Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ANALISIS PENYELESAIAN KASUS MESUM PADA ADAT


GAMPONG DENGAN ATURAN QANUN (KAJIAN KASUS DI
BANDA ACEH)

Disusun oleh:
Farah Adinda Salma
3020210220
Dosen Pengampu: Wibisono Oedoyo, S.H., M.H.

UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS HUKUM
2022
DAFTAR ISI

BAB I....................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN................................................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................................... 4
1.3 Metode Penelitian............................................................................................................................... 4
BAB II...................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN.................................................................................................................................... 5
2.1 Penyelesaian Kasus Khalwat (mesum) Pada Adat Gampong........................................5
2.2 Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).........6
BAB III.................................................................................................................................................... 8
PENUTUP.............................................................................................................................................. 8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................................ 8
3.2 Saran......................................................................................................................................................... 8

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu
tempat tinggal, wilayah, suatu lingkungan hidup tertentu, memiliki kekayaan dan
pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok dan memiliki tata aturan
atau sistem hukum dan pemerintahan. Di dalam kebiasaan adat masyarakat Aceh
dalam menangani berbagai permasalahan dilakukan secara Peradilan adat. Hukum
adat peradilan merupakan sekumpulan aturan-aturan hukum adat yang mengatur
bentuk penyelesaian suatu permasalahan atau sengketa untuk mendapatkan suatu
keputusan hukum berdasarkan ketentuan hukum adat dan proses penyelesaian dan
penetapan atas putusan perkara tersebut ditempuh melalui peradilan adat. Peradilan
adat dibentuk dengan bertujuan untuk menyelesaikan masalag dan memutuskan serta
memberikan perdamaian kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Mesum (khalwat) merupakan tindakan yang dilakukan oleh dua orang yang
berlawan jenis atau lebih tanpa ikatan perkawinan secara sah (bukan muhrim) yang
dilakukan ditempat sepi untuk melakukan perbuatan kemaksiatan dalam hal seksual
atau berpotensi melakukan perzinahan. Perbuatan khalwat dapat terjadi dimana saja,
bisa jadi pada keramaian seperti mobil atau kendaraan lain yang mana laki-laki dan
perempuan dapat bermesraan berdua tanpa ikatan pernikahan atau bukan muhrim
(Qanun No. 14 Tahun 2003). Maka dari itu perbuatan khalwat tetap ditindak baik
ditempat umum maupun tempat tertutup, dengan ini demi kemaslahatan dan manfaat
pribadi maupun orang lain. Tujuan larangan Khalwat diatur dalam Pasal 3 Qanun No.
14 Tentang Khalwat yang mana sebagai melindungi masyarakat sebisa mungkin dari
tindakan yang mengarah kepada perbuatan zina yang akan merusak kehormatan dan
memberikan perlindungan dari apapun bentuk kegiatan dan/atau tindakan yang
merusak kehormatan dan moral.1
Kasus perbuatan mesum ini terjadi di Gampong Leung Bata, Banda Aceh pada
tahun 2008 yang mana si pelaku X sebagai wanita yang Pemilik kedai atau warung,
dan pelaku Y sebagai wiraswasta. Kasus ini diawali dengan pelaku X dan Y di
tangkap oleh warga setempat karena si pelaku Y hampir setiap malam menginap di
1
Berutu, A. G. (2019). hlmn. 326. Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003
Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota
Subulussalam).

3
kedai X yang mana kedua pelaku tersebut belum ada ikatan sah perkawinan.
Kemudian warga setempat melaporkan kejadian tersebut kepada Hakim Peradilan
Gampong untuk diselesaikan kasus perbuatan mesum ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penyelesaian kasus mesum pada adat Gampong?
2. Bagaimana penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
(mesum)?

1.3 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative atau dengan
penelitian hukum kepustakaan dengan mengumpulkan data serta menganilisis dengan
mengkaitkan dengan teori dasar. Teori dasar yang akan dikaitkan kasus ini adalah
dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum).

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Kasus Khalwat (mesum) Pada Adat Gampong


Pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Aceh didasari nilai- nilai
Islam yang dicerminkan dalam prilaku kehidupan masyarakat sehari-hari. Adapun
tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa yaitu melalui tahapan pelaporan pokok
sengketa, penerimaan laporan oleh aparatur gampong, tahapan persidangan dan
terkahir yaitu tahapan pembacaan putusan dan pemberian sanksi kepada pelaku
dengan mengedepankan konsep musyawarah demi mewujudkan rasa kedamaian,
nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat secara lahir dan bathin.

Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah


provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh. Diatur dalam Pasal 1 ayat (20) Qanun Aceh Nomor 14 mengartikan mesum
sebagai “perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”.

Bentuk penyelesaian kasus ini melihat berdasarkan Peradilan Adat Gampong


Pasal 13 (2) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 bahwa “persengketaan adat dapat
diselesaikan secara bertahap oleh Peradilan Adat Gampong. Pasal 13 (1) huruf d
menyatakan pula bahwa persengketaan yang dapat diselesaikan di antaranya ialah
kasus mesum”.

Dilakukannya Persidangan di Kantor Ketua Pemuda yang dihadiri oleh Ketua


Peradilan Adat Gampong, tuha puet dan Teuku Imueum yang menjadi hakim atau
pendamping untuk perdamaian dalam menyelesaikan sengketa di Gampong beserta
saksi warga setempat yang menangkap pelaku X dan Y. Setelah dilakukan konfirmasi
perbuatan tersebut kepada pelaku maka Majelis Peradilan Gampong setelah
bermusyawarah memberikan keputusan bahwa

5
1. Para pelaku dinyatakan bersalah karena telah mengotori atau mencemari nama
baik gampong Lueng Bata dengan perbuatan mesum yang mereka lakukan.
2. Pelaku diwajibkan untuk memberikan seekor kambing untuk sanksi adat
gampong Lueng Bata.

Akan tetapi bentuk penyelesaian kasus mesum di Peradilan Adata Gampong


belum bersifat final, dikarenakan menurut Ketua Peradilan Adat Gampong bahwa
“Peradilan Adat Gampog tidak mempunyai kewenangan secara final, sehingga apabila
mau diselesaikan melaui Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri masih
dimungkinkan”.

Adapun Aceh Polisi Syari’ah atau Wilayatul Hisbah (WH) yang betugas
sebagai melakukan pengawasan dan pembinaan kepada pelaku yang melanggar
syari’at Islam di Aceh. Dalam Qanun Aceh Pasal 14 (2) Nomor 14 Tahun 2003
tentang Mesum jelas dikatakan bahwa terkait “kewenangan WH dalam melaksanakan
kewenangan pembinaannya bahwa WH yang menemukan pelaku jarimah mesum
dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum
menyerahkannya kepada penyidik (polisi)”. Kemudian pembinaan dilakukan dengan
salah seorang anggota WH Banda Aceh, Ketua peradilan Adat Gampong, dan kedua
orang tua pelaku. Apabila tidak dapat dimusyawarahkan, maka sesuai dengan Pasal
14 ayat (2) dan (3) Qanun Nomor 14 Tahun 2003, pelaku mesum akan diserahkan
kepada penyidik (penyiasat) polisi negara untuk diteruskan kepada Mahkamah
Syari'ah. Kemudian hasil dari bermusyawarah tersebut yaitu kedua pelaku akan
dinikahkan secara sah. 2

2.2 Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat


(Mesum)
Aceh memiliki kewenangan khusus dalam mengatur dan mengurus
pemerintahan serta masyarakatnya demi kesejahteraan seluruh rakyat Aceh dengan
mengikuti pedoman adat dan ajaran-ajaran dalam Islam, hal ini tertuang dalam Pasal 3
dan 6 Undang-Undang No. 44 Tahu 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang menjelaskan bahwa “Daerah diberikan
2
Mansur, T. M. (2012). Penyelesaian Kasus Mesum melalui Peradilan Adat
Gampong di Aceh (Suatu Kajian Kasus di Banda Aceh). Media Syari'ah: Wahana
Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, 14(1), 231-244.

6
kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam” dan
Perubahan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Provinsi Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sudah dapat dikategorikan sebagai peradilan
yang merujuk kepada hukum tertulis.3
Gampong merupakan Desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
pemerintahanya disebut Pemerintahan Gampong yang dipimpin oleh Keuchik.
Keuchik ialah penyelenggara pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah
gampong. Gampong memiliki aturan Qanun yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh
yang tertuang dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong
dan Qanun Nomor 8 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Gampong.
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan
Gampong adalah:
1) Menyelesaikan sengketa adat.
2) Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat.
3) Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya
perbuatan maksiat dalam masyarakat.
4) Bersama dengan Tuha peuet dan Imum Meunasah menjadi hakim
perdamaian.

Mesum atau Khalwat adalah suatu perbuatan yang dilarang dalam Islam serta
berlawanan dengan adat istiadat masyarakat Aceh yang dikarenakan akan
menjerumuskan ke dalam perbuatan zina yang mana melakukan hubungan intim yang
berlawanan jenis diluar perkawinan yang sah. Maka dari itu perbuatan mesum atau
Khalwat tersebut dilarang yang diatur dalam Qanun dengan penerapay Syar’riat Islam
secara kaffah. Larangan Khalwat dibuat sebagai bentuk awal dari perbuatan yang
menjerumus ke dalam zina. Aturan ini tertulis dalam Pasal 4 dan 5 Qanun Nomor 14
Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa “Khalwat/mesum hukumnya haram, dan setiap
orang dilarang melakukan khalwat/mesum”.4
3
Berutu, A. G. (2019). Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003
Tentang Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota
Subulussalam).

4
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam Untuk Remaja, Pelajar
dan Mahasiswa, (Banda Aceh: Dinas Syar’at Islam Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam, 2008). Cet II, hlm. 282

7
Secara hukum positif Indonesia perbuatan mesum juga dilarang dalam Pasal
281 KUHP yang berbunyi “(1) barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar
kesusilaan, (2) barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ
bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan”. Karena hal-hal seperti ini
dikhawatirkan akan memiliki dampak buruk bagi kedua pelaku yang bisa menyangkut
kepada persoalan keluarga. Maka dari itu dibuatlah Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-
Undang No. 11 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa penyelesaian masalah sosial
kemasyarakatn secara adat ditempuh melalui lembaga adat.
Penyelesaian kasus mesum atau khalwat akan diselesaikan secara
kekeluargaan dan dengan adat istiadat yang ada. Setelah pihak Satpol PP dan WH
memberikan teguran dan peringatan kepada para pihak yang melanggar qanun tentang
khalwat tersebut, lalu menyerahkannya kepada geucik (kepala desa) untuk
diselesaikan secara adat dan aturan kampung tersebut, setelah dilakukan proses
hukum adat tapi belum menghasilkan suatu kesepakatan, baru diselesaikan secara
qanun yang berlaku.
Jika dilihat dari kasus diatas, maka hal ini melanggar ketentuan Pasal 2 Qanun
Nomor 14 Tahun 2003 sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan khalwat yang
mengarah kepada perbuatan zina. Jika kasus ini diselesaikan dengan peraturan qanun
yang melarang setiap orang di Aceh berkhalwat, maka si pelaku bisa dijerat dengan
Pasal 22 ayat 1-3 dengan ketentuan sebagai berikut:
- Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqub>at ta’zir> berupa dicambuk paling
tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling
banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah).
- Ayat (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqub>at ta’zir> berupa kurungan paling lama
6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah).

Pelaksanaan sanksi adat bagi pelaku khalwat di Gampong. pada saat


pelaksanaan putusan hukuman atau sanksi bagi pelaku khalwat, maka harus dihadiri
oleh pelaku, dan ditentukan secara peradilan adat melalui mekanisme atau hakim yang

8
memutuskan dengan posisi Keuchik sebagai ketua sidang Peradilan Adat Gampong,
Tuha Peuet dan dihadiri oleh masyarakat dan/atau yang mewakili untuk diketahui
oleh pelaku dan masyarakat lainnya. Tuha Peuet yang berfungsi seperti juri dalam
hukum Anglo Saxon atau sebagai sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,
yaitu keputusan-keputusan hakim (Keuchik) sebelumnya yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim akan datang.
Untuk proses persidangan, para hakim, yang terdiri dari perangkat adat
terlebih dahulu menanyakan kronologis penangkapan kepada warga dan saksi- saksi
serta mendengar keterangan pelaku. Selanjutnya meminta pandangan Tuha Puet dan
tokoh masyarakat setempat. Pada akhirnya majelis Peradilan Adat Gampong yang
terdiri atas perangkat adat bermusyawarah dan mengambil keputusan-keputusan
sesuai dengan reusam (peraturan) yang ada atau aturan yang sudah ditetapkan di
gampong tersebut.
Apabila terbukti bersalah, maka pelaku dikenakan sanksi penyerahan seekor
kambing sebagai sanksi adat gampong dan penyelesaian selanjutnya diserahkan
kepada Wilayatul Hisbah (WH) Kabupaten Aceh Besar. Putusan sidang di Gampong
tidak ada amar putusan resmi dalam bentuk surat yang ditandangani oleh majelis
hakim dan pelaku, jadi prosesnya masih tidak tertulis.
Beberapa metode atau pola penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam
penyelesaian setiap perkara yang terjadi di dalam masyarakat adat secara hukum adat,
termasuk penyelesaian perkara bagi pelaku khalwat, antara lain:
a. Membawa kain putih, sebagai simbol kedamaian dan kesucian.
b. Membawa biaya (ganti rugi).
c. Membawa bu lukat (nasi ketan) yang besar hidangnya sesuai dengan
kesalahan.
d. Membawa kambing sebagai simbol denda.
e. Peusijuek.
f. Adanya kata-kata nasehat dari perangkat gampong dan perangkat adat.
g. Do’a.

Jadi, ancaman hukuman cambuk bagi si pelaku tindak pidana khalwat/mesum


dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi
peringatan bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan tindak pidana

9
khalwat/mesum tersebut. Di samping itu hukuman cambuk akan lebih efektif dengan
memberi rasa malu dan tidak menimbulkan risiko bagi keluarga.5

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penjelasan diatas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa perbuatan
mesum atau khalwat menurut Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang
mesum (Khalwat) adalah perbuatan secara diam-diam antara dua orang atau lebih
yang berlawanan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Kasus perbuatan mesum tentu saja akan merusak moral dan kehormatan keduanya
dengan penyelesaian melalui Peradilan adat Gampong yang dilaksanakan sesuai
aturan Qanun Aceh. Bentuk saran yang diberikan adalah diharapkan dengan adanya
aturan Qanun Aceh dapat mengurangi tingkat permasalahan sosial Khalwat ini dengan
memberikan efek jera dan memberikan wawasan kepada masyarakatnya bagaiamana
efek dari khalwai itu sendiri.
Qanun adalah bagian dari ijtihad sebagai ikhtiar pemberlakuan hukum Islam
dalam sistem hukum nasional sebagai upaya penerapan syari'at Islam secara kaffah
yang dilakukan secara legal dan konstitusional. Lahirnya qanun Khalwat bermuara
pada tujuan hukum yaitu terciptanya tatanan moral yang berbasis pada moral Islami
yang dikawal melalui instrumen regulasi melalui institusi formal yang disebut dengan
Mahkamah Syari'ah. Bagi pelanggar qanun khalwat permasahan tersebut akan dibawa
kepada peradilan adat yang dipimpin oleh Keuchik serta Tuha Peuet sebagai
pendamping. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku Khalwat akan sesuai
dengan berbagai bentuk penyelesaian yang sudah diatur sesuai adat turun temurun.

5
AHMADI, S. PENYELESAIAN KHALWAT DENGAN HUKUM PIDANA ADAT ACEH
BESAR DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM hlmn. 62

10
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, T. M. (2012). Penyelesaian Kasus Mesum melalui Peradilan Adat
Gampong di Aceh (Suatu Kajian Kasus di Banda Aceh). Media Syari'ah: Wahana
Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, 14(1), 231-244.
Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam Untuk Remaja,
Pelajar dan Mahasiswa, (Banda Aceh: Dinas Syar’at Islam Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam, 2008). Cet II, hlm. 282
AHMADI, S. PENYELESAIAN KHALWAT DENGAN HUKUM PIDANA
ADAT ACEH BESAR DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM.
Berutu, A. G. (2019). Penerapan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
Khalwat (Mesum)(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Kota Subulussalam).

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 Tentang


Khalwat (mesum)

11

Anda mungkin juga menyukai