PERUNDANG-UNDANGAN
Disusun oleh :
Kelompok 10
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan .................................. 3
B. Materi Muatan Peraturan Presiden ....................................................... 6
C. Materi Muatan Peraturan Daerah ......................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 9
B. Saran ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang karir Negara Indonesia memberikan sumbangsih
terbesar kepada rakyatnya dengan melindungi mereka dengan segenap bangsa
dan tanah air, itu seperti lagu kebangsaan nasional kita. Melihat situasi dan
kondisi yang sekarang mulai tak terkendali membuat semuanya apa yang
sebenarnya berada diposisi mereka menjadi mengambil bagian bagi yang lain.
Tak terelakkan perkembangan di seluruh sector kehidupan memerlukan
sebuah alat ukur yang dapat menjadi garis pembatas supaya tidak melampaui
zona merah. Alat ukur tersebut harus dapat melalui uji kelayakan supaya dapat
diterapkan dan berguna kemanfaatannya. Dengan demikian dapat diketahui
kualitas dari alat ukur itu sendiri baik ataukah buruk.
Berbicara tentang alat ukur, hal itu menjadi patokan untuk
mengetahui apakah sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan atau tidak dapat
untuk dilakukan. Dari pengertian mengenai “Indonesia merupakan Negara
hukum” yang tertuang dalam konstitusi kita memberikan semangat tentang
diperlukannya peraturan hukum untuk mengatur aktivitas kehidupan
bernegara. Karena tidak dapat dicapainya cita-cita pancasila jika masyarakat
hidup tanpa peraturan yang mengaturnya sehingga akan menimbulkan
kekacauan manusia akan berbuat semaunya tanpa memikirkan hasil buruk apa
yang akan berdampak pada seseorang, sekelompok orang, atau orang banyak.
Hukum dibentuk dan dibuat untuk mengontrol segala aktivitas dalam
kehidupan bernegara.
Di Indonesia, peraturan hukum dibuat oleh lembaga atau pejabat
Negara yang berwenang yang disebut sebagai badan Legislatif yang
merupakan lembaga politik. Yang mana tugasnya adalah membuat Undang-
Undang (peraturan perundang-undangan). Ada banyak peraturan hukum yang
dibuat gunanya untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat maupun bernegara, karena adanya berbagai peraturan hukum
menjadikan adanya pembedaan antara peraturan-peraturan hukum tersebut.
1
B. Rumusan Masalah
1. Materi Muatan peraturan Perundang-undangan ?
2. Materi Muatan peraturan Presiden ?
3. Materi Muatan peraturan Daerah ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945,
b) Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU,
c) Pengesahan perjanjian internasional tertentu,
d) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan
e) Pemenuhan kebutuhan hokum dalam masyarakat.
Pasal 10 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 menetapkan, tindak lanjut atas
putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimanayang dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan oleh DPR atau Presiden.2
2. Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan bahwa materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sama dengan
materi muatan Undang-Undang.
3. Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan bahwa materi muatan
Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.
4. Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan bahwa materi muatan
Peraturan Presiden (Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh UU,
materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk menyelenggarakan
kekuasaan Pemerintah.
5. Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 merumuskan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih inggi.
6. Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 menggaris bawahi bahwa materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU, Peraturan
daerah Provinsi, atau Peraturan daerah Kabupaten atau Kota.
Meurut Fitzgerald bahwa Salah satu sifat yang melekat pada perundang-
undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan
peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera
2
Astawa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, (Bandung :
Pustaka Setia, 2008), Hlm. 37
4
scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan
sesuatu idea atau pikiran. Sehubungan dengan hal yang disebut belakangan ini
orangpun suka menyebut tentang adanya “semangat”dari suatu Peraturan. Oleh
karena itu, usaha untuk menggali semangat yang demikian itu merupakan bagian
dari keharusan yang melekat pada hukum perundang-undangan dan yang tidak
diperlukan pada hukum kebiasaan. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan
pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi
ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka
mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau
bentuk otoritatif itu.3
Keadaan yang ideal sebetulnya adalah manakala interpretasi tersebut tidak
diperlukan atau sangat kecil peranannya. Ia bisa tercapai apabila perundang-
undangan itu bisa dituangkan dalam bentuk yang jelas. Mengenai ukuran
kejelasan ini Montesquieu mengajukan persyaratan sebagai berikut :
1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana.
Ini mengandung arti, bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-
ungkapan kebesaran (grandiose) danretorik hanyalah mubasir dan
menyesatkan. Istilah-istilah yang dipilih hendaknya sejauh mungkin
bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga dengan demikian membuka
sedikit mungkin perbedaan pendapat individual.
2. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata
dan actual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan
hipotesis.
3. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh karena ia
ditujukan untuk orang-orang yang kecerdasan tengah-tengah saja.
Peraturan itu bukan latihan dalam penggunaan logika, mealinkan hanyalah
penalaran sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
4. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan
atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
3
Ekatjahjana, Pengujian Perundang-undangan dan Sistem Peradilannya di Indonesia,
(Jakarta : Pustaka Sutra, 2008), Hlm. 41
5
5. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; adalah berbahaya untuk
memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh karena yang
demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan pendapat.
6. Akhirnya, diatas semuanya, ia harus dipertimbangkan dengan penuh
kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia
mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan
serta la nature des choses. Peraturan-peraturan yang lemah yang tidak
perlu dan tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati
perundang-undangan dan menghancurkan otoritas Negara.
Menyikapi hal tersebut, peraturan perundang-undangan ditujukan kepada
masyarakat yang tingkat pemahaman bahasa hukumnya rendah oleh karena itu
dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan dipergunakan bahasa
yang sederhana yang mudah dimengerti oleh masyarakat, menggunakan kata yang
lugas sehingga tidak ditemukan banyak persepsi dari berbagai pihak. Menurut
Prof. Satjipto “Maksim expressum facit cassare tacitum”, yaitu bahwa kata-kata
yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu
perundang-undangan.
Melihat dari isi materi muatan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut tergantung pada bidangnya masing-masing meskipun peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya rendah berpatokan pada peraturan
peundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam peraturan
perundang-undangan terdapat asas-asas yang terdapat dalam pasal-pasalnya.
Asas-asas tersebut juga mencerminkan dari visi misi terhadap dibentuknya
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
B. Materi Muatan Peraturan Presiden
Pasal 13 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dalam hal ini Peraturan presiden
menyelenggarakan :
1. Pengaturan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintah Negara
6
sebagai atribusi Pasal 4 ayat 1 UUD 1945,
2. Pengaturan lebih lanjut perintah undang undang baik secara tegas maupun
tidak tegas diperintahkan pembentukannya, dan
3. Pengaturan lebih lanjut perintah Peraturan Pemerintah baik secara tegas
maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.4
7
5. Ketentuan penutup.
Materi muatan peraturan daerah dapat mengatur adanya ketentuan pidana.
Namun, berdasarkan pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang menjadi
materi muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan
pidana berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda
maksimal Rp. 50.000.000,00.
Adapun Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah, yaitu Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah
(gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah
disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda DPRD yang muntah dan
Gubernur atau Bupati atau Wali kota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada
Gubernur atau Bupati atau Wali kota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka
waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut
disahkan oleh Gubernur atau Bupati atau Wali kota dengan menandatangani
dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Wali kota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut
disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati atau Wali kota,
maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan. Adapun
Peraturan Daerah menyelenggarakan pengaturan hal hal yang berkenaan yaitu :
1. otonomi daerah provinsi kabupaten kota dan tugas pembantuan
2. penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing masing daerah
3. tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi
4. belum diatur oleh Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi5
5
Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung : Mandar
Maju, 1998), Hlm. 54
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
peraturan perundang-undangan merupakan penerapan ide yang dipikirkan oleh
si pembuat undang-undang dalam bentuk hukum tertulis yang tujuan
pembentukannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan
bernegara yang mana isi daripada peraturan perundang-undangan tersebut
tidak lain membahas mengenai ruang lingkup dari tujuan dibentuknya
peraturan perundang-undangan tersebut.
9
DAFTAR PUSTAKA