Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah“

Mata Kuliah : Aswaja


Dosen Pengampu : Moh. Yusuf Efendi, S,Pd.I, M.A

Disusun Oleh :
1. Siti Zaidatur Rohmah (3320180135)
2. Silvia Firgiyani Agustina ( 3320180127)
3. Veren Alda Pramega ( 3320180139 )

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan


Bimbingan dan Konseling
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’
SUNAN GIRI BOJONEGORO
Tahun 2018 / 2019
Alamat Jl Ahmad Yani No. 10 Bojonegoro kode pos 62115

1
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh..
Alhamdulillah wa syukurillah kami ucapkan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang
telah memberikan romhat hidyah serta inayah Nya sehingga kami dapat mengerjakan dan
menyelesaikan tugas pembuatan makalah, yang mana makalah kami berjudul “Tasawuf
Ahlussunah wal Jama’ah” ini tepat pada waktunya. Selesainya pembuatan makalah ini
tidaklah lepas dari ketersangkutannya berbagai pihak. Oleh karena itu kami ingin
mengucapkan terimaksih kepada yang terhormat :
Dosen penganpu mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yakni bapak Moh. Yusuf Efendi,
S,Pd.I, M.A yang mana beliau telah memberikan tugas pada mata kuliah ini dan beliau pula
yang terlah memberikan arahan, petunjuk dang banayak informasi sehingga kami dapat
mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini.
Serta tidak lupa kami ucapkan pula banyak terimakasih pada keluarga, teman dan lingkungan
yang telah mendukung proses pembuatan makalah ini. Terimakasih pula kepada tim
kelompok 1 yang telah bekerja keras dan saling membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.
Dalam proses pembuatan makalh ini, kami banyak menyadari bahwa dalam mungupas
tentang konsep perkembangan ini kami masih banyak kekurangan karena kami masih sama
sama belajar dan ,asih kurangnya pengetahuan. Oleh karena itu, kritih dan saran kami
harapkan sehingga kedepannya kami dapat membuat makalah kembali dengan baik.
Demikian makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaan bagi orang di sekitar
dan tentunya bagi penulis makalah ini sendiri.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Bojonegoro , 02 Oktober 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul..........................................................................................1
Kata pengantar.............................................................................................2
Daftar Isi......................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................4
1.1. Rumusan Masalah...........................................................................4
1.2. Tujuan.............................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................5
2.1. Pengertian Tasawuf.........................................................................5
2.2. Istilah Sufi.......................................................................................6
2.3. Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi.....................................................7
2.4. Biografi Hujjah Al-Islam Al-Ghazali.............................................10

BAB 3 PENUTUP.......................................................................................13
3.1. Kesimpulan ....................................................................................13
3.2. Saran...............................................................................................13

Daftar Pustaka..............................................................................................14

3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini ada sebagai berikut :
 Apa yang di makdud dengan Tasawuf?
 Apa itu definisi dari istilah sufi?
 Apa Definisi dari Perkembangan?
 Apa itu prinsip Perkembangan (kontonuitas vs diskontinuitas, cephalocaudal
vs proximodistal, serta prinsip perkembangan lainya)?

1.2. Tujuan
Adapun tujuan tujuan dari makalah ini adalah :
 Dapat memahami tentang tasawuf.
 Kita dapat memahami definisi dari istilah sufi.
 Kita dapat mengetahui biografi Al-Junaid Al-Baghdadi, konsistensinya terhadap Al-
qur’an dan As-sunnah, konsistensinya terhadap Syari’at, kebersihan akidah dan
tasawuf moderat .
 Kita dapat mengetahui Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi, Al-Munqidz min Al-Dhalal,
Tahafud Al-falasifah dan Ihya’ ‘Ulum Ad-Din

4
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, kata tashawwuf, adalah nisbat terhadap alar kata shuf (baju wol),
sehingga memiliki arti “memakai baju wol”. Dari sini dapat di simpulkan bahwa tasawuf
berhubungan erat dengan penampilan, mode dan formalitas, yaitu memakai baju wol.
Namun dalam tataran realitas, tasawuf tidak berkaitan dengan penampilan, mode dan
formalitas. Kata tasawuf yang semula berkaitan dengan penampilan, mode dan formalitas,
yaitu memakai baju wol, kini telah mengalami perkembangan dan perubahan menjadi
nama bagi suatu prinsip kehidupan yang menjauhkan diri dari keduniaan. Tasawuf
menjadi atribut bagi orang yang menekuni kezuhudan dan ibadah. Tasawuf menjadi nam
bagi orang yang menjauhkan diri dari gemerlapnya duniawi. Tasawuf juga dapat di
artikan sebagai ilmu yang mempelajari cara mensucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.
Menurut etimologi pengertian tasawuf terdapat beberapa perbedaan, diantaranya ;
 Berasal dari kata shuffah
Shuffah berarti serambi atau tempat duduk. Shuffah berasal di serambi Madunah
yang disediakan untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal atau rumah
daro orang orang muhajjirin yang ada di masa Rasulullah SAW
 Berasal dari kata shaf
Shaf memiliki arti barisan. Istilah ini di berikan kepada orang orang para kaum
sifi,memiliki iman yang kuat, jiwa dan hati yang suci, ikhlas, bersih, dan mereka
yang senantiasa berada pada barisan terdepan jika melaksanakan sholat berjamaah
atau mengikuti peperangan.
 Berasal dari kata shafa dan shuafanah
Istilah dari tasawuf ini ada yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti
bersih atau jernih dan kata shufannah yang berarti jenis kayu yang dapat bertahan
tumbuh di daerah padang pasir yang gersang
 Berasal dari kata shuf
Shuf berarti bulu domba. Pengertian ini muncul dikarenakan kaum sering
mengenakan pakaian yang berasal dari bulu domba kasar. Yang bermaksud
menjunjung kerendahan hati dan manghindari sikap menyombongkan diri.
Menurut terminologi dari para ahli, tasawuf juga memiliki beberapa perbedaab dalam
berpendapat;
 Menurut iman junaid
Tasawuf memiliki definisi sebagai pengambilan sifat mulia dan meninggalkan
sifat rendah.
 Menurut syekh abul hasa asy-syadzili
Definisi tasawuf adalah sebagai proses praktek dan latihan diri melalui cinta yang
mendalam untuk ibadah dan mengembalikan diri ke jalan allah.
 Menurut sahal al-tustury
Tasawuf didefinisikan sebagai bentuk terputusnya hubungan dengan manusia dan
memandang emas dan kerikil. Dengan maksud terus menurus membangun
hubungan dan membangun kecintaan mendalam kepada allah SWT.

5
 Menurut ahmad zorruq
Tasawuf adalah ilmu yang dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata
mata untuk allah dengan menggunakan pengetahuan yang ada tentang jalan islam.
 Menurut al-junaid al-baghdadi (297H/910M)
Mendefinisikan tasawuf “Al-Haqq ( tuhan yang benar) mematikan kamu dari
dirimu dan menghidupkan kamu dengan Dzat-Nya”
 Menurut Abu Bakat Al-Khattani (322H/396M)
Mendefinisikan tasawuf sebagai “kesucian (shafa’) dan penglihatan
(musyahadah)”
Bila dicermati, definisi al khattani merupakan definisi yang ringkas tapi menghimpin dua sisi
tasawuf, yang apabila keduanya di padukan menjadi kesatuan paripuma. Sisi pertama
berfungsi sebagai sarana (wasilah) da sisi ke dua sebagai tujuan (ghayah). Sarana terletak
pada kesucian (shafa’) dan tujuan terletak pada penglihatan (musyahadah).dari definisi ini
dapat desimpukkan denagn, tasawuf itu jalan (thoriq) dan tujuan. Jalan yang ditempuh dalam
dunia taswuf mengandung sekian aspek yang di isyaratkajn oleh nama kesucian(syafa’)
tersebut. Agaknya faktor kesucian inilah yang menjadi salah satu rahasia penanaman
kelompok mereka dengan sebutan sufi. Sehingga beberapa tokoh sufi saat di tanya, mengapa
di sebut sufi, mereka menjawab, karena kebersihan (syafa’) hati mereka dan kesucian
perbuatan mereka Bisyr Al-Hafi (150-227H/767-841M) berkata sufi adalah seorang yang
bersih hatinya kepada allah. “sebagian mereka juga berkata : sufi adalah seorang yang bersih
dalam reserasian hubungannya dengan allah, dan bersih pula karomah allah kepadanya”
dalam beberapa pernyatan ini jelas sekali, kata sufi menurut mereka memberi isyarat kepada
kesucian (syafa’) isyarat ini tidak tunduk terhadap peraturan bahasa. Karena selama petunjuk
yang di kandungnya sebatas pada isyarat, maka sesuai atau tidaknya dengan kaidah bahasa,
tetap tidak dapat di perdebatkan.
Jika di tarik kebelakang , menjauhkan diri dari duniawi adalah tradisi lama yang telah dijalani
oleh sebagian orang. Al-Qur’an menceritakan kepada kita tentang mereka yang memasuki
dunia kerahuban karena mencari ridho allah (QS. Al-hadid:27) sementara sebagian orang
yang menjalani kezuhudan karena mencari kepuasan, berdasarkan ide logis dan aliran
rasional yang berpandangan, kabahagiaab bisa diperoleh dengan ketenangan.
Bagi orang yang menjalani kezuhudan, sangat ditekankan kesedaerhanaan, kebersahajaan,
dan kehidupan kasar. Hal ini sesuai dengan penggunaan aspek baju wol sangat cocok dengan
mereka.
2. Istilah sufi
Menurut sejarawan ibnu khaldun (732-784H / 1332-1382M) istilah sufi dan tasawuf
belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat pada abad pertama hijriyyah. Istilah
sufi tasawuf baru dikenal secara luas sejak abad ke dua hijriyah. Pada masa rasulullah
SAW sendiri tidak seorang pun dari sahabat beliau yang menyandang gelar sufi.
Nama sufi memang tidak menjadi julukan seorangpun dari sahabat. Sebab, persahabatan
dengan beliau memiliki kehormatan yang istimewa. Karenanya tidak boleh memberi
suatu gelar kepada mereka yang kesannya lebih istimewa dari pada gelar sahabat. Tetapi
tidak di pungkiri, para sahabat adalah teladan kaum sufi dalam kezuhudan,
ibadah,tawakal,fakir,ridho,kesabaran,dan ketaatan kepada allah. Mereka memperoleh
semua itu karena barokah perasahabatan mereka dengan rosul.

6
Namun demikian, bukan berarti istilah sufi belum pernah dikenal sejak permulaan
islam. Bahkan ada indikasi, istilah sufi telah dikenal sejak paruh kedua abad pertama H.
Pada masa al-Hasan al-Bashri (21-110 H/642-729 M), istilah sufi telah dikenal di
kalangan masyarakat. Al-hasan Al-bashri telah mengikuti masa sekian banyak sahabat
nabi. Dalam sati riwayat, al-hasan berkata : ”aku pernah melihat seorang sufi thowaf di
baitullah. Lalu aku memberinya sesuatu, tetapi ia menolak untuk mengambilnya dan
berkata :” aku memiliki 4 daniq, yang cukup buat keperluanku”
Bahkan dalam riwayat lain ada indikasi, istilah sufi sudah dikenal sejak paruh pertama
abad pertama H. Sejarawan Abu mikhnaf luth bin yahya al kufi meriwayatkan dari urwah
bin al zubair (13-94 H/634-713M), bahwa seorang lelaki dari suku udzrah mengajukan
pengaduan kepada kholifah mu’awiyah bin abi sufyan, tentang ulang gubernurnya, Ibn
ummi al hakam, yang memaksa lelaki itu untuk menceraraikan istrinya. Sang gubernur
ibn ummi al hakam tertarik untuk menikahi istri lelaki itu, karena parasnya yang cantik.
Lalu mu’awiyah mengirim surat teguran kepada ibnu ummi al hakam, yang diantar isinya
berupa bait syair :
“ engakau tak ubahnya seorang sufi yang memiliki banyak ajaran dari sekian kewajiban
atau ayat ayat al quran”
Bahkan dalam riwayat lain ada indikasi, istilah sufi telah di kenal sejak jaman
jahiliyah. Dalam suatu kitabyang menerangkan sejarah makkah, terdapat riwayat dari
sejarawan muhammad bin ishaq bi yasar (w. 152H/769M) yang isinya, sebelum islam
datang sewaktu waktu kota mekah sepi sampai tidak ada seorangpun yang melakukan
thowaf, datanglah seorang laki laki sufi dari negeri jauh dan memlakukan thowaf di
batullah. Ia datang hanya untuk thowaf sampai selesai, kemuduan segera pulang. Menurut
AS-SARRAJ (w. 378H/988M) , jika informasi ini shahih, maka menjadi bukti bahwa
istilah sufi dikenal sejak masa sebelum islam dan menjadi nama bagi mereka yang
menjalani kesholihan dan ke utamaan.
Sebagai julukan (laqob) bagi seseorang, pada permulaan abad ke 2H, julukan sufi
pertama kali diberikan kepada seorang yang dikenal zuhud, menjalani riyadhoh dan pakar
dalam bidang kimia dari kuffah, yaitu jabir bin hayyan asy suffi (120-198H/738-813M).

3. Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi


Nama asli Abi Al Qasim Al Junaid bin Muhammad bin Al Junaid Al kazaz Al
khowariri Al Nahwandi Al Baghdadi. Ia lahir, tumbuh dan wafat (297H/970) di
baghdad tanpa di ketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang
pecah belah , sedangkan Al Junaid sendiri pedagang kain sutra ibunya saudar kandung
sari bin al mughhallis al saqathi (253h/867M) , tokoh sufi terkemuka yang kemudian
menjadi gurunya dalam bidang tasawuf.
Al Junaid memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga sangat membantu dalam
perkembangan intelektuaknya. Dalam usia 20 tahun, ia mampu mengeluatkan fatwa,
dan bahkan jauh sebelum itu ketika berusia 7tahun ketika di tanya tentang definisi
syukur secara tepat , ia menjawab : “ jangan sampai anda berbuat maksiat dangan
nikmat deberikan tuhan .
Dalam bidang tasawuf, selain berguru kepada pamannya sari al saqothi, ia juga
berguru kepada al harist bin assad al muhassibi (165-243H/781-856M). Abu ja’far
muhammad bin ali al qashshab (w.275H/898M) dan lain-lain. Al junaid lah yang

7
menjadi sumber inspirasi dan pemikiran al muhassibi dalam menyusun banyak
karangannya dalam bidang tasawuf. Tidak jarang apabila al muhassibi hendak
menyusun karangannya, ia meminta al junaid untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan seputar tasawuf dan selanjutnya dijadikan materi kajian dalam kitab yang
akan dikarang oleh al muhassibi.
Al junaid disepakati sebagai ulama di persimpangan jalan. Semua kalangan me4nerima
madzab yang dibangunnya. Ia disepakatai sebagai ulama penyandang gelar syeikh at tha’ifah
as sufiyyah wa sayyiduha (tuan guru dan pemimpin kaum sufi). Disisni mungkin ada
bertanya: “mengapa madzab yang dibangun oleh al junaid al baghdadi diakui sebagai acuan
dan standard dalam tasawuf ahlusunnah wal jamaah?” menurut sejarawan sebagian ulama ada
4 faktor yang mengantarkan madzab al junaid menjadi acuan dan standard dalam tasawuf
ahlusunnah wal jamaah, sehingga al junaid menjadi satu-satunya figur yang berhak
menyandang gelar syeikh at tha’ifah as sufiyyah wa sayyiduha. Keempat faktor itu adalah :
Konsistensi terhadap al kitab dan sunnah; (2) konsistensi terhadap syariat; (3) kebersihan
dalam aqidah; dan (4) ajaran tasawuf yang moderat. Kebenaran empat faktor yang
dikemukakan oleh sebagian ulama tersebut, dapat dilihat dengan memperhatikan sekian
banyak riwayat dalam sejarah perjalanan tasawuf al junaid.
1) Konsistensi Terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah
Pertama , konsistensi terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Aljunaid
membangun mazhabnya di atas fondasi agama yang benar dan kokoh. Ia membangun
tasawufnya di atas fondasi kaedah kaedah al qur’an dan sunnah, yang disepakati
sebagai sumber primordial syari’at islam. Hal ini sebagai pengaruh dari latar belakang
almamaternya, dimana sebelum memasuki dunia sufi, al junaid telah mendalami
bidang ilmu fikih dan lain lain terutama pada bidang srudy ilmu tafsir dan hadist.
Penguasaaanya pada bidang study ilmu al qur’an, hadist dan fikih membawa pengaruh
positif terhadap junaid untuk membangun mazhabnya di atas fondasi al qur’an dan
sunnah yang shahih. Isyarat isyaratnay dalam tasawuf kaya dengan dalil dalil al quran
dan sunnah. Di antaranya perkataan al junaid yang terkenal; dan dijadikan kaidah
kalangan sufi adalah kalimatnya yang berbunyi “ ilmu kami ini (tasawuf) di bangun
dengan fondasi al qur’an dan sunnah. Barangsiapa yang belum hafal al qur’an , belum
menulis hadist dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa di
jadikan panutan dalam tasawuf.”
Dari waktu ke waktu, di kalangan sufi taidak jarang muncul kalangan yang
meremehkan ilmu agama. Mereka tidak memiliki kepedulian mempelajari ilmu
agama. Mereka lebih menyukai aktifitas ibadah dan mujahadah tanpa ditopang
dengan ilmu agama yang memadai, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya
terjerumus dalam kesesatan atau terperangkap dalam tipu daya setan. Dalam hal ini,
al-junaid telah berpesan kepada muridnya, Abdul Wahid bin Ulwan ;
“jangan berhenti menekuni ilmu. Karena andaikan sekian banyak keadaan
menimpamu, tetapi ilmu agama bersamamu, kamu akan dapat menghadapinya
dengan benar. Karena Allha telah berfirman “dan orang orang yang
mendalam ilmunya berkata. “kami beriman kepada ayat ayat mutasyabihat,
semuanya itu dari tuhab kami” (QS. Ali Imran: 7).”

8
2) Konsistensi terhadap Syari’at
Kedua , konsistensi terhadap syari’at. Al-junaid membangun tasawufnya di
atas pondasi konsistensi terhadap syari’at yang selalu di pegang teguh dalam
kehidupan sehari hari seprang sufi. Ulama’ mengakui, belum pernah di temukan di
antara isyarat isyarat Al-junaid dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan
syari’at. Menurut Al-junaid, Rasulullah SAW harus mengatur kehidupan seorang sufi
dalam setiap saat. Orang yang melenceng dari sunnah rasul, maka pintu kebaikan
akan di tutup untuknya. Dalam hal ini Al-junaid berkata : “semua jalan menuju Allah
tertutup bagi makhluknya, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasul,
mengikuti sunnahnya dan menepati jalannya. Karena jalan menuji kebaikan terbuka
bagi sunnahnya.”
Dari masa ke masa, di antara mereka yang mengalafikasikan dirinya kepada
aliran sufi tidak jarang muncul kelompok kelompok yang berbandangan bahwa
apabila seseorang telah mencapai derajat makrifat kepada allah, maka tidak
diperlukan lagi memelihara ritinitas aurad (dzikir) dan ibadah, apalagi setelah dirinya
merasa menjadi kekasih allah dengan kekeramatan yang diterimanya.
3) Kebersihan Akidah
Ketiga, kebersihan akidah. Al-junaid membangunkan mazhabnya di atas
fondasi akidah yang bersih yakni akidah ahlusunnah wal jama’ah. Pada masa Al-
junaid, tidak sedikit dari kalangan sufi terjerumus dalam akidah tercela, seperti akidah
hululiyyah yang beranggapan tuhan menepati makhluknya, akidah mudahiyah
(libertinisme) yang memperbolehkan semua larangan syari’at, dan akidah kebatinan,
yang luarnya islam namum batinnya jauh menyimpang dari pokok pokok agama
islam. Bagi mereka, tasawuf hanya topeng topeng untuk menjustifikasi dan
melegimitasi penyebarluasan ajaran sesatnya. Agaknya, faktor almamater Al-junaid
berpengarih positif terhadap akidah yang menjadi landasan tasawuf, akidah
Ahlusunnah wal jamma’ah sesuai mazhab al asy’ari dan al maturidi.
Bila kita perhatikan akidah yang diajarkan dalam tasawuf al-junaid, kita
mendapati akidah yang simple, mudah dicerna, bersih dari akidah tajsim, tasybih,
hulul dan ibahi, serta sesuai dengan akidah ahlulssunah wal jama`ah. Dalam hal ini al-
Junaid misalnya mengatakan :
“Pertama kali yang dibutuhkan oleh seseorang yang mendalami agama adalah
mengenalkan pencipta kepada makhluk,mengenalkan kepada yang baru bagaimana
Dia menciptakannya, bagaimana permulaan dirinya dan bagaimana pula pasca
kematiaannya, sehingga ia dapat membedakan antara sifat sang khalik dari sifat
makhluk-makhluknya, sifat dzat yang qadim dari sifat makhluk yang hadist (baru),
orang yang dimiiki mengenal rob-Nya, hamba yang lemah mengenal tuannya,
sehingga menyembahnya,mengesakannya,mentakzimkannya, menjadi petunjuk
kepada ajakan agamanya dan mengakuiakan kewajiabn menaati-Nya.”.
Dalam bagian lain al-junaid juga berkata:
“ Tanda-tanda hakikat keimanan seseorang ialah mendahulukan keridhaan
Allah atas segalanya dan tidak menyita kesibukan diri karena selain-Nya. Sehingga
Allah lah yang menjadi pemilik jiwa dan pendorong raga pada pelaksanaan perintah-
Nya dan ketika itu pula ketaantan kepada-Nya menjadi sempurna, menyalahi segala
hawa nafsu dan menjauhi semua ajakan musuh-Nya, meningalkan apa yang
berhubungan dengan duniawi, menghadapkan diri kepada ilahi.”

9
Salah satu pernyataan al-Juanid yang popular dalam soal akidah adalah saat
ditanya tentang tauhid, ia menjawab : “Tauhid ialah membedakan dzat yang tidak
mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru (at-tauhid ifrad al-
qadim `an al-muhdats).” Jawaban ini mengisyaratkan akidah ahlussunnah wal jama`ah
dalam hal tanzih (menyucikan tuhan dari menyerupai makhluk-Nya), dan jauh dari
akidah tajsim dan tasybih.
4) Tasawuf Moderat
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Al-juanid membangun mashabnya diatas
pondasi ajaran moderat, yang merupakan ciri khas ajaran ahlussunnah wal jama`ah.
Dalam hadist mengatakan : “Sebaik-baik perkara adalah yang moderat”.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mengatakan : “ikutilah kelompok yang bersikap
moderat, yang dapat diikuti orang-orang dibelakangnya dan menjadi rujukan orang-
orang yang berlebih-lebihan (ekstrim)”. Dalam hal ini menurut al-junaid, orang yang
baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak
ikut berperan aktif dalam memberi kemanfaatan kepada sesama. Al-junaid
mengatakan :
“Makhluk yang paling utama kedudukannya menurut Allah dan paling agung
derajatnya di setiap waktu dan masa,disetiap waktu dan negeri adalah mereka yang
paling menyempurnakan kewajibannya terhadap dirinya, paling terdahulu melakukan
apa yang dicintai Allah, dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya”.
Pada masa al-junaid, di kalangan sufi lahir satu aliran yang ekstrim dan tidak moderat.
Aliran ini beranggapan bahwa bila seseorang telah mencapai derajat makrifat atau
wali, maka pengalaman terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi
baginya.Semua kewajiban menjadi gugur bagi dirinya. Menanggapi aliran ini, al-
junaid berkata :
“Ini menurutku persoalan yang amat besar. Orang yang mencuri dan berzina
lebih baik daripada orang yang berpendapat seperti ini. Andaikan aku dikekalkan
sampai berusia seribu tahun, niscahya aku tidak akan mengurangi sekecil atom pun
dari amaliahku. Terkecuali aku terhalang untuk menunaikannya. Amal akan lebih
mengokohkan terhadap makrifatku dan memperkuat keadaan spiritual

4. Biografi Hujjah al-Islam al-Ghazali


Nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
at-Thusi. Dilahirkan di kota Thus, daerah khurasan pada tahun 450 H/1058 M. Ia dikenal
dengan al-Ghazali karena ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol atau karena ia
berasal dari desa Ghazalah. Ia lahir dari keluarga yang tergolong kuat beragama dan
termasuk keluarga sufi.
Perkembangan intelektualnya dimulai sejak ia belajar di daerahnya kepada Ahmad bin
Muhammad ar-Radzikani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, ia pindah ke jurjan dan
memasuki pendidikan yang diasuh Imam Abu Nashr al-Isma`ili dengan pelajaran yang
lebih luas meliputi semua bidang studi agama dan bahasa. Setelah tamat ia kembali ke
Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf
kepada Syaikh Yusuf al-Nassaj (w. 487 H/1094 M).
Setelah tiga tahun di Thus, ia berangkat lagi melanjutkan pelajaran dan sekali ini ke
Naisabur, belajar kepaa Imam Abu al-Ma`ali Abdul Malik bin Abdullah al-juwaini (419-
478 H/1028-1085 M),ulama terkemuka mazhab syafi`I yang menyandang seperti fikih,

10
ushul fikih, khilaf, jadal, teologi dan logika. Di Naisabur, ia juga melanjutkan pelajaran
tasawuf kepada syaikh Abu Ali al-Fadhal bin Muhammad bin Ali al-Farmadzi(w.
477H/1084M). disamping belajar tersebut , aktifitasnya juga diisi dengan mengajar dan
menulis dalam ilmu fikih dan ushul fikih.
Setelah imam al-Haramain wafat dan pelajaran tasawuf cukup dikuasainya, al-Ghazali
pindah ke Mu`askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar ulama dan intelektual.
Ia berada disini dengan reputasi dan segala kecemerlangan yang menjulang dan
mengantarnya ke kursi guru besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad pada 484 H/1091
M. Di Nizhamiyah, disamping memberikan kuliah, aktifitasnya diisi dengan mengkaji
secara otodidak filsafat yunani dan filsafat islam sampai tuntas.
Setelah reputasi al-Ghazali di Baghdad melebihi reputasinya ketika masih di
Mu`askar, kesenangan duniawinya melimpah ruah. Tetapi, keadaan itu bukan menambah
kebahagiaannya, justru membawanya sakit sampai ia secara tiba-tiba meninggalkan
Baghdad dan mengundurkan diri dari kesenangan duniawi itu. Ia berangkat menuju kota
Damaskus si Syria dan tinggal di kota ini mulai tahun 488H/1095M, suatu kota yang
penuh damai dan dihuni banyak kalangan sufi. Di masjid umawi, al-Ghazali beri`tikaf dan
berdzikir dipuncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang
terbatas. Ia memasuki suluk sufi dengan menjalani riyadhah dan mujahadah secara terus
menerus seperti itu selam dua tahun di damaskus.
Setelah itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina.
Di sini setiap hari ia masuk Qubbah Shakhrah mengunci pintunya, menjalani uzlah dan
berdzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke makam nabi Ibrahim.
Setelah dirasa cukup di Palestina, ia berangkat menuju hijaz menunaikan ibadah haji di
Makkah dan berziarah kemakam Rasulullah SAW di Madinah.
Menurut beberapa penulis, setelah menunaikan ibadah haji, ia berangkat ke mesir dan
tinggal di Iskandariah dengan beri`tikaf di menara masjid Jami` beberapa lama.
Kemudian ia kembali pulang ke Thus dan berkonsentrasi ibadah. Di Thus ia dipaksa oleh
Fakhrul mulk bin nizhamul mulk untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah Naisabur,
tetapi al-Ghazali menolak dengan alasan :”aku ingin berkonsentrasi ibadah”. Tetapi Fakhr
al-Mulk tetap bersikeras pada pendiriannya dengan mengatakan : “anda tidak boleh
menghalangi kaum muslimin untuk memperoleh ilmu dari anda”. Akhirnya al-Ghazli
mau mengajar tetapi tidak seberapa lama kemudian ia mengundurkan diri dan kembali ke
Rumahnya di Thus mendirikan khaniqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk
mengajar tasawuf.
1. Al munqidz min Al Dhallal
Al munqidz min Al Dhallal yang berarti “penyelamat dari kesesatan”. Buku
ini melukiskan perkembangan intelektual al-Ghazali. Di dalamnya, ia
mengisahkan pekembangan kehidupan intelektualnya yang berawal dari fase
kajian yang komprehensif, lalu fase keraguan dan terakhir fase keyakinan
terhadap kebenaran yang berhasil dicapainya.
Dalam buku ini al-Ghazali menjelaskan sikapnya pada buku ilmu kalam,
aliran ta`limiyah (syiah imamiah), ilmu filsafat dan para filosof dan terakhir
sikapnya terhadap ilmu tasawuf. Disana juga di jelaskan sikapnya terhadap
masalah kenabian dan keragu-raguan yang tidak jarang menyerang seseorang
dalam soal kenabian. Di samping menjelaskan cara yang benar untuk

11
menghidupkan kembali kesadaran beragama pada saat sebgian manusia
mengalami kelemahan dalam perasaan beragam ini.
2. Tahafut al-falasifah
Tahafut al-falasifah yang berarti “Runtuhnya para filosof”. Dari judulnya,
tujuan penulisan buku ini sudah dapat ditebak. Al-Ghazali ketika memberi nama
bukunya dengan tahafud al-falasifah (runtuhnya para filosof )-seperti dikatakan
balacius-, sebenarnya ia hendak memberi perumpamaan kepada kita bahwa akal
manusia sedang mencari hakikat kebenaran dan hendak mencapainya, seperti
nyamuk yang mencari cahaya sia hari. Ketika ia melihat sorotan sinar yang
menyerupai cahaya hakikat kebenaran, ia tertipu dengannya, sehingga ia
melemparkan dirinya padanya dan runtuhlah ia didalamnya. Tetapi ia telah keliru,
karena tertipu dengan analogi rasional yang keliru sehingga celaka seperti nyamuk
yang mengalami kecelakaan.
Seolah-olah al-Ghazali dengan bukunya hendak berkata, bahwa para filosof
telah tertipu dengan sekian banyak hal yang segera mereka terima tanpa berfikir
terlebih dahulu, sehingga mereka berjatuhan dan celaka selama-lamanya.
3. Ihya` `ulum Ad-Din
Ihya` `ulum ad-Din yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini adalah
karya al-Ghazali yang terpenting. Mengenai kitab ini, Imam an-Nawawi pernah
berkata : “hampir saja kitab ihya` itu menjadi Al-Qur`an.” Al-Ghazali menulis
kitab ihya` `ulum ad-Din ini pada permulaan masa uzlah yang dijalaninya.
Sedangkan hal yang berhubungan dengan motivasi penulisan kitab ihya` `ulum
ad-Din, juga target yang menjadi tujuan penulisan kitab ihya` `ulum ad-Din dan
yang menjadi ruh pembahasannya terangkum dalam satu kata yaitu “ ikhlas”. Al-
Hafidz ibn al-Jauzi al-Hanbali (508-597 H/ 1114-1201 M) meriwayatkan dari
sebagian murid-murid al-Ghazali yang memintanya agar memberi wasiatnya
kepada mereka saat al-Ghazali menjelang wafatnya, ia berkata : “ Teguhlah
memegang ikhlas”. Al-Ghazali mengulang-ulangi kalimatnya ini sampai ajal
menjemputnya.
Pada suatu hari al-Ghazali menoleh kepada dirinya, lalu ia menemukan dirinya
bersih dari ikhlas dan semua keinginannya hanyalah popularitas, reputasi,
kedudukan dan posisi ditengah-tengah masyarakat dan penguasa. Kemudian ia
sadar dengan kesadaran yang meletakkan dirinya pada lingkungan ikhlas. Al-
Ghazali mendapati setan telah menguasai mayoritas manusia. Sementara agama
dalam pandangan para ulamanya bahwa fatwa resmi pemerintahan atau
perdebatan untuk mencari muka dan mengalahkan lawan, atau retorika memukau
yang dijadikan sarana para penceramah untuk menarik perhatian kalangan awam.
Dari sini, hujah al-Islam menulis kitabnya yang monumental, ihya` `ulum a-Din.
Kitab yang sangat berpengaruh terhadap dunia islam, sehingga tidak sedikit ulama
yang memberi syarh(komentar) atau ringkaan terhadap intisari kitab ini.

12
BAB 3 PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Tasawuf bukanlah suatu hal yang baru dalam islam. Prinsip-prinsip ajaran
tasawuf telah ada dalam islam semenjak nabi Muhammad SAW diutus menjadi
Rasul. Bahkan kehidupan rohani rasul dan para sahabat menjadi salah satu
panutan didalam melakukan amalan-amalannya. Inti dari ajaran tasawuf ialah
mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui tahapan-tahapan (ajaran)Nya yaitu
maqamat dan ahwal. Ajaran- ajaran tasawuf ini bersumber dari Al-Qur`an, Hadist,
dan Assunnah. Istilah sufi diberikan pada mereka yang mendalami ilmu tasawuf.
Tujuan tertinggi dari seorang sufi adalah mendekatkan diri kepada Allah atau
kalau bisa menunggal dengan Allah.

3.2. SARAN
Agar kita dapat mengetahui dan mengenal Allah lebih dekat lagi. Dapat
menambah dan mempertajam pengertian dan pembahasan tasawuf dikehidupan
sehari-hari. Dapat membantu dalam memahami permasalahan dalam tasawuf.
Dapat mengetahui biografi tokoh-tokoh tasawuf sehingga kita memiliki
penambahan pengetahuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Khasanah Aswaja (penerbit Aswaja NU center PWNU Jawa Timur. Cetakan 1, Oktober
2016)

14

Anda mungkin juga menyukai