Anda di halaman 1dari 22

Abstrak

Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) kota Bekasi, sebanyak


2.231 pasangan bercerai sepanjang Januari-September 2017. Faktor
terbanyak adalah persoalan perselingkuhan, yaitu sebanyak 1.862 kasus,
disusul faktor ekonomi sebanyak 111 kasus dan sisanya adalah faktor
poligami berjumlah 121 kasus. Dari banyaknya perceraian itu, pemicu utama
dimulai dari maraknya media sosial yang dipakai para oleh para suami-istri.
(Detik.com)
Fakta menunjukan bahwa banyaknya faktor sebab perceraian yang
dilakukan oleh suami dan istri, menjadi salah satu jalan terjadinya praktik
nusyūz dalam rumah tangga. Nusyūz dimaknai sebagai pelanggaran yang
dilakukan oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya dalam rumah
tangga. Hal ini tidak menunjukan arti dari sebuah pernikahan, akad yang
diucapkan merupakan janji-janji yang terkoneksi kepada Allah dan Allah
jadikan ikatan tersebut mengandung makna Sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Pernikahan dalam Islam mengandung tujuan, agar umat hidup dalam
suatu masyarakat yang teratur menuju kemakmuran, keamanan lahir batin,
dan juga supaya kehidupan rumah tangga yang mesra, teratur antara suami
dan istri, sehingga terbentuk ukhwah yang mendalam yang diridhoi oleh
Allah.
Tujuan diatas berbanding terbalik dengan yang terjadi di masyarakat
pada umum, yang berdasarkan data telah banyak terjadinya perceraian
diakibatkan perselingkuhan. Ini banyak terjadi pada kaum laki-laki sebagai
suami di rumah tangga. Sebab esensi dari perselingkuhan menyebabkan
pelalaian terhadap kewajiban dan melaksanakan hak-hak kepada keluarga,
dalam al-Qur’an disebutkan sebagai nusyuz. Tujuan dari syari’at atau
maqāshid al-Syarī’ah adalah untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan bagi
manusia, salah satunya dengan menjaga keturunan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa maqashid al-Syari’ah melarang
prilaku nusyūz, karena apabila keadaanya atau hubungan suami dan istri
semakin memburuk, ini akan membahayakan atau memberikan dampak
buruk bagi keturunan, dalam hal ini buah hati (anak) mereka.
Kata Kunci: Nusyūz, Nikah, Maqāshid, al-Syarī’ah

1
A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, dengan pernikahan yang sah, pergaulan laki-laki dengan perempuan
terjalin secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk
mulia. Nikah merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, oleh karena itu Islam
memberikan solusi dengan cara melakukan pernikahan, karena pernikahan
adalah bagian dasar bagi pembentukan keluarga dalam Islam.
Kehidupan rumah tangga sakinah, mawardah dan rahmah bisa diraih
bila antara suami-istri menjalankan hak dan kewajibannya dengan sesuai
ketentuan yang berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sebagai konsekuensi
logis dari adanya ikatan pernikahan.1 Suami mesti melaksanakan
kewajibannya terhadap istri dalam bentuk memenuhi kebutuhan istri baik
lahir maupun batin sesuai dengan kemampuan sang suami. Sedangkan
kewajiban istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batasan
yang dibenarkan oleh hukum Islam.
Ketika melihat suatu pernikahan, yang selalu digandrungi dengan
anggapan keindahan dan keharmonisan dalam rumah tangga, ternyata dibalik
semua itu, kenyataan dari fenomena yang terjadi berkata lain, pertengkaran
dalam rumah tangga sudah sangat sering terjadi, ketegangan dan konflik
kerap kali muncul, dari mulai perslisihan, perdebatan, saling mengejek
bahkan memaki dan memukul, itu merupakan lumrah di zaman sekarang.
Terjadinya hal-hal tersebut banyak dari persoalan yang sangat sepele namun
dapat mengakibatkan keretakan rumah tangga.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tidak selamanya hubungan atau
suatu pernikahan berjalan dengan sakinah, tetapi banyak hal-hal yang dapat
membawa keretakan pada rumah tangga, salah satunya adalah tulisan di atas.
Hal ini memicu terjadinya berbagai konflik, yang pada akhirnya melewatkan
hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami dan istri. Sehingga muncul
istilah Nusyȗz dalam Islam.
Nusyȗz kita kenal sebagai sebuah kedurhakaan, yang bisa terjadi oleh
berbagai opini-opini, dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan
pasangannya dan tuntutan-tuntutan hak yang tidak terpenuhi. Ketika
menyebutkan kata nusyȗz, maka tergambar dalam benak kita adalah

1
Musdah Mulia, Kemuliaah Perempuan dalam Islam (Jakarta: Bisma Optima,
2014), h. 58-59.

2
perempuan yang durhaka atau yang tidak taat melaksanakan tanggungjawab
mereka terhadap suaminya.
Sebenarnya nusyȗz tidak hanya berlaku pada istri tetapi berlaku juga
terhadap suami, nusyȗz suami sebenarnya mengandung arti kedurhakaan
suami kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban terhadap istrinya.2
Sebagaimana Allah terlebih dahulu mengajarkan kepada kita dalam firman-
Nya Qs. surat An-nisa ayat 128 sebagai berikut;
‫َو ِإِن ٱۡم َر َأٌة َخاَفۡت ِم ۢن َبۡع ِلَها ُنُش وًز ا َأۡو ِإۡع َر اٗض ا َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ِهَم ٓا َأن ُيۡص ِلَح ا َبۡي َنُهَم ا ُص ۡل ٗح ۚا‬
‫ر َو ُأۡح ِض َر ِت ٱَأۡلنُفُس ٱلُّش َّۚح َو ِإن ُتۡح ِس ُنوْا َو َتَّتُق وْا َف ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبَم ا َتۡع َم ُل وَن‬ٞۗ ‫َو ٱلُّص ۡل ُح َخ ۡي‬
١٢٨ ‫َخبِيٗر ا‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Qs. Al-Nisā’: 128).

2
Sayyid Muhammad Husain Thabāthabā’ȋ, al-Mizān fi tafsȋr al-Qur’ān (Beirut:
Libanon, 1998), jild. 2, h. 53.

3
B. PEMBAHASAN
1. Metodologi Penelitian
Pendekatan Maqāshid al-Sharī’ah
Istilah pendekatan merupakan kata terjemahan dari bahasa
Inggris “Approach”, yakni suatu disiplin ilmu untuk dijadikan
landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Pendekatan adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu, yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini,
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai realitas kebenaran sesuai dengan kerangkan
paradigmanya.3
Maqashid al-Syari’ah atau Maqashid al Syari’ adalah nama dan
laqob sebuah disiplin ilmu dari sekian bentuk keilmuan yang ada pada
kajian syari'at Islam, yang dalam kajian bahasa, istilah maqashid al-
syari’ah itu tersusun dari dua lafazd (kata), yaitu kata maqashid dan
kata al syari’ah.4 Agar dapat memperoleh informasi yang mendalam
dan kajian yang komprehensif tentang maqashid al syari’ah, paling
tidak harus mengupas dan membedah kajian kebahasaan yang ada pada
dua istilah, yaitu; istilah maqashid, dan istilah al syari'ah.
Secara bahasa (etimologi) kata maqashid (‫ )المقاصد‬adalah bentuk
plural (jama’) dari kata maqshad (‫)المقَص د‬. Kata maqshad (‫ )المقصد‬sendiri
adalah bentuk masdhar mim (‫ )مصدر ميم‬dari kata kerja qashada
yaqshidu qasdhan wa maqshadan (‫ ومقَص دا‬- ‫ قْص دا‬- ‫ يقِص د‬- ‫)قَص د‬, atau bisa
jadi terderivasi dari isim makan al Maqshud (‫)المقِص د‬.5
Selanjutnya maqashid dari sisi terminologis, mengandung
pengertian; sebagai sesuatu yang dikehendaki dari proses pentasyri’an
beberapa hukum, atau dapat dikatakan juga, bahwa yang dimaksud
maqashid adalah keinginan tercapainya sesuatu yang dikehendaki dari
sebuah pentasyri'an hukum.
Sedangkan istilah kedua yang harus dipahami adalah syari’at,
atau dalam bahasa lain disebut dengan syara’ dan syari’ah yang secara
bahasa memiliki arti sumber dan tempat munculnya air, ada juga yang
3
Jalaluddin Rahmat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 9-10.
4
Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Ayubi, Maqāshid al-Syarī’ah al-
Islāmiyah (Riyadh: Dār al-Ḥijrah, 1998), h. 25.
5
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, Ilmu Maqāshid al-Syarī’ah (Riyadh:
Maktabah al-‘Ubaikān, 2001), h. 13.

4
mengatakan syari’ah secara bahasa adalah jalan menuju mata air atau
dalam istilah lain dikatakan dengan istilah al-Millah, al-Dīn, al-
Tharīqah, al-Minhaj dan al-Sunnah. Menurut pendapat yang lain
Syari’ah secara terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan agar
manusia mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Menurut al-
Syāthibī, kemaslahatan ini dalam bentuk maqashid al-Syari’ah.
Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan
(jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat
(motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan6 hamba.7
Adapun pendefinisian syari’ah sebagai sumber air adalah sebuah
perumpamaan sesungguhnya syari’ah dan agama adalah sumber
(masdhar) jiwa (manusia, hewan, tumbuhan) dalam hal untuk
memperoleh kemajuan, keberuntungan dan keselamatan di dunia dan
akhirat, sebagaimana hal tersebut dijelaskan al-Qur’an dalam QS al-
Anfal ayat 24.8
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا ٱۡس َتِج يُبوْا ِهَّلِل َو ِللَّرُسوِل ِإَذ ا َدَعاُك ۡم ِلَم ا ُيۡح ِييُك ۖۡم َو ٱۡع َلُم ٓو ْا‬
٢٤ ‫َأَّن ٱَهَّلل َيُحوُل َبۡي َن ٱۡل َم ۡر ِء َو َقۡل ِبِهۦ َو َأَّن ٓۥُه ِإَلۡي ِه ُتۡح َش ُروَن‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-
Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (Qs. Al-Anfāl: 24)
Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi
Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharūriyāt,
Maqashid hājiyat, dan Maqashid tahsīnāt. Dharûriyât artinya harus
ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan
kerusakan, misalnya rukun Islam. Hājiyat maksudnya sesuatu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah
(keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsīnāt artinya sesuatu
yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan

6
Kata Maslahah adalah sebuah istilah yang pada intinya merupakan keadaan yang
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian. Yang dimaksudkan dengan
maslahah di sini adalah menggapai tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk makhluk ada lima,
yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka.
7
Al-Syātiby, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiah,
2004), h. 107-108.
8
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, Ilmu Maqāshid al-Syarī’ah (Riyadh:
Maktabah al-‘Ubaikān, 2001), h. 14.

5
keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan
menutup aurat.
Dharuriyat atau kemaslahatan inti disepakati dalam lima hal,
sebagaimana ulama menyebut dengan al-kulliyyatu al-khams, yang
dianggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus
dijaga, yaitu: (1) menjaga agama (hifzh ad-dīn); (2) menjaga jiwa (hifzh
an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh
an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal).9
2. Kritik al-Qur’an terhadap Nusyūz Suami
Pengertian tentang Nusyuz
Di dalam perkawinan, Islam menempatkan wanita pada
kedudukan yang terhormat dan kepadanya diberikan hak-hak
kemanusiaan yang sempurna. Wanita (istri) adalah pasangan dan patner
pria (laki-laki) dalam membina rumah tangga dan derajat suami dan
istri, jika ada perbedaan itu hanyalah fungsinya saja yang Allah
tentukan kepada keduannya sehingga kelebihan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan tetapi saling
melengkapi.10
Kata Nusyȗz kita kenal sebagai sebuah kedurhakaan, yang bisa
terjadi oleh berbagai opini-opini, dari rasa ketidakpuasan salah satu
pihak atas perlakuan pasangannya dan tuntutan-tuntutan hak yang tidak
terpenuhi.
Nusyūz secara etimologis berati tempat yang tinggi. Adapun
secara terminologis maknanya pembangkangan seorang suami istri
terhadap hal-hal yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati.11 Dalam
pemakaiannya, arti kata an-nusyūz ini kemudian berkembang menjadi
al-’ishyān yang berarti durhaka atau tidak patuh. Disebut nusyūz
karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia tidak merasa perlu
untuk patuh. Ibnu Manzur dalam kitabnya, Lisān al-’Arab (Ensiklopedi
Bahasa Arab), mendefinisikan an-nusyūz sebagai rasa kebencian salah
satu pihak (suami atau isteri) terhadap pasangannya12.

9
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: AMZAH, 2013), Cet.
Ke-3.
10
Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Komplasi jurnal ahkam Fakultas Syari’ah dan
Hukum Syarif Hidayatullah (Jakarta: UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 36.
11
Syekh Mahmūd al-Mashrî, Perkawinan Idaman (Jakarta : Qisthi Press, 2015), h.
359.
12
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), vol. 4, h. 1354.

6
Sedangkan nusyūz yang mengandung arti luas yaitu segala
sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk
seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan
hubungan badaniyah dalam jangka waktu tertentu yang sangat lama
dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik antara
suami dan istri.13
Ketika menyebutkan kata nusyȗz, maka yang tergambar dalam
benak kita adalah perempuan yang durhaka atau yang tidak
melaksanakan tanggungjawab terhadap suaminya. Nusyȗz tidak hanya
berlaku pada istri tetapi berlaku juga terhadap suami seperti dalam hal
ini Allah terlebih dahulu mengajarkan kepada kita pada firman-Nya Qs.
surat An-nisa ayat 128 sebagai berikut;

‫َو ِإِن اْم َر َأٌة َخ اَفْت ِم ْن َبْع ِلَه ا ُنُش وًز ا َأْو ِإْع َر اًض ا َفال ُج َن اَح َعَلْيِه َم ا َأْن ُيْص ِلَح ا‬
‫َبْيَنُه َم ا ُص ْلًح ا َو الُّص ْلُح َخ ْيٌر َو ُأْح ِض َر ِت األْنُف ُس الُّش َّح َو ِإْن ْحُتِس ُنوا َو َتَّتُق وا‬
‫َفِإَّن الَّلَه َك اَن َمِبا َتْع َم ُلوَن َخ ِبًريا‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyȗz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyȗz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs An-nisā’: 128)
Menurut Thabāthabā’ȋ ayat ini menerangkan bagaimana cara
yang mesti dilakukan oleh suami istri, yang terkhusus kekhawatiran
terhadap suaminya yang kurang mengindahkan atau kurang
perhatiannya. Nusyȗz suami sebenarnya mengandung arti kedurhakaan
suami kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban terhadap
istrinya.14
Menurut Imam Jalāludin al-Mahāli dan Imām Jalāludin as-Suyūtî
dalam tafsȋr jalālain mengartikan nusyūz sebagai sikap tak acuh
sehingga berpisah ranjang dari istrinya dan melalaikan pemberian

13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 193.
14
Sayyid Muhammad Husain Thabāthabā’ȋ, al-Mizān fi tafsȋr al-Qur’ān (Beirut:
Libanon, 1998), jild 2, h. 53.

7
nafkahnya, mungkin karena marah atau karena pandangan hatinya
sudah terpikat dengan wanita lain.15
Nusyuz adalah konklusi (kesimpulan) yang tidak bisa dihindari
dari pertikaian-pertikaian besar yang menimpa pasangan suami istri.
Telah diketahui, bahwa manakala pertikaian-pertikaian berjalan cukup
lama, keadaan tersebut akan menjadi semakin gawat dan melahirkan
suasana kebencian serta permusuhan yang terkadang pada klimaksnya
sampai pada perceraian. Dari kasus semacam ini yang kemudian
muncul kata nusyūz, yaitu keluarnya suami istri atau salah satunya dari
tugas dan kewajibannya, dan dia tidak melaksanakannya karena
keengganan dan tidak mau patuh.16
Faktor-faktor terjadinya Nusyuz pada Suami
Dalam soal hak dan kewajiban seorang suami istri, mayoritas
ulama-ulama dalam karangannya mereka lebih mengutamakan
pembahasan tentang hak istri. Sebenarnya ini menunjukan besarnya
perhatian mereka terhadap kaum wanita, juga bentuk kepedulian
mereka terhadap wanita sebagai pihak yang lemah yang membutuhkan
kasih sayang dan kelembutan, dan perlindungan yang baik. Al-Qur’an
menekankan kepada kaum lelaki untuk menunaikan hak istri lahiriyah
maupun bathiniyahnya, sekalipun banyak sekali penekanan terhadap
wanita dikarenakan jika dilihat dari realita banyak sekali suami tidak
memperlakukan istrinya sebagai semestinya.17
Terdapat beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya
nusyuz pada suami, diantaranya18:
1. Latar belakang suami yang kurang terhadap pendidikan agama,
sehingga suami tidak mengetahui hak dan kewajibannya dalam
berumah tangga.
2. Suami mempunyai istri lebih dari satu (poligami), sedangkan
syarat-syaratnya tidak mencukupi. Dan suami lebih condong

15
Jalāluddin al-Mahālli dan Jalāluddin as-Suyūtȋ; penerjemah Bahrun Abū Bakar,
Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbābun nuzūl (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007),
jild. 1, h. 420.
16
Ra’d Kāmil Al-Hayāli, Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan
Sunnah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h. 64.
17
Syeikh Hasān Ayūb, as-Sulūk al-Ijtimâ’i fi al-Islām (Lebanon: Dar al-Fikr), h.
183.
18
Kusmuri Selamat, Pedoman Menyayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan) (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 31.

8
kepada salah satu dari istrinya sehingga mengabaikan istrinya
yang lain.19
3. Cemburu yang berlebihan. Apabila kecemburuan tidak diatur
dengan baik maka akan menimbulkan permusuhan antara suami
istri. Cemburuan yang tidak berlebihan jika suami cemburu
kepada istrinya tampa alasan demi mencari-cari kesalahannya.
4. Adanya perselingkuhan suami (pihak ketiga/pelakor). Lebih
mengutamakan selingkunhannya sehingga kurang perhatian
terhadap istri dan keluargannya. Memang perselingkuhan di
mana-mana selalu terjadi bukan hal yang baru, perselingkuhan
bukan jalan keluar untuk memecahkan problem di dalam rumah
tangga.
5. Jika suami adalah seorang yang pemalas yang tidak senang
memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Jika istri
bekerja untuk menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga bukan
berarti suami bebas secara penuh atas nafkah yang menjadi
tanggung jawabnya terhadap keluarga.
6. Kurangnya komunikasi dan Rasa bosan. Hal ini akan timbul
dalam sebuah hubungan jika tidak didasarkan atas cinta yang
dalam dan mulai timbul rasa jenuh. Rasa bosan adalah sifat
manusia yang sewajarnya dalam suatu apapun akan tetapi rasa
bosan itu akan timbul kepada diri kita ketika ketidak nyamanan
dan tak ada suatu yang baru yakni yang memberikan kegembiraan
dalam kehidupan keluarga.20
7. Suami menganggap istrinya tersebut tidak lagi menarik atau
sudah tua atau sakit-sakitan dan tidak dapat memenuhi seleranya
sehingga dia enggan untuk memenuhi kebutuhan istrinya.
8. Tidak tertarik lagi kepada istrinya karena istrinya kurang
memperhatikan perawatan fisik. Menurut Abū farāj “perempan
mempunyai kedudukan tertentu disisi suaminya setelah sempurna
penciptaannya yakni untuk memperindah parasnya, dan selalu
berhias untuk suaminya”. Cinta memang tidak memandang usia
antara suami dan istri, akan tetapi ada yang perlu diperhatikan
karena secara biologis perempuan itu akan terlihat tua ketika
melahirkan oleh karena itu hendaklah bagi si istri untuk berbenah
diri dalam penampilan agar dapat menarik pandangan suaminya.
9. Emosi yang tidak stabil karena tekanan di luar keluarga. Selaku
makhluk sosial dalam bermasyarakat itu memiliki konsekuensi,
19
Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 1997), h. 45.
20
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam (Palu: Yayasan
masyarakat Indonesia Baru, 2013), h. 127.

9
ada yang suka dan tidak, antara satu keluarga dengan keluarga
lain, oleh karena itu keluarga harus bisa mengendalikan keluarga
supaya tidak terbawa tekanan dari luar.
10. Istri kurang berusaha melakukan hal-hal yang disukai suaminya.
Ia cenderung berbuat sesuatu tampa mengindahkan perasaan
suami.
11. Karena pengaruh kebiasaannya yang buruk dalam pergaulan di
luar rumah tangga misalnya kebiasaan main judi, minum-
minuman keras dan melakukan akhlak buruk lainnya. Dalam hal
ini islam telah mengajarkan sebelum memilih pasangan harus
dilihat dari sejauh mana istri maupun suami itu taat kepada
agamanya agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.

Relasi Suami Istri dalam Keluarga


Keluarga adalah komunitas terkecil dalam struktur masyarakat,
di dalamnya terdapat suami, istri dan anak-anak. Masing-masing dari
mereka memiliki peranan yang berbeda dalam upaya mewujudkan
sebuah keluarga yang sakinah. Pembinaan keluarga di awali oleh
sebuah janji yang sangat kuat yang disebut “akad” nikah, yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ketika
keduanya memiliki seorang anak, maka perannya bertambah sebagai
seorang ayah dan ibu.21
Agama Islam sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Ini
merupakan suatu elaborasi dari perwujudan nilai-nilai tersebut adalah
pengakuan yang tulus terhadap kesetaraan dan kesatuan sesama
manusia, melalui relasi yang baik antara laki-laki dan perempuan, atau
sebagai suami dan istri dalam keluarga, sebagaimana terdapat dalam al-
Qur’an;
‫َٰٓيَأُّيَها ٱلَّناُس ٱَّتُقوْا َر َّبُك ُم ٱَّلِذ ي َخ َلَقُك م ِّم ن َّنۡف ٖس َٰو ِح َد ٖة َو َخ َل َق ِم ۡن َه ا َز ۡو َجَه ا‬
‫َو َبَّث ِم ۡن ُهَم ا ِر َج ااٗل َك ِثيٗر ا َو ِنَس ٓاۚٗء َو ٱَّتُقوْا ٱَهَّلل ٱَّل ِذ ي َتَس ٓاَء ُلوَن ِبِهۦ َو ٱَأۡلۡر َح اَۚم‬
١ ‫ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع َلۡي ُك ۡم َر ِقيٗب ا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
21
Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an; Peran Perempuan dalam Keluarga,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009), Cet. 2, h. 133.

10
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. Al-
Nisā’: 1).
Pembagian peran maupun tugas rumah tangga yang adil antara
suami dan istri terkadang masih terpengaruhi cara pandang masyarakat
mengenai peran gender yang cenderung memposisikan perempuan
dalam peran domestik. Karenanya dalam rumah tangga selalu ada
kemungkinan munculnya ‘keretakan’ dalam hubungan pernikahan.
Keadaan seperti ini dapat merusak kemaslahatan di antara suami dan
istri, jika terdapat konflik antara suami dan istri yang tak dapat teratasi,
akan mengakibatkan percekcokan, pengabaian sikap secara sepihak,
dan bahkan sampai pada perceraian.22
Jika kita melihat sejenak pada surah al-Hujurat ayat 13;
‫ۡل َٰن ُك ۡم ُش وٗب ا َق ٓا َت ا ُف ْۚا‬
‫ُع َو َب ِئ َل ِل َع َر ٓو‬ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱلَّناُس ِإَّنا َخ َلۡق َٰن ُك م ِّم ن َذ َك ٖر َو ُأنَثٰى َو َجَع‬
١٣ ‫ر‬ٞ‫ِإَّن َأۡك َر َم ُك ۡم ِع نَد ٱِهَّلل َأۡت َقٰى ُك ۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل َع ِليٌم َخ ِبي‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs.
Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas, maka kita akan disuguhkan tujuan dari
penciptaan manusia yang dalam keadaan beraneka ragam, baik jenis
kelamin, suku, dan juga bangsa. Hal ini diperuntukan agar manusia
saling mengenal dan juga saling memahami. Memahami akan adanya
perbedaan, dan hal ini akan membuat manusia saling menghormati dan
menghargai sebagai sesama makhluk hidup. Begitu juga tentang posisi
perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, sebagai seorang
muslimah yang memiliki kedudukan dan peran sederajat sebagai
partner bagi suaminya, maka istri tidak disubordinasikan atau suami
menganggap dirinya lebih superior daripada istri.23
Ayat mengenai Nusyuz
Sejauh pencarian penulis, ayat yang berkaitan tentang nusyuz ada 2;
No Nama Surah Ayat
22
Dyah Purbasari, “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami
Istri Jawa”, Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no, 1, Februari 2015, h. 1-14.
23
S. Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Megawati
Institute, 2014), h. 32.

11
dan Nomor
‫ٱلِّر َج اُل َقَّٰو ُم وَن َع َلى ٱلِّنَس ٓاِء ِبَم ا َفَّض َل ٱُهَّلل َبۡع َض ُهۡم َع َلٰى‬
‫ت‬ٞ ‫َبۡع ٖض َو ِبَم ٓا َأنَفُق وْا ِم ۡن َأۡم َٰو ِلِهۚۡم َفٱلَّٰص ِلَٰح ُت َٰق ِنَٰت ٌت َٰح ِفَٰظ‬
‫ِّلۡل َغ ۡي ِب ِبَم ا َح ِف َظ ٱُۚهَّلل َو ٱَّٰل ِتي َتَخ اُفوَن ُنُش وَزُهَّن َفِع ُظ وُهَّن‬
1.
Qs. Al-Nisā’: ‫َو ٱۡه ُج ُروُهَّن ِفي ٱۡل َم َض اِج ِع َو ٱۡض ِر ُبوُهَّۖن َف ِإۡن َأَطۡع َنُك ۡم َفاَل‬
34. ٣٤ ‫َتۡب ُغ وْا َع َلۡي ِهَّن َس ِبيۗاًل ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِلّٗي ا َك ِبيٗر ا‬

‫َو ِإِن ٱۡم َر َأٌة َخ اَفۡت ِم ۢن َبۡع ِلَه ا ُنُش وًز ا َأۡو ِإۡع َر اٗض ا َفاَل ُج َن اَح‬
Qs. Al-Nisā’: ‫ر َو ُأۡح ِض َر ِت‬ٞۗ ‫َع َلۡي ِهَم ٓا َأن ُيۡص ِلَح ا َبۡي َنُهَم ا ُص ۡل ٗح ۚا َو ٱلُّص ۡل ُح َخ ۡي‬
2.
128. ‫ٱَأۡلنُفُس ٱلُّش َّۚح َو ِإن ُتۡح ِس ُنوْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبَم ا َتۡع َم ُل وَن‬
١٢٨ ‫َخبِيٗر ا‬

Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Nisā’: 34.


‫َّٰل‬
Firman Allah: ‫'“ َو ٱ ِتي َتَخ اُفوَن ُنُش وَز ُهَّن‬Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka” Yaitu,
wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusy'uznya kepada suami
mereka. An-Nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang
nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suaminya dengan
meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Kapan saja
tanda-tanda nusyuz itu timbul, maka nasehatilah dia dan takut-
takutilah dengan siksa Allah, jika maksiat kepada suaminya. Karena
Allah telah mewajibkan hak suami atas isteri, dengan ketaatan isteri
kepada suami, serta mengharamkan maksiat kepadanya, karena
keutamaan dan kelebihan yang dimiliki suami atas istri.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata
Rasulullah bersabda: “apabila seorang suami mengajak istri ke
pembaringan, lalu ia tidak mau, maka para malaikat akan
melaknatnya sampai pagi.” (HR. Muslim).
Sedangkan firman Allah ‫“ َو ٱۡه ُج ُروُهَّن ِفي ٱۡل َم َض اِج ِع‬dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” Ali bin Abi Thalhah
menceritakan dari Ibnu Abbas: “al-Hajru yaitu tidak menjima’
(menyetubuhi) dan tidak tidur dengan dia di atas pembaringannya,
serta membelakanginya.” Sedangkan pada pendapat ulama yang lain

12
seperti Ikrimah dan Ibnu Abbas dalam satu riwayatnya
menambahkan: “tidak berbicara dan tidak bercengkrama.” Ibnu
Abbas: “hendaklah ia nesehari, jika ia terima. Jika tidak, hendaklah ia
pisahkan tempat tidurnya dan tidak berbicara dengannya tnpa terjadi
perceraian. Dan hal tersebut sudah pasti memberatkannya.”
Firman Allah ‫“ َو ٱۡض ِر ُبوُهَّۖن‬pukullah mereka”, yaitu, jika nsehat
dan pisah tempat tidur tidak menggeretaknya, maka kalian boleh
memukulnya dengan tidak melukai, sebagaimana hadis dalam shahih
Muslim dari Jabir bahwa Nabi bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah
tentang wanita, sesungguhnya mereka adalah pendamping kalian,
kalian mempunyai hak terhadap mereka. Yaitu, mereka tidak boleh
membiarkm seorangpun yang kalian benci menginjak hamparan
kalian (masuk ke rumah kalian). Jika mereka melakukannya,
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan mereka
memiliki hak untuk mendapatkan rizki dan pakaian dangan cara yang
ma'ruf."
Ibnu ‘Abbas dan ulama-ulama lain berkata: "Yaitu pukulan
yang tidak melukai.” Al-Hasan al-Bashri berkata: “Yaitu, (pukulan
yang) tidak meninggalkan bekas." Para fuqaha berkata: "Yaitu tidak
melukai anggota badan dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun.”
Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu Abbas: “Yaitu,
memisahkannya dari tempat tidur, jika ia terima. Jika tidak tidak
juga, Allah mengizinkanmu untuk mukulnya, dengan pukulan yamg
tidak mencederai dan tidak melukai tulang, jika ia terima.”
Sufyan bin Uyainah mengatakan dari Iyaz bin Abdullah bin
Abu Dzu-ab, ia berkata, Nabi bersabda: “Janganlah kalian memukul
istri-istri kalian.” Lalu datanglah Umar dh kepada Rasulullah dan
berkata: "Para wanita mulai membangkang kepada para suaminya.
Maka Rasulullah memberikan rukhshah (keringanan hukum) muuk
memukul mereka.24
Tafsir Ibnu Katsir surah An-Nisā: 128.
Allah Swt. mengabarkan dan mensyari’atkan ketetapan
hukum-hukumNya, menyangkut berbagai kondisi suami istri.
Terkadang, adanya kondisi ketidaksukaan suami terhadap istri,
terkadang akurnya suami bersama isteri, dan terkadang kondisi
bercerainya suami dengan isteri. Kondisi yang pertama adalah jika
seorang isteri khawatir suaminya enggan dan berpaling darinya, maka

24
Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka
Imam asy-Syafi’I, 2001), jil. 2, hl 299-300.

13
isteri boleh menggugurkan seluruh atau sebagian haknya seperti
nafkah, pakaian, atau waktu bermalamnya dan lain-lain, dan suami
boleh menerimanya. Maka tidak mengapa istri mendermakan hak
tersebut dan suami menerimanya, untuk itu Allah Swt. berfirman,
( ‫“ )َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ِهَم ٓا َأن ُيۡص ِلَح ا َبۡي َنُهَم ا ُص ۡل ٗح ۚا‬Maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarbenamya”.
Kemudian Allah Swt. berfirman, ( ‫ر‬ٞۗ ‫“ )َو ٱلُّص ۡل ُح َخ ۡي‬Dan perdamaian itu
lebih baik. Yaitu perceraian. Firman-Nya, ( ‫)َو ُأۡح ِض َر ِت ٱَأۡلنُفُس ٱلُّش َّۚح‬
“Walaupun manusia itu pada tabiatnya kikir”. Yaitu, perdamaian
lebih baik dari pada perceraian. Untuk itu, ketika Saudah binti
Zum’ah mulai tua, Rasulullah berkehendak menceraikannya, lalu
Saudah berdamai dengan beliau untuk tetap mempertahankannya dan
menyerahkan gilirannya kepada Aisyah, beliau pun menerima hal
tersebut dan tetap mempertahankannya.
Al-Bukhari meriwayarkan, dari 'Aisyah, ayat ini;
‫َو ِإِن ٱۡم َر َأٌة َخاَفۡت ِم ۢن َبۡع ِلَها ُنُش وًز ا َأۡو ِإۡع َر اٗض ا‬
“Jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya,” ia berkata, yaitu seorang laki-laki yang
mempunyai istri yang sudah tua dan tidak lagi berproduksi, ia
bermaksud menceraikan, lalu wanita itu berkata, aku jadikan gilinnku
bebas untukmu, maka turunlah ayat ini. Demikian pula yang
ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, Ubaidah as-Salmani, Mujahid, asy-
Sya'bi, Sa'id bin Jubair, ‘Atha, ‘Athiyah al-Aufi, Makhul, al-Hasan,
al-Hakam bin 'Utbah, Qatadah dan banyak ulama Salaf dan para
Imam. Aku (Ibnu Katsir) tidak mengetahui ada perbedaan pendapat
bahwa yang dimaksud ayat ini adalah demikian. Wallahu a'lam.
Asy-Syafi'i mengatakan dari Ibnu al-Musayyab, bahwa putri
Muhammad bin Muslim memiliki suami yaitu Rafi’ bin Khudaij yang
membenci sesuatu hal darinya, entah karena tua atau karena lainnya,
lalu ia bermaksud menceraikannya. Putri Muhammad Itu berkata,
jangan engkau ceraikan aku dan berikanlah giliranku sesuai
kemauanmu, lalu Allah & turunkan ayat tersebut “jika seorang istri
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (Al-
Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak dengan kalimat yang
lebih panjang).
Kemudian firman-Nya, ( ‫ر‬ٞۗ ‫“ )َو ٱلُّص ۡل ُح َخ ۡي‬dan perdamaian itu
lebih baik.” ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dan' Ibnu 'Abbas,
“Yaitu memberikan pilihan, maksudnya, seorang suami menawarkan

14
pilihan antara bertahan atau bercerai, hal itu lebih baik daripada terus
menerus mementingkan dan mendahulukan istrinya yang lain.
Zhahir dari ayat tersebut adalah bahwa perdamaian keduanya,
yaitu dengan si istri memberikan sebagian haknya kepada suami dan
suami menerima hak tersebut maka hal itu lebih baik dari pada
perceraian secara mutlak. Sebagaimana Nabi Saw. mempertahankan
Saudah binti Zum’ah dengan memberikan gilirannya kepada Aisyah.
Beliau tidak menceraikannya, akan tetapi beliau mempertahankannya
menjadi bagian istrinya. Perbuatan beliau itu agar ditauladani oleh
umatnya dalam syari’at tersebut dan kebolehannya. Hal itu lebih utama
pada hak Nabi Saw. dan karena kesepakatan itu lebih dicintai Allah
Swt. Dari pada perceraian.
FimanNya, ‫ِيٗر ا‬P‫“ َو ِإن ُتۡح ِس ُنوْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبَم ا َتۡع َم ُل وَن َخب‬Dan
jika kamu bergaul secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh maka sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Yaitu, jika kalian menanggung
beratnya kesabaran atas kebencian kalian kepada mereka dan kalian
berikan malam mereka seperti yang lain, maka sesungguhnya Allah
Mahamengetahui semua itu dan akan membalas kalian dengan balasan
yang melimpah.25

Pendidikan Seorang Suami dalam Keluarga

25
Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka
Imam asy-Syafi’I, 2001), jil. 2, h. 420-423.

15
16
Pendidikan Hukum Keluarga
Nusyȗz sebagai Problematika dalam Keluarga
Islam juga menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing
pasangan. Islam memperingatkan mereka dari segala hal yang dapat
memperkeruh keharmonisan hubungan suami istri, juga berusaha
menjaganya dan memperbaikinya. Tujuan Islam dari semua itu adalah
menyingkirkan semua yang dapat mengancamkan kehidupan suami
istri. Meski demikian, masih ditemukan perselisihan di antara suami
istri yang dapat berimbas terhadap anak-anak.
Kewajiban suami istri pada dasarnya menjadikan segala
perselisihan sebagai sarana untuk membangun dan mengintropeksi diri
kedua belah pihak yakni suami dan istri, bukan untuk menghancurkan
keluarga. Problem sesaat harus dimanfaatkan sebagai pemersatu dan
membuat kesepahaman antara suami istri, yang pada akhirnya makin
menigkatkan cinta dan kasih sayang diantara keduannya.26
Problematika yang terjadi dalam hubungan suami istri dapat
diibaratkan sebagai bunga-bunga dalam kehidupan rumah tangga
dalam mempererat hubungan. Dalam hal ini hubungan pernikahan,
keduanya harus bisa mengenal karakter kepribadian masing-masing,
maka wajarlah jikalau ada perselisihan. Hal ini kembali kepada ayat
sebelumnya yakni Qs. Al-Hujurat ayat 13.
Maka Nusyūz sesuatu yang tak dapat dipisahkan dari hak-hak
kewajiban bagi pasangan keduanya, jikalau ada ganguan keharmonisan
dalam keluarga maka salah satu diantara suami dan istri ada yang tidak
memenuhi hak dan kewajibnya, baik secara rohani dan jasamini. laki-
laki (suami) sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang harus bisa
mengerti semua keadaan dan membimbing, berkomunikasi dengan istri
dan anaknya. Ketika semua terabaikan maka akan menghantui nusyūz
suami dalam keluarga dan itu merupakan problem yang sangat besar
dalam rumah tangga.27
Pendekatan Maqāshid al-Syarī’ah pada kasus Nusyuz
Prilaku nusyuz yang dilakukan oleh suami seperti ini dapat
merusak kemaslahatan di antara hubungan sebagai suami dan istri, jika
terdapat konflik antara keduanya yang tak dapat teratasi, akan

26
Abdul Qādir Jailānȋ, Keluarga Sakinah (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 41.
27
Alȋ Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf &
Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?; Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika
Rumah Tangga, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 156.

17
mengakibatkan percekcokan, pengabaian sikap secara sepihak, dan
bahkan sampai pada perceraian.28
Maka dari persoalan nusyuz ini apabila tidak ada kecocokan
dalam hal perdamain, perceraian yang dipilih. Walaupun perceraian
merupakan hal yang dibolehkan tetapi juga tidak disenangi oleh Allah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitabnya
disebutkan:

‫حدثنا كثري بن عبيد حدثنا حممد بن خالد عن معرف بن واصل عن حمارب بن دثار‬
‫عن الابن عمر عن النيب صلى اهلل عليه وس لم ق ال أبغض احلالل عند اهلل تعاىل‬
)‫الطالق) رواه ايب داود‬
Telah diceritakan kepada kami Katsir bin Ubaidah telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Mu’arrif bin
Washil dari Muharib bin Datsir dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda: “perkara halal yang paling benci
adalah thalaq/pereraian.” HR. Abu Daud, no. 1863.
Pada dasarnya talak itu dihalalkan menurut dalil, akan tetapi
dibenci oleh Allah, bukan talaknya yang dibenci melainkan penyeban-
penyebab yang menjerumuskan kearah talak, seperti hubungan suami
istri yang buruk, banyaknya percekcokan, dan juga melepaskan
kewajiban sebagai suami dan istri.
Posisi Maqashid al-Syarī’ah pada kaitanya menolak perbuatan
nusyuz yang dilakukan oleh suami. Menolak untuk menjaga
kemaslahatan keluarga. Pada hal ini menyangkut term tahsīniāt.
Sebagimana telah dijelaskan di atas tahsīniāt adalah sesuatu yang
diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan.
Dalam pengertian yang lain, yakni kemaslahatan yang merujuk kepada
moral dan etika, juga semua hal yang bisa menyampaikan seseorang
menuju muru’ah dan berjalan di atas metode yang lebih utama dan
jalan yang lebih baik.29
Kemaslahatan yang ingin dicapai dari terjadinya penolakan
perbuatan nusyuz, yakni menjaga keturuan (hifzh an-nasl). Apabila
perceraian terjadi akibat nusyuz ini, maka anak akan mejadi korban
dari perceraian kedua orang tuanya. Sehingga apabila ayah bercerai, ia
28
Dyah Purbasari, “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami
Istri Jawa”, Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no, 1, Februari 2015, h. 1-14.
29
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: AMZAH, 2013),
Cet. Ke-3, h. xvi.

18
akan kehilang roll mode/figure dari ayah. Seorang ibu belum tentu bisa
menggantikan figur seorang ayah, ataupun sebaliknya.
Penyelesaian Nusyuz suami dalam al-Qur’an
Jika terjadi sikap egois terus menerus ditunjukan oleh suami
terhadap keluarganya yang ingin menang sendiri, maka Islam
memberikan tahapan dalam hal nusyūz, bukan hanya dari pihak
perempuan saja, tetapi syara’ memperdalam tentang menangani nusyūz
dari pihak suami, agar bisa membantu keduanya dan melakukan
intervensi guna proses perdamaian bagi kedua pasangan tersebut, maka
Allah jelaskan arah bagi seorang istri untuk bisa keluar dari semua itu
dengan seadil-adilnya tanpa adanya kedzaliman apapun baik dari pihak
suami atau istri, sebagai berikut:
‫َو ِإِن ٱۡم َر َأٌة َخاَفۡت ِم ۢن َبۡع ِلَها ُنُش وًز ا َأۡو ِإۡع َر اٗض ا َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ِهَم ٓا َأن ُيۡص ِلَح ا َبۡي َنُهَم ا‬
‫ر َو ُأۡح ِض َر ِت ٱَأۡلنُفُس ٱلُّش َّۚح َو ِإن ُتۡح ِس ُنوْا َو َتَّتُقوْا َفِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبَم ا‬ٞۗ ‫ُص ۡل ٗح ۚا َو ٱلُّص ۡل ُح َخ ۡي‬
١٢٨ ‫َتۡع َم ُلوَن َخ بِيٗر ا‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Qs. Al-Nisā’: 128).
Pertama, menasehati. Langkah yang pertama ini adalah hal
serupa yang Allah terapkan ketika nusyūz-nya istri, dalam hal ini ketika
nusyūz-nya suami, istri mendekatinya secara perlahan-lahan kemudian
barulah si istri berkomunikasi atau menasihati terhadap suaminya tanpa
menuduh bahwa si suaminya telah mengabaikan tangung jawabnya,
kemudian istri memulai pembicaraannya dengan memperingatkan
suami dengan ancaman Allah yang mengabaikan tanggung jawab,
kemudian mengingatkan istri pada sesuatu yang layak dan patut dan
menyebutkan dampak-dampak dari nusyūz.
Kedua, berdamai. Langkah yang kedua ini adalah tahapan
setelah seorang istri memberikan nasihat kepada suami, namun suami
tidak sadar/menggubris dan selalu mengabaikan keluarganya. Maka
tindakan istri dengan cara berdamai adalah merelakan dengan
mengurangi jatah hak-hak seorang istri terhadap suami, yang dalam hal
ini bertujuan agar suami sadar terhadap tindakannya.

19
Ketiga, adanya penengah. Ketika keadaan yang tak semakin
mendukung setelah melakukan beberapa tahapan dengan timbulnya
rasa jenuh istri terhadap suami dan perselisihan semakin berlarut dalam
rumah tangga, maka solusi terakhir yaitu mendatangkan hakim. Hakim
disini adalah penengah dari pihak suami dan istri untuk dibicarakan
masalahnya, yakni bagaimana caranya unutk mendatangkan perdamain,
baik hubungan dilanjutkan atau tidak (bercerai). Sebagaimana terdapat
dalam al-Qur’an:
‫َو ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم ِش َقاَق َبۡي ِنِهَم ا َفٱۡب َع ُثوْا َح َك ٗم ا ِّم ۡن َأۡه ِلِهۦ َو َح َك ٗم ا ِّم ۡن َأۡه ِلَه ٓا ِإن ُيِر يَدٓا ِإۡص َٰل ٗح ا‬
٣٥ ‫ُيَو ِّفِق ٱُهَّلل َبۡي َنُهَم ۗٓا ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًم ا َخ ِبيٗر ا‬
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Qs. Al-Nisā’: 35).
C. PENUTUP
Tidak ada hubungan dalam keluarga yang selalu ademayem atau
tenang, sehingga diistilahkan bahtera. Batera yang berada dilautan
diterpa oleh obak. Sehingga masalah yang muncul dalam keluarga
bukan untuk dihindari tetapi bagaimana suami dan istri menghadapi
dan mengatasi masalah tersebut.
Ketika suami merasa bahwa dirinya superior dan istri haus
tunduk kepadanya tetapi mengabaikan kewajibanya suami terhadap
keluarga, maka ini merupakan salah satu keretakan hubungan. Terlebih
ketika suami bermain dibelakang, atau terjadinya pelakor oleh
perempuan lain.
Ketika nusyuz terjadi dikhawatirkan perceraian akan menghantui
bagi kedua belahpihak. Maka sebenarnya maqashid al-Syari’ah tidak
membenarkan tindakan nusyuz, demi terjaganya keutuhan keluarga
terkhusus pada anak. Ia akan kehilangan roll model pada diri ayah
dalam pekembangan pendidikan anak.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Amili, Alȋ Husain Muhammad Makki. Penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf &
Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?; Bimbingan Islam Dalam
Mengatasi Problematika Rumah Tangga. Jakarta: Lentera, 2001.
Ayūb, Syeikh Hasān. As-Sulūk al-Ijtimâ’i fi al-Islām. Lebanon: Dar al-Fikr.
Al-Ayubi, Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud. Maqāshid al-Syarī’ah al-
Islāmiyah. Riyadh: Dār al-Ḥijrah, 1998.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.
Al-Hayali, Ra’d Kamil. Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan
Sunnah. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.
https://m.detik.com/news/berita/3668530/80-persen-janda-baru-di-bekasi-dipicu-
whatsapp-dan-medsos diakses pada tanggal 2 Mei 2018, pukul 18:40
wib, Bekasi.
Jailānȋ, Abdul Qādir. Keluarga Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta: AMZAH, 2013.
Katsir, Ibnu. Terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafi’I, 2001.
Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an; Peran Perempuan dalam Keluarga.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009.
Al-Khadimi, Nur al-Din bin Mukhtar. Ilmu Maqāshid al-Syarī’ah. Riyadh:
Maktabah al-‘Ubaikān, 2001.
Al-Mashri, Syekh Mahmud. Perkawinan Idaman. Jakarta : Qisthi Press, 2015.
Muhaimin, Abd. Wahab dan Abd. Komplasi jurnal ahkam Fakultas Syari’ah dan
Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta: UIN syarif Hidayatullah Jakarta,
1998.
Mulia, S. Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014.
Purbasari, Dyah. “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami
Istri Jawa”, Jurnal Penelitian Humaniora: volume 16 no. 1. 3 Februari 2015.
Rahmat, Jalaluddin. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta:
Paramadina, 1995.

21
Selamat, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga
(PanduanPerkawinan). Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
As-Suyūtȋ, Jalāluddin al-Mahālli, dan Jalāluddin. Penerjemah Bahrun Abū Bakar.
Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbābun Nuzūl. Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006.
Al-Syātiby, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syari’ah (Kairo: ?)
Thabāthabā’ȋ, Sayyid Muhammad Husain. Al-Mizān fi tafsȋr al-Qur’ān. Beirut:
Libanon, 1998.
Thalib, Muhammmad. 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri. Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1997.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Hukum Keluarga Dalam Islam. Palu: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai