga hijriyah fase terlihatnya perkembangan tasawuf yang
pesat, Abad keempat hijriyah fase kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat
dibandingkan dengan abad ketiga hijriyah, Abad kelima hijriyah fase kemunculan
imam Al-Ghazali, fase yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan
mengembalikan ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan Abad keenam hijriyah
fase pengaruh tasawuf Sunni semakin luas ke seluruh pelosok dunia Islam. Aliran
kedua yakni aliran Tasawuf Falsafi disebut pula dengan Tasawuf nazhari, yakni
tasawuf yang ajaran-ajarannya memedukan antara visi mistis dan visi rasional
sedbagai pengasasnya. Dan Aliran ketiga yakni aliran Tasawuf Syi’iatau Syi’ah
didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan
manusia dengan Tuhan.

B.SARAN
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia biasa penulis memohon maaf
apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-
penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai