Anda di halaman 1dari 15

Sumber: https://hamdimuhamad.blogspot.

com/2016/02/pertemuan-vi-
konseling-kelompok-dengan.html

Pertemuan VI (Konseling kelompok dengan pendekatan psikoanalitik)

Pedahuluan

Sebagaimana diketahuai bahwa teori konseling psikoanalisis

merupakan hasil pemikiran Freud. Namun demikian, menurut Natawidjaja

(2009: 179), Freud sendiri tidak pernah mengaplikasikan teorinya ini dalam

layanan konseling kelompok. Beberapa dokter di Amerika mulai

menggunakan teori psikoanalisis sebagai dasar psikoterapi kelompok

sebelum Perang Dunia I. Di antara orang yang paling terkenal adalah E. W.

Lazell, yang mengadakan psikoterapi kelompok terhadap penderita

"schizophrenics" (suka mengasingkan diri). Orang pertama yang berusaha

menerapkan prinsip-prinsip psikoanalisis beserta teknik-tekniknya dalam

kegiatan kelompok menurut Natawidjaja (2009: 179), adalah Alexander

Wolf, yaitu seorang psikiatris dan psikoanalis. Wolf mengembangkan teknik-

teknik dasar psikoanalisis dalam kelompok, seperti transference, asosiasi

bebas, analisis mimpi, dan analisis deterrninan historis dari perilaku

sekarang. Ia menekankan penciptaan kembali keluarga yang asli, sehingga

anggota-anggota kelompok dapat menangani masalah-masalah yang tidak

sempat diselesaikan sebelumnya.


Reaksi mereka terhadap anggota yang lain dan terhadap pemimpin

kelompok diharapkan akan memunculkan kunci-kunci simbolis terhadap

dinamika relasi mereka dengan tokoh-tokoh tertentu dalam keluarganya

yang sebenarnya. Lebih lanjut dikatakan sampai tahun 1938, model kerja

kelompok psikoanalisis diselenggarakan dengan dasar yang kuat. Alexander

Wolf, seorang psikiatris dan psikoanalisis, secara umum diakui sebagai orang

pertama yang menerapkan prinsip-prinsip dan teknik psikoanalisis secara

sistematik untuk kelompok (Corey, 1990; Hansen, et al., 1980). Ia


mengembangkan psikonalisisnya lebih berdasarkan pertimbangan ekonomis

(ketegangan finansial konseli untuk memberikan layanan individu dalam

tahun 1930-an) alih-alih kepentingan dalam kerja kelompok. Tidak

memerlukan waktu yang lama ia menyadari kegunaan kelompok

psikoanalisis dan menjadi antusias untuk mendukungnya. kontributor awal

yang lain terhadap model kerja kelompok psikoanalisis adalah Samuel

Slavon, yang membentuk aktivitas kelompok bagi anak-anak usia 8-15

tahun berdasarkan prinsip-prinsip psikoanalisis. Dia menggambarkan

pendekatannya sebagai terapi situasional (Mullan & Rosen baum, 1978).

Teori ini biasanya dihubungkan dengan bagian dalam yang mendasari

masalah psikologis individu. Bagaimanapun teori ini memiliki perubahan dari

keaslian orientasi individu ke dalam kelompok-kelompok kerja psikoanalisis

memiliki beberapa akar psikologis (Gusril Kenedi, Supriatna, M, (Adhiputra,

N. 2015:106).
Tujuan konseling kelompok psikoanalisis
Tujuan proses analisis adalah untuk menata kembali strukturwatak dan

kepribadian konseli. Menurut Natawidjaja (2009: 179) tujuan itu dicapai


dengan membuat konflik-konflik yang tidakdisadari menjadi disadari dengan

menguji dan menjajaki materiyang bersifat intrapsikis. Secara khusus

psikoanalitik memerankan kembali keluarga yang asli secara simbolik

melalui kelompok sehingga latar belakang historis dari kehidupan anggota

pada masalalu terulang kerlibali dalam kehadirannya dalam kelompok itu.

Millan dan Rosenbaum (1978) menyebut proses itu sebagaipendekatan

regresif-rekonstruktif dalam terapi kelompokpsikoanalisis. Dia memandang

kelompok terapi sebagai suatupilihan kehidupan yang dalam banyak hal


merupakan keluargayang asli.

Proses dan teknik konseling dalam praktiknya, yang terpenting dari teori ini

adalah bagaimana seorang konselor mampu membuat pikiran konseli yang

berada di luar kesadarannya menjadi disadari. Dalam hal ini adalah

bagaimana kita bisa menata interaksi yang terjadi antara id, ego dan

superego. Menurut Glading (Kurnanto, E, 2013: 37), ada beberapa

perbedaan yang terjadi antara penerapan teori psikoanalisis dalam layanan

konseling kelompok dengan layanan konseling individu, yaitu terletak pada

proses dan faktor yang ditekankan pada layanan konseling, pada

psikoanalisis, proses terapi berpusat pada menciptakan kembali,

menganalisis, mendiskusikan dan menafsirkan pengalaman masa lampau

dan menangani (working through) pertahanan diri dan penolakan yang

berkembang pada tahap ketaksadaran. lstilah working trough merupakan

istilah yang khusus digunakan sebagai suatu konsep psikoanalisis yang

berarti pengulangan tafsiran dan mengatasi penolakan (resistance),

memungkinkan konseli untuk memecahkan pola penyimpangan fungsi

perilaku yang berakar pada masa kanak-kanak dan membuat pilihan yang

didasarkan atas wawasan-wawasan baru.


Prosedur konseling kelompok psikoanalisis
Prosedur konseling kelompok analitik sebagaimana Wolf (Natawidjaja, 2009:

2014) dapat ditempuh melalui enam tahapan yaitu sebagai berikut:


Tahap Persiapan dalam Bentuk Analisis
lndividu
Pada tahap ini konselor kelompok memilih para peserta -yangvcocok untuk

melaksanakan kegiatan kelompok yang akan dipimpinnya. Perlu diusahakan

bahwa mereka memiliki kondisi yang sesuai dengan kegiatan kelompok.


Kondisi itu diantaranya kemampuan untuk mengadakan kontak dengan

kenyataan, kemampuan untuk berhubungan secara pribadi, luwes, dan

potensi untuk menjadi katalisator dalam kegiatan kelompok


Tahap Pembentukan Hubungan Melalui
Penafsiran Mimpi dan Fantasi
Pada tahap kedua ini merupakan sarana untuk mengembangkan iklim saling

mempercayai diantara anggota-anggota kelompok; hal tersebut juga

memungkinkan menghadirkan kesan-kesan tertentu antar sesame anggota

kelompok.
Interaksi Melalui Asosiasi Bebas Antarpribadi
(Interpersonal Free Association)
Ditandai penggunaan yang mendalam tentang asosiasi bebas, yaitu

komunikasi tanpa sensor mengenai perasaan dan pemikiran seseorang

secepat hal itu muncul dalam ingatannya; hal ini juga mengandung arti

bahwa keberhasilan tahap kedua dicerminkan dengan terjadinya asosiasi

bebas atau berjalannya tahapan ketiga ini; jika pada tahapan ini didapati

bahwa anggota terlihat canggung dalam pengeksplorasian maka, bukan

tidak mungkin bahwa ia merasa belum nyaman atau mempunyai kesan

negative atau semacamnya pada tahap sebelumnya


Tahap Analisis Penolakan
Pada tahap ini penolakan itu muncul secara jelas pada waktu setiap anggota

kelompok melakukan penafsirannya tentang mimpi dan mengadakan

asosiasi bebas tentang anggota-anggota lainnya. Tahap perkembangan

kelompok ini dapat diumpamakan sebagai masa pemberontakan kelompok

menentang konselor. Mereka mempertahankan dirinya dengan cara

mengisolasikan diri, memberikan alasan-alasan rasional, dan mengarahkan

pembicaraan kepada hal-hal yang mendetail mengenai aturan kegiatan


dalam kelompok.
Tahap Analisis Pengalihan
Pada tahap ini konselor benar-benar perlu menemukan ketakutan setiap

anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan juga mengenai trauma yang

menahan perkembangan dirinya. Pada tahap ini, seyogyanya dibangun

"persekutuan kerja" dalam kelompok, yaitu suatu bentuk kerja sama yang

sehat dan realistik antara para anggota kelompok dengan konselor serta

diantara anggota kelompok itu sendiri.


Tahap Tindakan Pribadi yang Disadari dan
lntegrasi Sosial
Tahap ini ditandai dengan berakhirnya distorsi pengalihan yang sangat kuat

yang terjadi dalam kelompok. Pada tahap ini terdapat suatu pola berbagi

kepemimpinan dan pemisahan diri serta penyadaran individual yang

realistik. Distorsi pengalihan kelompok terhadap konselor telah ditangani

secara tuntas dan para anggota kelompok memandang konselor lebih

realistis. Tujuan tahap ini adalah untuk membantu konseli menemukan cara-

cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang lain dan

meningkatkan pertumbuhan pribadi konseli sehingga konseli itu dapat

berpikir mancari dan berdiri sendiri dalam perbuatannya. Selanjutnya


Glading (Supriatna, N (2009: 30 – 31) dalam pelakasanaan proses konseling

kelompok psikonalisa terdapat lima teknik dasar yang digunakan yaitu:

1. Asosiasi bebas (Free Association);

2. Penafsiran (dream interpretation);

3. Analisis resistensi ( interpretation of resistance);

4. Analisis transferensi (transference);

5. Wawasan dan penanganan (insight and working trough).

Asosiasi bebas (Free Association)


Dalam praktik konseling kelompok penggunaan asosiasi bebas (free

association) sebagaimana dikemukakan Corey (1990) asisiasi bebas

merupakan tipe“free-floating discussion” atau mengadakan diskusi bebas

anggota menyampaikan perasaan dan kesan mereka dengan segera.

Asosiasi bebas ( Free Association) merupakan teknik utama dari terapi

psikoanalitik yang merupakan suatu rnetode penataan kernbali pengalaman-

pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan

situasi-situasi traumatik di masa lalu, yang dikenal dengan sebutan katarsis.

Katarsis hanya rnenghasilkan peredaan sementara atas pengalarnan-


pengalaman rnenyakitkan yang dialarni konseli, tidak rnemainkan peran

utama dalarn proses treatment psikoanalitik kontemporer; katarsis

rnendorong konseli untuk rnenyalurkan sejumlah perasaannya yang

terpendam, dan karenanya meratakan jalan bagi pencapaian pernahaman.

Untuk rnembantu konseli dalam memperoleh pernaharnan dan evaluasi diri

yang lebih objektif, analis menafsirkan makna-makna utarna dari asosiasi

bebas.
Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis adalah rnengenali

bahan yang direpres dan dikurung dalam ketidaksadaran. Urutan asosiasi-

asosiasi mernbirnbing analis dalam rnemaharni hubungan-hubungan yang

dibuat oleh konseli diantara peristiwa-peristiwa yang dialaminya.

Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh konseli

terhadap asosiasi-asosiasi rnerupakan isyarat bagi adanya bahan yang

rnembangkitkan kecernasan. Analis menafsirkan bahan dan

rnenyarnpaikannya kepada konseli, rnernbimbing konseling ke arah


peningkatan pemaharnan atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang

tidak disadari oleh konseli.

Menurut Natawidjaja (Supriatna, N. 2009: 31) tujuan asosiasi bebas dalam

konseling kelompok adalah untuk mendorong para konseli menjadi lebih

bersikap spontan dan membukakan proses-proses yang tidak disadari

sehingga mereka memperoleh wawasan yang lebih jelas mengenai

psikodinamika dalam dirinya sendiri. Dalam proses layanan, tugas konselor

adalah membantu konseli untuk mendapatkan pemahaman dan evaluasi diri

yang obyektif. Dalam hal ini, konselor harus dapat memberikan tafsiran

makna dari asosiasi bebas, yaitu mengungkap dan mengenali perasaan yang

dikurung dalam ketidaksadaran konseli. Selanjutnya konselor

menyampaikan hasil tafsirannya kepada koseli, membimbing konseli ke arah

peningkatan pemahaman atas dirinya secara obyektif. Dengan demikian

konseli akan mendapatkan pemahaman yang benar atas situasi yang sedang

dihadapinya.
Penafsiran
Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi

bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi.

Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan analisis yang menyatakan,

menerangkan, bahkan mengajari konseli terhadap makna-makna tingkah

laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi asosiasi bebas, resistensi-

resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi penafsiran-

penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru

dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut.


Penafsiran-penafsiran analis menyebabkan pemahaman dan tidak

terhalanginya bahan taksadar pada pihak konseli.

Dalam praktiknya, konselor melakukan berbagai tindakan analisis yang

menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari konseli untuk memaknai

tingkah laku yang dimanifestasikan melalui mimpi-mimpi, asosiasi bebas,

resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Nandang

Rusmana (2009: 32) mengatakan bahwa dalam melakukan penafsiran,

seorang konselor mesti tepat waktu, karena ketidaktepatan waktu dalam

melakukan penafsiran akan berakibat pada kemungkinan munculnya

penolakan dari konseli. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada tiga aturan

umum dalam melakukan penafsiran, yaitu: pertama; disajikan pada saat

gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran konseli, kedua;

penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya sedalam

konseli mampu menjangkaunya, terutama saat konseli mengalami situasi itu

secara emosional, dan ketiga; resistensi atau pertahanan, paling baik

ditunjukkan sebelum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada

di baliknya.
Selain berlakunya tiga aturan umum tersebut, dalam melakukan penafsiran,

menurut Natawidjaja (2009: 191), seorang konselor mesti memperhatikan

butir-butir aturan sebagai berikut: pertama: Konseli akan lebih

mempertimbangkan penafsiran yang bersifat hipotesis dan bukan fakta. Ke-

dua: Penafsiran seyogyanya berkenaan dengan materi yang mendekati

kesadaran konseli. Artinya hal yang disampaikan sebagai penafsiran itu

adalah yang telah mendekati ambang kesadaran konseli. Oengan kata lain,

konselor perlu menafsirkan materi yang belum dilihat konseli, tetapi mereka
telah bersiap dan mampu menemukannya. Ke-tiga: Penafsiran itu mesti

dimulai dari permukaan dan menuju kearah penafsiran yang lebih

mendalam, yaitu mengenai masalah yang mempunyai bobot emosional yang

besar. Dengan demikian, penafsiran tersebut berlangsung berangsur-angsur,

sehingga hal-hal yang berbobot emosional yang besar itu dapat ditafsirkan

pada waktu yang tepat,yaitu pada waktu konseli telah siap untuk menerima

keadaan yang menyakitkan. Ke-empat: Sebaiknya ditunjukkan terlebih

dahulu pertahanan diri atau penolakan yang ada pada konseli sebelum

menafsirkan perasaan atau konflik yang terdapat di bawah pertahanan diri

atau penolakan diri itu. Aturan-aturan tersebut berlaku untuk semua

anggota kelompok, akan tetapi juga dapat diberlakukan kepada peserta

kelompok secara individual.


Transferensi
Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat di

mana kegiatan-kegiatan konseli masa lalu yang tak terselesaikan dengan

orang lain, menyebabkan ia merubah masa kini dan mereduksi kepada

analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibu dan ayahnya. Kini, dalam

hubungannya dengan konselor mengalami kembali perasaan penolakan atau


permusuhan yang pemah dialami terhadap orang tuanya. Jadi transferensi

merupakan upaya memproyeksikan emosi yang tidak tepat kepada

pemimpin atau anggota yang lain Hansenet at. all, (Gladding, 1991).

Transferensi dalam psikoanalisis kelompok memiliki cakupan yang lebih luas

dibandingkan dengan psikoanalisis indiviudal Thompson dan Kahn, 1970

(Gladding,1991).
Anaisis mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyingkap
bahan yang tak disadari dan memberikan kepada konseli pemahaman atas

beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-

pertahanan melemah, dan perasaan-perasaan yang direpresi muncul ke

permukaan. Freud memandang mimpi-mimpi sebagai jalan istimewa menuju

ketidaksadaran, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-

kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tidak disadari, diungkapkan.

Beberapa motivasi sangat tidak bisa diterima oleh orang yang bersangkutan

sehingga diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan

alih-alih diungkapkan secara terang-terangan dan langsung. Mimpi-mimpi

memiliki dua taraf isi, yaitu isi laten dan isi manifest. Isi laten terdiri atas
motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tak disadari.

Karena begitu menyakitkan dan mengancam, dorongan-dorongan seksual

dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten ditransformasikan ke dalam

isi manifest yang lebih dapat diterima, yakni impian sebagaimana yang

tampil pada si pemimpi. Proses transformasi isi laten mimpi ke dalam isi

manifest yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Tugas analis

adalah menyingkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari

simbol-simbol yang terdapat pada isi manifest mimpi. Selama jam analitik,
analis bisa meminta konseli untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah

aspek isi manifest impian guna menyingkap makna-makna yang

terselubung.
Analisis dan penafsiran transferensi
Hubungan transferensi juga memungkinkan konseli mampu menembus

konflik-konflik masa lampau yang tetap dipertahankannya hingga pada masa

sekarang dan bentuk-bentuk yang menghambat pertumbuhan

emosionalnya. Transferensi disini ialah mengalihkan, bisa berupa perasaan


dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, konseli diupayakan untuk

menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan

cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang konseli bawa ke masa

sekarang selanjutkan diserahkan ke konselor. Biasanya konseli bisa

membenci atau mencintai konselor.

Bentuk nyata transferensi dalam proses konseling kelompok adalah

fenomena dimana konseli mencoba menghadirkan pengalaman masa lampau

mereka, yang mereka menganggap sebagai suatu urusan yang belum

selesai, seperti contoh masalah dengan orang tua, permasalahan pacar dan
sebagainya, pada situasi kini, dengan cara mendistorsi hubungannya dengan

konselor seakan konselor adalah orang yang pernah membuat mereka

"sakit" di masa lalunya. Dalam kaitan ini, konseli menjadi benci kepada

konselornya. Bahkan, dalam situasi tertentu, menurut Natawidjaja (2009:

186) dalam konseling kelompok dapat terjadi multiple transference, yaitu

pengalihan yang diarahkan ke berbagai individu, mengarah pada semua

anggota kelompok. Konselor mengusahakan agar konseli mengembangkan

transferensi-nya agar neurosisnya terungkap terutama pada usia selama


lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor dapat menggunakan sifat-

sifat netral, objek, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut.
Wawasan dan penanganan (insight and
working trough)
Wawasan berarti kesadaran akan sebab-sebab dari kesulitan seseorang pada

masa kini. Dalam model psikoanalitik wawasan juga berarti kesadaran

intelektual dan emosional tentang hubungan antara pengalaman-

pengalaman masa lampau dengan masalah masa kini. Jadi, apabila para

anggota kelompok mengharapkan perubahan dalam beberapa aspek

kepribadiannya, maka mereka harus mengenai penolakan dan pola

perilakunya yang lama. Ini merupakan proses yang lama dan sulit.

Penanganan secara tuntas itu merupakan aspek yang sangat kompleks

dalam psikoanalisis dan mempunyai tuntutan yang mendalam. Penanganan

tuntas ini merupakan suatu proses yang cocok untuk menaggulangi konflik-

konfilk yang tidak terpecahkan, sikap dan kebutuhan, penolakan, pengalihan

terhadap pemimpin kelompok dan rekan sekelompoknya dan hal-hal lain

yang tidak terpecahkan dimasa lampau. Proses penanganan tuntas

merupakan tahap akhir darikelompok psikoanalitik dengan hasil

bertambahnya kesadaran dan integrasi.


Peran pimimpin kelompok dalam konseling
kelompok
Pemimpin kelompok yang efektif sebagaimana yang dikemukan oleh Wolf

(Adhiputra, N. (2015: 115) bahwa pemimpin kelompok prikoanalisis yang

efektif mampu memajukan hubungan interpersonal anggota di atas

hubungan anggota dan pemimpin kelompok Lebih lanjut Supriatna, N (2009:

35) menyatakan fungsi konselor dalam konseling kelompok yang

berorientasi psikoanalisis adalah membantu konseli secara berangsur-angsur


menemukan faktor-faktor penentu yang tidak disadari dari perilakunya pada

masa kini. Fungsi itu dilaksanakannya dengan memperhatikan konsep-

konsep pokok psikoanalisis dan menggunakan teknik-teknik bantuan yang

telah dikemukakan dalam bagian terdahulu.

Fungsi lain dari konselor sebagai pemimpin kelompok sebagaimana

Natawidjaja (2009: 194) meliputi: (1) Menciptakan iklim yang mendorong

anggota-anggota kelompok menyatakan dirinya secara bebas (2)


Manyatakan batas antara perilaku dalam kelompok dan perilaku di luar

kelompok (3) Memberikan dukungan terapeutik apabila anggota kelompok

tidak memberikannya (4) Membantu para anggota menghadapi dan

menangani penolakan dalam diri mereka sendiri atau dalam kelompok

sebagai satu kesatuan (5). Menumbuhkan kemandirian anggota-anggota

kelompok dengan cara berangsur-angsur melepaskan fungsi-fungsi

kepemimpinan-nya dan dengan mendorong interaksi diantara para anggota

kelompok (6) Menarik perhatian para anggota kepada aspek-aspek yang

samar-samar dalam perilaku para anggota kelompok, dan melalui

pertanyaan-pertanyaan kepada mereka, membantu mereka meniti dirinya

lebih jauh dan lebih dalam.

Lebih lanjut Wolf (Supriatna, N (2009: 36: fungsi-fungsi lain dari konselor

sebagai pemimpin kelompok yaitu:

1. Berusaha untuk mengakui kesalahan sendiri dan merasa rela

memberikan beberapa fungsi kepemimpinan kepada para anggota

kelompok, apabila fungsi itu mempunyai manfaat terapeutik bagi

kelompoknya.
2. Menghindari sikap diktator dan gaya kepemimpinan yang memojokkan

anggota untuk mengikuti pendapat konselor.

3. Menyambut baik pemyataan pengalihan dalam kelompok sebagai

kesempatan untuk keberhasilan kerja.

4. Membimbing anggota ke arah kesadaran penuh dan ke arah integrasi

sosial.

5. Melihat kelompok yang dipimpinnya sebagai wahana yang mempunyai

potensi yang kuat.


6. Mengakui kemampuan potensial para anggota kelompok dalam

menafsirkan dan mengintegrasikan materi yang dihasilkan oleh

anggota lain dan mengakui kemampuan mereka untuk mendekati

kebenaran yang tidak disadarinya.

7. Waspada terhadap perbedaan individual di dalam kelompoknya.

8. Menggunakan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan konflik di dalam kelompok.

9. Mempertahankan sikap optimistik apabila kelompok mulai merasa

bimbang.

10. Memberi contoh mengenai kesederhanaan, kejujuran dan bertindak

langsung.
11. Menciptakan suasana emosional yang bebas dengan membuka

perasaannya sendiri Memperhatikan persekongkolan yang bersifat

destruktif dalam kelompok.

References

Adhiputra, N (2015) “konsling kelompok teori dan aplikasi”.

Yogyakarta: Media Akademik.


Berg, R., Landreth, G, L., & Fall, K, A., (2006) “group counseling concepts

and procedures. Fourth edition New York: Brunner-Routledge

Brown, N.W (1994) “ group counseling for elementary and middle school

children”. Connecticut London: Praeger

Corey, G. (2012) “Theory & Practice of Group Counseling”. Eighth Edition.

Canada: Cengage Learning

Jacobs, ED.E., Masson, R., Harvill, R., Schimmel, C, J. (2009) “ group

counseling strategi and skiils”. Canada: Linda Schreiber-Ganster.


Kurnanto, E. (2013) “ Konseling Kelompok”. Alfabeta. Bandung

Latipun. (2006) “Psikologi Konseling”. Malang: UMM Press

Rusmana, N. (2009) “ Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah

Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung: Rizke Press

Sonstegard, M., Bitter, J, R., & Pelonis, P. (2004) “ Adlerian Group

Counseling and Therapy Step-by Step. New York: Brunner-Routledge

Anda mungkin juga menyukai